Rabu, 19 Agustus 2015

ITU ARTINYA, DIA PUN BUKANLAH YANG TERBAIK UNTUKMU


(Sumber: photobucket.com)

                Saat pulang ke kampung halaman, aku bertemu dengan seorang kawan lama. Padanyalah sering aku bercerita banyak hal, begitu pula sebaliknya. Dia, kawanku itu, sering pula berkeluh kesah perihal hidup yang sudah lebih dari seperempat abad dia lakoni. Banyak hal yang dia ceritakan. Aku pun setia mendengar, seraya sesekali memberikan semacam nasihat biar dia kuat, manakala dia bercerita tentang hal-hal yang membuat hati terasa pilu. Sebaliknya, tentu kami akan tertawa terbahak-bahak, membahana seisi kampung, bila ada hal menggelikan yang saling kami utarakan. Sesekali, tak lupa pula kami menertawai diri kami sendiri. Orang lain yang entah itu siapa, pun tak luput dari bahan gurauan kami. Begitulah cara kami menikmati hidup.

                Malam itu, pada sebuah bangku panjang di depan rumah sebuah keluarga, duduklah aku dan kawanku itu. Di antara gulita yang berteman dengan cahaya bulan dan taburan bintang, dia bercerita perihal nasib cintanya yang kembali karam. Duh, cinta lagi. Sungguh luar biasa kekuatan hal yang satu ini. Soal ini, kawanku bercerita bila entah yang untuk keberapa kalinya, dia gagal menjaga cintanya. Sebagai kawan dekat, tahulah aku sepak terjang dia dalam menjalin cinta, termasuk dengan siapa-siapa dia pernah merajut tali asmara itu. Mukanya mungkin biasa, tapi entah kenapa begitu banyak perempuan yang terpesona, lalu jatuh cinta, lalu jadilah mereka sepasang kekasih yang lupa bahwa di muka bumi ini penghuninya bukan hanya mereka berdua. Heran aku sebetulnya dengan hal yang satu ini. Namanya juga manusia, punya hal lain yang barangkali menjadi kelebihannya, sehingga perempuan mana pun senewen bila gagal merampok hatinya. Sayangnya, malam itu dia bersedih, gagal lagi dia memadu kasih untuk naik pelaminan.

                “Apa lagi persoalannya?” tanyaku.

                “Memang kami bukanlah jodoh,” selalu itu jawaban semula yang ia berikan. Setelahnya, barulah dia berpanjanglebar menceritakan dari A sampai Z cerita cintanya dengan perempuan yang sedang jadi objek pembicaraan kami malam itu,bagaimana dulu mereka bisa saling mencintai, hal-hal yang telah mereka jalani dalam kurun waktu mereka berstatus sebagai sepasang kekasih yang lupa bahwa penghuni dunia ini bukan hanya mereka berdua tadi, sampai akhirnya kandas menyisakan sakit hati yang tak terperi. Duh, kawan, pilu sekali rasanya.

                “Sudahlah,” kataku kemudian, macam biasa pula. “Sebagaimana yang kamu utarakan, mungkin kalian bukanlah jodoh yan harus bersama selamanya. Bila memang jodoh, percayalah bahwa kelak kalian pasti akan kembali menjadi satu.” Duh, sedap sekali terdengar oleh telinga susunan kata yang aku sampaikan itu. Padahal, aku pun punya cerita yang tak jauh berbeda dengan dia.

                Sebagai kawan dekat, tentu aku begitu paham akan perasaan yang sedang ditanggung oleh kawanku itu. Bagaimanapun perasaannya manakala mengenal perempuan itu sejak semula, lalu perasaannya kemudian, sampai perasaannya yang sekarang, tetaplah bahwa perempuan itu pernah menjadi bagian dari hidupnya yang sudah mengisi hari-harinya menjadi lebih bermakna dan berwarna. Soal ragu yang terus menghantuinya, yang dia sendiri pun bingung oleh karena apa, aku pikir hal itu memang lazim terjadi. Membuat keputusan besar yang menentukan jalan hidup seseorang di masa yang akan datang dalam situasi seperti itu, pun bukanlah tindakan yang bijaksana.

                Begitulah kira-kira. Ceritanya lagi, dia bukan sakit lantaran harus berpisah dengan perempuan itu, melainkan sulit menerima sebab perempuan itu lebih memilih laki-laki lain. Seperti biasa, aku senantiasa membesarkan hatinya. Sebagai kawan, tentu aku tak ingin dia terus membenamkan dirinya dalam sakit hati yang terlalu dalam. Kuceritakan sesekali bahwa aku pun pernah merasakan hal yang sama, bahkan barangkali jauh lebih menyakitkan. Sungguh tak mudah memang melupakan hal yang menyakitkan dalam hitungan satu kedipan mata. Semua butuh waktu, sampai kita bisa menerima itu semua sebagai bagian dari hidup yang mau tak  mau harus kita tempuh, demi hidup yang lebih baik di kemudian hari. Duh, mulailah aku jadi orang sok bijak malam itu.

                Seperti itulah cerita kawanku. Setiap kali berjumpa, selalulah dia bercerita banyak hal kepadaku, tak terkecuali soal asmara yang membuatnya sampai takut gagal di masa yang akan datang. Dia trauma kadang-kadang. Aku pun selalu siap menjadi pendengar setia. Sampai sebuah sore, dia datang ke rumahku seraya berteriak-teriak dari depan rumah. Langsunglah aku diajaknya menuju sebuah pantai. Pantai itu dulu pernah kami sambangi bersama. Seringlah kami bercakap-cakap di sana, di atas batu granit legam nan raksasa. Sayang, belum ada jalan berlapis aspal menuju ke pantai jelita itu. Sore itu pun, kami langsung melompat pada salah satu batu granit paling raksasa. Dengan demikian, leluasalah kami memandangi keindahan alam di penghujung barat Laut Jawa itu.

                Dari raut mukanya, aku tahu ada hal yang hendak dia sampaikan. Ia begitu riang sore itu. Apa kataku, manakala aku menanya perihal niatnya untuk melamar seseorang yang sudah ia sampaikan pada seseorang itu, pun pada orang tua dia sendiri, dengan sumringah dia berkata bahwa ada seseorang yang tiba-tiba berhasil membuat hatinya tentram. Duh, bingung aku jadinya. Bagaimana tidak, setahuku, sebagaimana cerita dia, sudah mantap niatnya untuk menyunting seseorang yang dulu memang sempat dekat dengannya. Perempuan itu sungguh jelita. Bila dia mau denganku, barangkali belum selesai dia bertanya sudah aku jawab "ya". Sayangnya, menatapku pun dia tak sudi barangkali. Beruntunglah kalau dia sampai menikah dengannya. Sayangnya, cerita sore itu merubah segalanya.

                “Jadi, mana yang akan kamu jalani, kawan?” tak tahan aku tak bertanya.

                “Entahlah. Hanya saja, aku merasa nyaman dengan perempuan yang tiba-tiba datang itu,” paparnya dengan senyum tak berhenti mengembang, Setelahnya, seperti yang telah aku duga, tak berhenti pula dia memuji perempuan itu. Sesungguhnya, aku pun tahu siapa gerangan perempuan itu. Dia memang perempuan baik. Jadi, beruntunglah laki-laki yang bisa mendapatkan cintanya. Hanya saja, persoalan sekarang bukanlah soal baiknya perempuan itu, melainkan soal pilihan yang harus kawanku itu tetapkan. Jujur, aku tak mau dia menyakiti siapapun.

                “Jadi?”

                “Aku ingin dengan dia yang sekarang,” jawabnya tanpa menatapku. Dasar gila. Sebagai kawan, aku pun mendukung setiap keputusannya, selama itu baik baginya. Semoga dia menjadi yang terakhir untukmu, begitu kira-kira kataku setelahnya. Oleh entak karena apa, muka kawanku itu tiba-tiba berubah muram. Jadilah aku tak enak hati. Ada apa ini? Dia menatapku. Aku mengangkat kedua alisku, member isyarat ada hal apa lagi gerangan yang terjadi.

                “Ada apalagi? Bingung?”

                “Bukan. Aku tak bingung. Aku sudah mantap. Dia adalah sosok perempuan yang selama ini aku idam-idamkan. Tuhan memang baik rupanya, kawan.”

                “Lalu, apa masalahmu?”

                Dia menarik nafas panjang seraya mebenarkan letak duduknya.

                “Kadang-kadang, aku berpikir, mengapa aku bisa selalu gagal soal cinta? Lebih-lebih pada kegagalan yang terakhir, dengan dipilihnya laki-laki lain selain aku, aku merasa bukanlah laki-laki terbaik baginya. Pilu rasanya membayangkan itu semua. Mengapa aku tak bisa menjadi yang terbaik bagi dia?”

                “Bukankah kamu begitu bahagia dengan perempuan yang mencintaimu sekarang, dan kamu pun begitu mencintainya?”

                “Iya, aku bahagia,” katanya.

                “Lalu, mengapa kamu terus bersedih hati?”

                “Tiada apa-apa. Hanya saja, aku sedih tidak bisa menjadi yang terbaik bagi kekasihku dulu, hingga dia memilih laki-laki lain. Itu artinya, aku bukan yang terbaik baginya, kawan.”

                Aku tersenyum, pahamlah aku maksudnya.

                “Sekarang, aku ingin bertanya sesuatu hal padamu,” kataku kemudian.

                “Apa itu?”

                “Apakah kamu merasakan bahwa kekasihmu sekarang adalah yang terbaik untukmu?”

                “Tentu. Dia adalah doaku yang dikabulkan oleh Tuhan. Dia adalah sosok perempuan yang selama ini, sejak dulu, selalu aku pinta dalam setiap doaku itu.”

                “Teranglah sekarang. Benar barangkali katamu tadi. Kamu memang bukan yang terbaik bagi kekasihmu yang dulu, barangkali laki-laki itulah yang terbaik. Tapi, tak usah risau. Dengan begitu bahagianya kamu dengan perempuanmu yang sekarang, perempuan yang katamu sosoknya selalu kamu pinta dalam setiap doa, perempuan terbaik, itu artinya kekasihmu dulu pun bukan yang terbaik untukmu. Perempuan kekasihmu yang sekaranglah yang terbaik untukmu, kawan. Seperti katamu tadi, Tuhan itu baik. Itu barangkali sebabnya mengapa Dia tak menyatukan kamu dengan kekasihmu dulu, sebab Dia sudah pasti tahu bahwa itu bukan yang terbaik untuk kalian. Mungkin, akan ada hal terburuk yang akan terjadi bila kalian dulu tetap terus bersama.”

                Lama sekali, kawanku itu masih terdiam. Dia menatap ombak sore itu yang saling berkejaran, berlomba siapa cepat mencumbu pantai. Setelahnya, dia berpaling, menatapku penuh misteri. Mudah-mudahan tak ada hantu pantai yang sedang tak punya kerjaan sore itu, lalu masuk merasuki kawanku yang sedang tertimpa gulana. Langsung dia tersenyum lebar, lebih lebar dari bibir seorang badut di pesta ulang tahun, lalu merangkulku dengan erat. Eh, aku melihat-lihat sekeliling. Beruntung, tak ada makhluk Tuhan bernama manusia yang melihat adegan menggiurkan sore itu. Selamatlah reputasiku.

Bangka, 20 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar