(Sumber: http://ask.fm/radianpandika/best) |
Pada
sebuah malam, diajak oleh salah seorang tokoh masyarakat aku mengikuti rapat di
balai desa. Sedianya, rapat itu diadakan sebagai sambutan pemerintahan desa
terhadap sejumlah mahasiswa dari sebuah universitas yang akan melaksanakan
pengabdian pada masyarakat melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kampung
halaman kami. Seiring sambutan demi sambutan yang disampaikan, mulai dari tokoh
agama, tokoh masyarakat, perkawilan pemuda, ketua Badan Perwakilan Desa (BPS),
dan lain sebagainya, rapat itu berubah menjadi ajang pemaparan persoalan yang
sedang dihadapi desa. Barangkali merasa selalu disalahkan, bapak kepala desa
yang terhormat pun kembali angkat bicara. Olehnya, diuraikanlah sejumlah
permasalahan desa yang selama ini sering ia hadapi sebagai seorang kepala desa
seorang diri. Apabila apa yang ia utarakan itu benar, sungguh aku kagum pada
beliau bisa begitu sengit mempertahankan desa kami dari kepentingan sekelompok
orang yang hanya mau mengambil untung. Bila tidak begitu, bisa hilang nama
kampung kami dari peta Pulau Bangka. Apabila itu semua salah, biarlah dia
seorang yang menanggung.
Penghujung
acara, tersebutkan perihal pemasangan bendera merah putih dan umbul-umbul.
Maklum, kala itu menjelang perayaan HUT RI. Sebagaimana biasanya, setiap rumah
di kampung halaman kami diwajibkan untuk memasang sejumlah umbul-umbul dan
tentunya yak tak boleh tidak dipasang adalah sang saka merah putih. Oleh tokoh
agama, disampaikanlah pandangannya soal umbul-umbul. Ia mau semua warga
memasang jenis umbul-umbul warna-warna nan panjang, tiada lagi yang memasang
umbul-umbul jenis segitiga yang hanya punya satu warna. Alasannya hanyalah soal
estetika. Biar tentram mata melihatnya. Sepakatlah seisi balai desa malam itu.
Pada
tanggal yang sudah ditentukan, berkibarlah umbul-umbul disepanjang jalan yang
ada di kampung kami. Satu pun tak tampak umbul-umbul berbentuk segitiga itu.
Sedap betul rasanya mata ini memandang. Meriah jadinya kampung kami yang
letaknya paling ujung itu. Hal yang berbeda justru aku dapati di kampung lain,
tetangga kampung kami. Sepanjang jalan manakala aku menemani Umak ke pasar di
ibukota kabupaten pada sebuah hari, masih aku lihat umbul-umbul segitiga
berkibar di kampung-kampung itu. Soal estetika, tentu ada kesan tak rapi.
Mungkin karena bentuk umbul-umbul yang tak seragam. Aih, cerdas benar pemikiran
tokoh agama kampung kami yang sudah haji itu. Sungguh aku memujinya.
Sampailah
pada sebuah sore, pada hari yang berbeda. Oleh karena telinga yang aku miliki
tak bisa memilih mau mendengar apa, menyaring apa yang seharusnya aku dengar
atau tidak, terdengarlah olehku celoteh seorang ibu-ibu warga kampung kami
perihal umbul-umbul.
“Di
kampung sebelah, masih terpasang umbul-umbul berbentuk segitiga. Tiada yang
melarang? Mengapa di kampung kita tak boleh? Ah, pengurus kampung kita saja
yang sekehendak hati membuat aturan sendiri,” begitu katanya kira-kira.
“Semua
biar seragam, biar tampak cantik oleh mata,” kataku mencoba menjelaskan.
Dari
perbincangan singkat sore itu, ada satu hal yang aku dapati. Bahwa tindakan
apapun yang kita tempuh, hal apapun yang kita lakukan, tetap ada sisi lemah
dipandang orang lain. Lalu, aku mencoba membalikkan situasi, berandai-andai.
Seandainya keputusan para petinggi kampung kami tetap mengizinkan memasang
umbul-umbul segitiga, lalu dilihatlah oleh warga bahwa di desa lain tak ada
lagi yang memasang umbul-umbul macam itu, hampir dapat dipastikan ada celotehan
yang kurang lebih isinya begini,”Coba lihat, di kampung sebelah tak ada lagi
yang memasang umbul-umbul segitiga. Cantik sekali dipandang. Ah, pengurus
kampung kita tampaknya kurang tegas. Mengapa tak dilarang saja memasang
umbul-umbul jenis itu?”
Padahal,
menurutku, maksud tokoh agama kampung halaman kami itu baik. Dengan melarang
pemasangan umbul-umbul berbentuk segitiga yang sudah ketinggalan zaman itu,
beliau ingin kampung kami terlihat rapi. Beliau benar barangkali. Aku bisa
membandingkan kampung kami tanpa umbul-umbul segitiga, semuanya umbul-umbul
warna-warni bak pelangi dengan warna puncak merah putih, tampak elegan
dibandingkan dengan kampung lain yang tetap menyelingi umbul-umbul berbentuk
segitiga diantara umbul-umbul laksana pelangi itu. Mengapa masih ada yang tak
terima? Ini soal penilaian. Ini soal pengamatan dari orang lain yang selalu
menganggap salah tindakan orang lain.
Jadi,
apapun yang akan kita lakukan, kita meyakini itu, lakukanlah. Soal penilaian,
sudah pasti ada titik lemah yang akan dinilai orang, atau bahkan sengaja
dicari. Aku pun pernah mengalami hal yang sama. Dulu, saat aku berusaha
mempertahankan sesuatu, aku dibilang memaksa. Aku pun terhentak, tak terima.
Padahal, soal salah di masa silam, aku mengakuinya. Maka, saat itu pula aku
melepaskan apa yang aku pertahankan itu dengan segenap rasa ikhlas. Apa yang
aku dapatkan? Ya, aku dibilang tak berjuang, mudah menyerah dalam mempertahakan
sesuatu. Begitu terus berulang-ulang. Pening minta ampun kepala ini. Maka, aku
serahkan semuanya kepada Allah semata. Biarlah Dia yang memutuskan. Apapun yang
terjadi setelah itu, aku yakin ada campur tangan Tuhan di sana. Apa pun
hasilnya setelah itu, aku terima dengan lapang. Aku yakin, aku pasti bahagia
setelah itu. Nyatanya, aku memang bahagia sekarang, dan semoga akan terus
bahagia. Selamanya.
Bangka, 17 Agustus 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar