Dian, saat wisuda dulu |
Hari itu, hatiku
sungguh riang. Bagaimana tidak, kampus nomor wahid di negeri ini sudi
menerimaku menjadi salah satu mahasiswa mereka. Dulu, jangankan bercita-cita
hendak belajar di sini, terpikir sedikit pun tak ada sama sekali. Siapalah aku
dengan lancangnya berani bercita-cita semulia itu? Ayahku hanya seorang petani
lada di kampung halaman kami di Pulau Bangka. Beliau bukan pegawai perusalahan
timah milik negara yang tersohor bergaji raksasa di sana, apalagi menyandang
gelar sebagai pejabat negara. Bukan, beliau hanya seorang petani gigih yang
saban hari selalu pergi-pulang ke kebun bersama umak yang setia. Perihal
mengapa ayah hanya menyandang gelar itu, semestinya tak usahlah ditanya. Ayah
bukan tak pandai lagi cerdas. Bukan itu. Menurut cerita yang kemudian sering
aku dengar, ayah itu orangnya pintar bukan main. Otaknya cemerlang, berkilauan
macam baju penyanyi dangdut yang lenggak-lenggok di atas pentas. Masalahnya,
keluarga ayah kecil tak punya biaya untuk merawat otak ayah yang brilian itu.
Singkatnya, jadilah ayahku seorang petani.
Dulu, ayah tak punya
peluang untuk sekolah, maka kamilah yang bersekolah. Sayangnya, abang hanya mau
bersekolah sampai SMK saja. Setelah lulus dengan susah payah, sempat dua tahun
tinggal kelas semasa SD sehingga aku yang adalah adiknya berada satu tingkat di
atasnya, lalu saat SMP saban shubuh sudah bangun hendak menuju sekolahnya
berjarak tak kurang 40 kilometer di Toboali, sering bolos semasa SMK di
Pangkalpinang, lalu dengan khidmat abang menyatakan tak hendak melanjutkan
sekolah ke perguruan tinggi. Abang beralasan, otaknya tak kuat diajak ke bangku
kuliah. Beruntungnya, berbekal ijazah SMK bidang teknik yang ia raih dengan
seringkali bolos itu, ia berhasil meraih pekerjaan di perusahaan timah milik
negara itu. Jadilah abang pegawai. Ayah bangga bukan main, demikian dengan umak
yang sempat bersedih hatinya sebab membayangkan abang berada di lobang tambang karena
tak mau sekolah lagi. Aku, adiknya ini, pun bangga dengan abang. Saya maklum
mengapa abang tak mau kuliah lagi. Maka, akulah yang kuliah. Setelah selesai
kuliah di Bangka untuk strata pertama, aku pun berniat kuliah satu strata lagi.
Demi abang, aku ingin mempersembahkan gelar kedua ini kelak untuk abang yang
hanya tamat SMK. Bukan bermaksud merendahkan abang, aku kadang sedih manakala mendengar
cerita umak perihal ucapan abang suatu hari di ujung telepon.
Saat itu, Lara, adik
perempuan kami paling bungsu, satu-satunya anak perempuan ayah dan umak,
mengirim kabar gembira pada abang yang bekerja di kapal keruk perusahaan timah
tempat dia bekerja. Lara baru saja selesai diwisuda setelah lulus belajar
membaca Al-Quran. Lulusan terbaik pula dia untuk tingkat kecamatan. Senang
bukan main adik kami itu tampaknya. Itulah sebabnya ia ingin berbagi
kebahagiaan itu kepada saudara-saudaranya yang tidak ada di rumah. Abang berada
di tengah laut, sedang aku berada di Yogyakarta. Abang pun senang mendengar
kabar itu. Namun, ada satu kalimat abang yang sempat membuat umak kembali
bersedih hatinya.
“Sudah pernah semua kalian
wisuda, cuma aku sendiri yang tidak pernah wisuda,” begitu kata abang dengan
nada yang membuat hati pilu.
Maka, disinilah aku
pada hari itu. Pagi menjelang, aku langsung berangkat menuju ruang akademik,
hendak daftar ulang. Slip bukti pembayaran uang kuliah semester pertama dari sebuah
bank aku pegang erat-erat. Aku
menggenggamnya penuh gembira. Akhirnya, tak disangka-sangka aku jadi mahasiswa
lagi, di kampus ini pula. Ah, bagai mimpi rasanya. Sungguh tak percaya rasanya
aku bisa berada diantara orang-orang yang hilir mudik di hadapanku, orang-orang
yang sepertinya punya mimpi yang sama. Mereka adalah orang-orang cerdas yang
pula diterima menjadi mahasiwa di sini. Laki-laki dan perempuan, semua berbaur
dalam ruangan ini, lalu menghadap petugas pada sebuah meja panjang secara
bergiliran seraya menyerahkan setumpuk berkas. Sesekali, aku mengusap mukaku
dengan telapak tangan. Ingin cepat-cepat rasanya aku memulai kuliah di sini.
Saat proses daftar
ulang berlangsung, tiba-tiba ada pemandangan yang sempat membuatku terpaku
sejenak. Dua orang perempuan…Eh, tunggu. Yang satunya memang perempuan. Tapi
yang satunya? Wah, inilah mungkin yang sering disebut sebagai perempuan tomboy.
Orang bilang, perempuan yang berpenampilan layaknya lagi-laki itu menarik
sekali. Aku pun dulu menganggapnya begitu. Namun, hari itu anggapanku itu tak
berlaku dengan perempuan yang aku lihat tepat di hadapanku itu. Entah kenapa,
aku merasa ada yang aneh dengan penampilan perempuan itu. Dari lubuk hati yang
paling dalam, aku tau sesungguhnya dia adalah seorang perempuan. Sebagai
laki-laki layaknya laki-laki pada umumnya, aku pun tetap bisa membedakan mana
laki-laki dan mana perempuan, serupa apa pun penampilan luarnya. Menurutku,
perempuan yang aku lihat pagi itu sungguh membuatku bertanya-tanya, mengapa dia
bisa berpenampilan seperti itu? Ah, biarlah, toh semua orang punya pilihan
masing-masing dalam menjalani hidup. Hanya saja, dalam hati aku berdoa kepada
Tuhan kala itu, semoga perempuan itu tidak kuliah di fakultas hukum, fakultas
yang sama denganku. Sudah, itu saja doaku kala itu.
Setelah pendaftaran
usai, maka resmilah aku menjadi mahasiswa lagi. Setelahnya, aku pulang terlebih
dahulu ke Bangka, lalu kembali satu bulan berikutnya saat kuliah akan segera
dimulai. Satu hari sebelum aku kembali ke Yogyakarta, abuk meninggal dunia.
Abuk adalah sebutan untu kakek di Bangka, terutama di Bangka bagian selatan.
Aku sedih, tapi bersyukur masih berada disana saat beliau berpulang. Oleh
karena umak yang sibuk mengurusi acara tahlilan almarhum abuk selama tujuh hari
ke depan, sendirilah aku berangkat ke bandara yang ada di Pangkalpinang, 140
kilometer dari kampung kami. Umak, ayah, dan saudara-saudaraku yang lain urung
ke Pangkalpinang. Hanya abang dan Ori, keponakan kecil kami yang nakal luar
biasa itu yang mengantarkan aku ke Toboali. Abang mengantar aku ke Toboali
menggunakan mobil sedan sederhana yang berhasil ia beli setelah sekian lama
bekerja. Di Toboali, aku kemudian menumpang mobil Pak Syaf, guru SD adikku yang
kebetulan akan ke Pangkalpinang.
Pada hari sabtu, kuliah
perdana pun dimulai. Salah satu pemateri pagi itu adalah Prof. Kamarudin
Hidayat, salah seorang akademisi terkenal dari Jakarta. Selain berusaha
mendengar dan memahami isi materi yang disampaikan, mataku berputar mengitari
ruangan sederhana itu. Satu demi satu, aku menatap muka orang-orang yang tak
lain adalah mahasiswa baru, sama sepertiku. Sesekali, aku melihat wajah
sejumlah orang yang sepertinya aku mengenali mereka. Siapa mereka? Siapa lagi
bila bukan ahli-ahli hukum yang saban hari mukanya berseliweran di sejumlah
stasiun televisi. Semakin bangga rasanya aku bisa menapakkan kaki di kampus
ini.
Acara terus
berlangsung. Peserta kuliah perdana mulai menampakkan wujud aslinya, mulai
bosan dengan acara yang tak kunjung usai. Aku yang kala itu duduk dengan
seorang teman baru yang dikenalkan oleh seorang teman waktu bekerja dulu, pun
merasakan hal yang sama. Biar tak membuat kepala pecah, aku pun terus
melangsungkan prosesi melihat tingkah polah orang dalam ruangan itu satu demi
satu. Dari sekian banyak orang, ada satu orang yang menarik perhatianku kala
itu. Siapa pun, terutama laki-laki, pasti tak hendak berpaling pandang bila
sudah menatap perempuan ini. Bagaimana tidak, perempuan ini tampak ayu. Cantik
sekali dia. Mengenakan baju serba hitam, ia duduk di depan sebelah kanan tempat
dudukku. Alhasil, dengan leluasa aku bisa melihat tingkah polahnya dengan
seksama. Berbeda dengan orang lain, bukan perihal wajahnya yang cantik itu yang
menarik perhatianku saat itu. Penyebabnya tak lain adalah gerak-gerik perempuan
itu yang sebentar-sebentar mengibaskan rambutnya yang terurai ke belakang. Tak
sampai lima kedipan mata, perempuan itu kembali mengibaskan rambutnya.Begitulah
seterusnya. Aduh, ini perempuan mengapa
bisa sedemikian dengan rambutnya? Apa dia tak memikirkan dengan orang
dibelakangnya yang bisa saja terkena kibasan rambutnya yang aromanya pun masih
tanda tanya itu? Perempuan pengibas rambut ini ternyata kelak akan menjadi
bagian dari cerita selama aku menimba ilmu di kampus ini.
Sudahlah, mungkin
perempuan tadi lelah. Biarkan saja dia dengan rambutnya itu. Aku pun mulai
mencari pemandangan lain. Mataku berputar mencari sosok lain. Pada sebuah
sudut, tiba-tiba aku baru menyadari bahwa doa yang aku panjatkan tempo hari
ditolak mentah-mentah oleh Tuhan. Buktinya, perempuan berpenampilan laki-laki
yang dulu sempat aku lihat di gedung akademik, ada lagi di gedung ini. Saat itu
adalah kuliah perdana khusus untuk mahasiswa fakultas hukum. Itu artinya,
perempuan itu pun kuliah di fakultas yang sama. Mengapa dia tak kuliah di
fakultas lain saja? Seraya tetap menatapnya dari kejauhan, aku kembali
memanjatkan doa. Doaku tak jauh berbeda dengan doa yang lalu.
Bedanya,permintaanku turun satu tingkat. Isinya,” Ya Allah, biarlah kami satu
fakultas, tapi semoga perempuan itu tidak satu jurusan denganku. Amin”.
***
Acara akhirnya usai.
Setelahnya, para mahasiswa baru diminta untuk masuk pada sebuah ruangan lain,
sesuai dengan jurusannya. Saat itu, jurusan magister di fakultas hukum ada lima
jurusan, yakni magister hukum, magister ilmu hukum, magister litigasi, magister
hukum kesehatan, dan magister kenotariatan. Setelah mempertimbangkan dengan
begitu matang, aku bulat memilih masuk jurusan magister hukum dengan kosentrasi
hukum bisnis. Padahal, strata sebelumnya aku mengambil jurusan hukum pidana.
Banyak orang yang heran, terutama kawan-kawan dan beberapa orang dosenku dulu.
Mengapa saya sampai menyeberang ke hukum bisnis? Bagiku, itu bukan soal. Paling
tidak, aku bisa memahami semua bidang hukum. Sesederana itulah alasanku,
sekalipun sebetulnya aku mengambil jurusan ini karena terjebak sempat bekerja
selama satu lebih. Bekerja di bank itu lebih banyak hukum perdatanya
dibandingkan pidana. Maka, jadilah aku mengambil jurusan hukum bisnis.
Satu demi satu, kami
memasuki sebuah rungan. Serupa semula, kali ini pun aku kembali menatap wajah
calon kawan-kawanku kelak satu demi satu manakala mereka masuk. Aku duduk pada
sebuah kursi, tapi bukan di depan. Posisinya cukup strategis, pada bagian
tengah. Mereka-mereka yang masuk ruangan ini berarti mereka yang kelak akan
satu jurusan denganku di magister hukum bisnis, terlepas apa pun kosentrasi
mereka. Di magister hukum, ada dua kosentrasi, yakni hukum bisnis dan hukum
kenegaraan.
“Hai,” sapa seorang
perempuan bertubuh mungil, berjilbab dia. Siapa pula orang sok kenal ini?
Terlampau herannya, aku sampai terlambat membalas sapaanya. Hal aneh apalagi
yang bakal terjadi. Perempuan berjilbab yang tiba-tiba menyapaku, lalu duduk
tak jauh dariku bersama seorang temannya yang tak lain adalah perempuan pengibas
rambut itu, siapa dia? Ah, aku ingat. Aku lupa siapa namanya kala itu. Yang aku
ingat, dia adalah perempuan yang mengaku berasal dari Duri di Riau, tapi
tinggal di Solo. Pertama kali aku bertemu dengannya saat tes wawancara dulu.
Saat perempuan itu menatapku, aku lantas membalasnya dengan senyuman sebagai simbol
bahwa aku pun ingat dengan dia. Ahai, laki-laki sekali bukan? Selain perempuan
berjilbab ini, aku tiba-tiba ingat dengan sosok laki-laki berambut panjang,
pendiam, berpenampilan agak lusuh. Melihatnya kala itu, aku jadi ingat Limbad,
magician paling irit suara sedunia itu. Betapa tidak, dia hanya menunduk, tanpa
bicara, hanya sesekali saja. Sosoknya begitu misterius sekali. Laki-laki itu,
pun ada di ruangan itu.
Separuh ruangan yang
lumayan lapang itu sudah terisi. Tidak adalagi yang hilir mudik keluar maupun
masuk. Mungkin hanya ini mahasiwa yang ada di jurusan yang aku pilih. Beberapa
orang bapak-bapak dan ibu-ibu yang aku tebak berasal dari pengelola kampus ini,
pun tampak akan memulai acara. Seraya tersenyum kecil, aku menoleh ke
langit-langit. Dalam hati kecil aku berujar kepada Tuhan, “Terimakasih, doaku
telah Engkau kabulkan.”
Aku bersiap mengikuti
acara selanjutnya yang entah apa. Namun, aku seolah tersengat listrik manakala
pandanganku tertuju pada seorang perempuan yang dengan gontainya memasuki
ruangan ini. Perempun itu…Tak salah lagi! Dia adalah perempuan berpenampilan
laki-laki yang menjadi objek doaku beberapa jam yang lalu. Dia memasuki ruangan
ini? Alamak, itu artinya dia mengambil jurusan magister hukum? Benarkah?
Padahal aku sudah terlanjur berterimakasih kepada Tuhan. Benar, dia mengambil
jurusan hukum tampaknya. Tapi, apa kosentrasinya, belum ada yang tahu kecuali
dia sendiri. Paling tidak, aku masih punya celah untuk kembali berdoa kepada
Tuhan. Maka, beginilah isi doaku selanjutnya,” Ya Allah, semoga perempuan itu
tidak satu kosentrasi denganku. Semoga dia tidak satu kelas denganku. Itu
saja.”
Sayang, tiga kali aku
berdoa perihal perempuan itu, tiga kali pula doaku ditolak oleh Tuhan.
Perempuan itu ternyata mengambil jurusan magister hukum, jurusan hukum bisnis,
satu kelas denganku. Aku benar-benar pasrah. Paling tidak, kurang lebih 2 tahun
ke depan, aku harus kuliah bersama-sama dengan dia. Tapi, cerita selanjutnya
ternyata jauh berbeda. Inilah mungkin yang sering disebut orang-orang bahwa
keputusan Tuhan adalah keputusan terbaik. Mengutip perkataan seorang kawan
manakala kami menyebutkan nama seseorang sebagai jodohnya, dengan santai dia
menjawab,”kalau itu memang jodohku, berarti itu yang terbaik.” Ya, jodoh itu di
tangan Tuhan, kita hanya berusaha mendekatinya. Sekali lagi, ini juga kata
orang-orang. Dian, nama perempuan berpenampilan layaknya laki-laki itu,
sebagaimana arti namanya adalah cahaya bagi kami kelak, kawan-kawannya di
magister hukum. Dian adalah orang pertama yang sempat membuatku tak mau satu
kelas dengannya, ternyata adalah orang yang menjadi kawan saat kami menjalani
hari-hari penghujung kami di kampus.
“Tuh ‘kan, Cek, dulu
kamu sempat berdoa yang tidak-tidak saat awal-awal kita kuliah, ujung-ujungnya
kita berteman akrab juga bukan? Ujung-ujungnya kita sering di kampus
bersama-sama juga bukan?,” begitu kata Dian pada suatu ketika, di bawah salah
satu gazebo favorit kami di fakultas hukum. Aku tersenyum menyeringai.
“Ya maaf,” hanya itu
yang bisa aku ucap. Itupun meniru salah satu gaya bicaranya yang khas.
BERSAMBUNG…
Jakarta, 21-22 Februari
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar