Rabu, 16 Desember 2015

3 LAKI-LAKI (PART 1)

"Kupersembahkan tulisan sederhana ini kepada tiga orang kawan yang pernah datang ke rumah kami yang pula sederhana."


               Pelan-pelan, mobil yang dikendarai oleh Hendry memasuki pekarangan terminal Bandar Udara Depati Amir Pulau Bangka. Sore itu, aku lebih banyak diam. Sore itu pula, tak tahulah aku sedang dilanda rasa bernama apa. Senyap, hanya itu yang aku rasakan sejak pagi datang menjelma. Pagi itu adalah pagi terakhir tiga orang kawanku berada di kampung halaman kami yang jauh dari hiruk pikuk ini. Pagi itu, ingin rasanya aku meraih matahari, menggodanya biar tak lekas beranjak menuju siang. Masih di pagi yang sama, ingin aku menodong matahari dengan sebilah pisau biar dia mau mengikuti kehendakku; terlelap dalam waktu yang lama. “Nanti, apabila sudah waktunya tiba, barulah kau akan aku bangunkan dari lelapmu,” begitulah rencanaku. Sayangnya, matahari tak bisa dirayu. Dia tak akan meninggalkan tugas mulianya itu barang sedetik pun, tak terkecuali bila gelap menutupinya dengan gumpalan awan.

                “Terimakasih banyak, kawan. Sampai jumpa lagi. Main-mainlah ke Jakarta. Salam sama semua,” begitulah kira-kira kata demi kata yang diucapkan oleh tiga kawanku itu bila disatukan dalam beberapa kalimat sederhana. Seraya mendo’akan mereka untuk berhati-hati dan selamat sampai tujuan, disertai seutas senyuman yang sangatlah tipis, aku langsung meninggalkan mereka yang sedang mengantri pada pintu masuk terminal bandara. Setiap kali mengantarkan orang ke bandara, selalu aku berdiri di balik pagar pembatas sampai orang yang aku antar menghilang di balik kaca. Sore itu, aku tak melakukan itu. Cepat-cepat aku meninggalkan mereka, lalu segera masuk ke dalam mobil yang kursi-kursinya sudah melompong.

                Dalam mobil, lama aku terdiam. Dalam kepala, terbayang olehku tiga orang kawanku yang melewati security check dengan sebongkah oleh-oleh dalam kardus khas orang yang hendak meninggalkan Pulau Bangka, menuju counter check in maskapai yang akan mereka tumpangi, lalu duduk pada kursi menghadap landasan pacu bandara dari balik jendela kaca. Duh! Kuhidupkan mesin mobil, lalu pelan-pelan aku giring dia keluar area bandara, berbelok ke kiri, menuju komplek perkantoran gubernur provinsi kami yang masih remaja ini. Sesekali, aku menoleh ke kiri, melihat kalau-kalau ada satu atau dua pesawat terbang yang lepas landas. Lalu, aku berhenti pada sisi jalan, sebelum akhirnya putar balik menuju jalan yang tadi aku lewati dari bandara. Pada sebuah ruas jalan, kembali aku berhenti. Lama berdiam, aku memutuskan untuk keluar lalu duduk pada trotoar yang sepi.

                “Mereka terbang jam berapa?’ tanya Umak manakala kami datang dari sebuah toko oleh-oleh di Jalan Sudirman Pangkalpinang, sebelum menuju bandara. Pagi itu, Umak datang ke Pangkalpinang dari kampung halaman kami yang jauh bersemayam di paling selatan pulau ini. Niatnya, ingin menengok seraya menjaga cucu pertamanya, anak dari Abang, sementara Abang dan istrinya harus bekerja.

                “Sore, Mak, kira-kira jam setengah empat,” jawabku lantas duduk pada kursi yang mengahap ke televisi.

                “Sepi mendadak rasanya rumah kita. Malam hari setelah kalian berangkat ke sini, rumah begitu senyap. Ayah bilang, biasanya saban malam kita selalu mendengar mereka tertawa terbahak-bahak di kamar anak kita yang sempit itu.”

                Mungkin, apa yang dirasakan oleh Ayah dan Umak, serupa itulah aku. Rasanya, baru kemarin sore antara percaya dan tidak sebab takut mereka, terutama Hendry, menipuku dengan telak bahwa mereka betul akan terbang ke Pulau Bangka. Pagi-pagi sekali di hari yang sama dengan sore itu, salah seorang dari mereka mengirimkan sebuah foto kepadaku yang berisi sosok mereka bertiga dengan penampilan bagai orang yang hendak bepergian jauh. Sayangnya, tak lekas aku percaya. Setelahnya, pada sebuah akun media sosial, diunggahlah salah satu foto yang menggambarkan bahwa mereka sedang berada di Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta di Cengkareng. Belum pula aku percaya. Barulah aku percaya kalau mereka betul-betul datang ke Pulau Bangka manakala aku mendapati mereka berjalan dengan gagahnya memasuki terminal bandara, melalui sebuah layar yang dipasang di pintu kedatangan Bandar Udara Depati Amir. Sudah macam orang gila aku sore itu. Senyum-senyum sendiri terlampau senangnya.

                Sekarang, mereka kembali ke Jakarta. Sepi, begitulah jadinya.

***
                Dari dulu, aku memang gemar mengajak kawan untuk datang bertandang ke kampung halaman kami yang katanya begitu jauh dari pusat kota. Bagaimana tidak, kampung kami letaknya paling selatan Pulau Bangka. Setelahnya, tak ada lagi perkampungan, kecuali tepian selatan Pulau Bangka dengan berderet-deret pantai aneka rupa. Mereka, pantai-pantai itu, eloknya bukan main. Itu artinya, kampung kami letaknya paling ujung. Orang-orang sering mengatakan, bahwa kampung macam kampung kami masuk kategori kampung mati, yakni kampung yang tak ada lagi kampung setelahnya. Sering pula aku mendengar orang berkata perihal kampung mati itu. Katanya, kampung mati itu biasanya sepi, sebab tak banyak orang yang lalu lalang dengan berupa-rupa jenis kendaraan. Sayangnya, hipotesa itu tak terbukti pada kampung kami. Saban hari, apalagi hari Minggu, tak terhitung rasanya orang lalu lalang melintasi kampung kami yang katanya mati ini. Penyebabnya adalah penghujung kampung kami yang elok. Di sana, bersemayam begitu banyak pantai. Pantai-pantai itulah yang didatangi oleh orang-orang entah darimana asalnya. Itulah mengapa kemudian kampung kami tak sesepi kampung mati yang lain.

                Soal mengajak kawan untuk datang, sempatlah aku ragu. Bukan apa-apa, aku takut kawan-kawanku yang datang kelak kecewa akan rumahku yang ternyata sangatlah sederhana. Lama-lama, pola pikirku berubah. Bila menunggu rumah keluargaku mewah macam rumah kawan-kawanku itu, kapan aku bisa mengajak mereka untuk datang? Bukannya aku tak bersyukur menjadi bagian dari keluarga petani macam Ayah dan Umak, sebaliknya aku bangga. Serupa apa pun rumah yang kami tempati, itulah hasil kerja keras kami. Mulai dari itu, kuajaklah kawan-kawanku untuk datang.

                “Mereka akan datang ke sini?” begitu Umak menanggapinya manakala aku mengabarinya bahwa sebentar lagi, beberapa orang kawan kuliahku akan datang dari Pangkalpinang.

                “Iya, Mak. Mengapa Umak begitu terkejut rupanya?” kataku menggoda Umak dengan mukanya laksana orang cemas. Dalam lubuk hatinya, aku tahu Umak gundah. Ia gulana lantaran takut kalau-kalau kawan-kawanku itu merasa tak enak hatinya setelah menginjakkan kaki di rumah kami yang sederhana ini.

                “Nak, tidakkah kau sadari kondisi rumah kita?” Sudah kuduga bukan? Aku tahu apa yang sedang mendera hati Umak.

                “Sudahlah, Mak. Biarlah tak mengapa. Sudah kusampaikan kepada mereka perihal rumah kita. Mereka tetap mau datang, mau bilang apa? Lagipula dulu kawan kuliahku sering datang ke rumah manakala mereka Kuliah Kerja Nyata di kampung kita yang pelosok ini.”

                Itulah kali pertama aku mengajak kawan-kawanku datang ke kampung halaman kami. Setelahnya, tak terhitung lagi rasanya seberapa sering aku mengajak kawanku untuk datang. Setelah bekerja seusai jadi sarjana, sempat pula aku mengajak rekan-rekan kerjaku, tak terkecuali orang nomor wahid di kantorku itu untuk datang. Pokoknya, tak terhitung lagi berapa kali kawanku datang dari kota, pun tak tersebut lagi nama-nama mereka yang datang. Setelahnya,Ayah dan Umak pun senang bila ada kawanku yang datang. Di teras rumah, samar-samar kudengar Ayah dengan gembira bercerita kepada siapa saja yang bertanya perihal tamu darimana gerangan yang datang. Setelah mereka pulang, senyum-senyum aku langsung menhampiri Umak.

                “Ada apa kiranya?”

                “Mak, tahu tidak kawan-kawanku itu mengatakan apa?”

                “Apa kata mereka?”

                “Mereka bilang, masakan Umak enak-enak! Bukan main enaknya, Mak!”

                “Oya? Iyalah, inikan Umakmu, sudah barang tentu masakannya juara!” Maka, sombonglah Umakku.

                Begitulah caraku menghibur Umak manakala kawan-kawanku sudah pulang. Aku tak sedang bersenda. Apa yang aku utarakan ke Umak adalah apa yang disampaikan kawan-kawanku perihal masakan Umak yang konon memang selalu enak rasanya. Soal itu, aku tak meragukan lagi. Hanya saja, aku tak menduga rupanya cita rasa masakan Umak begitu diminati. Acing, kawanku orang Tionghoa itu sempat jatuh cinta dengan Masek Parik hasil kepiawaian Umak dalam mengolah masakan khas Pulau Bangka. Rere, kawanku yang sering betul tak akur dengaku itu, cinta mati dengan Gangan Kulat Bekelapak (Lempah Jamur Santan), pun hasil tangan dingin Umak. Terlampau cinta matinya, sampai-sampai bila ia menikah kelak, ia mau Umak yang memasak lauk itu untuk disajikan kepada tamu undangan. Ah, pokoknya banyak sekali kawan-kawanku jatuh cinta pada masakan Umak. Alhasil, senyum-seyum malu Umak setiap kali aku memberitahunya perihal puja-puji itu. Lalu, bersombong-rialah dia di hadapanku, anaknya ini.

                Soal mengajak kawan-kawan untuk datang, Ayah dan Umak pernah terbahak-bahak mendengar ceritaku perihal tanggapan Abang manakala aku memberitahunya bahwa baru saja aku mengundang kawan-kawan untuk datang ke rumah. Itu tak lama setelah kawan-kawanku datang untuk kali pertama. Pada Abang yang kala itu sedang berada di tempatnya bekerja, kuceritakanlah perihal kedatangan kawanku itu. Betapa terkejutnya dia mendengar ceritaku itu, lebih ketika aku ceritakan kepadaku bahwa dari kawan-kawanku itu ada seseorang yang bukan hanya sekadar kawan biasa. Ya,dia sang pujaan hati, sekaligus pujaan hati pertama yang aku ajak datang ke rumah sejak pertama kali aku berkenalan dengan cinta.

                “Apa katamu, Dik? Kau ajak dia datang ke rumah kita yang sederhana itu?” katanya seolah tak percaya.

                “Iya, kuajak dia bertemu Ayah dan Umak,” jawabku santai.

                “Bukan itu soalnya, Dik. Tak takutkah kamu setelahnya, setelah dia melihat kondisi rumah kita yang sederhana itu, dia akan meninggalkan kamu?”

                “Haha…” lepaslah tawaku. “Biarlah,” kataku setelahnya.”Apabila benar kemudian dia meninggalkanku, berarti dia tidak mencintaiku dengan setulus hati.”

                Mendengar itu, Abang hanya tersenyum. “Dasar gila!” begitu barangkali dalam hati Abang. Beda denganku, Abang memang tak pernah mengajak pujaan hatinya bertemu Ayah dan Umak di kampung. Setengah tahun menjelang mereka menikah, barulah Abang mengenalkan perempuan yang sekarang sudah memberinya satu orang anak itu pada Ayah dan Umak. Sementara aku, sudah mengajak pujaan hati kala itu bertemu Ayah dan Umak jauh sebelum Abang, sekalipun kusisipi dia diantara kawan-kawanku yang lain. Salah satu diantara kawan-kawanku itu adalah kakaknya sendiri, kawan kuliahku. Itulah mengapa kemudian Ayah menggodaku dengan membanding-bandingkanku dengan seorang haji juragan lada di kampung sebelah.

                “Punya ilmu licik juga rupanya kamu, Nak. Kakaknya kamu ajak berkawan baik, sementara adiknya kamu rayu sebagai kekasihmu. Sudah macam pak haji itu saja tampaknya,” katanya seraya menyebutkan nama pak haji yang anaknya berkawan akrab pula denganku itu. Menurut cerita Ayah, pak haji yang dia maksud dulu bisa memperistri perempuan yang sekarang menjadi ibu dari anak-anaknya itu, adalah dengan cara menjadikan kakaknya sebagai kawan yang akrab. Ah, Ayah, macamlah aku ini tak tahu bagaimana perjuangan Ayah mendapatkan istri paling jelita yang konon punya sepasang orangtua lumayan keras menjaga lima anak gadisnya pada masa itu. Umak adalah salah satu dari lima orang gadis itu.

***
                Seringnya aku mengajak kawan-kawan untuk datang ke kampung halaman kami, rupanya berlanjut sampai aku kuliah lagi di tanah Jawa. Pada kawan-kawan yang aku kenal di sana kemudian, sering kutawari mereka untuk datang ke Pulau Bangka. Pada mereka pula kuceritakan perihal eloknya pulau kami dengan pantai-pantai dan pulau-pulau kecilnya yang rupawan. Banyak dari mereka yang tertarik untuk datang. Apalagi, sedikit banyak mereka sudah tahu akan keindahan kepulauan kami sebagaimana yang dilukiskan dalam film Laskar Pelangi. Sekalipun film itu menampilkan sisi cantik Pulau Belitung, karakter pantai yang sama membuatku tak susah-susah menjelaskan lebih lanjut kepada mereka perihal rupa Pulau Bangka. “Pokoknya, mirip-mirip seperti itulah,” kataku mengakhiri promosi.

                Maksudku mengajak mereka untuk datang sesungguhnya sangatlah sederhana. Aku hanya ingin mereka tahu bahwa tak jauh dari ibukota negara, ada kepulauan cantik yang bisa dijadikan sebagai pilihan tujuan wisata selain Pulau Lombok, lebih-lebih bagi mereka yang mulai jenuh dengan Pulau Bali. Setelahnya, aku berharap mereka bisa menceritakan perihal keelokan kepulauan kami itu pada kawan yang lain. Mereka lalu pun datang, bercerita lagi pada kawan lain, begitulah seterusnya. Maka, ramailah kepulauan kami yang sedang giat ingin mengalahkan duet Bali dan Lombok ini. Selain itu,tentu aku ingin memperkenalkan mereka dengan keluargaku di kampung halaman.

                Manakala dengan berapi-api aku mengajak kawan-kawanku untuk datang, dalam kepala terpikir olehku reaksi Umak bila hal ini kusampaikan padanya. Kurasa, sudah tahulah bagaimana raut muka perempuan hebat itu. Apalagi, kali ini yang kuajak bukanlah kawan yang sama-sama tinggal di Pulau Bangka. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia, yang oleh Umak dianggapnya mereka semua sebagai orang kaya dengan rumah mewah. Umak mungkin tak salah. Sebab, seingatku, di kelas aku kuliah, rasanya hanya aku mahasiswa dengan latar pekerjaan orangtua sebagai petani. Selebihnya adalah mereka dengan latar belakang pekerjaan orangtua sebagai PNS, hakim, bahkan pengusaha, dan jenis profesi tak memegang peralatan tani macam Ayah dan Umah. Hanya saja, aku tetap percaya diri bergaul dengan mereka. Aku tetap bangga, bahkan semakin bangga dengan Ayah dan Umak nun jauh di kampung halaman sana.

                “Dia mau ke sini?” terbelalak mata Umak manakala kusampaikan padanya bahwa salah seorang kawan dekat akan datang.

                “Iya. Dia sudah beli tiket pesawat terbang. Penghujung minggu ini dia akan terbang ke sini,” kataku ringan seraya melirik muka Umak yang seolah menganggapku bersenda. Senyum-senyum aku melihatnya. “Tenang, Mak, masakan Umak itu enaknya tiada tanding!”

                Senyum Umak akhirnya.

***
                “Berarti mereka Lebaran Idul Adha di sini?” kembali Umak terbelalak oleh kabar yang aku sampaikan padanya. Pagi itu, kusampaikan padanya bahwa Hendry, Adri, dan Ridho akan datang dari Jakarta ke kampung halaman kami tepat pada perayaan Idul Adha. Sebagaimana biasanya, selalu kuhibur Umak dengan berupa puja-puji perihal masakannya yang selalu membuat lidah enggan berhenti bergoyang bila sudah melahapnya. “Mereka tak berlebaran dengan orangtua mereka?” lanjut Umak.

                “Mak, tak macam di Bangka, di luar sana lebaran hanya ada satu kali dalam satu tahun, yakni Idul Fitri. Itu pun tak semeriah di kampung kita. Beda dengan di kampung kita yang selalu merayakan hari besar agama Islam serupa Lebaran Idul Fitri, ditambah Ruwahan yang konon hanya dirayakan di sini. Jadi, biarlah mereka terbelalak sendiri, menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa meriahnya Idul Adha di sini.”

                “Begitukah?”

                “Iya, Mak.”

                “Baiklah. Mau dimasakkan apa untuk mereka?”

                Senyum aku dibuat pertanyaan Umak yang terakhir ini. Sekalipun dibuka dengan raut mukanya yang menyiratkan rasa cemas, dalam hati aku tahu Ayah dan Umak senang bila ada kawanku yang datang. Suatu hari, pernah kami bercerita ringan pada sebuah meja makan kami yang panjang. Saat itu, Umak berceloteh seraya menatap langit-langit rumah yang menjulang, “Sekalipun rumah kita sederhana, tak terhitung lagi rasanya orang yang datang. Orang-orang jauh pula. Mulai dari kawan sesama mahasiswa, dosen yang kamu jadikan kawan terlampau karibnya kalian, kepala bank, salah seorang pengacara terkenal di pulai ini, dan masih banyak lagi.”

                Saat itu, aku langsung menunduk seraya mengunyah dengan pelan makanan yang dibuat Umak pagi-pagi sekali. Setetes air jatuh ke lantai. Sekali lagi, tak tahulah rasa apa yang sedang menderaku pagi itu. Pagi itu, aku tahu Ayak dan Umak bukan tak mampu membangun rumah mewah macam tetangga-tetangga yang lain. Sekalipun dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) Ayah terteta kata “tani” di kolom pekerjaan, dan “Ibu Rumah Tangga” di kolom pekerjaan KTP milik Umak, mereka bukan petani biasa. Berkat ketekunan, rasa sabar menanam lada sekalipun harganya sempat anjlok akibat badai krisis ekonomi tahun 1998, keluarga kami tetap bisa bertahan hingga kini.

                “Mengapa Pak Cik dan Mak Cik tak lekas membangun rumah mewah macam orang-orang?’ sering kudengar orang-orang bertanya macam ini pada Ayah dan Umak. “Bukankah hasil panen saban tahun selalu melimpah? Paling tidak, cukuplah untuk membangun rumah.”

                “Soal itu, tak akan kami membeli apa pun, membangun apa pun, sebelum anak-anak kami tuntas bersekolah,” itulah jawaban pamungkas Ayah dan Umak. Mendengar itu, tak kuasa aku menahan air mata ini biar tak mengalir di pipi. Pada diriku sendiri, kusampaikan bahwa aku tak punya alasan untuk tidak sekolah dengan baik. Pada dua adikku, sering pula aku sampaikan agar mereka membuat Ayah dan Umak kecewa. Sampai pagi itu, teringat kembali olehku jawaban sederhana yang selalu diberikan oleh Ayah dan Umak pada orang yang bertanya hal semacam itu. Dalam hati, aku berjanji untuk berusaha sebaik mungkin agar bisa membuat Ayah dan Umak tetap tersenyum di hari tua mereka.

                ***
                Menjelang petang, aku mendatangi Abang di rumahnya di ujung barat Pangkalpinang. Pada Abang, kusampaikan pula perihal tiga orang kawanku yang akan datang ke kampung kami. Bedanya, reaksi Abang kali ini tergolong biasa saja. Dia sudah paham betul barangkali. Dia pun berjanji akan menemaniku ke bandara, menjemput tiga orang kawanku yang kata mereka akan segera mendarat itu. Berangkatlah kami bersama anak laki-lakinya yang masih balita menuju bandara, mengendarai mobil sedan yang Abang beli hasil jerih payahnya bekerja di perusahaan tambang milik pemerintah di pulau kami.

                Sesampai di Bandar Udara Depati Amir, cepat-cepat aku berjalan menuju pintu kedatangan. Kulihat jadwal penerbangan pada sebuah layar yang terpajang pada sebuah sisi dinding. Sebagaimana jadwal yang tertera, maskapai yang mereka tumpangi seharusnya sudah mencumbu landasan pacu. Lagipula, dalam perjalanan menuju bandara, sempat kami melihat sebuah pesawat dengan logo maskapai sebagaimana yang mereka sampaikan kepadaku, terlihat menukik pelan. Pesawai itu aku yakini sebagai pesawat yang mereka tumpangi. Tapi, mengapa mereka tak kunjung terlihat batang hidungnya? Duh, jangan-jangan betul mereka sudah “menipuku” dengan kejam. Sayangnya, sebagai orang yang pun sering “menipu” mereka, tak ada alasanku untuk marah sore menjelang petang itu.Jangan-jangan betul mereka memang terbang dari Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta di Cengkarang, tapi bukan ke Pulau Bangka, melainkan ke tempat lain. Lama aku menatap layar televisi di samping pintu kedatangan, tak kunjung aku mendapati wajah mereka tampak di sana.

                Apa pesawat yang mereka tumpangi belum tiba? Sekali lagi, entah yang untuk keberapa kalinya, aku memeriksa ulang tiket dalam format digital yang dikirimakan oleh Hendry. Melihat itu, tak mungkin rasanya mereka berbohong-ria. Itu tiket asli, resmi dibelinya dari salah satu situs jual beli tiket online terbesar di negara ini. Dulu, aku pun sering berburu tiket di situs itu. Itu sebabnya, aku tahu betul kalau tiket itu asli, pun sudah dibeli setelah melewati serangkaian proses sampai akhirnya tiket bisa dicetak oleh pembeli. Tapi, mengapa mereka tak kunjung terlihat mukanya? Dengan seksama, tak lepas aku memantau orang-orang yang masuk ke terminal bandara satu demi satu. Lama sekali, sebelum akhirnya tiga orang berbadan sangat makmur, lumayan makmur, dan setengah makmur serupa badanku sendiri, berjalan dengan gagahnya. Itu mereka! Sungguh sulit dipercaya rasanya bisa melihat wajah-wajah tak asing itu di sini.

                “Itu mereka sudah datang,” kataku pada Abang yang jalan sana jalan sini mengikuti polah anaknya yang tak mau diam.

BERSAMBUNG...

City of Victory, 16 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar