Minggu, 08 Februari 2015

MENGENANG JEJAK KUNCEN MERAPI, MBAH MARIDJAN

"Gunung Merapi memang sudah tidak seaktif dulu saat meletus, namun kita masih dapat melihat sisa kehebatannya. Tepat di lereng Merapi, pengunjung dapat mengenang bekas rumah dan nisan Mbah Maridjan, sang juru kunci Merapi."


Lagi-lagi, Gunung Merapi menarik perhatian khalayak ramai. Beberapa waktu lalu, salah satu gunung paling aktif ini kembali meletus pada sebuah subuh. Sejumlah kawasan yang berada di daerah utara dan timur gunung itu pun diguyuri hujan abu. Sekali pun tak seperti saat gunung ini meletus tahun 2010 silam, namun masyarakat sekitar langsung mengungsi akibat rasa trauma yang masih mereka rasakan hingga kini.

Berbicara perihal Gunung Merapi, ada sosok yang tak bisa dilepaskan darinya. Adalah Mbah Maridjan, sang juru kunci yang ikut menjadi korban letusan karena kesetiaannya menjaga gunung yang menjadi tanggung jawabnya sejak lama itu. Kini, Mbah Maridjan telah tiada. Namun demikian, kharisma beliau sampai sekarang tetap bersemayam dibenak siapa pun. Sampai sekarang, kharisma seorang Mbah Maridjan pun bisa tetap dirasakan saat kita berkunjung ke lereng Gunung Merapi.



Saya sendiri adalah orang yang cukup penasaran akan sosok Mbah Maridjan. Suatu hari, saya menunjungi lereng Merapi tempat dimana dulu Mbah Maridjan tinggal. Saya kesana bersama seorang supupu yang sengaja datang dari Jakarta, Mirwan Agustino, Solihin dari Bandung, dan Bambang yang sama-sama dengan saya tinggal di Yogyakarta. Mereka semua adalah orang-orang satu kampung halaman dari Pulau Bangka yang merantau menunut ilmu di Pulau Jawa.

Bagi saya, ini adalah kunjungan saya yang kedua ke lereng Merapi. Dulu, saat baru-baru tinggal di Yogyakarta, saya juga sempat menunjungi lereng Merapi bersama orang-orang dari kampung halaman yang datang liburan ke Yogyakarta. Hanya saja waktu itu kami cuma tak sampai ke perkampungan Mbah Maridjan. Kami hanya menikmati pemandangan lereng Merapi pasca meletus tahun 2010, pada kawasan yang mewajibkan pengunjung memarkirkan kendaraannya di situ.



Nah, kunjungan yang kedua ini, kami sengaja naik jalan kaki menuju perkampungan Mbah Maridjan. Sebetulnya kita bisa sewa kendaraan bermotor, naik motor trail, atau naik jeep menelusuri sisa-sisa letusan Merapi. Namun kami sengaja jalan kaki dengan beragam alasan. Pertama, biar bisa menikmati pemandangan di sekitar dengan seksama. Kedua, dan ini yang mungkin lebih mengena, yakni biar lebih hemat biaya.


Singkat cerita, sampailah kami di desa tempat dimana dulu sang juru kunci Merapi menjalankan tanggung jawabnya menjaga Gunung Merapi. Desa itu sempat porak poranda diterjang lahar Merapi yang ganas. Semua itu menceritakan perjalanan Mbah Maridjan memperjuangkan masyarakat sekitar Merapi, menjaganya sebagaimana amanat yang diberikan. Merapi tak pernah ingkar janji, Merapi meletus pula pada akhirnya. Sosok Mbah Maridjan tetap ada di sana.

Di desa itu, tak hanya cerita perihal kesetiaan Mbah Maridjan yang dapat kita rasakan. Sisa-sisa perjuangan orang-orang dalam menyelamakan jiwa-jiwa dari lahar letusan Merapi pun bisa kita rasakan, seperti bangkai mobil yang dulu digunakan seorang wartawan sebuah media dalam menyelamatkan warga. Wartawan itu pun ikut menjadi korban sebagai seorang relawan yang kelak jasanya akan tetap dikenang. Salam traveler!

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Mengenang Jejak Kuncen Merapi, Mbah Maridjan" oleh penulis yang sama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar