Selasa, 18 Agustus 2015

APAPUN YANG KITA LAKUKAN, AKAN SELALU ADA PENILAIAN SALAH DARI ORANG LAIN

(Sumber: http://ask.fm/radianpandika/best)




                Pada sebuah malam, diajak oleh salah seorang tokoh masyarakat aku mengikuti rapat di balai desa. Sedianya, rapat itu diadakan sebagai sambutan pemerintahan desa terhadap sejumlah mahasiswa dari sebuah universitas yang akan melaksanakan pengabdian pada masyarakat melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kampung halaman kami. Seiring sambutan demi sambutan yang disampaikan, mulai dari tokoh agama, tokoh masyarakat, perkawilan pemuda, ketua Badan Perwakilan Desa (BPS), dan lain sebagainya, rapat itu berubah menjadi ajang pemaparan persoalan yang sedang dihadapi desa. Barangkali merasa selalu disalahkan, bapak kepala desa yang terhormat pun kembali angkat bicara. Olehnya, diuraikanlah sejumlah permasalahan desa yang selama ini sering ia hadapi sebagai seorang kepala desa seorang diri. Apabila apa yang ia utarakan itu benar, sungguh aku kagum pada beliau bisa begitu sengit mempertahankan desa kami dari kepentingan sekelompok orang yang hanya mau mengambil untung. Bila tidak begitu, bisa hilang nama kampung kami dari peta Pulau Bangka. Apabila itu semua salah, biarlah dia seorang yang menanggung.

                Penghujung acara, tersebutkan perihal pemasangan bendera merah putih dan umbul-umbul. Maklum, kala itu menjelang perayaan HUT RI. Sebagaimana biasanya, setiap rumah di kampung halaman kami diwajibkan untuk memasang sejumlah umbul-umbul dan tentunya yak tak boleh tidak dipasang adalah sang saka merah putih. Oleh tokoh agama, disampaikanlah pandangannya soal umbul-umbul. Ia mau semua warga memasang jenis umbul-umbul warna-warna nan panjang, tiada lagi yang memasang umbul-umbul jenis segitiga yang hanya punya satu warna. Alasannya hanyalah soal estetika. Biar tentram mata melihatnya. Sepakatlah seisi balai desa malam itu.

                Pada tanggal yang sudah ditentukan, berkibarlah umbul-umbul disepanjang jalan yang ada di kampung kami. Satu pun tak tampak umbul-umbul berbentuk segitiga itu. Sedap betul rasanya mata ini memandang. Meriah jadinya kampung kami yang letaknya paling ujung itu. Hal yang berbeda justru aku dapati di kampung lain, tetangga kampung kami. Sepanjang jalan manakala aku menemani Umak ke pasar di ibukota kabupaten pada sebuah hari, masih aku lihat umbul-umbul segitiga berkibar di kampung-kampung itu. Soal estetika, tentu ada kesan tak rapi. Mungkin karena bentuk umbul-umbul yang tak seragam. Aih, cerdas benar pemikiran tokoh agama kampung kami yang sudah haji itu. Sungguh aku memujinya.

                Sampailah pada sebuah sore, pada hari yang berbeda. Oleh karena telinga yang aku miliki tak bisa memilih mau mendengar apa, menyaring apa yang seharusnya aku dengar atau tidak, terdengarlah olehku celoteh seorang ibu-ibu warga kampung kami perihal umbul-umbul.

                “Di kampung sebelah, masih terpasang umbul-umbul berbentuk segitiga. Tiada yang melarang? Mengapa di kampung kita tak boleh? Ah, pengurus kampung kita saja yang sekehendak hati membuat aturan sendiri,” begitu katanya kira-kira.

                “Semua biar seragam, biar tampak cantik oleh mata,” kataku mencoba menjelaskan.

                Dari perbincangan singkat sore itu, ada satu hal yang aku dapati. Bahwa tindakan apapun yang kita tempuh, hal apapun yang kita lakukan, tetap ada sisi lemah dipandang orang lain. Lalu, aku mencoba membalikkan situasi, berandai-andai. Seandainya keputusan para petinggi kampung kami tetap mengizinkan memasang umbul-umbul segitiga, lalu dilihatlah oleh warga bahwa di desa lain tak ada lagi yang memasang umbul-umbul macam itu, hampir dapat dipastikan ada celotehan yang kurang lebih isinya begini,”Coba lihat, di kampung sebelah tak ada lagi yang memasang umbul-umbul segitiga. Cantik sekali dipandang. Ah, pengurus kampung kita tampaknya kurang tegas. Mengapa tak dilarang saja memasang umbul-umbul jenis itu?”

                Padahal, menurutku, maksud tokoh agama kampung halaman kami itu baik. Dengan melarang pemasangan umbul-umbul berbentuk segitiga yang sudah ketinggalan zaman itu, beliau ingin kampung kami terlihat rapi. Beliau benar barangkali. Aku bisa membandingkan kampung kami tanpa umbul-umbul segitiga, semuanya umbul-umbul warna-warni bak pelangi dengan warna puncak merah putih, tampak elegan dibandingkan dengan kampung lain yang tetap menyelingi umbul-umbul berbentuk segitiga diantara umbul-umbul laksana pelangi itu. Mengapa masih ada yang tak terima? Ini soal penilaian. Ini soal pengamatan dari orang lain yang selalu menganggap salah tindakan orang lain.

                Jadi, apapun yang akan kita lakukan, kita meyakini itu, lakukanlah. Soal penilaian, sudah pasti ada titik lemah yang akan dinilai orang, atau bahkan sengaja dicari. Aku pun pernah mengalami hal yang sama. Dulu, saat aku berusaha mempertahankan sesuatu, aku dibilang memaksa. Aku pun terhentak, tak terima. Padahal, soal salah di masa silam, aku mengakuinya. Maka, saat itu pula aku melepaskan apa yang aku pertahankan itu dengan segenap rasa ikhlas. Apa yang aku dapatkan? Ya, aku dibilang tak berjuang, mudah menyerah dalam mempertahakan sesuatu. Begitu terus berulang-ulang. Pening minta ampun kepala ini. Maka, aku serahkan semuanya kepada Allah semata. Biarlah Dia yang memutuskan. Apapun yang terjadi setelah itu, aku yakin ada campur tangan Tuhan di sana. Apa pun hasilnya setelah itu, aku terima dengan lapang. Aku yakin, aku pasti bahagia setelah itu. Nyatanya, aku memang bahagia sekarang, dan semoga akan terus bahagia. Selamanya.

Bangka, 17 Agustus 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar