"Kupersembahkan tulisan sederhana ini kepada tiga orang kawan yang pernah datang ke rumah kami yang pula sederhana."
Pelan-pelan,
mobil yang dikendarai oleh Hendry memasuki pekarangan terminal Bandar Udara
Depati Amir Pulau Bangka. Sore itu, aku lebih banyak diam. Sore itu pula, tak
tahulah aku sedang dilanda rasa bernama apa. Senyap, hanya itu yang aku rasakan
sejak pagi datang menjelma. Pagi itu adalah pagi terakhir tiga orang kawanku
berada di kampung halaman kami yang jauh dari hiruk pikuk ini. Pagi itu, ingin
rasanya aku meraih matahari, menggodanya biar tak lekas beranjak menuju siang.
Masih di pagi yang sama, ingin aku menodong matahari dengan sebilah pisau biar
dia mau mengikuti kehendakku; terlelap dalam waktu yang lama. “Nanti, apabila
sudah waktunya tiba, barulah kau akan aku bangunkan dari lelapmu,” begitulah
rencanaku. Sayangnya, matahari tak bisa dirayu. Dia tak akan meninggalkan tugas
mulianya itu barang sedetik pun, tak terkecuali bila gelap menutupinya dengan
gumpalan awan.
“Terimakasih banyak, kawan. Sampai jumpa lagi. Main-mainlah ke Jakarta. Salam sama semua,” begitulah kira-kira kata demi kata yang diucapkan oleh tiga kawanku itu bila disatukan dalam beberapa kalimat sederhana. Seraya mendo’akan mereka untuk berhati-hati dan selamat sampai tujuan, disertai seutas senyuman yang sangatlah tipis, aku langsung meninggalkan mereka yang sedang mengantri pada pintu masuk terminal bandara. Setiap kali mengantarkan orang ke bandara, selalu aku berdiri di balik pagar pembatas sampai orang yang aku antar menghilang di balik kaca. Sore itu, aku tak melakukan itu. Cepat-cepat aku meninggalkan mereka, lalu segera masuk ke dalam mobil yang kursi-kursinya sudah melompong.
Dalam
mobil, lama aku terdiam. Dalam kepala, terbayang olehku tiga orang kawanku yang
melewati security check dengan sebongkah oleh-oleh dalam kardus khas orang yang
hendak meninggalkan Pulau Bangka, menuju counter check in maskapai yang akan
mereka tumpangi, lalu duduk pada kursi menghadap landasan pacu bandara dari
balik jendela kaca. Duh! Kuhidupkan mesin mobil, lalu pelan-pelan aku giring dia
keluar area bandara, berbelok ke kiri, menuju komplek perkantoran gubernur
provinsi kami yang masih remaja ini. Sesekali, aku menoleh ke kiri, melihat
kalau-kalau ada satu atau dua pesawat terbang yang lepas landas. Lalu, aku
berhenti pada sisi jalan, sebelum akhirnya putar balik menuju jalan yang tadi
aku lewati dari bandara. Pada sebuah ruas jalan, kembali aku berhenti. Lama
berdiam, aku memutuskan untuk keluar lalu duduk pada trotoar yang sepi.
“Mereka
terbang jam berapa?’ tanya Umak manakala kami datang dari sebuah toko oleh-oleh
di Jalan Sudirman Pangkalpinang, sebelum menuju bandara. Pagi itu, Umak datang
ke Pangkalpinang dari kampung halaman kami yang jauh bersemayam di paling
selatan pulau ini. Niatnya, ingin menengok seraya menjaga cucu pertamanya, anak
dari Abang, sementara Abang dan istrinya harus bekerja.
“Sore,
Mak, kira-kira jam setengah empat,” jawabku lantas duduk pada kursi yang
mengahap ke televisi.
“Sepi
mendadak rasanya rumah kita. Malam hari setelah kalian berangkat ke sini, rumah
begitu senyap. Ayah bilang, biasanya saban malam kita selalu mendengar mereka
tertawa terbahak-bahak di kamar anak kita yang sempit itu.”
Mungkin,
apa yang dirasakan oleh Ayah dan Umak, serupa itulah aku. Rasanya, baru kemarin
sore antara percaya dan tidak sebab takut mereka, terutama Hendry, menipuku
dengan telak bahwa mereka betul akan terbang ke Pulau Bangka. Pagi-pagi sekali
di hari yang sama dengan sore itu, salah seorang dari mereka mengirimkan sebuah
foto kepadaku yang berisi sosok mereka bertiga dengan penampilan bagai orang
yang hendak bepergian jauh. Sayangnya, tak lekas aku percaya. Setelahnya, pada
sebuah akun media sosial, diunggahlah salah satu foto yang menggambarkan bahwa
mereka sedang berada di Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta di
Cengkareng. Belum pula aku percaya. Barulah aku percaya kalau mereka
betul-betul datang ke Pulau Bangka manakala aku mendapati mereka berjalan
dengan gagahnya memasuki terminal bandara, melalui sebuah layar yang dipasang
di pintu kedatangan Bandar Udara Depati Amir. Sudah macam orang gila aku sore
itu. Senyum-senyum sendiri terlampau senangnya.
Sekarang,
mereka kembali ke Jakarta. Sepi, begitulah jadinya.
***
Dari
dulu, aku memang gemar mengajak kawan untuk datang bertandang ke kampung
halaman kami yang katanya begitu jauh dari pusat kota. Bagaimana tidak, kampung
kami letaknya paling selatan Pulau Bangka. Setelahnya, tak ada lagi
perkampungan, kecuali tepian selatan Pulau Bangka dengan berderet-deret pantai
aneka rupa. Mereka, pantai-pantai itu, eloknya bukan main. Itu artinya, kampung
kami letaknya paling ujung. Orang-orang sering mengatakan, bahwa kampung macam
kampung kami masuk kategori kampung mati, yakni kampung yang tak ada lagi
kampung setelahnya. Sering pula aku mendengar orang berkata perihal kampung
mati itu. Katanya, kampung mati itu biasanya sepi, sebab tak banyak orang yang
lalu lalang dengan berupa-rupa jenis kendaraan. Sayangnya, hipotesa itu tak
terbukti pada kampung kami. Saban hari, apalagi hari Minggu, tak terhitung
rasanya orang lalu lalang melintasi kampung kami yang katanya mati ini. Penyebabnya
adalah penghujung kampung kami yang elok. Di sana, bersemayam begitu banyak
pantai. Pantai-pantai itulah yang didatangi oleh orang-orang entah darimana
asalnya. Itulah mengapa kemudian kampung kami tak sesepi kampung mati yang
lain.
Soal
mengajak kawan untuk datang, sempatlah aku ragu. Bukan apa-apa, aku takut
kawan-kawanku yang datang kelak kecewa akan rumahku yang ternyata sangatlah
sederhana. Lama-lama, pola pikirku berubah. Bila menunggu rumah keluargaku
mewah macam rumah kawan-kawanku itu, kapan aku bisa mengajak mereka untuk
datang? Bukannya aku tak bersyukur menjadi bagian dari keluarga petani macam Ayah
dan Umak, sebaliknya aku bangga. Serupa apa pun rumah yang kami tempati, itulah
hasil kerja keras kami. Mulai dari itu, kuajaklah kawan-kawanku untuk datang.
“Mereka
akan datang ke sini?” begitu Umak menanggapinya manakala aku mengabarinya bahwa
sebentar lagi, beberapa orang kawan kuliahku akan datang dari Pangkalpinang.
“Iya,
Mak. Mengapa Umak begitu terkejut rupanya?” kataku menggoda Umak dengan mukanya
laksana orang cemas. Dalam lubuk hatinya, aku tahu Umak gundah. Ia gulana
lantaran takut kalau-kalau kawan-kawanku itu merasa tak enak hatinya setelah
menginjakkan kaki di rumah kami yang sederhana ini.
“Nak,
tidakkah kau sadari kondisi rumah kita?” Sudah kuduga bukan? Aku tahu apa yang
sedang mendera hati Umak.
“Sudahlah,
Mak. Biarlah tak mengapa. Sudah kusampaikan kepada mereka perihal rumah kita.
Mereka tetap mau datang, mau bilang apa? Lagipula dulu kawan kuliahku sering
datang ke rumah manakala mereka Kuliah Kerja Nyata di kampung kita yang pelosok
ini.”
Itulah
kali pertama aku mengajak kawan-kawanku datang ke kampung halaman kami.
Setelahnya, tak terhitung lagi rasanya seberapa sering aku mengajak kawanku
untuk datang. Setelah bekerja seusai jadi sarjana, sempat pula aku mengajak
rekan-rekan kerjaku, tak terkecuali orang nomor wahid di kantorku itu untuk
datang. Pokoknya, tak terhitung lagi berapa kali kawanku datang dari kota, pun
tak tersebut lagi nama-nama mereka yang datang. Setelahnya,Ayah dan Umak pun
senang bila ada kawanku yang datang. Di teras rumah, samar-samar kudengar Ayah
dengan gembira bercerita kepada siapa saja yang bertanya perihal tamu darimana
gerangan yang datang. Setelah mereka pulang, senyum-senyum aku langsung
menhampiri Umak.
“Ada
apa kiranya?”
“Mak,
tahu tidak kawan-kawanku itu mengatakan apa?”
“Apa
kata mereka?”
“Mereka
bilang, masakan Umak enak-enak! Bukan main enaknya, Mak!”
“Oya?
Iyalah, inikan Umakmu, sudah barang tentu masakannya juara!” Maka, sombonglah
Umakku.
Begitulah
caraku menghibur Umak manakala kawan-kawanku sudah pulang. Aku tak sedang bersenda.
Apa yang aku utarakan ke Umak adalah apa yang disampaikan kawan-kawanku perihal
masakan Umak yang konon memang selalu enak rasanya. Soal itu, aku tak meragukan
lagi. Hanya saja, aku tak menduga rupanya cita rasa masakan Umak begitu
diminati. Acing, kawanku orang Tionghoa itu sempat jatuh cinta dengan Masek
Parik hasil kepiawaian Umak dalam mengolah masakan khas Pulau Bangka. Rere,
kawanku yang sering betul tak akur dengaku itu, cinta mati dengan Gangan Kulat
Bekelapak (Lempah Jamur Santan), pun hasil tangan dingin Umak. Terlampau cinta
matinya, sampai-sampai bila ia menikah kelak, ia mau Umak yang memasak lauk itu
untuk disajikan kepada tamu undangan. Ah, pokoknya banyak sekali kawan-kawanku
jatuh cinta pada masakan Umak. Alhasil, senyum-seyum malu Umak setiap kali aku
memberitahunya perihal puja-puji itu. Lalu, bersombong-rialah dia di hadapanku,
anaknya ini.
Soal
mengajak kawan-kawan untuk datang, Ayah dan Umak pernah terbahak-bahak
mendengar ceritaku perihal tanggapan Abang manakala aku memberitahunya bahwa
baru saja aku mengundang kawan-kawan untuk datang ke rumah. Itu tak lama
setelah kawan-kawanku datang untuk kali pertama. Pada Abang yang kala itu
sedang berada di tempatnya bekerja, kuceritakanlah perihal kedatangan kawanku
itu. Betapa terkejutnya dia mendengar ceritaku itu, lebih ketika aku ceritakan
kepadaku bahwa dari kawan-kawanku itu ada seseorang yang bukan hanya sekadar
kawan biasa. Ya,dia sang pujaan hati, sekaligus pujaan hati pertama yang aku
ajak datang ke rumah sejak pertama kali aku berkenalan dengan cinta.
“Apa
katamu, Dik? Kau ajak dia datang ke rumah kita yang sederhana itu?” katanya
seolah tak percaya.
“Iya,
kuajak dia bertemu Ayah dan Umak,” jawabku santai.
“Bukan
itu soalnya, Dik. Tak takutkah kamu setelahnya, setelah dia melihat kondisi
rumah kita yang sederhana itu, dia akan meninggalkan kamu?”
“Haha…”
lepaslah tawaku. “Biarlah,” kataku setelahnya.”Apabila benar kemudian dia
meninggalkanku, berarti dia tidak mencintaiku dengan setulus hati.”
Mendengar
itu, Abang hanya tersenyum. “Dasar gila!” begitu barangkali dalam hati Abang.
Beda denganku, Abang memang tak pernah mengajak pujaan hatinya bertemu Ayah dan
Umak di kampung. Setengah tahun menjelang mereka menikah, barulah Abang
mengenalkan perempuan yang sekarang sudah memberinya satu orang anak itu pada
Ayah dan Umak. Sementara aku, sudah mengajak pujaan hati kala itu bertemu Ayah
dan Umak jauh sebelum Abang, sekalipun kusisipi dia diantara kawan-kawanku yang
lain. Salah satu diantara kawan-kawanku itu adalah kakaknya sendiri, kawan
kuliahku. Itulah mengapa kemudian Ayah menggodaku dengan
membanding-bandingkanku dengan seorang haji juragan lada di kampung sebelah.
“Punya ilmu
licik juga rupanya kamu, Nak. Kakaknya kamu ajak berkawan baik, sementara
adiknya kamu rayu sebagai kekasihmu. Sudah macam pak haji itu saja tampaknya,”
katanya seraya menyebutkan nama pak haji yang anaknya berkawan akrab pula
denganku itu. Menurut cerita Ayah, pak haji yang dia maksud dulu bisa
memperistri perempuan yang sekarang menjadi ibu dari anak-anaknya itu, adalah
dengan cara menjadikan kakaknya sebagai kawan yang akrab. Ah, Ayah, macamlah
aku ini tak tahu bagaimana perjuangan Ayah mendapatkan istri paling jelita yang
konon punya sepasang orangtua lumayan keras menjaga lima anak gadisnya pada
masa itu. Umak adalah salah satu dari lima orang gadis itu.
***
Seringnya
aku mengajak kawan-kawan untuk datang ke kampung halaman kami, rupanya
berlanjut sampai aku kuliah lagi di tanah Jawa. Pada kawan-kawan yang aku kenal
di sana kemudian, sering kutawari mereka untuk datang ke Pulau Bangka. Pada
mereka pula kuceritakan perihal eloknya pulau kami dengan pantai-pantai dan
pulau-pulau kecilnya yang rupawan. Banyak dari mereka yang tertarik untuk
datang. Apalagi, sedikit banyak mereka sudah tahu akan keindahan kepulauan kami
sebagaimana yang dilukiskan dalam film Laskar Pelangi. Sekalipun film itu
menampilkan sisi cantik Pulau Belitung, karakter pantai yang sama membuatku tak
susah-susah menjelaskan lebih lanjut kepada mereka perihal rupa Pulau Bangka.
“Pokoknya, mirip-mirip seperti itulah,” kataku mengakhiri promosi.
Maksudku
mengajak mereka untuk datang sesungguhnya sangatlah sederhana. Aku hanya ingin
mereka tahu bahwa tak jauh dari ibukota negara, ada kepulauan cantik yang bisa
dijadikan sebagai pilihan tujuan wisata selain Pulau Lombok, lebih-lebih bagi
mereka yang mulai jenuh dengan Pulau Bali. Setelahnya, aku berharap mereka bisa
menceritakan perihal keelokan kepulauan kami itu pada kawan yang lain. Mereka
lalu pun datang, bercerita lagi pada kawan lain, begitulah seterusnya. Maka,
ramailah kepulauan kami yang sedang giat ingin mengalahkan duet Bali dan Lombok
ini. Selain itu,tentu aku ingin memperkenalkan mereka dengan keluargaku di
kampung halaman.
Manakala
dengan berapi-api aku mengajak kawan-kawanku untuk datang, dalam kepala
terpikir olehku reaksi Umak bila hal ini kusampaikan padanya. Kurasa, sudah
tahulah bagaimana raut muka perempuan hebat itu. Apalagi, kali ini yang kuajak
bukanlah kawan yang sama-sama tinggal di Pulau Bangka. Mereka berasal dari
berbagai daerah di Indonesia, yang oleh Umak dianggapnya mereka semua sebagai
orang kaya dengan rumah mewah. Umak mungkin tak salah. Sebab, seingatku, di
kelas aku kuliah, rasanya hanya aku mahasiswa dengan latar pekerjaan orangtua
sebagai petani. Selebihnya adalah mereka dengan latar belakang pekerjaan
orangtua sebagai PNS, hakim, bahkan pengusaha, dan jenis profesi tak memegang
peralatan tani macam Ayah dan Umah. Hanya saja, aku tetap percaya diri bergaul
dengan mereka. Aku tetap bangga, bahkan semakin bangga dengan Ayah dan Umak nun
jauh di kampung halaman sana.
“Dia
mau ke sini?” terbelalak mata Umak manakala kusampaikan padanya bahwa salah
seorang kawan dekat akan datang.
“Iya.
Dia sudah beli tiket pesawat terbang. Penghujung minggu ini dia akan terbang ke
sini,” kataku ringan seraya melirik muka Umak yang seolah menganggapku
bersenda. Senyum-senyum aku melihatnya. “Tenang, Mak, masakan Umak itu enaknya
tiada tanding!”
Senyum
Umak akhirnya.
***
“Berarti mereka Lebaran Idul Adha di sini?” kembali Umak terbelalak oleh kabar yang
aku sampaikan padanya. Pagi itu, kusampaikan padanya bahwa Hendry, Adri, dan
Ridho akan datang dari Jakarta ke kampung halaman kami tepat pada perayaan Idul
Adha. Sebagaimana biasanya, selalu kuhibur Umak dengan berupa puja-puji perihal
masakannya yang selalu membuat lidah enggan berhenti bergoyang bila sudah
melahapnya. “Mereka tak berlebaran dengan orangtua mereka?” lanjut Umak.
“Mak,
tak macam di Bangka, di luar sana lebaran hanya ada satu kali dalam satu tahun,
yakni Idul Fitri. Itu pun tak semeriah di kampung kita. Beda dengan di kampung
kita yang selalu merayakan hari besar agama Islam serupa Lebaran Idul Fitri,
ditambah Ruwahan yang konon hanya dirayakan di sini. Jadi, biarlah mereka
terbelalak sendiri, menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa meriahnya
Idul Adha di sini.”
“Begitukah?”
“Iya,
Mak.”
“Baiklah.
Mau dimasakkan apa untuk mereka?”
Senyum
aku dibuat pertanyaan Umak yang terakhir ini. Sekalipun dibuka dengan raut
mukanya yang menyiratkan rasa cemas, dalam hati aku tahu Ayah dan Umak senang
bila ada kawanku yang datang. Suatu hari, pernah kami bercerita ringan pada
sebuah meja makan kami yang panjang. Saat itu, Umak berceloteh seraya menatap
langit-langit rumah yang menjulang, “Sekalipun rumah kita sederhana, tak
terhitung lagi rasanya orang yang datang. Orang-orang jauh pula. Mulai dari
kawan sesama mahasiswa, dosen yang kamu jadikan kawan terlampau karibnya
kalian, kepala bank, salah seorang pengacara terkenal di pulai ini, dan masih
banyak lagi.”
Saat
itu, aku langsung menunduk seraya mengunyah dengan pelan makanan yang dibuat
Umak pagi-pagi sekali. Setetes air jatuh ke lantai. Sekali lagi, tak tahulah rasa
apa yang sedang menderaku pagi itu. Pagi itu, aku tahu Ayak dan Umak bukan tak
mampu membangun rumah mewah macam tetangga-tetangga yang lain. Sekalipun dalam
Kartu Tanda Penduduk (KTP) Ayah terteta kata “tani” di kolom pekerjaan, dan
“Ibu Rumah Tangga” di kolom pekerjaan KTP milik Umak, mereka bukan petani
biasa. Berkat ketekunan, rasa sabar menanam lada sekalipun harganya sempat
anjlok akibat badai krisis ekonomi tahun 1998, keluarga kami tetap bisa
bertahan hingga kini.
“Mengapa
Pak Cik dan Mak Cik tak lekas membangun rumah mewah macam orang-orang?’ sering
kudengar orang-orang bertanya macam ini pada Ayah dan Umak. “Bukankah hasil
panen saban tahun selalu melimpah? Paling tidak, cukuplah untuk membangun
rumah.”
“Soal
itu, tak akan kami membeli apa pun, membangun apa pun, sebelum anak-anak kami
tuntas bersekolah,” itulah jawaban pamungkas Ayah dan Umak. Mendengar itu, tak
kuasa aku menahan air mata ini biar tak mengalir di pipi. Pada diriku sendiri,
kusampaikan bahwa aku tak punya alasan untuk tidak sekolah dengan baik. Pada
dua adikku, sering pula aku sampaikan agar mereka membuat Ayah dan Umak kecewa.
Sampai pagi itu, teringat kembali olehku jawaban sederhana yang selalu
diberikan oleh Ayah dan Umak pada orang yang bertanya hal semacam itu. Dalam hati,
aku berjanji untuk berusaha sebaik mungkin agar bisa membuat Ayah dan Umak
tetap tersenyum di hari tua mereka.
***
Menjelang
petang, aku mendatangi Abang di rumahnya di ujung barat Pangkalpinang. Pada
Abang, kusampaikan pula perihal tiga orang kawanku yang akan datang ke kampung
kami. Bedanya, reaksi Abang kali ini tergolong biasa saja. Dia sudah paham
betul barangkali. Dia pun berjanji akan menemaniku ke bandara, menjemput tiga
orang kawanku yang kata mereka akan segera mendarat itu. Berangkatlah kami
bersama anak laki-lakinya yang masih balita menuju bandara, mengendarai mobil
sedan yang Abang beli hasil jerih payahnya bekerja di perusahaan tambang milik
pemerintah di pulau kami.
Sesampai
di Bandar Udara Depati Amir, cepat-cepat aku berjalan menuju pintu kedatangan.
Kulihat jadwal penerbangan pada sebuah layar yang terpajang pada sebuah sisi
dinding. Sebagaimana jadwal yang tertera, maskapai yang mereka tumpangi
seharusnya sudah mencumbu landasan pacu. Lagipula, dalam perjalanan menuju
bandara, sempat kami melihat sebuah pesawat dengan logo maskapai sebagaimana
yang mereka sampaikan kepadaku, terlihat menukik pelan. Pesawai itu aku yakini
sebagai pesawat yang mereka tumpangi. Tapi, mengapa mereka tak kunjung terlihat
batang hidungnya? Duh, jangan-jangan betul mereka sudah “menipuku” dengan
kejam. Sayangnya, sebagai orang yang pun sering “menipu” mereka, tak ada
alasanku untuk marah sore menjelang petang itu.Jangan-jangan betul mereka
memang terbang dari Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta di Cengkarang,
tapi bukan ke Pulau Bangka, melainkan ke tempat lain. Lama aku menatap layar
televisi di samping pintu kedatangan, tak kunjung aku mendapati wajah mereka
tampak di sana.
Apa
pesawat yang mereka tumpangi belum tiba? Sekali lagi, entah yang untuk keberapa
kalinya, aku memeriksa ulang tiket dalam format digital yang dikirimakan oleh
Hendry. Melihat itu, tak mungkin rasanya mereka berbohong-ria. Itu tiket asli,
resmi dibelinya dari salah satu situs jual beli tiket online terbesar di negara
ini. Dulu, aku pun sering berburu tiket di situs itu. Itu sebabnya, aku tahu
betul kalau tiket itu asli, pun sudah dibeli setelah melewati serangkaian
proses sampai akhirnya tiket bisa dicetak oleh pembeli. Tapi, mengapa mereka
tak kunjung terlihat mukanya? Dengan seksama, tak lepas aku memantau
orang-orang yang masuk ke terminal bandara satu demi satu. Lama sekali, sebelum
akhirnya tiga orang berbadan sangat makmur, lumayan makmur, dan setengah makmur
serupa badanku sendiri, berjalan dengan gagahnya. Itu mereka! Sungguh sulit
dipercaya rasanya bisa melihat wajah-wajah tak asing itu di sini.
“Itu
mereka sudah datang,” kataku pada Abang yang jalan sana jalan sini mengikuti
polah anaknya yang tak mau diam.
BERSAMBUNG...
City of Victory, 16 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar