Jumat, 18 Desember 2015

IYOPO (PERSEMBAHAN UNTUK ADAM)

"Apabila boleh mengatakan hal yang sesungguhnya, kukatakan bahwa tulisan sederhana ini adalah salah satu tulisan yang paling sulit kuselesaikan. Suadah lebih dari sebulan yang lalu kusiapkan. Setengah selesai, kuhapus karena merasa ada yang tidak pas. Sempat beberapa kali berubah tata urutannya, lalu malam ini sekuat tenaga tulisan ini harus aku selesaikan sebelum tahun berganti menjadi 2016. Mungkin, terlampau banyaknya cerita yang kami alami, sehingga sulit mengabadikannya hanya pada satu halaman blog yang sederhana ini."

Terakhir kali bertemu Adam adalah saat dia diwisuda menjadi M.H.

Seorang ibu, yang aku yakin dengan penuh rasa bangga, menulis di akun jejaring sosial dengan ciri khas warna biru yang ia miliki. Pada tulisan itu, ia sertai pula beberapa buah foto. Adapun isi tulisannya kurang lebih begini,”Mengantar anak mbarep untuk memenuhi penempatan pertama sebagai PNS (auditor) pada kantor BPK Ambon. Selamat jalan, Nak. Do’a Mama selalu menemanimu.Jadilah auditor yang amanah dan professional, jaga kesehatan, jaga shalat, jaga persahabatan dengan kawan-kawan.” Pada kolom komentar, tak lupa aku menulis,”See you ASAP (maksudnya as soon as possible) Adam Wijaya Medantara, sukses selalu  anak Bu Endang.” Beberapa menit berlalu,komentar yang aku kirim itu kemudian disukai oleh sang ibu yang tulisannya aku komentari. Aku cukup mengenal ibu itu, pun (mungkin) beliau terhadapku. Bagaimana aku tak mengenalnya, orang dulu anaknya tak berhenti menyebut-nyebut nama ibunya itu saban kami bercerita apa dan entah dimana.

Satu hari kemudian, komentarku itu rupanya ditanggapi oleh sang ibu,”Terimakasih, Mas Darwance. Tetap bersahabat baik dengan Adam Wijaya Medantara ya. Main-mainlah ke Purwokerto, kami tunggu.” Entah kenapa, aku terharu membaca komentar itu. Setelahnya, terurailah dalam kepalaku saat kali pertama menginjakkan kaki di Yogyakarta, berjuang mengikuti serangkaian seleksi untuk bisa kuliah di salah satu universitas ternama di sana, lalu bertemu dengan seorang kawan yang bagaimanapun telah memberi warna yang berbeda selama aku di tanah Sri Sultan Hamengku Buwono itu.

***
                Hari itu, aku begitu gembira. Betapa tidak, setelah sempat tertunda selama satu tahun, jadilah akhirnya aku menginjakkan kaki di Yogyakarta. Ya, aku kuliah lagi. Pagi-pagi, sebagaimana undangan yang aku terima, aku sudah meninggalkan kos salah seorang kawan tak jauh dari Ring Road Utara. Semangat sekali aku pagi itu. Sungguh tak sabar rasanya berjumpa dengan dosen-dosen hebat yang konon banyak mengajar di sini. Sesampainya, tak lepas mataku memandang setiap orang yang aku jumpai. Harapannya, siapa tahu satu atau dua orang dari mereka adalah orang yang mukanya sering aku lihat di layar televisi. Maklum, sebagai kampus kelas kakap, aku yakin begitu banyak orang terkenal di sini. Dugaanku benar rupanya. Pada sebuah sisi, kulihat salah seorang laki-laki rapi dengan setelan jas hitamnya yang gagah, sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang dihadapannya, yang pun tak kalah terkenal. Mereka adalah ahli-ahli hukum hebat negara ini.

                Hari itu agendanya adalah kuliah perdana. Usai acara, digiringlah kami menuju sebuah ruangan sesuai dengan program studi yang kami pilih saat mendaftar dulu. Ceritanya, setelah disatukan pada satu ruangan pada kuliah perdana yang materinya disampaikan oleh salah seorang akademisi hebat dar Jakarta, rector pula, dibagilah kami menjadi lima, sesuai jumlah jurusan yang ada di kampus itu. Cepat-cepat, terlampau semangatnya,masuklah aku pada sebuah ruangan sebagaimana instruksi. Sembari menunggu yang lain masuk, aku duduk pada sebuah kursi empuk lengkap dengan meja yang memanjang. Melihat itu, pikiranku langsung terbang ke Senayan. Ya, tempat duduknya mirip dengan yang dimiliki oleh wakil rakyat yang terhormat di gedung kura-kura sana. Bedanya, di sini kami diawasi oleh potret orang hebat yang sudah menyandang gelar guru besar, terpatri dengan rapi di sisi kanan dan kiri ruangan.

                “Hai,” salah seorang gadis mungil tiba-tiba melambaikan tangannya saat berjalan di hadapanku, menuju sebuah kursi bersama seorang temannya yang sempat menarik perhatianku saat kuliah perdana berlangsung. Siapa pula gadis ini? Sok kenal betul tampaknya. Lama aku mengingatnya, sebab tiba-tiba aku merasa pernah bertemu dengan gadis ini. Selang beberapa menit, belum pula aku membalas senyuman gadis itu. “Hai,” kataku akhirnya seraya tak lupa tersenyum.” Aku baru ingat, dialah gadis berhijab yang aku kenal saat hendak mengikutu tes wawancara tempo hari.

                Setelah berpaling dari gadis itu, kudapati ruangan mulai terisi oleh orang-orang yang datang. Kutatap mereka satu demi satu. Beberapa orang dari mereka sudah kukenal mukanya. Salah satunya adalah laki-laki mirip Limbad yang dulu sempat membuat darahku mendidih saat seleksi wawancara. Diterima pula rupanya dia. Hari itu, laki-laki  mirip Limbad bukanlah orang pertama yang membuatku terhenyak. Di hari yang sama, aku mendapati beberapa orang aneh (dalam tanda kutip), yang kelak ternyata menjadi kawan-kawanku selama hampir 2 tahun aku di sini. Pertama, aku terhenyak oleh seorang perempuan berpenampilan tak ada beda dengan laki-laki. Setelahnya,kembali  aku terpukau oleh perempuan pengibas rambut manakala kuliah perdana sedang berlangsung dengan khidmatnya. Heran betul aku dengan perempuan itu. Dengan penuh rasa percaya diri, ia kibas-kibaskan rambutnya yang terburai itu tanpa henti.

Acara kuliah perdana usai, kembali aku dibuat terhenyak oleh seorang bapak-bapak, yang pun mahasiswa baru. Saat itu, kami sudah dibagi berdasarkan program studi. Bapak-bapak itu datang manakala acara sudah dimulai. Penampilannya sangatlah rapi, khas bapak-bapak kantoran dengan sepatu yang menyilaukan mata. Hanya saja, bukan itu yang membuatku geleng-geleng kepala. Apalagi bila bukan berlusin-lusin handphone yang ia miliki. Saat beliau duduk, disusunlah aneka rupa jenis handphone itu di atas meja. Sesekali salah satu diantanya bordering. Siapa pula manusia ini?

Hal menjengkelkan kembali menimpaku hari itu. Penyebabnya adalah tingkah seorang mahasiswa baru yang sering betul berteriak-teriak tak jelas tak tentu arah. Dia duduk di barisan kursi paling belakang. Soal manusia terakhir ini, rupanya memang tak begitu jelas orangnya. Sering lenyap tanpa berita. Seiring berputar waktu, dia justru menjadi ketua organisasi di program studi kami! Setelahnya, tersiar kabar bahwa dia diterima oleh korps Adhiyaksa untuk mewakili negara pada setiap pelanggaran pidana yang terjadi. Setelahnyanya lagi, terkirim undangan bahwa dia akan menikah. Duh, mengapa manusia tak jelas macam ini bisa mujur sekali nasibnya? Begitulah. Bila memang sudah jalan dari-Nya, mau dikatakan apalagi?

Dalam rasa jengkel itu, kudapati sepotong wajah dengan ekpresi tak menentu. Apalagi saat sesekali namanya disebut-sebut sebagai kandidat ketua kelas oleh orang yang suka teriak-teriak dengan logat Sunda yang kental itu. Melihatnya, sebuah pertanyaan klasik tiba-tiba muncul,”Mengapa setiap jenjang pendidikan yang aku tempuh, aku selalu bertemu dengan kawan bertubuh makmur?” Seingatku, hanya semasa SD aku tak berkawan dengan orang dengan ukuran badan laksana setumpuk jerami. Boleh dibilang, teman SD-ku malah kurus-kurus. Nah, saat masuk MTs, mulailah aku bersahat baik dengan orang berbadan tambun. Di MTs, aku berteman baik dengan Ramayanti, manusia pengikut Albert Einstein yang diberikan soal Matermatika dalam bentuk apa pun, pasti dilahapnya dengan tandas. Sekarang, kawanku itu memang mengabdi sebagai guru Matematika. PNS pula.

                Saat SMA, lagi-lagi aku bertemu dengan kawan baik bertubuh tambun. Laki-laki kali ini. Namanya Sepriyandi. Cukup lama aku berkawan dengan dia, sampai akhirnya kami berpisah saat tamat SMA. Dia, setahuku, melanjutkan sekolahnya di sebuah univesitas di kota kembang Bandung, sedang aku harus ikhlas kuliah di kampung halaman kami di Pulau Bangka. Setelahnya, aku dengar dia berhasil lolos sebagai seorang PNS di lingkungan Pemerintah Kota Pangkalpinang. Sekarang, kawanku yang satu ini sedang menempuh pendidikan S2-nya, lagi-lagi di Parijs van Java.

                Manakala aku memutuskan untuk kuliah di Fakultas Hukum, kembali aku dipertemukan dengan seorang kawan berbadan syarat lemak. Alamak, kali ini betul-betul tambun dalam segala hal, termasuk suaranya yang cetar membahana (meminjam istilah Princess Syahrini). Namanya Renilda. Lulus kuliah, bersama Leo Erika, sahabatku yang lain, dia memilih untuk menjadi notaris dengan melanjutkan kuliah di Magister Kenotariatan FH Unpad di Bandung. Sementara aku memilih untuk ikut seleksi di sebuah kampus negeri di Semarang. Merasa kurang nyaman di ibukota Jawa Tengah itu, akhirnya aku nekad ikut seleksi di kampus negeri ternama di Yogyakarta. Sebab terlampau pesimis tak akan lulus, aku pun mendaftarkan diri untuk ikut seleksi di salah satu kampus swasta di kota itu yang setahuku kualitas Fakultas Hukum-nya tak kalah baik dengan kampus negeri itu. Alhamdulillah, tanpa diduga, aku dinyatakan lulus dikampus negeri. Alhasil, aku meninggalkan kampus di Semarang yang beberapa hari sebelumnya pun menyatakan menerimaku sebagai mahasiswa mereka, sekaligus urung melanjutkan proses seleksi di kampus swasta sekalipun berulang-ulang kali aku dihubungi.

                Maka, hari itu, kembalilah aku dipertemukan dengan orang bertubuh sejahtera. Bila tak salah mengingat, hari itu dia mengenakan pakaian formal dengan sebuah rompi yang membalut badannya yang sesak berisi. Laki-laki yang satu ini pasti sedang sulit bernafas, pikirku kala itu manakala melihat perutnya yang seolah meronta hendak merobek bajunya yang dikancing nyaris tanpa celah. Dari kacamata yang dia kenakan, kusimpulkan dia pasti memiliki otak yang brilian. Dugaanku rupanya tak meleset sekalipun hanya satu senti. Dia lulusan Internatiaonal Undergraduate Progaram (IUP) di sebuah fakultas hukum terkenal di Yogyakarta. Dia pun menguasai beberapa bahasa asing, diantaranya Bahasa Arab dan Bahasa Perancis. Soal Bahasa Inggris, tak usah lagi ditanya. Demi meraih gelar akademisnya yang kedua, dia pun menggunakan Bahasa Inggris di tesisnya. Dialah Adam Wijaya Medantara, yang fotonya terpajang gagah di akun sosial milik sang bunda. Itulah kali pertama aku melihat Adam. Hanya saja,saat itu aku belum langsung akrab dengan dia. Ya, aku masih malu. Aku belum percaya diri untuk bergaul dengan mereka.

***
                “Iyopooo?” begitu reaksi Adam bila mendengar hal-hal yang sulit ia percayai. Suatu hari, pernah kuutarakan suatu hal padanya. Dengan santai, kukatakan kepadanya, “Beb, ternyata Mbak Dhuma itu sudah janda!” Dengan ekpresi muka macam baru saja melihat seekor hantu, keluarlah satu kata itu,”Iyopooo?” Padahal, aku sedang berbohong.

                Soal kapan aku akbrab berkawan dengan Adam, aku tak begitu mengingatnya. Seusai acara minggu keakraban di salah satu desa di lereng Gunung Merapi, mulailah aku sering bersama-sama dengannya. Hari itu, selesai kuliah, kami dan beberapa kawan lain tak langsung pulang. Melalui komputer kelas yang terkoneksi langsung dengan sebuah proyektor,  ditampillah oleh Adam foto-foto pada acara minggu keakraban itu. Dengan seksama, kami lihat foto itu satu demi satu. Apabila ada foto yang aneh, berderailah tawa kami seantero kelas. Mulai saat itu, baru aku tahu bila sudah tertawa, Adam bisa terpingkal-pingkal laksana traktor sedang membajak sawah. Pernah suatu kali, seringkali tepatnya, Adam tertawa hingga harus menutup mulutnya dengan apa pun sebab tak kuasa dia menahan tawanya untuk berhenti. Seiring berjalannya waktu, aku dan Adam semacam sudah ada kemistri, begitu orang zaman sekarang menyebutnya. Bila aku sudah memanggilnya untuk mendekatiku, belum sempat aku mengatakan hal apa pun, Adam pasti sudah tertawa terlebih dahulu. Begitu pula sebaliknya. Itulah sebabnya mengapa kemudian, setiap kali masuk kelas hendak mengikuti kuliah, aku selalu menghindari duduk dekat dengan Adam, apalagi bila sudah harus duduk berdampingan. Duduk saling berjauhan saja bila ia sudah menoleh ke arahku, langsung terdengarlah suara cekikikan dia tertawa. Padahal, kami hanya saling tatap. Duh, benar-benar gila!

                Manakala liburan kuliah tiba, kadang aku tak pulang ke Pulau Bangka. Maka, beramai-ramailah kami berpetualang, termasuk Adam. Banyak tempat yang terlah kami kunjungi, dari ujung Pulau Jawa yang satu ke ujung Pulau Jawa yang satunya lagi. Suatu hari, sempatlah Adam mengajak kami mengunjungi Dieng, salah satu surga di Pulau Jawa yang terletak di antara Wonosobo dan Banjarnegara, dua-duanya disebut Adam sebagai kampung halamannya. Dua kali Adam mengajak kami ke sana. Sesungguhnya aku bingung mana kampung halaman kawanku yang satu ini. Saat orang memuja-muji Wonosobo, dia mengaku sebagai orang Wonosobo. Saat sedang hangat-hangatnya orang membicarakan Chris John atau Ebiet G. Ade, dengan bangga dia bilang kalau dia orang Banjarnegara. Sekarepmu, Dam, begitu kata orang Jawa.

                Bingung hendak mau kemana, biasanya kami hanya mengitari Yogyakarta, seraya tertawa terbahak-bahak tak tentu rimba. Siapa yang kami tertawakan, pun tak tahu pula kami. Yang jelas, kami menertawakan diri kami sendiri. Begitulah cara kami menikmati hidup di tanah orang. Saat mengitari kota itulah, suatu ketika Adam bertanya, “Siapa sih, Beb, yang sering bilang iyopo-iyopo itu? Sering betul kamu meniruinya?” Duh, rupanya Adam tak sadar bila dialah orang yang sering mengucapkan kata itu. Maka, kujawablah dengan ringan dengan bahasa Jawa yang aku kuasai, “Yo kowe…”

                “Iyopooo?” begitu reaksi Adam, seraya menutup mulutnya menahan tawa.

                “Haha…Apa aku bilang?”

***

                Sore itu, Adam menjemputku di kantor pos di Jalan Mataram Yogyakarta. Sengaja aku menghubungi dia, sebab dia adalah salah seorang kawan yang menemaniku hari-hari terakhirku di sana. Lagipula, kos Adam yang ia bangga-banggakan karena katanya sempat pula ditempati Prof.Mahfud MD itu, letaknya tak jauh dari kantor pos itu. Setelah urusanku mengirim kembali sepeda motor yang menemaniku dari SMA itu ke Pulau Bangka, aku duduk seorang diri. Lama aku menunggu Adam yang katanya masih ada sedikit pekerjaan, entah itu apa. Sempat menghabiskan beberapa potong es krim yang aku beli dari seorang bapak-bapak yang dengan semangatnya meraih rezeki di antara Yogayakarta yang kian sesak, Adam pun tiba dengan jaket hitamnya yang khas.

                “Setelah ini, apa rencanamu, Beb?” tanya Adam setelah Hondra Supra Fit yang membawa kami terseok-seok melewati jalan sempit, tembus ke Stasiun Lempuyangan. “Tetap ingin menjadi seorang dosen?”

                “Iya, sepertinya begitu, Beb. Ingin sekali aku menjadi seorang pengajar macam Pak Parip,” kataku seraya memegang punggung Adam takut kalau-kalau sepeda motor ini akan terpental akibat terlalu  beratnya beban yang ia bawa. “Kamu sendiri bagaimana?”

                “Soal itu, belum tahulah aku, Beb. Kamu tahu sendirilah bagaimana tesisku sekarang. Setelah berbulan-bulan lamanya, tak kunjung ada kabar dari pembimbingku. Sibuk betul dia akhir-akhir ini,” jawab Adam panjang lebar. Ia begitu murung tampaknya.

                “Bagaimana bila kamu datangi terus dia di ruangannya?” kataku sok-sok memberi solusi. “Pokoknya, kamu harus wisuda di bulan Januari. InsyaAllah, bila ada rezeki, aku akan datang!”

                “Harus datanglah, Beb. Bukankah dulu kamu pernah berjanji kepada kami, bahwa kamu akan kembali ke sini bila kami sudah mengenakan toga bersayap? Haha…”

                Lepaslah tawa kami berdua yang sudah macam angka 10 sedang diarak keliling kota itu. Canda Adam soal toga bersayap membuatku terkenang  akan hari-hari pertamaku tinggal di Yogyakarta. Saat itu, belum satu bulan rasanya kami kuliah. Persahabatan antara kami pun sedang terjalin dengan hangatnya. Ibarat manusia, persahabatan kami adalah seorang balita yang selalu mengundang gelak tawa bila sudah berkumpul sama-sama. Pandai betul kawanku yang satu itu membuat kami tertawa terpingkal-pingkal sepanjang jalan macam orang gila. Alhasil, tak sadar kami sudah tiba di depan sebuah toko buku. Pada Adam, aku memang meminta cukup diantar pada salah satu toko buku langgananku selama menimba ilmu di tanah istimewa itu.

                “Sampai jumpa lagi, Beb. Hati-hati besok lagi, kuusahakan besok untuk datang ke bandara,” begitu kata Adam sebelum memacu sepeda motor dengan sebuah logo paling ia banggakan yang tertempel di bagian belakang. Aku iyakan saja niat baiknya itu, sekalipun dalam hati aku tak yakin besok pagi dia bakal datang ke bandara. Bagaimana mau datang ke bandara hanya untuk menganatar seorang kawan yang akan pulang, dia sendiri saja pernah gagal terbang sebab mimpinya yang terlampau panjang. Durasi tidurnya lama! Apalagi ketika aku beritahu kepadanya soal jam keberangkatanku besok pagi, matanya langsung terbelalak seraya mengatakan,”Hah? Pagi betul?!!!” Ah, Sudahlah. Besok pagi, lagi-lagi dugaanku terbukti. Batang hidung Adam yang memang tak punya batang itu tak tampak kehadirannya di Bandar Udara Internasional Adi Sutjipto.

                “Beeeeeb, kamu sudah di bandara? Ma’aaaaf, aku ketiduraaaaan…”

                “Hehe…Gapapa-gapapa,” jawabku meniru gaya bicara seorang kawan. Soal kawanku yang satu ini, kelak akan kuceritakan di lain waktu.

***
                Itulah percakapan singkat aku dengan kawanku Adam, di hari-hari terakhirku di Yogyakarta. Beberapa minggu setelah diwisuda, aku memutuskan untuk kembali ke kampung halamanku di Pulau Bangka. Setelahnya, lama aku tak berjumpa dengan Adam. Sampai akhirnya aku mendengar kabar baik tentang Adam, tak pula aku bertemu dengan dia. Saat itu, Adam dikabarkan diterima menjadi PNS di salah satu lembaga yang bertugas memeriksa penggunaan keuangan negara. Sebagai seorang kawan, aku ikut senang. Setahuku, Adam orang yang optimistis, sekalipun dia terkadang kurang siap akan kemungkinan gagal. Suatu hari, terlampau optimisnya, pernah dia dikabarkan sampai menangis tersedu-sedu setelah diketahui olehnya, dia gagal ke tahapan seleksi berikutnya pada seleksi sebuah lembaga negara yang lain. Padahal, dia yakin betul. Soal itu, tak mengapa, apabila sudah masanya, akan selalu ada jalan. Adam adalah salah satu bukti akan hal itu semua. Setelah berjuang tak kenal lelah, jadilah dia pegawai di salah satu lembaga paling prestisius di negara ini.

                Setelah mendengar kabar itu, kupikir aku tak akan bisa lagi bertemu dengan Adam. Apalagi, dengar-dengar dia akan bertugas di Ambon. Untuk kali ini, dugaanku salah. Saat Adam dan beberapa orang kawan lain diwisuda, aku datang. Itulah terakhir kali aku bertemu dengan Adam, sekaligus untuk pertama dan terakhir kalinya bertemu dengan orangtua Adam dan seorang adiknya yang berwajah lucu itu. Setelahnya, aku sempat kembali ke Yogyakarta, namun hingga aku harus kembali meninggalkan kota budaya itu, tak kunjung kami saling bertemu. Berbulan-bulan lamanya aku tak bertemu dengan Adam, hingga kudapati berita kalau Adam akan terbang ke Maluku. Di sana, Adam akan memulai karirnya sebagai abdi negara.

                Pada Adam, kudo’akan semoga kamu bisa menjadi pemeriksa yang amanah, sebagaimana harapan ibumu yang ia tulis itu. Suatu hari, bila ada rezeki, inginlah aku menemuimu di Maluku. Dengar-dengar, itu provinsi elok. Alamnya cantik tak terperi. Semoga suatu saat kita bisa bertemu lagi. Pada Adam, aku ingin kita terus berkawan baik, sebagaimana kita semasa masih sama-sama di Yoagayakarta. Apapun yang terjadi setelahnya, tak mau tahulah aku. Yang aku tahu, aku pernah dan mudah-mudahan akan selalu berkawan baik dengan seorang kawan berkarakter sangatlah unik bernama Adam. Pada Adam ingin kusampaikan, kumohon agar kamu mau berdo’a untukku, agar aku bisa menggapai cita-citaku. Datanglah ketika aku sudah dipertemukan Tuhan dengan tulang rusukku kelak. Datanglah ketiga aku kembali mengenakan toga seraya mempertahankan desertasiku di hadapan begitu banyak penguji. Datanglah ketika aku dilantik menjadi seorang dekan. Datanglah ketika aku menyampaikan pidato ilmiahku menjadi seorang guru besar. Datanglah ketika aku dilantik menjadi seorang pejabat negara di Jakarta. Apabila kamu tak bisa datang pada acara yang kini masih berupa angan-angan itu, bila aku lebih dulu pulang daripada kamu, kumohon engkau untuk datang ketika tubuhku dimasukkan pelan-pelan ke dalam sebuah liang.

Diselesaikan di Pangkalpinang, 18 Desember 2015

2 komentar:

  1. Sudah berkali-kali saya mencari tempat yang menyediakan pesugihan,mungkin lebih dari 15 kali saya mencari paranormal mulai dari daerah jawa garut,sukabumi, cirebon, semarang, hingga pernah sampai ke bali ,namun tidak satupun berhasil, niat mendapat uang dengan jalan pintas namun yang ada malah kehabisan uang hingga puluhan juta, suatu hari saya sedang iseng buka-buka internet dan menemukan website dari MBAH BUDI HARTONO, sebenarnya saya ragu-ragu jangan sampai sama dengan yang lainnya tidak ada hasil juga, saya coba konsultasikan dan bertanya meminta petunjuk pesugihan apa yang bagus dan cepat untuk saya, nasehatnya pada saya hanya disuruh yakin dan melaksanakan apa yang di sampaikan MBAH BUDI HARTONO, semua petunjuk saya ikuti dan hanya 1 hari alhamdulilah akhirnya MBAH BUDI HARTONO membantu saya pesugihan dana gaib 5M yang saya tunggu-tunggu tidak mengecewakan, yang di janjikan cair keesokan harinya, kini saya sudah melunasi hutang-hutang saya dan saat ini saya sudah memiliki usaha sendiri di palembang, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya sering menyarankan untuk menghubungi MBAH BUDI HARTONO di 085256077899 atau kunjungi wibsitenya agar lebih di mengerti KLIK PESUGIHAN DANA GAIB DISINI tidak lansung datang ke jawa juga bisa, saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. alhamdulillah hasilnya sama baik

    BalasHapus
  2. Tulis tentang ayam kicap.

    BalasHapus