Jumat, 27 Februari 2015

BEGINI INDAHNYA EDELWEIS DI RANU KUMBOLO

"Bunga edelweis disebut sebagai bunga abadi karena daya tahannya yang lama, banyak dijumpai di pegunungan. Salah satu spot terbaik untuk melihatnya adalah di Ranu Kumbolo. Seperti apa indahnya?"

Letih saat mendaki gunung, itu sudah pasti. Namun ada kalanya rasa letih itu hilang begitu saja, manakala kita mempunyai tujuan tertentu saat mendaki gunung. Saat saya mendaki menuju Ranu Kumbolo di kaki Gunung Semeru bersama Anisa Rahardini, Titis, Mbak Dhuma, Annisa Rahmah, Abang Gohoza dan Reza, saya pun mengalami hal yang sama, letih tiada terkira. Akan tetapi, saya dan teman-teman mempunyai trik agar rasa letih itu tak bertahan lama, salah satunya adalah dengan bersenda gurau sepanjang pendakian. Yang tak kalah penting adalah harapan akan pertemuan kami dengan bunga edelweis. Bunga keabadian yang menjadi salah satu tanaman yang paling ingin kami temui saat mendaki puncak para dewa.

Bagi para pendaki gunung, bunga edelweis mungkin tidak terlalu asing lagi. Karena konon katanya bunga abadi ini hanya mampu tumbuh di daerah tinggi seperti gunung. Selain kecantikannya, bunga ini dikenal karena daya tahan hidupnya yang sangat lama sekali. Jauh lebih lama dari bunga-bunga biasa. Sehingga tak heran bila kemudian bila bunga ini dikenal sebagai bunga abadi.


Perjalanan yang saya jalani bersama teman-teman kala itu adalah kali pertama saya mendaki perbukitan di tengah hutan yang lebat sekali. Mulanya juga saya ragu apakah saya mampu atau tidak menaklukannya, termasuk beberapa orang teman saya. Langkah demi langkah kami ayunkan, serta tetap berharap bunga edelweis ada di hadapan kami. Namun sayang, berkilo-kilo jarak yang kami tempuh, tak pula kami menemukannya.

Semakin tinggi kami mendaki, cuaca semakin dingin. Hutan kian rimba, namun harapan untuk segera menengok edelweis belum pula terwujud. Sesekali kami  melihat Puncak Semeru yang mengeluarkan asap. Beberapa kali kami singgah untuk beristirahat, seraya menengguk air minum yang kami bawa. Letih bukan main, tulang-tulang yang semula tersusun apik di badan rasanya remuk semua. Namun semua itu tak menyurutkan semangat kami untuk terus mendaki. Tentu seraya berburu bunga edelweis.



Akhirnya, setelah mendaki berjam-jam, sampailah kami di Ranu Kumbolo. Wah, danaunya luar biasa cantik, tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Selagi terpesona dengan keindahan Ranu Kumbolo, secara tak sengaja kami menengok beberapa batang tumbuhan yang sungguh menarik perhatian kami. Ah, ternyata itu bunga edelweis. Setelah berjalan begitu panjang, bersua pula akhirnya kami dengan bunga abadi. Luar biasa eloknya bunga itu. Saya memegangnya beberapa saat, tapi tak hendak memetiknya demi kelestarian bunga itu sendiri. Salam traveler!

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Begini Indahnya Edelweis di Ranu Kumbolo" oleh penulis yang sama)

LIBURAN PANJANG DI PANTAI TAMBAK UDANGL, PULAU BANGKA

Pulau Bangka adalah tempat yang juga asyik untuk mengisi liburan panjang kali ini. Cobalah mampir ke Pantai Tambak Udang. Lautnya bersih dan pemandangannya indah. Liburan panjang pun makin berkesan.

Liburan di Pulau Bangka satu minggu saja rasanya tidaklah cukup, sebab terlalu banyak tempat wisata yang harus dikunjungi dan sayang bila diabaikan begitu saja. Pantai misalnya, menghitung jumlah pantai di sana dengan seluruh jarii yang kita miliki tidak akan pernah cukup. Setiap sudut Pulau Bangka sepertinya pantai semua, cantik-cantik pula.

Salah satu wilayah yang mempunyai banyak pantai di Bangka adalah Kabupaten Bangka Selatan. Sesuai dengan namanya, daerah ini berada paling ujung selatan Pulau Bangka. Salah satu pantai itu misalnya adalah Pantai Tambak Udang.

Nama pantai ini mungkin agak terasa asing. Maklum, dulunya pantai ini merupakan wilayah yang sama dengan Pantai Tanjung Kerasak yang sudah ternama itu. Namun seiring dibangunnya sebuag tambak udang oleh pemerintah setempat, pelan-pelan pantai ini mempunyai nama panggilan baru, Pantai Tambak Udang.

Secara geografis, pantai ini memang berbatasan langsung dengan Pantai Tanjung Kerasak di bagian timur, serta Pantai Tanjung Kemirai di bagian baratnya. Dua pantai itu sudah lama dikenal sebagai daerah wisata di selatan Pulau Bangka. Sama halnya dengan pantai Tanjung Kerasak dan Pantai Tanjung Kemirai, Pantai Tambak Udang pun secara administratis berada di wilayah Desa Pasirputih, Kecamatan Tukak Sadai, Kabupaten Bangka Selatan.

Lalu, apa bedanya pantai ini dengan dua pantai yang mengapitnya? Tentu saja ada perbedaanya, sekecil apapun. Pertama, sebelum sampai di pantai, dalam perjalanan menuju lokasi, kita akan disajikan pemandangan birunya laut Pantai Tambak Udang dari ketinggian. Lalu, di pantai ini suasananya juga masih hening, daun pohon kelapa melambai-lambai dari ketinggian. Selain itu, dari pantai ini juga dapat dengan mudah melihat laut lepas, di samping pepohonan bakau yang tersusun rapi.

Di samping itu, Anda tak perlu tsayat, akses menuju pantai ini cukup mudah. Apalagi jalannya sudah beraspal, meskipun agak sempit. Sepanjang jalan, kita pun dapat melihat perkebunan lada, komoditas khas Pulau Bangka yang diekspor sampai ke Eropa. Salam traveller!

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Liburan Panjang di Pantai Tambak Udang, Pulau Bangka" oleh penulis yang sama)

Kamis, 26 Februari 2015

29; PERTEMUAN DENGAN DIAN


Dian, saat wisuda dulu


Hari itu, hatiku sungguh riang. Bagaimana tidak, kampus nomor wahid di negeri ini sudi menerimaku menjadi salah satu mahasiswa mereka. Dulu, jangankan bercita-cita hendak belajar di sini, terpikir sedikit pun tak ada sama sekali. Siapalah aku dengan lancangnya berani bercita-cita semulia itu? Ayahku hanya seorang petani lada di kampung halaman kami di Pulau Bangka. Beliau bukan pegawai perusalahan timah milik negara yang tersohor bergaji raksasa di sana, apalagi menyandang gelar sebagai pejabat negara. Bukan, beliau hanya seorang petani gigih yang saban hari selalu pergi-pulang ke kebun bersama umak yang setia. Perihal mengapa ayah hanya menyandang gelar itu, semestinya tak usahlah ditanya. Ayah bukan tak pandai lagi cerdas. Bukan itu. Menurut cerita yang kemudian sering aku dengar, ayah itu orangnya pintar bukan main. Otaknya cemerlang, berkilauan macam baju penyanyi dangdut yang lenggak-lenggok di atas pentas. Masalahnya, keluarga ayah kecil tak punya biaya untuk merawat otak ayah yang brilian itu. Singkatnya, jadilah ayahku seorang petani.

Dulu, ayah tak punya peluang untuk sekolah, maka kamilah yang bersekolah. Sayangnya, abang hanya mau bersekolah sampai SMK saja. Setelah lulus dengan susah payah, sempat dua tahun tinggal kelas semasa SD sehingga aku yang adalah adiknya berada satu tingkat di atasnya, lalu saat SMP saban shubuh sudah bangun hendak menuju sekolahnya berjarak tak kurang 40 kilometer di Toboali, sering bolos semasa SMK di Pangkalpinang, lalu dengan khidmat abang menyatakan tak hendak melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Abang beralasan, otaknya tak kuat diajak ke bangku kuliah. Beruntungnya, berbekal ijazah SMK bidang teknik yang ia raih dengan seringkali bolos itu, ia berhasil meraih pekerjaan di perusahaan timah milik negara itu. Jadilah abang pegawai. Ayah bangga bukan main, demikian dengan umak yang sempat bersedih hatinya sebab membayangkan abang berada di lobang tambang karena tak mau sekolah lagi. Aku, adiknya ini, pun bangga dengan abang. Saya maklum mengapa abang tak mau kuliah lagi. Maka, akulah yang kuliah. Setelah selesai kuliah di Bangka untuk strata pertama, aku pun berniat kuliah satu strata lagi. Demi abang, aku ingin mempersembahkan gelar kedua ini kelak untuk abang yang hanya tamat SMK. Bukan bermaksud merendahkan abang, aku kadang sedih manakala mendengar cerita umak perihal ucapan abang suatu hari di ujung telepon.

Saat itu, Lara, adik perempuan kami paling bungsu, satu-satunya anak perempuan ayah dan umak, mengirim kabar gembira pada abang yang bekerja di kapal keruk perusahaan timah tempat dia bekerja. Lara baru saja selesai diwisuda setelah lulus belajar membaca Al-Quran. Lulusan terbaik pula dia untuk tingkat kecamatan. Senang bukan main adik kami itu tampaknya. Itulah sebabnya ia ingin berbagi kebahagiaan itu kepada saudara-saudaranya yang tidak ada di rumah. Abang berada di tengah laut, sedang aku berada di Yogyakarta. Abang pun senang mendengar kabar itu. Namun, ada satu kalimat abang yang sempat membuat umak kembali bersedih hatinya.

“Sudah pernah semua kalian wisuda, cuma aku sendiri yang tidak pernah wisuda,” begitu kata abang dengan nada yang membuat hati pilu.

Maka, disinilah aku pada hari itu. Pagi menjelang, aku langsung berangkat menuju ruang akademik, hendak daftar ulang. Slip bukti pembayaran uang kuliah semester pertama dari sebuah bank aku pegang erat-erat.  Aku menggenggamnya penuh gembira. Akhirnya, tak disangka-sangka aku jadi mahasiswa lagi, di kampus ini pula. Ah, bagai mimpi rasanya. Sungguh tak percaya rasanya aku bisa berada diantara orang-orang yang hilir mudik di hadapanku, orang-orang yang sepertinya punya mimpi yang sama. Mereka adalah orang-orang cerdas yang pula diterima menjadi mahasiwa di sini. Laki-laki dan perempuan, semua berbaur dalam ruangan ini, lalu menghadap petugas pada sebuah meja panjang secara bergiliran seraya menyerahkan setumpuk berkas. Sesekali, aku mengusap mukaku dengan telapak tangan. Ingin cepat-cepat rasanya aku memulai kuliah di sini.

Saat proses daftar ulang berlangsung, tiba-tiba ada pemandangan yang sempat membuatku terpaku sejenak. Dua orang perempuan…Eh, tunggu. Yang satunya memang perempuan. Tapi yang satunya? Wah, inilah mungkin yang sering disebut sebagai perempuan tomboy. Orang bilang, perempuan yang berpenampilan layaknya lagi-laki itu menarik sekali. Aku pun dulu menganggapnya begitu. Namun, hari itu anggapanku itu tak berlaku dengan perempuan yang aku lihat tepat di hadapanku itu. Entah kenapa, aku merasa ada yang aneh dengan penampilan perempuan itu. Dari lubuk hati yang paling dalam, aku tau sesungguhnya dia adalah seorang perempuan. Sebagai laki-laki layaknya laki-laki pada umumnya, aku pun tetap bisa membedakan mana laki-laki dan mana perempuan, serupa apa pun penampilan luarnya. Menurutku, perempuan yang aku lihat pagi itu sungguh membuatku bertanya-tanya, mengapa dia bisa berpenampilan seperti itu? Ah, biarlah, toh semua orang punya pilihan masing-masing dalam menjalani hidup. Hanya saja, dalam hati aku berdoa kepada Tuhan kala itu, semoga perempuan itu tidak kuliah di fakultas hukum, fakultas yang sama denganku. Sudah, itu saja doaku kala itu.

Setelah pendaftaran usai, maka resmilah aku menjadi mahasiswa lagi. Setelahnya, aku pulang terlebih dahulu ke Bangka, lalu kembali satu bulan berikutnya saat kuliah akan segera dimulai. Satu hari sebelum aku kembali ke Yogyakarta, abuk meninggal dunia. Abuk adalah sebutan untu kakek di Bangka, terutama di Bangka bagian selatan. Aku sedih, tapi bersyukur masih berada disana saat beliau berpulang. Oleh karena umak yang sibuk mengurusi acara tahlilan almarhum abuk selama tujuh hari ke depan, sendirilah aku berangkat ke bandara yang ada di Pangkalpinang, 140 kilometer dari kampung kami. Umak, ayah, dan saudara-saudaraku yang lain urung ke Pangkalpinang. Hanya abang dan Ori, keponakan kecil kami yang nakal luar biasa itu yang mengantarkan aku ke Toboali. Abang mengantar aku ke Toboali menggunakan mobil sedan sederhana yang berhasil ia beli setelah sekian lama bekerja. Di Toboali, aku kemudian menumpang mobil Pak Syaf, guru SD adikku yang kebetulan akan ke Pangkalpinang.

Pada hari sabtu, kuliah perdana pun dimulai. Salah satu pemateri pagi itu adalah Prof. Kamarudin Hidayat, salah seorang akademisi terkenal dari Jakarta. Selain berusaha mendengar dan memahami isi materi yang disampaikan, mataku berputar mengitari ruangan sederhana itu. Satu demi satu, aku menatap muka orang-orang yang tak lain adalah mahasiswa baru, sama sepertiku. Sesekali, aku melihat wajah sejumlah orang yang sepertinya aku mengenali mereka. Siapa mereka? Siapa lagi bila bukan ahli-ahli hukum yang saban hari mukanya berseliweran di sejumlah stasiun televisi. Semakin bangga rasanya aku bisa menapakkan kaki di kampus ini.

Acara terus berlangsung. Peserta kuliah perdana mulai menampakkan wujud aslinya, mulai bosan dengan acara yang tak kunjung usai. Aku yang kala itu duduk dengan seorang teman baru yang dikenalkan oleh seorang teman waktu bekerja dulu, pun merasakan hal yang sama. Biar tak membuat kepala pecah, aku pun terus melangsungkan prosesi melihat tingkah polah orang dalam ruangan itu satu demi satu. Dari sekian banyak orang, ada satu orang yang menarik perhatianku kala itu. Siapa pun, terutama laki-laki, pasti tak hendak berpaling pandang bila sudah menatap perempuan ini. Bagaimana tidak, perempuan ini tampak ayu. Cantik sekali dia. Mengenakan baju serba hitam, ia duduk di depan sebelah kanan tempat dudukku. Alhasil, dengan leluasa aku bisa melihat tingkah polahnya dengan seksama. Berbeda dengan orang lain, bukan perihal wajahnya yang cantik itu yang menarik perhatianku saat itu. Penyebabnya tak lain adalah gerak-gerik perempuan itu yang sebentar-sebentar mengibaskan rambutnya yang terurai ke belakang. Tak sampai lima kedipan mata, perempuan itu kembali mengibaskan rambutnya.Begitulah seterusnya.  Aduh, ini perempuan mengapa bisa sedemikian dengan rambutnya? Apa dia tak memikirkan dengan orang dibelakangnya yang bisa saja terkena kibasan rambutnya yang aromanya pun masih tanda tanya itu? Perempuan pengibas rambut ini ternyata kelak akan menjadi bagian dari cerita selama aku menimba ilmu di kampus ini.

Sudahlah, mungkin perempuan tadi lelah. Biarkan saja dia dengan rambutnya itu. Aku pun mulai mencari pemandangan lain. Mataku berputar mencari sosok lain. Pada sebuah sudut, tiba-tiba aku baru menyadari bahwa doa yang aku panjatkan tempo hari ditolak mentah-mentah oleh Tuhan. Buktinya, perempuan berpenampilan laki-laki yang dulu sempat aku lihat di gedung akademik, ada lagi di gedung ini. Saat itu adalah kuliah perdana khusus untuk mahasiswa fakultas hukum. Itu artinya, perempuan itu pun kuliah di fakultas yang sama. Mengapa dia tak kuliah di fakultas lain saja? Seraya tetap menatapnya dari kejauhan, aku kembali memanjatkan doa. Doaku tak jauh berbeda dengan doa yang lalu. Bedanya,permintaanku turun satu tingkat. Isinya,” Ya Allah, biarlah kami satu fakultas, tapi semoga perempuan itu tidak satu jurusan denganku. Amin”.

***

Acara akhirnya usai. Setelahnya, para mahasiswa baru diminta untuk masuk pada sebuah ruangan lain, sesuai dengan jurusannya. Saat itu, jurusan magister di fakultas hukum ada lima jurusan, yakni magister hukum, magister ilmu hukum, magister litigasi, magister hukum kesehatan, dan magister kenotariatan. Setelah mempertimbangkan dengan begitu matang, aku bulat memilih masuk jurusan magister hukum dengan kosentrasi hukum bisnis. Padahal, strata sebelumnya aku mengambil jurusan hukum pidana. Banyak orang yang heran, terutama kawan-kawan dan beberapa orang dosenku dulu. Mengapa saya sampai menyeberang ke hukum bisnis? Bagiku, itu bukan soal. Paling tidak, aku bisa memahami semua bidang hukum. Sesederana itulah alasanku, sekalipun sebetulnya aku mengambil jurusan ini karena terjebak sempat bekerja selama satu lebih. Bekerja di bank itu lebih banyak hukum perdatanya dibandingkan pidana. Maka, jadilah aku mengambil jurusan hukum bisnis.

Satu demi satu, kami memasuki sebuah rungan. Serupa semula, kali ini pun aku kembali menatap wajah calon kawan-kawanku kelak satu demi satu manakala mereka masuk. Aku duduk pada sebuah kursi, tapi bukan di depan. Posisinya cukup strategis, pada bagian tengah. Mereka-mereka yang masuk ruangan ini berarti mereka yang kelak akan satu jurusan denganku di magister hukum bisnis, terlepas apa pun kosentrasi mereka. Di magister hukum, ada dua kosentrasi, yakni hukum bisnis dan hukum kenegaraan.

“Hai,” sapa seorang perempuan bertubuh mungil, berjilbab dia. Siapa pula orang sok kenal ini? Terlampau herannya, aku sampai terlambat membalas sapaanya. Hal aneh apalagi yang bakal terjadi. Perempuan berjilbab yang tiba-tiba menyapaku, lalu duduk tak jauh dariku bersama seorang temannya yang tak lain adalah perempuan pengibas rambut itu, siapa dia? Ah, aku ingat. Aku lupa siapa namanya kala itu. Yang aku ingat, dia adalah perempuan yang mengaku berasal dari Duri di Riau, tapi tinggal di Solo. Pertama kali aku bertemu dengannya saat tes wawancara dulu. Saat perempuan itu menatapku, aku lantas membalasnya dengan senyuman sebagai simbol bahwa aku pun ingat dengan dia. Ahai, laki-laki sekali bukan? Selain perempuan berjilbab ini, aku tiba-tiba ingat dengan sosok laki-laki berambut panjang, pendiam, berpenampilan agak lusuh. Melihatnya kala itu, aku jadi ingat Limbad, magician paling irit suara sedunia itu. Betapa tidak, dia hanya menunduk, tanpa bicara, hanya sesekali saja. Sosoknya begitu misterius sekali. Laki-laki itu, pun ada di ruangan itu.

Separuh ruangan yang lumayan lapang itu sudah terisi. Tidak adalagi yang hilir mudik keluar maupun masuk. Mungkin hanya ini mahasiwa yang ada di jurusan yang aku pilih. Beberapa orang bapak-bapak dan ibu-ibu yang aku tebak berasal dari pengelola kampus ini, pun tampak akan memulai acara. Seraya tersenyum kecil, aku menoleh ke langit-langit. Dalam hati kecil aku berujar kepada Tuhan, “Terimakasih, doaku telah Engkau kabulkan.”

Aku bersiap mengikuti acara selanjutnya yang entah apa. Namun, aku seolah tersengat listrik manakala pandanganku tertuju pada seorang perempuan yang dengan gontainya memasuki ruangan ini. Perempun itu…Tak salah lagi! Dia adalah perempuan berpenampilan laki-laki yang menjadi objek doaku beberapa jam yang lalu. Dia memasuki ruangan ini? Alamak, itu artinya dia mengambil jurusan magister hukum? Benarkah? Padahal aku sudah terlanjur berterimakasih kepada Tuhan. Benar, dia mengambil jurusan hukum tampaknya. Tapi, apa kosentrasinya, belum ada yang tahu kecuali dia sendiri. Paling tidak, aku masih punya celah untuk kembali berdoa kepada Tuhan. Maka, beginilah isi doaku selanjutnya,” Ya Allah, semoga perempuan itu tidak satu kosentrasi denganku. Semoga dia tidak satu kelas denganku. Itu saja.”

Sayang, tiga kali aku berdoa perihal perempuan itu, tiga kali pula doaku ditolak oleh Tuhan. Perempuan itu ternyata mengambil jurusan magister hukum, jurusan hukum bisnis, satu kelas denganku. Aku benar-benar pasrah. Paling tidak, kurang lebih 2 tahun ke depan, aku harus kuliah bersama-sama dengan dia. Tapi, cerita selanjutnya ternyata jauh berbeda. Inilah mungkin yang sering disebut orang-orang bahwa keputusan Tuhan adalah keputusan terbaik. Mengutip perkataan seorang kawan manakala kami menyebutkan nama seseorang sebagai jodohnya, dengan santai dia menjawab,”kalau itu memang jodohku, berarti itu yang terbaik.” Ya, jodoh itu di tangan Tuhan, kita hanya berusaha mendekatinya. Sekali lagi, ini juga kata orang-orang. Dian, nama perempuan berpenampilan layaknya laki-laki itu, sebagaimana arti namanya adalah cahaya bagi kami kelak, kawan-kawannya di magister hukum. Dian adalah orang pertama yang sempat membuatku tak mau satu kelas dengannya, ternyata adalah orang yang menjadi kawan saat kami menjalani hari-hari penghujung kami di kampus.

“Tuh ‘kan, Cek, dulu kamu sempat berdoa yang tidak-tidak saat awal-awal kita kuliah, ujung-ujungnya kita berteman akrab juga bukan? Ujung-ujungnya kita sering di kampus bersama-sama juga bukan?,” begitu kata Dian pada suatu ketika, di bawah salah satu gazebo favorit kami di fakultas hukum. Aku tersenyum menyeringai.

“Ya maaf,” hanya itu yang bisa aku ucap. Itupun meniru salah satu gaya bicaranya yang khas.

BERSAMBUNG…
Jakarta, 21-22 Februari 2015

INI DIA SATU-SATUNYA PANTAI BERPASIR KUNING DI PULAU BANGKA

"Jika kebetulan Anda memutuskan liburan ke Bangka libur long weekend kali ini, jangan lewatkan ke pantai satu ini. Pantai Pasir Kuning punya keunikan satu-satunya di Pulau Bangka."


Nah, bila di Pulau Lombok ada pantai yang sangat unik karena pasir pantainya berwarna pink, maka di Pulau Bangka pun ada pantai unik karena warna pasir pantainya yang tidak biasa. Pantai Pasir Kuning namanya. Sesuai dengan nama yang diberikan terhadapnya, warna pasir di pantai ini tentu saja berwarna kuning. Lantas, di mana letak uniknya?

Jangan kecewa terlebih dahulu, pantai yang memiliki pasir berwarna kuning mungkin sudah biasa bagi Anda yang sering bepergian ke pantai. Namun pantai yang satu ini jelas berbeda. Seperti yang kita ketahui, bahwa pantai-pantai di Pulau Bangka itu dikenal dengan pasir pantai yang putih berseri. Nah, bagaimana bila di antara sekian banyak pantai yang berpasir putih itu menyelinap pantai yang berwarna kuning? Di sinilah letak keunikan Pantai Pasir Kuning.



Pantai Pasir Kuning terletak di Desa Air Lintang, Kecamatan Tempilang Kabupaten Bangka Barat, atau tak lebih dari 100 km dari Kota Pangkalpinang. Untuk menjangkau pantai ini cukup mudah. Letaknya juga dekat dengan pusat kegiatan ekonomi masyarakat Tempilang. Selain itu, jalan-jalan yang menghubungkan ke pantai itu juga sudah beraspal.

Saya beberapa kali sempat bertandang ke pantai ini. Pertama kali ke pantai ini adalah saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa tak jauh dari desa di mana pantai itu berada. Saat itu, sedang akan dilaksanakan pesta adat Perang Ketupat, yang rutin satu tahun satu sekali digelar menjelang bulan suci Ramadhan. Pertama kali menginjakkan kaki di Pantai Pasir Kuning, saat itu pula saya merasakan nuansa berbeda dari pantai ini. Saya yang biasanya berada di atas putihnya pasir pantai Pulau Bangka, terheran-heran sekaligus kagum ternyata ada pantai di Pulau Bangka yang warnanya benar-benar kuning cerah. Ini tentu tak biasa.

Pemandangan di pantai ini juga cukup menawan. Sunset maupun sunrise sepertinya bisa dinikmati di sini. Maklum, pantai ini memiliki dua sisi. Satu menghadap ke barat, satunya lagi menghadap ke timur. Suatu hari, pada kunjungan saya yang entah untuk keberapa kalinya, saya bersama beberapa orang teman berkesempatan menyaksikan matahari tenggelam di ufuk barat. Unik, bukan?



Nah, menjelang bulan puasa, biasanya di pantai ini digelar pesta adat Perang Ketupat. Wisatawan akan tumpah ruah biasanya saat acara tersebut berlangsung. Tambahan pula, masyarakat desa setempat menyediakan makanan banyak sekali yang disediakan bagi siapa saja yang bertandang ke sana. Ingat suasana Hari Raya Idul Fitri? Nah, serupa itulah suasananya. Sebab masyarakat setempat memang memperingati pesta adat itu serupa hari raya pada umumnya.

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Ini Dia Satu-satunya Pantai Berpasir Kuning di Pulau Bangka" oleh penulis yang sama)

Rabu, 25 Februari 2015

BELAJAR TOLERANSI DI MASJID ISTIQLAL JAKARTA

"Mumpung libur, kini waktunya Anda bisa jalan-jalan keliling Jakarta seharian penuh. Kalau mau cari destinasi spesial, ada di pusat Jakarta yakni Masjid Istiqlal dan Gereja Kathedral yang letaknya seberangan. Yuk, ke sana!"


Negara ini betul-betul hebat, tepat di jantung ibukota yang penduduknya heterogen, berdiri dengan gagah dua banguan ibadah dari dua agama yang berbeda. Betapa indahnya toleransi. Liburan di Jakarta, cobalah sejenak menikmati kota terbesar di Indonesia itu dengan mengelilingi serta singgah ditempat-tempat yang menjadi identitas sang ibukota tercinta. Selain gedung-gedung yang menjulang tinggi, Tugu Monumen Nasional atau Monas yang pesonanya melegenda seantero negeri, ada satu bangunan ikonik lain yang sayang bila tak disinggahi saat menikmati megahnya Jakarta. Ialah Masjid Istiqlal, masjid yang konon katanya menjadi kebanggaan bangsa ini karena terbesar di Asia Tenggara.



Saat berada di Jakarta besama sepupu saya Debri, kami menikmati pesona ibukota dengan mengelilinginya menggunakan angkutan massal Trans Jakarta. Semula, tujuan kami adalah kawasan Monas. Maklum, sebagai orang daerah, kami pun ingin sekali melihat serupa apa bangunan paling monumental di Jakarta itu. Namun, sebelum tiba di Monas menjelang adzan Dzuhur, kami singgah di sebuah shelter tak jauh dari pintu masuk Masjiid Istiqlal. Lantas, kami pun langsung mengagumi kemegahan dan arsitektur Masjid itu.

Sebelum memasuki Masjid, terlebih dahulu kami mengelilingi Masjid. Sungguh bergetar rasanya berada di kawasan Masjid Istiqlal. Pesonanya sungguh luar biasa. Saya tambah kagum setelah melihat sebuah gereja yang tak kalah megahnya berdiri tepat disamping Masjid Istiqlal. Sungguh bangsa yang luar biasa, pikirku kala itu. Negara ini betul-betul hebat, tepat di jantung ibukota yang penduduknya heterogen, berdiri dengan gagah dua banguan ibadah dari dua agama yang berbeda. Betapa indahnya toleransi. Tak lama kemudian, suara adzan Dzuhur di Masjid Istiqlal berkumandang, menyeru umat Islam untuk menghadap menyembah Sang Khalik. Kami pun langsung memasuki Masjid, setelah menitip tas yang kami bawa pada petugas yang khusus mengatur masalah itu.



Setelah berwudhu kami masuk ruang utama, ruang yang sebelumnya hanya saya lihat di televsisi saat ada live report yang dihadiri kepala negara. MasyaAllah, tak henti-hentinya saya mengagumi Masjid Istiqlal, serta indahnya toleransi yang tercipta diluar sana. Adzan akhirnya selesai. Suara adzan yang sangat indah, dikumandangkan oleh salah seorang muadzin dari negara di Timur Tengah, begitu yang saya ketahui selanjutnya. Beberapa orang petugas di dalam Masjid Istiqlal tampak sibuk mengatur jamaah yang hendak bersujud menunaikan sholat dhuzur. Segeralah sholat, jangan bercakap-cakap, itulah kesan yang saya dapat dari setiap tindakan petugas masjid yang mengatur para jamaah. Ah, Jakarta, pesonamu sungguh luar biasa.

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Habis Nyoblos, Ayo Jalan-jalan Keliling Jakarta" oleh penulis yang sama)

Minggu, 08 Februari 2015

PANTAI PENYUSUK, MUTIARA DI BANGKA UTARA

"Bangka adalah pulau yang penuh hamparan pantai cantik. Salah satu yang jadi favorit warga dan wisatawan adalah adalah Pantai Penyusuk yang ada di Belinyu, Bangka Utara. Pantai Penyusuk bukan satu-satunya pantai cantik yang ada di belahan utara pulau penghasil lada itu. Pantai ini bagai mutiara di Bangka Utara. Cantiknya bukan buatan."


Setelah mengikuti AirAsia Academy bersama pemenang d'Traveler of the year 2013 bersama detiktravel di AACE Sepang Malaysia, saya memutuskan untuk pulang ke kampung halaman saya di Pulau Bangka. Salah satu alasan mengapa akhirnya saya bulat memutuskan pulang setelah berjuang ke Jakarta naik kereta, adalah kondisi di Yogyakarta yang belum pulih akibat semburan abu vulkanik dari Gunung Kelud yang meletus beberapa hari sebelumnya di Kediri, Jawa Timur.

Mulanya, saya memang berencana akan pulang. Seperti biasa, setiap kali pulang ke Pulau Bangka, hal yang pasti akan saya lakukan adalah berpetualang menelusuri kecantikan Pulau Bangka yang dapat dilihat dengan mudah di paras pantai-pantainya. Pantai Penyusuk di Bangka Utara adalah salah satu tujuan saya. Pagi menjelang siang, setelah menyantap makanan khas Bangka di Rumah Makan Tiska di Pangkalpinang, saya bersama sepupu saya Debri langsung putar gas motor menuju Belinyu, kota kecil paling utara Pulau Bangka. Setibanya disana kelak, kami berencana akan bertandang ke Pantai Penyusuk. Inilah mutiara dari Bangka Utara yang disebut-sebut sebagai ikon pariwisata daerah itu.


Setelah kurang lebih satu setengah jam perjalanan menggunakan sepeda motor, sampailah kami di kota kecil Belinyu. Suasa kota itu tetap saja seperti dulu, seperti saat saya kali pertama berkunjung saat masih duduk di bangku SD. Suasana zaman dahulu Pulau Bangka, bangunan seperti rumah warga, masih pula seperti dulu. Perpaduan antara rumah warga Tiong Hoa serta Melayu yang masih berdiri dengan rapi, saling berdampingan. Bila ingin merasakan Pulau Bangka zaman dahulu, maka datanglah ke Belinyu. Setidaknya, itu yang saya rasakan. Apalagi, sepanjang jalan-jalan di sana kita bisa menyaksikan banguan dengan arsitektur kuno milik PT Timah (Persero) Tbk.

Sekalipun saya sempat beberapa kali pergi ke Pantai Penyusuk, namun saya tiba-tiba lupa arah jalan menuju pantai itu. Dulu, bila tak salah mengingat, terakhir saya kesana menjelang lulus kuliah di Pulau Bangka bersama tiga orang kawan saya, Harianto alias Acing, Yulistia Akbari, dan Renilda. Mulanya, saya yakin dengan jalan yang kami tempuh. Namun beberapa kilometer kemudian, yang kami temui adalah sebuah pelabuhan yang sepertinya sudah tak lagi berfungsi sebagaimana cita-cita siapa pun yang membangunnya dulu. Itulah Pelabuhan Tanjung Gudang, pelabuhan penuh sejarah bagi masyarakat Kepualuan Bangka Belitung. Sebab, dari pelabuhan itulah ramai-ramai masyarakat Kepulauan Bangka Belitung, khususnya yang berada di Pulau Bangka, pergi ke Jakarta dengan sebuah kapal untuk menghadiri ketuk palu pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di Senayan, tanggal 21 November 2000 silam. Semasa SD dulu, saya masih ingat betul betapa gagahnya pelabuhan itu.

Akhinya, kami memutuskan bertanya kepada seorang bapak-bapak yang sedang berbelanja pada sebuah toko kelontongan di depan pelabuhan. Dengan bahasa Melayu Bangka logat Belinyu, di mana huruf A berganti menjadi huruf O, beliau berujar kepada kami perihal letak Pantai Penyusuk. Perempuan paruh baya yang tak lain adalah pemilik warung itu pun keluar, ikut berujar dalam bahasa yang sama dan menunjuk jalan yang sama pula. Intinya, kami harus kembali lagi sampai sebuah SPBU, lalu belok arah ke kiri bila dari pelabuhan atau arah utara. Itulah arah menuju Pantai Penyusuk, dengan sejumlah persimpangan yang masih banyak, kata dua orang informan itu. Lantas kami pun melanjutkan pejalanan, seraya saya mengingat-ingat jalan menuju pantai itu saat saya kesana dulu. Maka, sampailah kami di SPBU.

Pada sebuah persimpangan, kami bertanya pada seorang pria Tionghoa yang sedang berjualan dengan sebuah gerobak, tepat di persimpangan itu. Dengan bahasa Melayu Bangka logat Tionghoa, laki-laki itu menyuruh kami lurus saja lalu berbelok ke kiri. Seketika itu pula, setelah mengucapkan terima kasih tentunya, kami melanjutkan perjalanan dibawah teriknya matarahari siang. Pada sebuah persimpangan, kami kembali bingung harus lurus atau belok arah kanan. Sepupu saya langsung turun, bertanya kepada seorang laki-laki penjaga warung makan. "Lurus saja," kata laki-laki itu.

Setelah menempuh tak lebih dari 15 menit perjalanan, menelusuri jalan beraspal yang agak sempit namun mulus, sampailah kami di Pantai Penyusuk. Sepanjang jalan di sebelah kanan, kami menyaksikan birunya laut utara Pulau Bangka, pertanda sebentar lagi kami akan tiba. Angin pantai yang bertiup agak kencang siang itu menyambut kedatangan kami. Pemandangan Pantai Penyusuk dengan 4 buah pulau yang khas, seolah menyambut kedatangan kami dengan ramah. Selamat datang di Pantai Penyusuk, mutiara di Bangka Utara.

Sebagaimana pantai lain di Pulau Bangka, Pantai Penyusuk pun menyajikan pemandangan perpaduan pasir pantai yang halus lagi putih berseri, dengan batu-batu granit yang saling bertumpukan satu sama lain. Laut biru sekali siang itu, sementara ombak menghempas lumayan kencang. Pepohonan tepi pantai dengan dedaunan yang berguguran akibat hujan yang tak kunjung bertandang di daerah ini, tak membuat kecanitkan pantai ini menjadi pudar. Bahkan, pepohonan dengan ranting-ranting tanpa daun itu menambah keeksotisan pantai yang berpadu dengan air laut yang biru.

Sementara tak jauh dari bibir pantai, ada 4 buah pulau beragam ukuran, siap menati para pelancong. Sayangnya, karena hari itu bukan hari minggu, tak ada ojek kapal motor yang siap mengangkut para pelancong untuk menginjakkan kaki di pulau-pulau itu. Namun demikian, sebetulnya kita pun bisa kesana dengan menghubungi nomor sebuah telepon genggam yang terpampang tak jauh dari bibir pantai. Hanya saja, akhirnya kami memtuskan untuk melanjutkan pertualangan ke Pantai Romodong, tetangga Pantai Penyusuk dengan pasir pantainya yang maha halus, putih pula. Selamat datang di Pulau Bangka.

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Pantai Penyusuk, Mutiara di Bangka Utara" oleh penulis yang sama)

MUSEUM TIMAH DI BANGKA, DARI TIMAH HINGGA JEJAK SOEKARNO-HATTA

"Selain pantai, Pulau Bangka juga terkenal sebagai pulau penghasil timah. Bahkan dahulu, Muhammad Hatta pernah diasingkan di pulau ini. Untuk melihat sejarah panjang Bangka, Anda bisa datang langsung ke Museum Timah."


Sepertinya bukan hal yang baru lagi, bila selama ini Pulau Bangka dikenal sebagai daerah pertambangan. Utamanya tambang timah yang memang sudah menjadi komoditas identitas daerah ini. Film Laskar Pelangi, yang sekalipun berlatar belakang Pulau Belitung, saudara Pulau Bangka, adalah gambaran kondisi sejarah pertambangan timah di sana. Pertambangan timah di Pulau Bangka sudah berlangsung sejak lama. Untuk mengetahui lebih dalam cerita itu, kita bisa mempelajarinya di Museum Timah Indonesia, salah satu museum timah yang ada di Pulau Bangka.

Dalam buku yang berjudul "Toponim Kota Pangkalpinang" yang ditulis oleh Drs Akhmad Elvian, diceritakan mengenai sejarah berdirinya Museum Timah Indonesia. Bermula dari penguasaan Belanda atas Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia kala itu, melalui agresi militer pada tanggal 19 Desember 1948. Presiden Soekarno, Sultan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim, diasingkan di Brastagi dan Parapat. Sedangkan Wakil Presiden Mohammad Hatta, Kepala Staf Angkatan Udara RS Soerjadarma, Ketua KNIP Mr Assaat, dan Sekretaris Negara Mr AG. Pringgodidgo diturunkan di Kampung Dul, Pulau Bangka, untuk selanjutnya dibawa ke Gunung Menumbing di Muntok, Bangka Barat, dengan pengawalan truk bermuatan tentara Belanda.

Pada 5 Februari 1949, Presiden Pertama RI dan Menteri Luar Negeri kala itu, Haji Agus Salim tiba di pelabuhan Pangkalbalam, Pangkalpinang, dari pengasingan di Parapat dengan pesawat Catalina. Mereka bergabung dengan pemimpin-pemimpin republik lainnya yang telah diasingkan terlebih dahulu di Gunung Menumbing. Pada hari berikutnya, datang pula beberapa tokoh seperti dr Darma Setiawan, Prof Soepomo, dan dr J Leimena, serta tiga orang tokoh dari BFO (Bijeenkomst Voor Federal Overleg), yakni Mr Soejono, Anak Agung Gde Agung, dan dr Ateng.


Mulanya, perundingan dilakukan di Gunung Menumbing. Namun, karena pesertanya bertambah dengan kehadiran pejabat dari Komisi Tiga Negara (KTN), maka selanjutnya perundingan dipindahkan ke Pangkalpinang, dengan lokasi yang sekarang menjadi Museum Timah Indonesia. Saat itu, rumah yang sekarang menjadi Museum Timah Indonesia itu terdiri atas lima kamar, satu kamar besar untuk berunding, sedangkan sisanya untuk tempat tidur. Pemimpin yang lama tinggal di rumah ini adalah Bapak TNI Angkatan Udara kita, yakni RS Soerjadarma. Melalui beberapa kali perundingan atau diplomasi di Pangkalpinang, maka lahirlah Konferensi Roem-Royen atau Roem-Royen Statement, pada tanggal 7 Mei 1949. Salah satu isinya adalah bahwa pemerintah Belanda menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.

Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan rombongan kembali ke Yogyakarta. Seraya mengatakan, "Dari Pangkalpinang pangkal kemenangan bagi perjuangan," yang sekarang dijadikan motto Pemerintah Kota Pangkalpinang, pangkal kemenangan. Setelah masa kemerdekaan, pemerintah daerah bekerja sama dengan perusahaan tambang timah pesangrahan. Tambang timah tersebut diperbaiki untuk dijadikan museum dengan nama Museum Wisma Budaya, satu-satunya museum yang ada di Pulau Bangka saat itu. Masyarakat pada saat itu pun diminta secara sukarela untuk menyerahkan barang-barang bernilai sejarah untuk selanjutnya disimpan dalam museum. Selanjutnya pada tanggal 2 Agustus 1997, PT Timah (Persero) Tbk, menjadikan bangunan ini sebagai Museum Timah Indonesia.


Museum Timah Indonesia adalah museum teknologi pertimahan yang saat ini dikelola oleh PT Tambang Timah (Persero) Tbk, yang sebetulnya sudah berdiri sejak tahun 1958. Bertujuan mencatat sejarah pertimahan di Kepulauan Bangka Belitung, sekaligus memperkenalkannya kepada masyarakat perihal pertambangan timah. Museum ini menempati sebuah gedung bersejarah yang awalnya adalah rumah dinas Hoofdt Administrateur Banka Tin Winning (BTW). Dalam museum ini, ada banyak hal yang bisa kita pelajari, utamanya perihal sejarah pertambangan timah di Indonesia, terlebih tambang timah di Pulau Bangka dan Pulau Belitung.

Sekalipun tugu prasasti yang asli sekarang tersimpan di Museum Pusat di Jakarta, namun dalam museum ini kita bisa mempelajari lebih jauh tentang prasasti Kota Kapur yang didirikan pada masa Kerajaan Sriwijaya di Kota Kapur, Pulau Bangka. Yang saat itu dikenal dengan nama Mukha Asin atau dalam bahasa China disebut Mo-Ho-Hsin. Tugu prasasti ini terbuat dari batu pasir, yang diperkirakan diambil dari Bukit Besar, Penagan. Sebuah perkampungan di Pulau Bangka. Prasasti ini merupakan prasasti persumpahan, berisi ancaman bagi mereka yang menentang Raja Sriwijaya.


Selanjutnya kita bisa mempelajari sejarah eksplorasi bijih timah dengan pemboran. Pemboran pada mulanya dilakukan dengan alat bor tusuk yang diperkenalkan oleh pendatang China di awal abad 18. Orang China menamakannya dengan sebutan Ciam yang berarti ujung runcing. Sedangkan orang Belanda menamakannya dengan sebutan Chinese Stick. Ciam adalah sebuah tongkat yang terbuat dari tembaga, diujungnya terdapat takuk untuk mengambil contoh lapisan tana. Contoh bagaimana alat bernama Ciam ini bisa kita lihat di Museum Timah Indonesia.

Sejak tahun 1885, bor Bangka mulai digunakan para penambang, diciptakan oleh JE Akkeringa, seorang ahli Geologi BTW. Peralatan ini berguna untuk pemboran lapisan alluvial dengan kedalaman kurang dari 40 meter. Hampir seluruh eksplorasi mineral berat dari lapisan tanah sekunder pada tahap tertentu menggunakan bor Bangka. Namun, memasuki abad 19, mulai ditemukan lapisan alluvial dalam, di mana bor Bangka sudah tidak mampu lagi menembusnya, sehingga diciptakanlah berbagai moiofikasi alat bor yang berbasis bor Bangka.


Penambangan timah pada awalnya sangat bergantung pada tenaga manusia, dengan peralatan sederhana. Penambangan modern diawali sejak digunakannya mesin uap pada pertengahan abad ke-19. Penggalian timah dengan cara sederhana diperkirakan telah dimulai oleh penduduk pribumi Bangka sekitar abad ke-5, dengan menggunakan linggis sebagai alat untuk menggali sumuran, yang dikenal dengan sebutan Sumur Palembang. Sementara itu pencucian pasir timah dilakukan dengan batok kelapa dan dulang kayu.

Memasuki era modern, yakni di awal tahun 1850-an, penambang mencoba menggunakan alat mesin gali untuk mengganti tenaga kuli sebagai penggali tanah. Mulanya dicoba menggunakan eskavator seperti pada penambangan batubara di Sumatera, namun gagal. Peralatan cuci (ore dressing) yang semula menggunakan batok kelapa, yang kemudian digantikan oleh dulang, pun diganti dengan mesin pencuci. Mesin pencuci pertama adalah JIG yang diperkenalkan di awal abad 20. Untuk pencucian yang lebih bersih lagi, dicitakan meja goyang, diikuti metode-metode lain pada kurun waktu berikutnya. Pada penambangan modern, tambang primer (yakni tambang pada deposit timah primer), dilakukan dengan dua pilihan tergantung pada kondisi batuannya, yaitu sistem Underground (Tambang Dalam) dan Open Pit (Tambang Terbuka).

Selanjutnya, masih di museum yang sama, kita pun bisa mempelajari tata cara proses peleburan timah (smelter). Teknologi peleburan timah sudah dikenal manusia sejak zaman Mesir Kuno dan Yunani Kuno. Peleburan timah di Eropa sudah dikembangkan pada abad ke-14 Masehi oleh Georgius Agricola, yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Pertambangan dan Metalurgi Dunia. Sementara itu, peleburan timah Era Industri di Indonesia di pelopori oleh Dr CR Vlandereen dengan memodernisasi peleburan sistem China.

Apakah cuma sebatas itu isi museum ini? Masih ada lagi ternyata, yakni perihal manuskrip awal penulisan sejarah Bangka. Sejarah Bangka ditulis pertama kali oleh Haji Idris, seorang guru di Muntok, Bangka Barat, pada tahun 1861 silam. Catatan sejarah ini dimutakhirkan oleh Abang Arifin Tumenggung Kertanegara I pada tahun 1879, dan Abang Muhammad Ali Tumenggung Kertanegara II pada tahun 1879. Dilanjutkan oleh Raden Achmad dan Abang Abdul Jajal pada tahun 1925.

Nah, sungguh banyak bukan hal yang dapat kita pelajari di Museum Timah Indonesia di Pulau Bangka ini? Seraya mempelajarinya, tentu saja secara langsung kita bisa melihat-lihat benda yang dijelaskan tersebut diatas. Semuanya dikoleksi di Museum Timah Indonesia yang terletak di Jalan Ahmad Yani, Nomor 179, Pangkalpinang, Bangka. Semua itu bisa kita pejari gratis, sebab pengelola museum tidak memungut biaya sepersen pun dari pengunjung yang datang. Museum ini buka Senin-Minggu, pukul 08.00 sampai dengan 16.00 WIB. Sedangkan khusus hari Jumat, museum ini ditutup untuk umum.

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Museum Timah di Bangka, Drai Timah Hingga Jejak Soekarno-Hatta" oleh penulis yang sama)

MENGENANG JEJAK KUNCEN MERAPI, MBAH MARIDJAN

"Gunung Merapi memang sudah tidak seaktif dulu saat meletus, namun kita masih dapat melihat sisa kehebatannya. Tepat di lereng Merapi, pengunjung dapat mengenang bekas rumah dan nisan Mbah Maridjan, sang juru kunci Merapi."


Lagi-lagi, Gunung Merapi menarik perhatian khalayak ramai. Beberapa waktu lalu, salah satu gunung paling aktif ini kembali meletus pada sebuah subuh. Sejumlah kawasan yang berada di daerah utara dan timur gunung itu pun diguyuri hujan abu. Sekali pun tak seperti saat gunung ini meletus tahun 2010 silam, namun masyarakat sekitar langsung mengungsi akibat rasa trauma yang masih mereka rasakan hingga kini.

Berbicara perihal Gunung Merapi, ada sosok yang tak bisa dilepaskan darinya. Adalah Mbah Maridjan, sang juru kunci yang ikut menjadi korban letusan karena kesetiaannya menjaga gunung yang menjadi tanggung jawabnya sejak lama itu. Kini, Mbah Maridjan telah tiada. Namun demikian, kharisma beliau sampai sekarang tetap bersemayam dibenak siapa pun. Sampai sekarang, kharisma seorang Mbah Maridjan pun bisa tetap dirasakan saat kita berkunjung ke lereng Gunung Merapi.



Saya sendiri adalah orang yang cukup penasaran akan sosok Mbah Maridjan. Suatu hari, saya menunjungi lereng Merapi tempat dimana dulu Mbah Maridjan tinggal. Saya kesana bersama seorang supupu yang sengaja datang dari Jakarta, Mirwan Agustino, Solihin dari Bandung, dan Bambang yang sama-sama dengan saya tinggal di Yogyakarta. Mereka semua adalah orang-orang satu kampung halaman dari Pulau Bangka yang merantau menunut ilmu di Pulau Jawa.

Bagi saya, ini adalah kunjungan saya yang kedua ke lereng Merapi. Dulu, saat baru-baru tinggal di Yogyakarta, saya juga sempat menunjungi lereng Merapi bersama orang-orang dari kampung halaman yang datang liburan ke Yogyakarta. Hanya saja waktu itu kami cuma tak sampai ke perkampungan Mbah Maridjan. Kami hanya menikmati pemandangan lereng Merapi pasca meletus tahun 2010, pada kawasan yang mewajibkan pengunjung memarkirkan kendaraannya di situ.



Nah, kunjungan yang kedua ini, kami sengaja naik jalan kaki menuju perkampungan Mbah Maridjan. Sebetulnya kita bisa sewa kendaraan bermotor, naik motor trail, atau naik jeep menelusuri sisa-sisa letusan Merapi. Namun kami sengaja jalan kaki dengan beragam alasan. Pertama, biar bisa menikmati pemandangan di sekitar dengan seksama. Kedua, dan ini yang mungkin lebih mengena, yakni biar lebih hemat biaya.


Singkat cerita, sampailah kami di desa tempat dimana dulu sang juru kunci Merapi menjalankan tanggung jawabnya menjaga Gunung Merapi. Desa itu sempat porak poranda diterjang lahar Merapi yang ganas. Semua itu menceritakan perjalanan Mbah Maridjan memperjuangkan masyarakat sekitar Merapi, menjaganya sebagaimana amanat yang diberikan. Merapi tak pernah ingkar janji, Merapi meletus pula pada akhirnya. Sosok Mbah Maridjan tetap ada di sana.

Di desa itu, tak hanya cerita perihal kesetiaan Mbah Maridjan yang dapat kita rasakan. Sisa-sisa perjuangan orang-orang dalam menyelamakan jiwa-jiwa dari lahar letusan Merapi pun bisa kita rasakan, seperti bangkai mobil yang dulu digunakan seorang wartawan sebuah media dalam menyelamatkan warga. Wartawan itu pun ikut menjadi korban sebagai seorang relawan yang kelak jasanya akan tetap dikenang. Salam traveler!

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Mengenang Jejak Kuncen Merapi, Mbah Maridjan" oleh penulis yang sama)

Jumat, 06 Februari 2015

LIBURAN KE GUNUNGKIDUL, WAJIB KE PANTAI SUNDAK

"Kawasan Gunungkidul di selatan Yogyakarta sedang hangat diperbincangkan banyak traveler. Di sana terdapat aneka gua dan juga berderet pantai indah. Satu yang tak boleh terlewat yaitu Pantai Sundak."


Nah, di selatan Yogyakarta, tepatnya di Kabupaten Gunung Kidul, ada pantai elok yang cocok untuk liburan akhir pekan, Pantai Sundak namanya. Saya dan beberapa orang teman pun akhirnya memilih Pantai Sundak untuk sekadar relaksasi setelah kuliah akhir pekan beberapa waktu yang lalu. Seperti biasa, hari Minggu adalah hari di mana banyak orang menyerbu tempat-tempat wisata, tak terkecuali Pantai Sundak. Sesampai di sana, kami melihat wisatawan, baik anak-anak sampai orang tua, berseliweran di sepanjang bibir pantai.



Pantai Sundak yang memang sudah elok, ditambah elok oleh deretan payung tepi pantai yang disediakan warga. Bagi Anda yang ingin menikmati sejuknya angin pantai tapi tak mau terkena pancaran sinar matahari, maka Anda pun bisa menyewa payung-payung itu. Nah, bila Anda berkunjung ke Pantai Sundak pada hari Minggu atau musim liburan tertentu, bila beruntung Anda akan menyaksikan pertunjukan kuda lumping yang digelar tak jauh dari bibir pantai. Sejumlah wisatawan pun tampak mengitari arena pertunjukan dengan beragam raut muka, mulai dari tertawa menyaksikan ulah para pelakon, sampai raut muka petanda takut melihat sesuatu saat pelakon melakukan atraksi yang tak biasa, seperti mengunyah gelas dan sejenisnya.



Puas menonton pertunjukan khas Pulau Jawa itu, kamipun beringsut menuju bibir pantai. Wah, pemandangannya benar-benar mengundang decak kagum. Angin bertiup pelan, menghadirkan kesejukan khas pantai yang seketika itu juga membuat segala beban terangkat, menguap entah ke mana. Selain bulir-bulir pasir pantai yang putih bersih, bagian daratan yang menggumpal membentuk bebatuan juga menambak keelokan Pantai Sundak. Tepat di bagian barat pantai itu, kita bisa melihat eloknya sebuah gugusan yang membentuk pulau tersendiri, di tengah laut yang gagah oleh gelombang.

Liburan ke pantai tapi tak mandi, tidak afdol rasanya, bukan? Maka kami pun melepaskan baju dan segera menceburkan diri ke dalam laut Pantai Sundak yang jernih. Hati-hati, sebagaimana ombak di pantai selatan Pulau Jawa lainnya, ombak di Pantai Sundak pun cukup kencang. Sesekali petugas yang siaga di tepi pantai meniupkan peluitnya bila menurutnya orang-orang yang mandi di pantai itu sudah melampaui batas maksimum dari bibir pantai. Selain itu, kita juga disarankan untuk tidak berlama-lama berada di bawah gugusan yang mudah longsor. Liburan, tapi tetap taat aturan tak jadi soal, bukan? Salam traveler!

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Liburan ke Gunungkidul, Wajib ke Pantai Sundak" oleh penulis yang sama)

WARUNG RASA SAYANGE, RASA INDONESIA TIMUR DI YOGYAKARTA

"Citarasa makanan Yogyakarta memang terkenal manis. Bagi traveler yang tidak terbiasa, bisa mampir ke warung Rasa Sayange di tugu utara Yogya. Rasa pedas berpadu citarasa Indonesia timur akan menggelitik lidah."


Selama ini, makanan di Yogyakarta dikenal dengan cita rasanya yang manis sekali, seperti gudeg, makanan khas kota budaya ini. Maklum, makanan orang Jawa memang didominasi oleh gula Jawa sebagai salah satu bumbunya. Makanan-makanan itu biasanya kurang cocok di lidah mahasiswa yang berasal dari luar Pulau Jawa. Namun jangan khawatir, sekarang di Yogyakarta, ada warung makan yang menyediakan makanan seafood bercita rasa pedas khas Indonesia Timur.




Nama warung itu adalah Warung Makan Bu Ning Rasa Sayange Khas Indonesia Timur. Di warung yang selalu ramai menjelang jam makan siang ini, menyediakan menu utama ikan bakar, ikan baronang, ika kakap putih, ikan kerisi, ikan kembung, dan hewan laut lainnya. Selain itu, ada pula ikan goreng dan ikan yang dimasak dengan kuah kuning. Nah, ini dia istimewanya warung ini. Sensasi pedas luar biasanya saat menu-menu itu semua disantap dengan sambal colo-colo yang terbuat dari irisan tomat hijau dan irisan cabe rawit. Bisa dibayangkan bagaimana pedasnya? Selain sambal colo-colo, ada pula sambal dabu-dabu yang tak kalah pedas.

Sebagai warung khas Indonesia Timur, tentu saja warung ini juga menyediakan makanan paling khas Indonesia Timur, yakni papeda. Bagi saya, ini makanan paling unik yang pertama kali saya temui. Papeda merupakan makanan khas Indonesia Timur yang terbuat dari sagu, sehingga disajikan menyerupai lem yang masih panas. Mengenai rasa, saya belum begitu tahu, karenan memang belum pernah mencobanya. Selain rasanya yang maknyus (meminjam istilah pakar kuliner Bondan Winarno), ikan di warung ini juga masih segar-segar. Bila saat makan tiba-tiba merasakan ikan yang sedang Anda makan tersebut sudah tak segar lagi, Anda bisa menukarnya dengan penjual tanpa harus membayar lagi.



Untuk menikmati ikan-ikan segar itu, kita cukup merogoh kocek sekitar Rp 20.000 saja. Itu sudah satu paket, termasuk ikan, nasi, sayur mayur yang begitu banyak, minuman, sambal colo-colo dan dabu-dabu. Di samping nasi, ada pula kasbi yang terbuat dari aneka jenis ubi yang direbus matang. Nah, bagi Anda anda yang sedang berada di Yogyakarta dan ingin sekali makan makanan yang super pedas, datanglah ke Warung Makan Bu Ning Rasa Sayange Khas Indonesia Timur di Jalan Jetis Pasiraman No. 11 Yogyakarta, atau tepat berada di bagian utara Tugu Jogja. Hati-hati pedas. Salam traveler!

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Warung Rasa Sayange, Rasa Indonesia Timur di Yogyakarta" oleh penulis yang sama)