Selasa, 18 Agustus 2015

SAAT JODOH DATANG DENGAN TIDAK DISANGKA-SANGKA


(Sumber: gambaranehunik.files.wordpress.com)

Cerita ini aku sadurkan dari cerita seorang kawan, yang merasakan langsung betapa jodoh itu betul-betul berada di tangan Sang Pemilik Semesta. Apakah aku mempercayai cerita kawanku itu? Tentu saja. Dia, kawan yang namanya tak akan aku sebutkan di sini, begitu bahagia sekarang dengan keluarga kecil mereka. Aku pun turut bahagia, sesekali diselingi rasa iri karena inginlah punya keluarga bahagia macam dia. Aku pun tak mengira, dia yang dulu pernah datang tiba-tiba menangis tersedu-sedan karena persoalan asmaranya yang diakhiri dengan pengkhianatan sang pujaan hati yang dia incar semenjak awal kuliah, beralih pandang pada perempuan lain. Duh, sabarlah, kataku.

Perempuan, itulah jenis kelamin yang tertera di Kartu Tanda Penduduk (KTP) kawanku itu. Dia adalah seorang perempuan, berhijab, dan berkarakter yang bertentangan dengan jenis kelamin yang susah payah diketik oleh petugas catatan sipil itu. Aku kenal dengannya karena takdir yang menyatukan kami pada sebuah kelas yang pengap saat awal kuliah dulu. Pada saat itulah, dia mulai mencari laki-laki. Mungkin dia bosan dengan hidupnya yang selalu sendiri. Ah, tak tahulah aku soal alasan itu. Yang aku tahu, dia seorang pekerja keras, petarung yang ulung, tak terkecuali soal cinta. Sudah macam orang berperang saja rasanya dia berjuang meraih cinta laki-laki itu, jatuh bangun, namun tak jua kehilangan asa. Untuk hal yang satu ini, salutlah aku dengan dia.

Seperti kata orang-orang bijak, tiada perjuangan tanpa hasil, tinggal buruk atau baiknya hasil itu. Alhasil, perjuangan kawanku yang tak kenal malam tak kenal siang itu berbuntut laksana rasa madu. Manis sekali. Dia berhasil, entah bagaimana caranya, meraih cinta laki-laki cuek tingkat tertinggi itu. Berbahagialah dia. Selalulah mereka bedua saban hari datang ke kampus, tak peduli ada jadwal kuliah atau tidak. Yang penting bisa naik motor berdua, kemana-mana berdua, itulah rumus hidupnya setelah itu. Saat itu aku paham, jatuh cinta pada orang yang sangat dicintai memang bikin otak jadi bergoncang. Beruntung tak jadi pasien rumah sakit jiwa.

Dia bahagia, kami kawan-kawannya pun tak lupa untuk bahagia. Bertahun-tahun lamanya dia bersama laki-laki itu, mencurahkan kasih sayangnya dengan ikhlas tanpa berharap balas apa-apa, kecuali cinta laki-laki itu terhadapnya. Sayang, setelah itu aku mendengar kabar tak sedap dari dia. Pada suatu hari, entah siang entah malam, berdentum dadaku mendengar kabar darinya bila laki-laki itu memberikan cintanya pada perempuan lain. Ah, tak mungkin, kataku. Dia memberikan sejumlah bukti yang pada akhirnya aku menyerah untuk tidak percaya. Sudahlah, kataku menenangkan, bila dia memang jodohmu, dia pasti akan kembali.

Sayangnya, laki-laki itu tak kembali. Itu artinya, laki-laki itu, yang tak lain adalah kawanku juga, bukanlah jodoh kawanku yang perempuan ini. Semakin tak mau dilepas barang sejenak saja tampaknya dia dengan perempuan yang secara fisik memang lebih menarik dari kawanku itu. Maafkanlah aku, kawan, ini pendapat dari sudut pandang laki-laki. Bukan lagi soal hubungan perkawanan kita. Maaf kalau kali ini aku terlampau mengatakan apa adanya.

Sebagaimana yang kami kira, perasaan kawanku itu hancur berkeping-keping laksana pesawat jatuh. Saban hari dia menangis tersedu-sedu. Setiap kali dia memeriksa akun jejaring sosial milik laki-laki yang bermandikan darah ia perjuangkan itu, setiap kali itu pula dia histeris. Duh, cinta. Mengapa engkau begitu kejam pada setiap orang yang memeliharamu? Entahlah. Sebagai kawan, lebih-lebih kawan yang menanggung semua perasaannya saat itu, pun dia yang selalu siap menanggung perasaanku setiap kali aku tertimpa hal yang tak jauh berbeda (sebenarnya sama), remuk pulalah rasanya jantungku. Soal cinta, ingin rasanya aku member usul kepada Tuhan, mengapa tak Dia jodohkan saja orang yang pertama kali jatuh cinta, tanpa ada kata berpisah biar tak ada yang saling menyakiti? Aku yakin Tuhan pasti langsung mentertawakanku.

Berputarlah waktu tiada henti. Segala rupa hal dilakukan oleh kawanku yang malang, supaya sakit yang ia derita lekas hengkang. Mendatangi pantai satu ke pantai yang lain, pergi pagi pulang malam. Syukur kami panjatkan kepada Tuhan, barangkali pelan-pelan hatinya mulai tenang. Mencobalah dia mendekati laki-laki lain. Atau kalau nasib baik sedang menghampirinya, satu dua orang laki-laki yang mungkin saja sedang tak normal pikirannya, mencoba mendekati kawanku itu. Nasib mereka, laki-laki yang mencoba mendekati itu, sudah bisa diterka. Ditolaklah mereka mentah-mentah oleh kawanku yang tak tahu diri itu. Hal yang menjadi penyebabnya tentulah macam-macam. Perhitungannya sangatlah sederhana. Orang laki-laki yang ia dekati pun secara sekilas bisa membuat mata gatal-gatal bila menatapnya, apalagi laki-laki itu adalah laki-laki yang mendekatinya? Silakan bagi yang ingin membayangkannya.

Sekarang, semua sudah berlalu. Kawanku itu tak lagi terkurung dalam sedih yang dulu membuatnya sudah macam orang hendak disembelih lehernya setiap kali membayangkan laki-laki itu memegang tangan perempuan lain dengan begitu mesra. Histeris. Sekarang, kawanku sudah bahagia. Apabila ada kata yang lebih menggambarkan perasaannya saat ini diatas kata bahagia, pokoknya seperti itulah warna hatinya sekarang. Pada sebuah malam, ia mengabariku perihal perkenalannya dengan laki-laki itu. Ia dikenalkan dengan laki-laki itu oleh salah seorang kawan kami. Sekalipun mulanya banyak kata “tapi dia” dipenghujung ceritanya perihal laki-laki yang entah beruntung entah malang yang kok bisa-bisanya mau dengan kawanku itu, akhirnya dia mantap dengan laki-laki yang kemudian dia panggil “Abang”.

Beberapa bulan kemudian, aku mendengar kabar darinya bahwa ia akan segera menikah. Mulanya aku tak percaya. Bagaimana mungkin seorang kawan yang sempat mau gila oleh cinta yang kandas akibat pesona perempuan lain yang membuat si laki-laki berpaling, seorang yang mengikrarkan bahwa kelak pasti dialah orang yang paling terakhir menikah diantara kawan-kawan kami, justru menikah dengan nomor urut satu. Secepat itulah dia mengambil keputusan? Ya, namanya juga jodoh, tiada yang bisa memasang kita bakal menikah dengan siapa, atau siapa dengan siapa. Sayangnya, aku tak bisa menghadiri pernikahan salah satu kawan paling karib sejagad raya itu. Bagiku, dia bukan sekadar kawan biasa. Seperti yang sering kami katakan manakala berdua, aku adalah dia, begitupula sebaliknya. Sering aku menceritakan masalahku yang paling pribadi sekalipun, begitu pula dia. Semua itu kami telan, tak akan kami ceritakan pada siapa pun karena label “rahasia” yang selalu kami sematkan pada cerita-cerita itu. Beginilah kawan seharusnya.

Sekarang, dia sungguh bahagia. Dia begitu mencintai keluarga kecilnya, lebih-lebih laki-laki mungil yang selalu membuatnya merindu ingin pulang ke rumah setiap kali dia berada di tempat kerja. Dia pun begitu memuji laki-laki yang sekarang adalah suaminya. Barangkali, bahkan aku yakin, dia amat bersyukur sekarang bisa bertemu dengan laki-laki itu. Laki-laki yang ia kenal hanya beberapa bulan, lalu datang melamarnya. Semoga engkau selalu bahagia, kawan. Bahagia selamanya.

Bangka, 17 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar