Selasa, 29 April 2014

PANTAI TANJUNG KERASAK, OBAT BOSAN DARI BANGKA

Pulau Bangka menyimpan pesona pantai yang elok di setiap sudutnya. Pantai Tanjung Kerasak di Desa Pasir Putih, Bangka Selatan, adalah salah satunya. Pantai ini mampu mengusir kejenuhan bagi siapa saja yang menikmatinya. Jenuh? Datanglah ke pantai ini kala senja mulai menampakkan raganya. Alhasil rasa jenuh itu pun sekonyong-konyong sirna. Seperti halnya yang kami lakukan pada suatu senja berikut ini, di Pantai Tanjung Kerasak, Pulau Bangka.








(Foto-foto yang sama juga bisa dilihat di travel.detik.com dengan judul "Pantai Tanjung Kerasak, Obat Bosan dari Bangka" oleh fotografer yang sama)

PEWTER, OLEH-OLEH BIJIH TIMAH UNIK DARI BANGKA


Pulang berpetualang dari Bangka seusai liburan akhir tahun, traveler wajib membawa pulang oleh-oleh hasil kreasi bijih timah khas yang dilebur menjadi pewter. Aneka ragam bentuk unik pewter mampu menarik minat wisatawan. Berpertualang ke suatu tempat tapi pulang tak bawa oleh-oleh, belum afdol tampaknya sekalipun hanya sebuah gantungan kunci atau kaos dengan motif khas daerah itu. Nah, begitu pula saat berlibur ke Pulau Bangka. Selain membawa makanan khas daerah ini, ada oleh-oleh unik lain yang sayang sekali bila tak ikut dibawa pulang. Apalagi cinderamata yang satu ini hanya ada di Pulau Bangka, yakni pewter. Lho, apa pula itu?

Seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya, mungkin saja oleh-oleh yang satu ini hanya ada di Pulau Bangka. Betapa tidak, cinderamata unik ini terbuat dari timah yang memang merupakan hasil tambang utama di pulau ini. Nah, sayang bila sudah jauh-jauh datang ke Pulau Bangka, tapi tak membawa cinderamata ini sebagai kenang-kenangan. Apalagi bentuk dan rupa cinderamata ini cukup beragam. Mulai dari gantungan kunci berbentuk Pulau Bangka, hingga miniatur orang yang sedang mendorong 'kerito surong' (alat angkut barang orang Bangka zaman dahulu). Juga miniatur Pulau Bangka untuk hiasan di atas meja atau pewter dalam ukuran besar berbentuk kapal layar. Serta masih banyak bentuk pewter unik lain.


Sebagai daerah yang dikenal akan timah sebagai hasil tambang, para pengrajin di sana pun berpikir kreatif agar hasil tambang tersebut bisa dijadikan dalam bentuk cinderamata. Ini juga jadi salah satu cara agar timah tetap dikenang sebagai salah satu sumber penghidupan masyarakat setempat. Salah satu hasil kreasi itu adalah pewter. Pewter terbuat dari bijih timah yang telah dilebur, sebelum akhirnya dibentuk menjadi aneka rupa yang mencirikan Pulau Bangka.



Salah satu bentu pewter yang paling laris adalah pewter gantungan kunci berbentuk Pulau Bangka. Saya pun tak berhasil menemukan pewter jenis itu saat pulang ke Pulau Bangka beberapa waktu yang lalu. Sekalipun sudah mengelilingi hampir toko oleh-oleh khas pulau ini di sepanjang Jalan Jendral Sudirman, Pangkal Pinang. Selain bentuknya yang unik, yakni miniatur Pulau Bangka yang menyerupai kuda laut, pewter jenis ini begitu diminati karena harganya yang relatif murah. Terutama bila dibandingkan dengan pewter jenis lain yang mencapai ratusan ribu, bahkan ada yang sampai jutaan rupiah. Maklum, terbuat dari timah yang harganya pun lumayan mahal di pasaran dunia.

Pewter yang seharga jutaan itu biasanya berukuran besar, berbentuk jauh lebih rumit, seperti pewter berbentuk kapal layar. Wah, bila dilihat secara saksama, pewter yang satu itu memang mengundang decak kagum, wajar bila harganya semahal itu. Sedangkan pewter gantungan berbentuk Pulau Bangka, harganya cuma tak lebih dari Rp 30.000 saja per buah. Nah, bila berlibur ke Pulau Bangka, Anda pun dapat membawa pulang cindera mata unik ini. Cukup mudah menemukannya, hampir sebagian besar toko oleh-oleh menjualnya, terutama pewter gantungan kunci berbentuk Pulau Bangka. Untuk pewter jenis lain seperti kapal layar yang besar, bisa dibeli si salah satu toko khusus pewter di ujung Jalan Jendral Sudirman, Pangkal Pinang. Tak jauh dari Alun-Alun Taman Merdeka atau di daerah Girimaya menuju Bandar Udara Depati Amir.

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di travel.detik.com dengan judul "Pewter, Oleh-oleh Bijih Timah Unik dari Bangka" oleh penulis yang sama)

BERTEMU SUNSET CANTIK DI TUGU MUDA, SEMARANG


Tak cuma Yogya, Semarang juga punya tugu yang tak kalah terkenal. Datanglah ke tugu ini ketika sunset menjelang. Saat itu, Anda bisa melihat cantiknya semburat jingga yang hendak pulang ke peraduan. Saya melihat matahari di arah barat yang mulai tenggelam. Wow, Tugu Muda jadi gagah saja rupanya diterpa oleh pancaran sinar matahari yang hendak pulang ke peraduan.


Jalan-jalan di Kota Semarang, tiada lengkap rasanya bila tidak singgah di sebuah kawasan dimana sebuah tugu ikonik berdiri dengan gagahnya. Apalagi tugu itu sudah dikenal sebagai identitas ibukota Jawa Tengah ini. Ialah Tugu Muda, sebuah tugu yang sengaja dibangun untuk mengenang kegigihan rakyat Semarang dalam mempertahankan kemerdekaan republik ini dalam pertempuran lima hari melawan penjajah yang berlangsung di kota itu.

Semarang memang dikenal dengan bangunan-bangunan kuno peninggalan kolonial, seperti kawasan kota tua yang terkenal itu. Bangunan-bangunan itu secara tak langsung mengabarkan kepada kita bahwa dulu di Semarang pernah ada penjajahan yang dilakukan oleh Belanda. Warga Semarang pun tak tinggal diam. Apalagi, saat itu Belanda hendak kembali menjajah tanah ini manakala proklamasi sudah dikumandangkan. Tugu Muda yang berdiri kokoh tepat di hadapan Lawang Sewu, adalah bukti perjuangan mereka.



Saat saya ke Semarang, saya pun sempat diajak jalan-jalan mengitari Kota Semarang oleh Pak Dwi Haryadi, dosen kebanggaan saya yang sekarang sedang kuliah doktoral di Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro di Semarang. Saat itu saya dan Rangga Maradona, seorang sahabat saya hendak ikut seleksi S2 di fakultas dan universitas yang sama. Setelah mengikuti seleksi, kami akhirnya jalan-jalan sore menikmati Semarang. Mulai dari Simpang Lima sampai ke kawasan Tugu Muda.

Dari Simpang Lima, tempat dimana dosen saya itu tinggal, kami naik bus menuju kawasan Lawang Sewu dan Tugu Muda. Saya cukup penasaran dengan tugu yang dulu sering saya lihat saat TVRI Nasional menayangkan laporan langsung dari TVRI Semarang. Seperti biasa, setiap daerah pasti punya ikon tersendiri yang menjadi background pembaca berita, seperti Semarang dengan Tugu Muda-nya. Akhirnya, bertemulah saya dengan tugu itu.


Mulanya, kami memandangi artistiknya bangunan Lawang Sewu. Saat itu Lawang Sewu sudah tutup, entah karena alasan apa, mungkin karena sudah sore. Akhirnya, kami bertiga menyeberang jalan dari Lawang Sewu menuju Tugu Muda. Orang-orang sudah ramai di kawasan itu, mengabadikan momen dengan latar Tugu Muda yang gagah. Serta Lawang Sewu yang artistik. Saya pun terkagum-kagum dengan pemandangan yang saya lihat di jantung Kota Semarang itu.

Senja mulai datang. Langit Semarang mulai berpendar berubah warna menjadi jingga. Saya melihat matahari di arah barat yang mulai tenggelam. Wow! Tugu Muda jadi gagah saja rupanya diterpa oleh pancaran sinar matahari yang hendak pulang ke peraduan. Sungguh, sebuah pemandangan tak biasa yang saya saksikan hari itu, yakni Tugu Muda Semarang dalam balutan matahari yang hendak tenggelam. Begitu cantiknya sunset di Tugu Muda Semarang!

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di travel.detik.com dengan judul "Bertemu Sunset Cantik di Tugu Muda Semarang" oleh penulis yang sama)

Senin, 28 April 2014

WEEKEND BEDA DI GUNUNGKIDUL, SUSUR PERKEBUNAN KAYU PUTIH!


Berpijak di Gunungkidul tak hanya seru berpetualang di Gua Pindul atau menyisir semua pantai-pantainya. Bila ingin liburan beda akhir pekan ini, cobalah mengitari perkebunan tanaman kayu putih yang berada di dekat Sungai Oyo. Minyak kayu putih, siapapun tampaknya familiar dengan yang satu itu. Maklum, saat kondisi pertahanan tubuh sedikit turun, minyak ini selalu dijadikan obat pertama yang menjadi rujukan. Namun, sedikit orang yang tahu serupa apa tanaman yang kelak akan disuling menjadi minyak paling berkhasiat untuk kesehatan itu.

Nah, berikut saya ceritakan saat berpetualang mengitari perkebunan tanaman kayu putih, di sebuah tempat di Gunungkidul, Yogyakarta. Semula, kami berpetualang menelusuri rongga Gua Pindul, gua yang saat ini melejit namanya di kalangan para pelancong. Setelahnya, saya dan empat orang lain yakni Anisa Rahardini, Adam Wijaya Medantara, Mohammad Ghoza Farghani, dan Eka Lestaria dari Ternate, menuju Sungai Oyo yang menjadi area petualangan kami selanjutnya. Sepanjang jalan yang kami lewati, tampak pemandangan ala Pulau Jawa pada umumnya berupa sawah hijau yang terhampar luas.

Pertengahan perjalanan, tiba-tiba kami melewati perkebunan yang tak biasa di mata saya. Awalnya saya mengira itu tanaman liar yang tumbuh kiri-kanan jalan. Namun ternyata tanaman itu berbaris rapi, seolah ada yang sengaja menanam dan merawatnya. Lantas, saya pun bertanya kepada teman-teman lain yang sudah lama tinggal dan memang asli orang Pulau Jawa. Sayang, mereka banyak yang geleng kepala. Maka akhirnya saya bertanya pada pemandu kami hari itu perihal tanaman itu. Menurut pemandu, itu tanaman yang kelak akan disuling menjadi minyak kayu putih. Saya tak percaya begitu saja, soalnya pemandu kami hari itu sering berbohong. Lalu beliau menyuruh saya membuktikan sendiri dengan memetik beberapa helai daun dari tanaman itu.




Seraya berpegangan di atas mobil yang terhempas di antara jalan yang berkelok dan penuh batu-batu, saya meraih beberapa daun dari tanaman itu lantas menciumnya. Hmm, harum! Ternyata benar itu tanaman kayu putih dengan nama latin M Leucacendra. Perkebunan itu lumayan luas ternyata. Sepanjang mata memandang yang terlihat barisan tanaman minyak kayu putih yang menghijau di antara langit siang itu yang membiru. Sesampai di tepi Sungai Oyo, saya tak langsung terjun ke sungai. Sebaliknya, saya malah masuk area perkebunan minyak kayu putih yang baru kali pertama saya temui itu. Wah, pengalaman yang luar biasa. Andapun dapat merasakannya saat berlibur ke Yogyakarta.

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di travel.detik.com dengan judul "Weekend Beda di Gunungkidul, Susur Perkebunan Kayu Putih!" oleh penulis yang sama)

Jumat, 25 April 2014

SUNSET DI PARANG ENDOG, YOGYA MEMANG ISTIMEWA


Mencari sunset indah di Yogyakarta untuk libur akhir pekan atau akhir tahun? Cobalah ke sisi timur Pantai Parangtritis. Di sana ada Pantai Parang Endog dengan bukit untuk melihat sunset yang istimewa. Menyaksikan matahari tenggelam di ufuk Barat atau disebut sunset, selama ini telah menjadi daya tarik tersendiri sehingga sangat ditunggu oleh sejumlah penikmat alam. Perpaduan aneka warna langit dengan warna jingga yang dominan adalah pemandangan yang selalu diburu. Nah, di Yogyakarta, ada sebuah tempat yang menjadi titik berkumpulnya sejumlah penunggu matahari tenggelam di laut selatan Pulau Jawa, yakni Parang Endog.

Suatu sore, bersama Anisa Rahardini dan teman saya Mohammad Ghoza Farghani, kami berangkat menuju tempat yang ramai diperbincangkan karena eloknya sunset disana. Menurut informasi yang saya dapat dari sebuah booklet pariwisata milik Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta, Parang Endog terletak di ujung timur Pantai Parangtritis di Kabupaten Bantul. Setelah lama direncanakan, akhirnya kami bertiga menempuh jalan yang sama saat hendak menuju Pantai Parangtritis.



Sepanjang perjalanan, kami menyaksikan matahari yang tampaknya sudah hendak berbalik ke peraduan. Semoga kami tidak terlambat, begitu yang ada dalam pikiran saya kala itu. Saya pun lantas mempercepat laju jalan sepeda motor yang saya kendarai bersama Anisa Rahadini. Ingin memastikan letak Parang Endog yang sebenarnya, seraya membayar tiket masuk Pantai Parangtritis, kami bertanya perihal Parang Endog kepada petugas itu. Katanya, Parang Endog berada tepat di bagian timur Pantai Parangtritis.

Mengikuti petunjuk sang petugas, cepat-cepat kami mengikuti arah itu. Sempat bingung, kami pun bertanya kepada seorang ibu-ibu di sebuah toko kelontongan. Informasinya sama dengan sang petugas di gerbang masuk pantai. Lantas, kami pun menuju tempat yang dimaksud. Saya sempat heran, karena arah yang dimaksud dua orang informan tadi malah tembus ke Pantai Parangtritis itu sendiri. Merasa ada yang salah, kami kembali bertanya.



Nah, saat bertanya perihal Parang Endog, jangan heran bila mendapat jawaban seperti ini, "Pantai atau bukitnya?" Itulah jawaban yang kami dapat dari informan yang ketiga. Rupanya, Parang Endog ada dua, yakni pantai dan perbukitan. Pantai Parang Endog memang berada di ujung Timur Pantai Parangtritis, sedangkan Bukit Parang Endog berada di sebelahnya lagi. Untuk mencapai puncak Bukit Parang Endog, kita pun harus menelusuri jalan arah timur menuju Wonosari. Pertigaan jalan, berbelok ke selatan arah jalan menuju Gua Langse.

Beberapa kali melewati tanjakan yang lumayan tinggi, sampailah kita pada sebuah tempat parkir kendaraan. Cukup Rp 3.000 saja per motor, semoga aman. Sore mulai beranjak gelap. Cepat-cepat kami menaiki beberapa anak tangga yang tersusun atas bebatuan alami menuju Bukit Parang Endog. Orang-orang sudah ramai di atas sana. Saya sempat menoleh ke bawah beberapa kali. Waw, pemandangannya hijau oleh pepohonan yang masih tumbuh subur. Akhirnya, sampailah kami di puncak Bukit Parang Endog.

Waw, pemandangann yang luar biasa. Lelah yang kami dapat saat menaiki bukit pun perlahan-lahan sirna, seiring matahari sore yang mulai pulang. Sejauh mata memandang, yang terlihat adalah pendaran oranye yang menyelimuti Pantai Parangtritis, Pantai Parangkusumo, Pantai Depok, sampai pantai-pantai yang ada di ujung Barat Daerah Istimewa Yogyakarta. Nah, saat berlibur ke Yogyakarta, Anda pun dapat mengisi waktu sore liburan anda dengan menyaksikan matahari tenggelam dari atas Bukit Parang Endog, yang ternyata sudah masuk ke dalam wilayah Kabupaten Gunungkidul ini.

 (Artikel yang sama juga bisa dibaca di travel.detik.com dengan judul "Sunset di Parang Endog, Yogya Memang Istimewa" oleh penulis yang sama)

CARA PENGOLAHAN LADA DI PULAU BANGKA



Saat wisata kuliner dimanapun itu, merica atau lada adalah bumbu yang penting. Kalau mau tahu bagaimana lada dipanen sampai siap digunakan sebagai bumbu, traveler bisa melihatnya di perkebunan lada di Pulau Bangka. Berkelana di area perkebunan lada, atau yang oleh masyarakat setempat disebut sahang, memang merupakan sebuah alternatif menarik mengisi waktu liburan saat bertandang ke Pulau Bangka. Namun, tak lengkap rasanya tanpa melihat bagaimana biji-biji lada yang telah dipetik dari tangkainya itu diproses, sebelum akhirnya diekspor ke luar negeri. Penasaran bukan? Nah, berikut pengalaman saya saat pulang ke Pulau Bangka.


Saat saya pulang ke sana, kebetulan sedang musim panen lada. Saya pun senang bisa berada pada saat-saat seperti itu. Bagaimana tidak, memetik lada merupakan sesuatu yang sangat menarik bagi saya, bisa terlibat langsung dalam proses memanen lada. Apalagi bisa menyaksikan bagaimana lada yang semula masih tergantung di setiap tangkai, berubah menjadi biji-biji yang putih berseri, menakjubkan tentunya.

Nah, lada-lada yang telah dipetik dalam bundong, yakni wadah untuk menampung lada, selanjutnya diisi dalam karung. Ukuran karung cukup beragam, sehingga volume lada yang bisa ditambung oleh masing-masing karung pun cukup beragam pula. Selanjutnya, untuk menghemat karung dan ruang dalam sungai, biasanya lada-lada itu ditekan menggunakan sebilah kayu sampai karung terisi penuh. Setelah itu, barulah lada-lada dalam karung itu dibawa menuju sebuah sungai tak jauh dari perkebunan lada.


Lada-lada dalam karung itu selanjutnya direndam di sungai dalam kurun waktu kurang lebih dua minggu lamanya. Mengenai waktu, tergantung isi lada dalam karung itu sendiri. Apabila isi lada dalam sebuah karung padat berisi, maka waktu yang dibutuhkan bisa mencapai dua minggu atau lebih. Namun, apabila sebuah karung berisi sedikit lada, sehingga memudahkan air untuk masuk dalam karung, maka setelah satu minggu pun biasanya sudah bisa diolah ke proses selanjutnya.

Perendaman lada dalam sungai bertujuan untuk memisahkan lada dari tangkai-tangkainya, serta memudahkan pemisahan dari kulit-kulit biji lada itu sendiri, disamping memilih mana biji lada yang berkualitas dan sebaliknya.

Setelah direndam bermalam-malam lamanya, biasanya dengan begitu, lada mudah dipisahkan dari tangkai dan kulit, serta dipilih mana biji lada yang baik kualitasnya. Caranya, lada yang telah direndam itu dituangkan ke dalam tangguk, wadah untuk membersihkan lada, dengan cara menggasak biji-biji lada itu hingga terkelupas kulitnya. Lalu, dibersihkan dengan air sungai yang harus bersih pula.

Nah, saat proses pemisahan biji lada dari tangkai dan kulit, biasanya akan menimbulkan aroma yang kurang sedap. Maklum saja, biji lada yang direndam beserta tangkai dan kulitnya itu, terkadang dengan daun lada yang ikut masuk ke dalam karung bermalam-malam lamanya, memang menimbulkan bau yang menusuk penciuman. Tapi jangan khawatir, justru itulah sensasi membersihkan lada di sungai. Saya pun pernah mencobanya.

Langkah selanjutnya, lada-lada itu dijemur menggunakan wareng, wadah yang dirancang khusus dengan celah-celah, agar air mudah merembes dan lada cepat kering. Selain itu, untuk mengeringkan lada tentu dibutuhkan sinar matahari yang cukup. Apabila tidak, maka warna lada biasanya tidak putih berseri, melainkan agak kecoklat-coklatan.


Untuk melihat apakah lada sudah kering atau belum, cukup digigit saja. Apabila saat digigit biji lada cuma berbelah menjadi dua, itu artinya belum kering atau perlu dijemur lagi. Lada yang sudah kering dan siap untuk diekspor, adalah lada yang apabila digigit bijinya terbelah menjadi beberapa bagian, lebih dari dua. Unik bukan?

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di travel.detik.com dengan judul "Nah, Begini Rupanya Cara Mengolah Merica di Bangka" oleh penulis yang sama)

NGERI! MENONTON BUAYA NGAMUK DI BANGKA


Banyak objek wisata keren di Pulau Bangka yang belum banyak wisatawan tahu. Pemandian Air Panas Tirta Tapta Pemali tidak hanya menawarkan air panas, tapi juga kolam penangkaran buaya yang buas. Tonton aksi para buaya ini! Nah, satu lagi tempat wisata menarik yang semakin meneguhkan posisi Pulau Bangka sebagai destinasi wisata dengan pilihan tempat liburan yang beragam. Selain pantai elok yang jumlahnya sulit dihitung dengan jari, ada objek wisata lain yang selalu ramai diserbu warga menjelang liburan, yakni Pemandian Air Panas Tirta Tapta yang terletak di Pemali, Kabupaten Bangka (Induk).



Oleh sebuah perusahaan yang mengelola sumber air panas, tempat ini dijadikan sebuah tempat wisata. Tempat ini diberi nama Pemandian Air Panas Tirta Tapta Pemali. Namun karena dari dulu orang mengenalnya sebagai Pemandian Air Panas Pemali, sampai sekarang nama itupun tetap melekat sebagai nama yang familiar di telinga warga. Apalagi, sumber air panas ini memang berada di sebuah daerah bernama Pemali.

Letak objek wisata yang satu ini cukup dekat dengan pusat Kota Sungailiat, kota terbesar kedua di Pulau Bangka. Cuaca di sekitar kawasan ini pun cukup dingin, karena berada di antara sejumlah perbukitan yang masih ditumbuhi hutan lebat. Di kawasan Pemandian Air Panas Pemali, disediakan sejumlah wahana bermain, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, sepeti perahu air aneka bentuk, waterboom, dan masih banyak wahana lain.


Nah, saat berkunjung dulu, tiba-tiba dari sudut terdengar keramaian yang tak biasa. Setahu saya, sudut itu merupakan tempat dimana flora dan fauna dikoleksi. Penasaran, akhirnya saya mendekati tempat itu. Apa yang terjadi? Astaga, ternyata sedang ada pertunjukkan buaya ganas yang diberi umpan hewan hidup oleh pawangnya! Siapa saja pasti tahu akan binatang yang satu ini. Mengerikan, saya melihat orang-orang bergidik menikmati pertunjukkan itu, termasuk saya.

Selain itu, sesuai namanya, tentu saja yang menjadi daya tarik objek wisata ini adalah sumber air panas yang selalu menjadi tujuan utama wisatawan setiap bertandang ke sini. Selain itu, ada pula kolam renang biasa yang digunakan untuk bermain air, setelah sebelumnya asyik berendam dalam air panas. Pokoknya, masih banyak wahana lain yang bisa dinikmati di sini.

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di travel.detik.com dengan judul "Ngeri! Menonton Buaya Ngamuk di Bangka" oleh penulis yang sama)

Kamis, 24 April 2014

INI DIA KERUPUK PALING SEDAP DARI BANGKA


Seusai liburan di Pulau Bangka, biasanya traveler membawa buah tangan kerupuk kemplang atau panganan berbahan tenggiri lain. Nah, selain itu ada oleh-oleh lain yang sama-sama enak, kerupuk getas namanya. Mau?

Sebagai daerah kepulauan yang dikelilingi lautan dengan potensi hasil laut yang melimpah, menjadikan Pulau Bangka punya banyak makanan yang berasal dari hasil laut. Seperti ikan, kepiting, cumi, atau udang, serta aneka hasil laut yang lain. Sehingga, tak heran bila makanan khas dari daerah ini juga komposisi utamanya sebagian besar adalah hasil-hasil laut itu. Seperti getas misalkan, salah satu kerupuk khas Pulau Bangka. Di Pulau Bangka, sebagian masyarakat menyebutnya keritek. Namun ada pula yang menyebutnya peletek.


Liburan di Pulau Bangka tapi tak singgah di toko oleh-oleh, sangat sayang sekali rasanya. Apalagi di toko-toko itu dijual aneka macam makanan khas Pulau Bangka yang cita rasanya sudah melegenda. Salah satu makanan khas daerah ini yang paling banyak diburu adalah getas. Getas terbuat dari ikan yang dicampur dengan sagu rumbia, bukan tepung biasa. Biasanya, getas yang ada di Pulau Bangka terbuat dari ikan tenggiri, salah satu jenis ikan terbaik yang dagingnya empuk untuk dijadikan makanan apa saja.



Mengenai rasa, tak usah diragukan lagi. Cita rasa ikan kental terasa dimulai dari gigitan pertama, sampai kita selesai mengunyah lalu menelannya. Sekalipun getas dibuat perpaduan antara ikan tenggiri dengan sagu rumbia, serta penyedap rasa yang lain. Bukan berarti rasa ikan tenggiri hilang begitu saja. Justru, rasa ikan tenggiri di oleh-oleh khas Pulau Bangka ini jelas terasa. Sebab komposisi antara sagu rumbia dengan ikannya cukup seimbang.

Pembuatan getas juga cukup unik. Apabila pada pembuatan kerupuk biasa, adonan terlebih dahulu harus diuapkan dengan air mendidih, lalu dijemur hingga kering lantas baru digoreng. Maka tidak demikian dengan pembuatan getas. Adonan getas begitu sudah dipotong-potong, langsung bisa digoreng saat itu juga tanpa harus menunggu proses selanjutnya sebagimana pembuatan kerupuk. Wah, unik sekali bukan?


Nah, di Pulau Bangka, makanan yang satu ini sangat mudah ditemukan. Hampir bisa ditemui ditoko oleh-oleh di sana. Saya pun setiap kali pulang ke Pulau Bangka, selalu membawa getas untuk dibagi-bagi pada teman-teman. Setahu saya, jenis getas ada dua macam, getas yang panjang dan getas yang pendek atau bulat-bulat. Tapi rasanya sama saja. Anda pun harus pintar-pintar memilih mana getas yang benar-benar enak dan mana yang rasanya hanya lumayan. Saran saya, biasanya semakin mahal harganya, maka kualitas getas pun semakin bagus. Selain getas, masih banyak jenis makanan ringan lainnya dari Pulau Bangka yang tak kalah enaknya. Semuanya terbuat dari beragam jenis hewan laut. Wah, penasaran bukan?

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di travel.detik.com dengan judul "Ini Dia Kerupuk Paling Sedap dari Bangka" oleh penulis yang sama)

KEPINCUT LEZATNYA RAWON DI RANU PANE


Saat menuruni Gunung Semeru yang makin hits gara-gara film '5 Cm', traveler akan menemui kuliner rawon Ranu Pane yang khas. Kuliner itu sungguh lezat dan pas untuk mengobati lelah setelah mendaki gunung. Saat pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Jawa, saya merasa tidak cocok dengan masakannya. Apalagi sebagian besar makasan Jawa didominasi rasa manis.


Dari dulu, saya memang tidak suka dengan masakan manis, sekalipun saya sudah berusaha untuk menikmati masakan itu. Namun, ternyata ada masakan Pulau Jawa yang berhasil membuat saya sampai sekarang terus menyukainya, yakni rawon. Menurut cerita yang saya dengar rawon itu makanan khas daerah Jawa Timur. Saya sudah sering mendengar nama makanan itu selama tinggal di Pulau Jawa. Hanya saja tak berniat mencobanya oleh karena sudah menyadari bahwa lidah saya sepertinya memang tidak cocok dengan masakan di sana.

Dulu, waktu sarapan pagi di sebuah hotel di Surabaya, saya bertanya perihal makanan yang sedang dilahap orang salah seorang teman. Itu rawon katanya, makanan asli daerah Surabaya. Saya cuma berkata "oh", tak pula hendak mencobanya, sekalipun teman saya itu sudah menjelaskan komposisinya dengan rinci. Nah, perjalanan dari Ranu Kumbolo menuju Ranu Pane, teman-teman saya sepanjang jalan berteriak memberi semangat kepada diri sendiri. Intinya, mereka menyebutkan nama rawon dan es teh berulang kali. Mereka sengaja menyebut-nyebut makanan dan minuman itu biar terus semangat melawan rasa letih menuruni pundak pegunungan. Saya hanya senyum-senyum dan heran-heran sendiri. Lantas berpikir selezat apa makanan itu sehingga mereka dengan semangat yang luar biasa seolah-olah hendak melahapnya satu ember sekalipun.

Singkat cerita, sampailah di Ranu Pane. Seraya menghilangkan rasa lelah, kami duduk di sebuah warung kantor milik Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Lantas, mereka langsung memesan rawon dan es teh. Saya bertanya ada menu apa saja, namun teman-teman saya memberi saran agar saya mencoba rawon Ranu Pane saja yang katanya enak luar biasa. Saya pun mencobanya. Alamak, rawon yang saya kira rasanya tak lebih dari makanan Jawa yang lain, yang tidak cocok di lidah saya yang berlidah jenis Sumatera. Ternyata enaknya bukan main!

Saat itu, saya langsung berkata kepada teman-teman saya. Rawon adalah makanan Jawa pertama yang berhasil membuat saya jatuh cinta. Saya sampai memesan dua piring rawon kala itu. Mulanya, teman saya mengira saya menyukainya karena terlalu lapar, Nyatanya, mereka salah. Saya benar-benar menyukai hingga sekarang. Untung saja, rawon juga banyak dijual di Yogyakarta, sekalipun rasanya tak seoriginal yang di Ranu Pane.

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di travel.detik.com dengan judul "Kepincut Rawon di Ranu Pane" oleh penulis yang sama)

SEPINYA JAKARTA DI AKHIR PEKAN


Kehidupan Jakarta yang keras sepertinya sirna pada akhir pekan. Inilah saatnya menikmati sore yang relatif tenang dan dihibur ondel-ondel di jalanan. Suatu sore, bersama sepupu saya, Debri, secara kebetulan kami bertemu dengan ondel-ondel. Itulah kali pertama saya melihat secara langsung ondel-ondel.

Selama di Jakarta, menjelang malam kami kadang kala menikmati sore di Jakarta dengan mengelilinginya menggunakan TransJakarta. Sebagai orang dari daerah, melihat-lihat ibukota sendiri dengan segala pemandangan dan permasalahannya merupakan hal yang sangat menarik. Apalagi, tak macam kota lain, Jakarta menyajikan pemandangan kompleks yang apa saja ada di dalamnya. Orang sering mengatakan, mulai dari hal buruk sampai hal terbaik, semuanya menyatu di Jakarta.

Pada sebuah sore, saya dan sepupu saya, Debri berangkat hendak menikmati sore Jakarta dari Utan Kayu di Jakarta Timur. Setelah membeli tiket TransJakarta, kami menunggu beberapa menit dalam shelter sebelum akhirnya bus datang. Sepanjang jalan, pemandangan khas kota Jakarta dengan gedung yang menjulang tinggi, sampai sungai-sungainya yang berwarna coklat pun kami saksikan dengan saksama. Itulah Jakarta, ibukota negeri ini.




Singkat cerita, akhirnya kami memutuskan turun pada sebuah shelter, saya lupa tepatnya dimana, masih di Jakarta Timur. Saat turun, tiba-tiba kami mendengar suara sorak-sorai yang begitu ramai. Ada apa ini? Oh, ternyata ada segerombolan ondel-ondel yang sedang melintas di bawah sana. Cepat-cepat, kami turun dri shelter, mendekati gerombolan ondel-ondel yang sedang berjoget di tepi jalan. Wah, lucu sekali ternyata. Itulah pengalaman unik saya saat jalan-jalan sore mengelilingi Jakarta. Siapa pun, apabila beruntung, sesekali pasti bertemu dengan segerombolan ondel-ondel ini yang tampaknya selalu mengelilingi Jakarta setiap hari. Ah, Jakarta, unik sekali dirimu.

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di travel.detik.com dengan judul "Sepinya Jakarta di Akhir Pekan" oleh penulis yang sama)

Selasa, 22 April 2014

ADA BUNDA MARIA DI GUA BELINYU BANGKA


Selain menyajikan keindahan pantai dan wisata kuliner, masih banyak objek wisata yang ditawarkan Pulau Bangka. Cobalah wisata religi ke Gua Maria Belinyu, di utara Pulau Bangka. Gua ini menggambarkan indahnya toleransi. Tepatnya di kota kecil Belinyu, ada objek wisata rohani yang ramai dikunjungi pada akhir pekan, yakni Gua Maria Belinyu. Oleh sejumlah travel agent, Gua Maria Belinyu bahkan selalu masuk daftar destinasi untuk dikunjungi.



"Bunda Maria Pelindung Segala Bangsa", itulah kalimat yang akan menyambut kita bila bertandang ke sana. Tulisan itu tertera pada sebuah batu berwarna hitam. Sebetulnya, itulah nama resmi gua ini, yakni Gua Maria Pelindung Segala Bangsa. Namun, karena terletak di kota kecil Belinyu, maka selanjutnya gua lebih terkenal dengan sebutan Gua Maria Belinyu. Pada zaman dahulu, tempat dimana Gua Maria Belinyu berdiri sekarang adalah tempat pelarian penduduk lokal pada zaman penjajahan Jepang. Seiring perjalanan waktu, sebuah keluarga yang sebelumnya menjadi pemilik sah tanah itu menghibahkan tanahnya ke Paroki Belinyu di bawah Keuskupan Pangkalpinang.


Menurut catatan yang ada di kawasan gua itu, pembangunan gua dimulai pada 8 Februari 1997 dan diresmikan pada 8 Desember 1999, setelah mengalami beberapa kali penghentian akibat krisis moneter. Saat memasuki kawasan Gua Maria Belinyu, kita akan disambut oleh hawa yang sejuk sekali. Maklum saja, Gua Maria Belinyu memang berada agak di atas ketinggian, yakni di atas Bukit Mo Thian Liang yang berarti Bukit Menggapai Langit.

Gua ini terdiri dari dua bagian, bagian bawah dan bagian atas, masing-masing dihubungkan jalan berkelok sarat makna yang dinamai jalan salib, yang menceritakan perjalanan Yesus Kristus membawa ajaran Tuhan. Gua Maria Belinyu selalu ramai dikunjungi wisatawan pada akhir pekan, apalagi pada bulan-bulan tertentu dimana umat Katholik menjalankan ibadahnya di gua itu. Bahkan, wisatawan yang datang pun banyak yang berasal dari luar negeri, begitu ujar seorang penjaga gua bercerita.

 
Sekalipun ini merupakan tempat bagi umat Katholik, namun siapa saja boleh masuk tanpa memandang suku dan agama. Itulah keindahan toleransi yang ada di Pulau Bangka. Seperti Gua Maria Belinyu ini saja misalnya, ternyata dibangun oleh seorang pemeluk agama Islam. Sama seperti Masjid Istiqlal di Jakarta yang dirancang oleh SF Silaban, yang juga bukan seorang Muslim. Nah, bila berlibur ke Pulau Bangka, siapa pun Anda bisa berkunjung ke tempat ini.

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di travel.detik.com dengan judul "Ada Bunda Maria di Gua Belinyu Bangka" oleh penulis yang sama)