"Apabila boleh mengatakan hal yang sesungguhnya, kukatakan bahwa tulisan sederhana ini adalah salah satu tulisan yang paling sulit kuselesaikan. Suadah lebih dari sebulan yang lalu kusiapkan. Setengah selesai, kuhapus karena merasa ada yang tidak pas. Sempat beberapa kali berubah tata urutannya, lalu malam ini sekuat tenaga tulisan ini harus aku selesaikan sebelum tahun berganti menjadi 2016. Mungkin, terlampau banyaknya cerita yang kami alami, sehingga sulit mengabadikannya hanya pada satu halaman blog yang sederhana ini."
Terakhir kali bertemu Adam adalah saat dia diwisuda menjadi M.H. |
Seorang ibu, yang aku yakin dengan
penuh rasa bangga, menulis di akun jejaring sosial dengan ciri khas warna biru
yang ia miliki. Pada tulisan itu, ia sertai pula beberapa buah foto. Adapun isi
tulisannya kurang lebih begini,”Mengantar anak mbarep untuk memenuhi penempatan pertama sebagai PNS (auditor) pada
kantor BPK Ambon. Selamat jalan, Nak. Do’a Mama selalu menemanimu.Jadilah
auditor yang amanah dan professional, jaga kesehatan, jaga shalat, jaga
persahabatan dengan kawan-kawan.” Pada kolom komentar, tak lupa aku
menulis,”See you ASAP (maksudnya as soon as possible) Adam Wijaya Medantara,
sukses selalu anak Bu Endang.” Beberapa
menit berlalu,komentar yang aku kirim itu kemudian disukai oleh sang ibu yang
tulisannya aku komentari. Aku cukup mengenal ibu itu, pun (mungkin) beliau
terhadapku. Bagaimana aku tak mengenalnya, orang dulu anaknya tak berhenti
menyebut-nyebut nama ibunya itu saban kami bercerita apa dan entah dimana.
Satu hari kemudian, komentarku
itu rupanya ditanggapi oleh sang ibu,”Terimakasih, Mas Darwance. Tetap
bersahabat baik dengan Adam Wijaya Medantara ya. Main-mainlah ke Purwokerto,
kami tunggu.” Entah kenapa, aku terharu membaca komentar itu. Setelahnya,
terurailah dalam kepalaku saat kali pertama menginjakkan kaki di Yogyakarta,
berjuang mengikuti serangkaian seleksi untuk bisa kuliah di salah satu
universitas ternama di sana, lalu bertemu dengan seorang kawan yang
bagaimanapun telah memberi warna yang berbeda selama aku di tanah Sri Sultan
Hamengku Buwono itu.
***
Hari
itu, aku begitu gembira. Betapa tidak, setelah sempat tertunda selama satu
tahun, jadilah akhirnya aku menginjakkan kaki di Yogyakarta. Ya, aku kuliah
lagi. Pagi-pagi, sebagaimana undangan yang aku terima, aku sudah meninggalkan
kos salah seorang kawan tak jauh dari Ring Road Utara. Semangat sekali aku pagi
itu. Sungguh tak sabar rasanya berjumpa dengan dosen-dosen hebat yang konon
banyak mengajar di sini. Sesampainya, tak lepas mataku memandang setiap orang
yang aku jumpai. Harapannya, siapa tahu satu atau dua orang dari mereka adalah
orang yang mukanya sering aku lihat di layar televisi. Maklum, sebagai kampus
kelas kakap, aku yakin begitu banyak orang terkenal di sini. Dugaanku benar rupanya.
Pada sebuah sisi, kulihat salah seorang laki-laki rapi dengan setelan jas
hitamnya yang gagah, sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang dihadapannya,
yang pun tak kalah terkenal. Mereka adalah ahli-ahli hukum hebat negara ini.
Hari
itu agendanya adalah kuliah perdana. Usai acara, digiringlah kami menuju sebuah
ruangan sesuai dengan program studi yang kami pilih saat mendaftar dulu.
Ceritanya, setelah disatukan pada satu ruangan pada kuliah perdana yang
materinya disampaikan oleh salah seorang akademisi hebat dar Jakarta, rector pula,
dibagilah kami menjadi lima, sesuai jumlah jurusan yang ada di kampus itu.
Cepat-cepat, terlampau semangatnya,masuklah aku pada sebuah ruangan sebagaimana
instruksi. Sembari menunggu yang lain masuk, aku duduk pada sebuah kursi empuk
lengkap dengan meja yang memanjang. Melihat itu, pikiranku langsung terbang ke
Senayan. Ya, tempat duduknya mirip dengan yang dimiliki oleh wakil rakyat yang
terhormat di gedung kura-kura sana. Bedanya, di sini kami diawasi oleh potret
orang hebat yang sudah menyandang gelar guru besar, terpatri dengan rapi di
sisi kanan dan kiri ruangan.
“Hai,”
salah seorang gadis mungil tiba-tiba melambaikan tangannya saat berjalan di
hadapanku, menuju sebuah kursi bersama seorang temannya yang sempat menarik
perhatianku saat kuliah perdana berlangsung. Siapa pula gadis ini? Sok kenal
betul tampaknya. Lama aku mengingatnya, sebab tiba-tiba aku merasa pernah
bertemu dengan gadis ini. Selang beberapa menit, belum pula aku membalas
senyuman gadis itu. “Hai,” kataku akhirnya seraya tak lupa tersenyum.” Aku baru
ingat, dialah gadis berhijab yang aku kenal saat hendak mengikutu tes wawancara
tempo hari.
Setelah
berpaling dari gadis itu, kudapati ruangan mulai terisi oleh orang-orang yang
datang. Kutatap mereka satu demi satu. Beberapa orang dari mereka sudah kukenal
mukanya. Salah satunya adalah laki-laki mirip Limbad yang dulu sempat membuat
darahku mendidih saat seleksi wawancara. Diterima pula rupanya dia. Hari itu,
laki-laki mirip Limbad bukanlah orang
pertama yang membuatku terhenyak. Di hari yang sama, aku mendapati beberapa
orang aneh (dalam tanda kutip), yang kelak ternyata menjadi kawan-kawanku
selama hampir 2 tahun aku di sini. Pertama, aku terhenyak oleh seorang
perempuan berpenampilan tak ada beda dengan laki-laki. Setelahnya,kembali aku terpukau oleh perempuan pengibas rambut manakala
kuliah perdana sedang berlangsung dengan khidmatnya. Heran betul aku dengan
perempuan itu. Dengan penuh rasa percaya diri, ia kibas-kibaskan rambutnya yang
terburai itu tanpa henti.
Acara kuliah
perdana usai, kembali aku dibuat terhenyak oleh seorang bapak-bapak, yang pun
mahasiswa baru. Saat itu, kami sudah dibagi berdasarkan program studi.
Bapak-bapak itu datang manakala acara sudah dimulai. Penampilannya sangatlah
rapi, khas bapak-bapak kantoran dengan sepatu yang menyilaukan mata. Hanya
saja, bukan itu yang membuatku geleng-geleng kepala. Apalagi bila bukan berlusin-lusin
handphone yang ia miliki. Saat beliau duduk, disusunlah aneka rupa jenis
handphone itu di atas meja. Sesekali salah satu diantanya bordering. Siapa pula
manusia ini?
Hal
menjengkelkan kembali menimpaku hari itu. Penyebabnya adalah tingkah seorang
mahasiswa baru yang sering betul berteriak-teriak tak jelas tak tentu arah. Dia
duduk di barisan kursi paling belakang. Soal manusia terakhir ini, rupanya
memang tak begitu jelas orangnya. Sering lenyap tanpa berita. Seiring berputar
waktu, dia justru menjadi ketua organisasi di program studi kami! Setelahnya,
tersiar kabar bahwa dia diterima oleh korps Adhiyaksa untuk mewakili negara
pada setiap pelanggaran pidana yang terjadi. Setelahnyanya lagi, terkirim
undangan bahwa dia akan menikah. Duh, mengapa manusia tak jelas macam ini bisa
mujur sekali nasibnya? Begitulah. Bila memang sudah jalan dari-Nya, mau
dikatakan apalagi?
Dalam rasa
jengkel itu, kudapati sepotong wajah dengan ekpresi tak menentu. Apalagi saat sesekali
namanya disebut-sebut sebagai kandidat ketua kelas oleh orang yang suka
teriak-teriak dengan logat Sunda yang kental itu. Melihatnya, sebuah pertanyaan
klasik tiba-tiba muncul,”Mengapa setiap jenjang pendidikan yang aku tempuh, aku
selalu bertemu dengan kawan bertubuh makmur?” Seingatku, hanya semasa SD aku
tak berkawan dengan orang dengan ukuran badan laksana setumpuk jerami. Boleh
dibilang, teman SD-ku malah kurus-kurus. Nah, saat masuk MTs, mulailah aku
bersahat baik dengan orang berbadan tambun. Di MTs, aku berteman baik dengan
Ramayanti, manusia pengikut Albert Einstein yang diberikan soal Matermatika
dalam bentuk apa pun, pasti dilahapnya dengan tandas. Sekarang, kawanku itu
memang mengabdi sebagai guru Matematika. PNS pula.
Saat
SMA, lagi-lagi aku bertemu dengan kawan baik bertubuh tambun. Laki-laki kali
ini. Namanya Sepriyandi. Cukup lama aku berkawan dengan dia, sampai akhirnya
kami berpisah saat tamat SMA. Dia, setahuku, melanjutkan sekolahnya di sebuah
univesitas di kota kembang Bandung, sedang aku harus ikhlas kuliah di kampung
halaman kami di Pulau Bangka. Setelahnya, aku dengar dia berhasil lolos sebagai
seorang PNS di lingkungan Pemerintah Kota Pangkalpinang. Sekarang, kawanku yang
satu ini sedang menempuh pendidikan S2-nya, lagi-lagi di Parijs van Java.
Manakala
aku memutuskan untuk kuliah di Fakultas Hukum, kembali aku dipertemukan dengan
seorang kawan berbadan syarat lemak. Alamak, kali ini betul-betul tambun dalam
segala hal, termasuk suaranya yang cetar membahana (meminjam istilah Princess
Syahrini). Namanya Renilda. Lulus kuliah, bersama Leo Erika, sahabatku yang
lain, dia memilih untuk menjadi notaris dengan melanjutkan kuliah di Magister
Kenotariatan FH Unpad di Bandung. Sementara aku memilih untuk ikut seleksi di
sebuah kampus negeri di Semarang. Merasa kurang nyaman di ibukota Jawa Tengah
itu, akhirnya aku nekad ikut seleksi di kampus negeri ternama di Yogyakarta.
Sebab terlampau pesimis tak akan lulus, aku pun mendaftarkan diri untuk ikut
seleksi di salah satu kampus swasta di kota itu yang setahuku kualitas Fakultas
Hukum-nya tak kalah baik dengan kampus negeri itu. Alhamdulillah, tanpa diduga,
aku dinyatakan lulus dikampus negeri. Alhasil, aku meninggalkan kampus di
Semarang yang beberapa hari sebelumnya pun menyatakan menerimaku sebagai
mahasiswa mereka, sekaligus urung melanjutkan proses seleksi di kampus swasta
sekalipun berulang-ulang kali aku dihubungi.
Maka,
hari itu, kembalilah aku dipertemukan dengan orang bertubuh sejahtera. Bila tak
salah mengingat, hari itu dia mengenakan pakaian formal dengan sebuah rompi
yang membalut badannya yang sesak berisi. Laki-laki yang satu ini pasti sedang
sulit bernafas, pikirku kala itu manakala melihat perutnya yang seolah meronta
hendak merobek bajunya yang dikancing nyaris tanpa celah. Dari kacamata yang
dia kenakan, kusimpulkan dia pasti memiliki otak yang brilian. Dugaanku rupanya
tak meleset sekalipun hanya satu senti. Dia lulusan Internatiaonal
Undergraduate Progaram (IUP) di sebuah fakultas hukum terkenal di Yogyakarta.
Dia pun menguasai beberapa bahasa asing, diantaranya Bahasa Arab dan Bahasa
Perancis. Soal Bahasa Inggris, tak usah lagi ditanya. Demi meraih gelar
akademisnya yang kedua, dia pun menggunakan Bahasa Inggris di tesisnya. Dialah
Adam Wijaya Medantara, yang fotonya terpajang gagah di akun sosial milik sang
bunda. Itulah kali pertama aku melihat Adam. Hanya saja,saat itu aku belum
langsung akrab dengan dia. Ya, aku masih malu. Aku belum percaya diri untuk
bergaul dengan mereka.
***
“Iyopooo?”
begitu reaksi Adam bila mendengar hal-hal yang sulit ia percayai. Suatu hari,
pernah kuutarakan suatu hal padanya. Dengan santai, kukatakan kepadanya, “Beb,
ternyata Mbak Dhuma itu sudah janda!” Dengan ekpresi muka macam baru saja
melihat seekor hantu, keluarlah satu kata itu,”Iyopooo?” Padahal, aku sedang
berbohong.
Soal
kapan aku akbrab berkawan dengan Adam, aku tak begitu mengingatnya. Seusai
acara minggu keakraban di salah satu desa di lereng Gunung Merapi, mulailah aku
sering bersama-sama dengannya. Hari itu, selesai kuliah, kami dan beberapa
kawan lain tak langsung pulang. Melalui komputer kelas yang terkoneksi langsung
dengan sebuah proyektor, ditampillah oleh Adam foto-foto pada
acara minggu keakraban itu. Dengan seksama, kami lihat foto itu satu demi satu.
Apabila ada foto yang aneh, berderailah tawa kami seantero kelas. Mulai saat
itu, baru aku tahu bila sudah tertawa, Adam bisa terpingkal-pingkal laksana
traktor sedang membajak sawah. Pernah suatu kali, seringkali tepatnya, Adam
tertawa hingga harus menutup mulutnya dengan apa pun sebab tak kuasa dia
menahan tawanya untuk berhenti. Seiring berjalannya waktu, aku dan Adam semacam
sudah ada kemistri, begitu orang zaman sekarang menyebutnya. Bila aku sudah
memanggilnya untuk mendekatiku, belum sempat aku mengatakan hal apa pun, Adam
pasti sudah tertawa terlebih dahulu. Begitu pula sebaliknya. Itulah sebabnya
mengapa kemudian, setiap kali masuk kelas hendak mengikuti kuliah, aku selalu
menghindari duduk dekat dengan Adam, apalagi bila sudah harus duduk berdampingan.
Duduk saling berjauhan saja bila ia sudah menoleh ke arahku, langsung
terdengarlah suara cekikikan dia tertawa. Padahal, kami hanya saling tatap. Duh,
benar-benar gila!
Manakala
liburan kuliah tiba, kadang aku tak pulang ke Pulau Bangka. Maka, beramai-ramailah
kami berpetualang, termasuk Adam. Banyak tempat yang terlah kami kunjungi, dari
ujung Pulau Jawa yang satu ke ujung Pulau Jawa yang satunya lagi. Suatu hari,
sempatlah Adam mengajak kami mengunjungi Dieng, salah satu surga di Pulau Jawa
yang terletak di antara Wonosobo dan Banjarnegara, dua-duanya disebut Adam
sebagai kampung halamannya. Dua kali Adam mengajak kami ke sana. Sesungguhnya
aku bingung mana kampung halaman kawanku yang satu ini. Saat orang memuja-muji
Wonosobo, dia mengaku sebagai orang Wonosobo. Saat sedang hangat-hangatnya
orang membicarakan Chris John atau Ebiet G. Ade, dengan bangga dia bilang kalau
dia orang Banjarnegara. Sekarepmu, Dam, begitu kata orang Jawa.
Bingung
hendak mau kemana, biasanya kami hanya mengitari Yogyakarta, seraya tertawa
terbahak-bahak tak tentu rimba. Siapa yang kami tertawakan, pun tak tahu pula
kami. Yang jelas, kami menertawakan diri kami sendiri. Begitulah cara kami menikmati
hidup di tanah orang. Saat mengitari kota itulah, suatu ketika Adam bertanya, “Siapa
sih, Beb, yang sering bilang iyopo-iyopo itu? Sering betul kamu meniruinya?”
Duh, rupanya Adam tak sadar bila dialah orang yang sering mengucapkan kata itu.
Maka, kujawablah dengan ringan dengan bahasa Jawa yang aku kuasai, “Yo kowe…”
“Iyopooo?”
begitu reaksi Adam, seraya menutup mulutnya menahan tawa.
“Haha…Apa
aku bilang?”
***
Sore
itu, Adam menjemputku di kantor pos di Jalan Mataram Yogyakarta. Sengaja aku
menghubungi dia, sebab dia adalah salah seorang kawan yang menemaniku hari-hari
terakhirku di sana. Lagipula, kos Adam yang ia bangga-banggakan karena katanya sempat
pula ditempati Prof.Mahfud MD itu, letaknya tak jauh dari kantor pos itu.
Setelah urusanku mengirim kembali sepeda motor yang menemaniku dari SMA itu ke
Pulau Bangka, aku duduk seorang diri. Lama aku menunggu Adam yang katanya masih
ada sedikit pekerjaan, entah itu apa. Sempat menghabiskan beberapa potong es
krim yang aku beli dari seorang bapak-bapak yang dengan semangatnya meraih
rezeki di antara Yogayakarta yang kian sesak, Adam pun tiba dengan jaket
hitamnya yang khas.
“Setelah
ini, apa rencanamu, Beb?” tanya Adam setelah Hondra Supra Fit yang membawa kami
terseok-seok melewati jalan sempit, tembus ke Stasiun Lempuyangan. “Tetap ingin
menjadi seorang dosen?”
“Iya,
sepertinya begitu, Beb. Ingin sekali aku menjadi seorang pengajar macam Pak
Parip,” kataku seraya memegang punggung Adam takut kalau-kalau sepeda motor ini
akan terpental akibat terlalu beratnya
beban yang ia bawa. “Kamu sendiri bagaimana?”
“Soal
itu, belum tahulah aku, Beb. Kamu tahu sendirilah bagaimana tesisku sekarang.
Setelah berbulan-bulan lamanya, tak kunjung ada kabar dari pembimbingku. Sibuk
betul dia akhir-akhir ini,” jawab Adam panjang lebar. Ia begitu murung tampaknya.
“Bagaimana
bila kamu datangi terus dia di ruangannya?” kataku sok-sok memberi solusi. “Pokoknya,
kamu harus wisuda di bulan Januari. InsyaAllah, bila ada rezeki, aku akan
datang!”
“Harus
datanglah, Beb. Bukankah dulu kamu pernah berjanji kepada kami, bahwa kamu akan
kembali ke sini bila kami sudah mengenakan toga bersayap? Haha…”
Lepaslah
tawa kami berdua yang sudah macam angka 10 sedang diarak keliling kota itu. Canda
Adam soal toga bersayap membuatku terkenang
akan hari-hari pertamaku tinggal di Yogyakarta. Saat itu, belum satu
bulan rasanya kami kuliah. Persahabatan antara kami pun sedang terjalin dengan
hangatnya. Ibarat manusia, persahabatan kami adalah seorang balita yang selalu
mengundang gelak tawa bila sudah berkumpul sama-sama. Pandai betul kawanku yang
satu itu membuat kami tertawa terpingkal-pingkal sepanjang jalan macam orang
gila. Alhasil, tak sadar kami sudah tiba di depan sebuah toko buku. Pada Adam,
aku memang meminta cukup diantar pada salah satu toko buku langgananku selama
menimba ilmu di tanah istimewa itu.
“Sampai
jumpa lagi, Beb. Hati-hati besok lagi, kuusahakan besok untuk datang ke
bandara,” begitu kata Adam sebelum memacu sepeda motor dengan sebuah logo
paling ia banggakan yang tertempel di bagian belakang. Aku iyakan saja niat
baiknya itu, sekalipun dalam hati aku tak yakin besok pagi dia bakal datang ke
bandara. Bagaimana mau datang ke bandara hanya untuk menganatar seorang kawan
yang akan pulang, dia sendiri saja pernah gagal terbang sebab mimpinya yang
terlampau panjang. Durasi tidurnya lama! Apalagi ketika aku beritahu kepadanya
soal jam keberangkatanku besok pagi, matanya langsung terbelalak seraya
mengatakan,”Hah? Pagi betul?!!!” Ah, Sudahlah. Besok pagi, lagi-lagi dugaanku
terbukti. Batang hidung Adam yang memang tak punya batang itu tak tampak
kehadirannya di Bandar Udara Internasional Adi Sutjipto.
“Beeeeeb,
kamu sudah di bandara? Ma’aaaaf, aku ketiduraaaaan…”
“Hehe…Gapapa-gapapa,”
jawabku meniru gaya bicara seorang kawan. Soal kawanku yang satu ini, kelak
akan kuceritakan di lain waktu.
***
Itulah
percakapan singkat aku dengan kawanku Adam, di hari-hari terakhirku di
Yogyakarta. Beberapa minggu setelah diwisuda, aku memutuskan untuk kembali ke
kampung halamanku di Pulau Bangka. Setelahnya, lama aku tak berjumpa dengan
Adam. Sampai akhirnya aku mendengar kabar baik tentang Adam, tak pula aku
bertemu dengan dia. Saat itu, Adam dikabarkan diterima menjadi PNS di salah
satu lembaga yang bertugas memeriksa penggunaan keuangan negara. Sebagai
seorang kawan, aku ikut senang. Setahuku, Adam orang yang optimistis, sekalipun
dia terkadang kurang siap akan kemungkinan gagal. Suatu hari, terlampau
optimisnya, pernah dia dikabarkan sampai menangis tersedu-sedu setelah
diketahui olehnya, dia gagal ke tahapan seleksi berikutnya pada seleksi sebuah
lembaga negara yang lain. Padahal, dia yakin betul. Soal itu, tak mengapa,
apabila sudah masanya, akan selalu ada jalan. Adam adalah salah satu bukti akan
hal itu semua. Setelah berjuang tak kenal lelah, jadilah dia pegawai di salah
satu lembaga paling prestisius di negara ini.
Setelah
mendengar kabar itu, kupikir aku tak akan bisa lagi bertemu dengan Adam.
Apalagi, dengar-dengar dia akan bertugas di Ambon. Untuk kali ini, dugaanku
salah. Saat Adam dan beberapa orang kawan lain diwisuda, aku datang. Itulah
terakhir kali aku bertemu dengan Adam, sekaligus untuk pertama dan terakhir
kalinya bertemu dengan orangtua Adam dan seorang adiknya yang berwajah lucu
itu. Setelahnya, aku sempat kembali ke Yogyakarta, namun hingga aku harus
kembali meninggalkan kota budaya itu, tak kunjung kami saling bertemu.
Berbulan-bulan lamanya aku tak bertemu dengan Adam, hingga kudapati berita
kalau Adam akan terbang ke Maluku. Di sana, Adam akan memulai karirnya sebagai
abdi negara.
Pada
Adam, kudo’akan semoga kamu bisa menjadi pemeriksa yang amanah, sebagaimana
harapan ibumu yang ia tulis itu. Suatu hari, bila ada rezeki, inginlah aku
menemuimu di Maluku. Dengar-dengar, itu provinsi elok. Alamnya cantik tak
terperi. Semoga suatu saat kita bisa bertemu lagi. Pada Adam, aku ingin kita
terus berkawan baik, sebagaimana kita semasa masih sama-sama di Yoagayakarta. Apapun
yang terjadi setelahnya, tak mau tahulah aku. Yang aku tahu, aku pernah dan mudah-mudahan
akan selalu berkawan baik dengan seorang kawan berkarakter sangatlah unik
bernama Adam. Pada Adam ingin kusampaikan, kumohon agar kamu mau berdo’a
untukku, agar aku bisa menggapai cita-citaku. Datanglah ketika aku sudah
dipertemukan Tuhan dengan tulang rusukku kelak. Datanglah ketiga aku kembali
mengenakan toga seraya mempertahankan desertasiku di hadapan begitu banyak penguji.
Datanglah ketika aku dilantik menjadi seorang dekan. Datanglah ketika aku
menyampaikan pidato ilmiahku menjadi seorang guru besar. Datanglah ketika aku
dilantik menjadi seorang pejabat negara di Jakarta. Apabila kamu tak bisa
datang pada acara yang kini masih berupa angan-angan itu, bila aku lebih dulu
pulang daripada kamu, kumohon engkau untuk datang ketika tubuhku dimasukkan pelan-pelan
ke dalam sebuah liang.
Diselesaikan di Pangkalpinang, 18
Desember 2015
Sudah berkali-kali saya mencari tempat yang menyediakan pesugihan,mungkin lebih dari 15 kali saya mencari paranormal mulai dari daerah jawa garut,sukabumi, cirebon, semarang, hingga pernah sampai ke bali ,namun tidak satupun berhasil, niat mendapat uang dengan jalan pintas namun yang ada malah kehabisan uang hingga puluhan juta, suatu hari saya sedang iseng buka-buka internet dan menemukan website dari MBAH BUDI HARTONO, sebenarnya saya ragu-ragu jangan sampai sama dengan yang lainnya tidak ada hasil juga, saya coba konsultasikan dan bertanya meminta petunjuk pesugihan apa yang bagus dan cepat untuk saya, nasehatnya pada saya hanya disuruh yakin dan melaksanakan apa yang di sampaikan MBAH BUDI HARTONO, semua petunjuk saya ikuti dan hanya 1 hari alhamdulilah akhirnya MBAH BUDI HARTONO membantu saya pesugihan dana gaib 5M yang saya tunggu-tunggu tidak mengecewakan, yang di janjikan cair keesokan harinya, kini saya sudah melunasi hutang-hutang saya dan saat ini saya sudah memiliki usaha sendiri di palembang, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya sering menyarankan untuk menghubungi MBAH BUDI HARTONO di 085256077899 atau kunjungi wibsitenya agar lebih di mengerti KLIK PESUGIHAN DANA GAIB DISINI tidak lansung datang ke jawa juga bisa, saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. alhamdulillah hasilnya sama baik
BalasHapusTulis tentang ayam kicap.
BalasHapus