(Sumber: gambaranehunik.files.wordpress.com) |
Cerita ini aku sadurkan dari cerita seorang kawan, yang
merasakan langsung betapa jodoh itu betul-betul berada di tangan Sang Pemilik
Semesta. Apakah aku mempercayai cerita kawanku itu? Tentu saja. Dia, kawan yang
namanya tak akan aku sebutkan di sini, begitu bahagia sekarang dengan keluarga
kecil mereka. Aku pun turut bahagia, sesekali diselingi rasa iri karena
inginlah punya keluarga bahagia macam dia. Aku pun tak mengira, dia yang dulu pernah
datang tiba-tiba menangis tersedu-sedan karena persoalan asmaranya yang
diakhiri dengan pengkhianatan sang pujaan hati yang dia incar semenjak awal
kuliah, beralih pandang pada perempuan lain. Duh, sabarlah, kataku.
Perempuan, itulah jenis kelamin yang tertera di Kartu Tanda
Penduduk (KTP) kawanku itu. Dia adalah seorang perempuan, berhijab, dan
berkarakter yang bertentangan dengan jenis kelamin yang susah payah diketik
oleh petugas catatan sipil itu. Aku kenal dengannya karena takdir yang
menyatukan kami pada sebuah kelas yang pengap saat awal kuliah dulu. Pada saat
itulah, dia mulai mencari laki-laki. Mungkin dia bosan dengan hidupnya yang selalu
sendiri. Ah, tak tahulah aku soal alasan itu. Yang aku tahu, dia seorang
pekerja keras, petarung yang ulung, tak terkecuali soal cinta. Sudah macam
orang berperang saja rasanya dia berjuang meraih cinta laki-laki itu, jatuh
bangun, namun tak jua kehilangan asa. Untuk hal yang satu ini, salutlah aku
dengan dia.
Seperti kata orang-orang bijak, tiada perjuangan tanpa
hasil, tinggal buruk atau baiknya hasil itu. Alhasil, perjuangan kawanku yang
tak kenal malam tak kenal siang itu berbuntut laksana rasa madu. Manis sekali.
Dia berhasil, entah bagaimana caranya, meraih cinta laki-laki cuek tingkat
tertinggi itu. Berbahagialah dia. Selalulah mereka bedua saban hari datang ke
kampus, tak peduli ada jadwal kuliah atau tidak. Yang penting bisa naik motor
berdua, kemana-mana berdua, itulah rumus hidupnya setelah itu. Saat itu aku
paham, jatuh cinta pada orang yang sangat dicintai memang bikin otak jadi
bergoncang. Beruntung tak jadi pasien rumah sakit jiwa.
Dia bahagia, kami kawan-kawannya pun tak lupa untuk bahagia.
Bertahun-tahun lamanya dia bersama laki-laki itu, mencurahkan kasih sayangnya
dengan ikhlas tanpa berharap balas apa-apa, kecuali cinta laki-laki itu
terhadapnya. Sayang, setelah itu aku mendengar kabar tak sedap dari dia. Pada
suatu hari, entah siang entah malam, berdentum dadaku mendengar kabar darinya
bila laki-laki itu memberikan cintanya pada perempuan lain. Ah, tak mungkin,
kataku. Dia memberikan sejumlah bukti yang pada akhirnya aku menyerah untuk
tidak percaya. Sudahlah, kataku menenangkan, bila dia memang jodohmu, dia pasti
akan kembali.
Sayangnya, laki-laki itu tak kembali. Itu artinya, laki-laki
itu, yang tak lain adalah kawanku juga, bukanlah jodoh kawanku yang perempuan
ini. Semakin tak mau dilepas barang sejenak saja tampaknya dia dengan perempuan
yang secara fisik memang lebih menarik dari kawanku itu. Maafkanlah aku, kawan,
ini pendapat dari sudut pandang laki-laki. Bukan lagi soal hubungan perkawanan
kita. Maaf kalau kali ini aku terlampau mengatakan apa adanya.
Sebagaimana yang kami kira, perasaan kawanku itu hancur
berkeping-keping laksana pesawat jatuh. Saban hari dia menangis tersedu-sedu.
Setiap kali dia memeriksa akun jejaring sosial milik laki-laki yang bermandikan
darah ia perjuangkan itu, setiap kali itu pula dia histeris. Duh, cinta.
Mengapa engkau begitu kejam pada setiap orang yang memeliharamu? Entahlah.
Sebagai kawan, lebih-lebih kawan yang menanggung semua perasaannya saat itu, pun
dia yang selalu siap menanggung perasaanku setiap kali aku tertimpa hal yang
tak jauh berbeda (sebenarnya sama), remuk pulalah rasanya jantungku. Soal
cinta, ingin rasanya aku member usul kepada Tuhan, mengapa tak Dia jodohkan
saja orang yang pertama kali jatuh cinta, tanpa ada kata berpisah biar tak ada
yang saling menyakiti? Aku yakin Tuhan pasti langsung mentertawakanku.
Berputarlah waktu tiada henti. Segala rupa hal dilakukan
oleh kawanku yang malang, supaya sakit yang ia derita lekas hengkang. Mendatangi
pantai satu ke pantai yang lain, pergi pagi pulang malam. Syukur kami panjatkan
kepada Tuhan, barangkali pelan-pelan hatinya mulai tenang. Mencobalah dia
mendekati laki-laki lain. Atau kalau nasib baik sedang menghampirinya, satu dua
orang laki-laki yang mungkin saja sedang tak normal pikirannya, mencoba
mendekati kawanku itu. Nasib mereka, laki-laki yang mencoba mendekati itu,
sudah bisa diterka. Ditolaklah mereka mentah-mentah oleh kawanku yang tak tahu
diri itu. Hal yang menjadi penyebabnya tentulah macam-macam. Perhitungannya
sangatlah sederhana. Orang laki-laki yang ia dekati pun secara sekilas bisa membuat
mata gatal-gatal bila menatapnya, apalagi laki-laki itu adalah laki-laki yang
mendekatinya? Silakan bagi yang ingin membayangkannya.
Sekarang, semua sudah berlalu. Kawanku itu tak lagi
terkurung dalam sedih yang dulu membuatnya sudah macam orang hendak disembelih
lehernya setiap kali membayangkan laki-laki itu memegang tangan perempuan lain
dengan begitu mesra. Histeris. Sekarang, kawanku sudah bahagia. Apabila ada
kata yang lebih menggambarkan perasaannya saat ini diatas kata bahagia,
pokoknya seperti itulah warna hatinya sekarang. Pada sebuah malam, ia
mengabariku perihal perkenalannya dengan laki-laki itu. Ia dikenalkan dengan
laki-laki itu oleh salah seorang kawan kami. Sekalipun mulanya banyak kata
“tapi dia” dipenghujung ceritanya perihal laki-laki yang entah beruntung entah
malang yang kok bisa-bisanya mau
dengan kawanku itu, akhirnya dia mantap dengan laki-laki yang kemudian dia
panggil “Abang”.
Beberapa bulan kemudian, aku mendengar kabar darinya bahwa
ia akan segera menikah. Mulanya aku tak percaya. Bagaimana mungkin seorang kawan
yang sempat mau gila oleh cinta yang kandas akibat pesona perempuan lain yang
membuat si laki-laki berpaling, seorang yang mengikrarkan bahwa kelak pasti dialah
orang yang paling terakhir menikah diantara kawan-kawan kami, justru menikah
dengan nomor urut satu. Secepat itulah dia mengambil keputusan? Ya, namanya
juga jodoh, tiada yang bisa memasang kita bakal menikah dengan siapa, atau
siapa dengan siapa. Sayangnya, aku tak bisa menghadiri pernikahan salah satu
kawan paling karib sejagad raya itu. Bagiku, dia bukan sekadar kawan biasa.
Seperti yang sering kami katakan manakala berdua, aku adalah dia, begitupula
sebaliknya. Sering aku menceritakan masalahku yang paling pribadi sekalipun,
begitu pula dia. Semua itu kami telan, tak akan kami ceritakan pada siapa pun
karena label “rahasia” yang selalu kami sematkan pada cerita-cerita itu.
Beginilah kawan seharusnya.
Sekarang, dia sungguh bahagia. Dia begitu mencintai keluarga
kecilnya, lebih-lebih laki-laki mungil yang selalu membuatnya merindu ingin
pulang ke rumah setiap kali dia berada di tempat kerja. Dia pun begitu memuji
laki-laki yang sekarang adalah suaminya. Barangkali, bahkan aku yakin, dia amat
bersyukur sekarang bisa bertemu dengan laki-laki itu. Laki-laki yang ia kenal
hanya beberapa bulan, lalu datang melamarnya. Semoga engkau selalu bahagia,
kawan. Bahagia selamanya.
Bangka, 17 Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar