Kamis, 26 Februari 2015

29; PERTEMUAN DENGAN DIAN


Dian, saat wisuda dulu


Hari itu, hatiku sungguh riang. Bagaimana tidak, kampus nomor wahid di negeri ini sudi menerimaku menjadi salah satu mahasiswa mereka. Dulu, jangankan bercita-cita hendak belajar di sini, terpikir sedikit pun tak ada sama sekali. Siapalah aku dengan lancangnya berani bercita-cita semulia itu? Ayahku hanya seorang petani lada di kampung halaman kami di Pulau Bangka. Beliau bukan pegawai perusalahan timah milik negara yang tersohor bergaji raksasa di sana, apalagi menyandang gelar sebagai pejabat negara. Bukan, beliau hanya seorang petani gigih yang saban hari selalu pergi-pulang ke kebun bersama umak yang setia. Perihal mengapa ayah hanya menyandang gelar itu, semestinya tak usahlah ditanya. Ayah bukan tak pandai lagi cerdas. Bukan itu. Menurut cerita yang kemudian sering aku dengar, ayah itu orangnya pintar bukan main. Otaknya cemerlang, berkilauan macam baju penyanyi dangdut yang lenggak-lenggok di atas pentas. Masalahnya, keluarga ayah kecil tak punya biaya untuk merawat otak ayah yang brilian itu. Singkatnya, jadilah ayahku seorang petani.

Dulu, ayah tak punya peluang untuk sekolah, maka kamilah yang bersekolah. Sayangnya, abang hanya mau bersekolah sampai SMK saja. Setelah lulus dengan susah payah, sempat dua tahun tinggal kelas semasa SD sehingga aku yang adalah adiknya berada satu tingkat di atasnya, lalu saat SMP saban shubuh sudah bangun hendak menuju sekolahnya berjarak tak kurang 40 kilometer di Toboali, sering bolos semasa SMK di Pangkalpinang, lalu dengan khidmat abang menyatakan tak hendak melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Abang beralasan, otaknya tak kuat diajak ke bangku kuliah. Beruntungnya, berbekal ijazah SMK bidang teknik yang ia raih dengan seringkali bolos itu, ia berhasil meraih pekerjaan di perusahaan timah milik negara itu. Jadilah abang pegawai. Ayah bangga bukan main, demikian dengan umak yang sempat bersedih hatinya sebab membayangkan abang berada di lobang tambang karena tak mau sekolah lagi. Aku, adiknya ini, pun bangga dengan abang. Saya maklum mengapa abang tak mau kuliah lagi. Maka, akulah yang kuliah. Setelah selesai kuliah di Bangka untuk strata pertama, aku pun berniat kuliah satu strata lagi. Demi abang, aku ingin mempersembahkan gelar kedua ini kelak untuk abang yang hanya tamat SMK. Bukan bermaksud merendahkan abang, aku kadang sedih manakala mendengar cerita umak perihal ucapan abang suatu hari di ujung telepon.

Saat itu, Lara, adik perempuan kami paling bungsu, satu-satunya anak perempuan ayah dan umak, mengirim kabar gembira pada abang yang bekerja di kapal keruk perusahaan timah tempat dia bekerja. Lara baru saja selesai diwisuda setelah lulus belajar membaca Al-Quran. Lulusan terbaik pula dia untuk tingkat kecamatan. Senang bukan main adik kami itu tampaknya. Itulah sebabnya ia ingin berbagi kebahagiaan itu kepada saudara-saudaranya yang tidak ada di rumah. Abang berada di tengah laut, sedang aku berada di Yogyakarta. Abang pun senang mendengar kabar itu. Namun, ada satu kalimat abang yang sempat membuat umak kembali bersedih hatinya.

“Sudah pernah semua kalian wisuda, cuma aku sendiri yang tidak pernah wisuda,” begitu kata abang dengan nada yang membuat hati pilu.

Maka, disinilah aku pada hari itu. Pagi menjelang, aku langsung berangkat menuju ruang akademik, hendak daftar ulang. Slip bukti pembayaran uang kuliah semester pertama dari sebuah bank aku pegang erat-erat.  Aku menggenggamnya penuh gembira. Akhirnya, tak disangka-sangka aku jadi mahasiswa lagi, di kampus ini pula. Ah, bagai mimpi rasanya. Sungguh tak percaya rasanya aku bisa berada diantara orang-orang yang hilir mudik di hadapanku, orang-orang yang sepertinya punya mimpi yang sama. Mereka adalah orang-orang cerdas yang pula diterima menjadi mahasiwa di sini. Laki-laki dan perempuan, semua berbaur dalam ruangan ini, lalu menghadap petugas pada sebuah meja panjang secara bergiliran seraya menyerahkan setumpuk berkas. Sesekali, aku mengusap mukaku dengan telapak tangan. Ingin cepat-cepat rasanya aku memulai kuliah di sini.

Saat proses daftar ulang berlangsung, tiba-tiba ada pemandangan yang sempat membuatku terpaku sejenak. Dua orang perempuan…Eh, tunggu. Yang satunya memang perempuan. Tapi yang satunya? Wah, inilah mungkin yang sering disebut sebagai perempuan tomboy. Orang bilang, perempuan yang berpenampilan layaknya lagi-laki itu menarik sekali. Aku pun dulu menganggapnya begitu. Namun, hari itu anggapanku itu tak berlaku dengan perempuan yang aku lihat tepat di hadapanku itu. Entah kenapa, aku merasa ada yang aneh dengan penampilan perempuan itu. Dari lubuk hati yang paling dalam, aku tau sesungguhnya dia adalah seorang perempuan. Sebagai laki-laki layaknya laki-laki pada umumnya, aku pun tetap bisa membedakan mana laki-laki dan mana perempuan, serupa apa pun penampilan luarnya. Menurutku, perempuan yang aku lihat pagi itu sungguh membuatku bertanya-tanya, mengapa dia bisa berpenampilan seperti itu? Ah, biarlah, toh semua orang punya pilihan masing-masing dalam menjalani hidup. Hanya saja, dalam hati aku berdoa kepada Tuhan kala itu, semoga perempuan itu tidak kuliah di fakultas hukum, fakultas yang sama denganku. Sudah, itu saja doaku kala itu.

Setelah pendaftaran usai, maka resmilah aku menjadi mahasiswa lagi. Setelahnya, aku pulang terlebih dahulu ke Bangka, lalu kembali satu bulan berikutnya saat kuliah akan segera dimulai. Satu hari sebelum aku kembali ke Yogyakarta, abuk meninggal dunia. Abuk adalah sebutan untu kakek di Bangka, terutama di Bangka bagian selatan. Aku sedih, tapi bersyukur masih berada disana saat beliau berpulang. Oleh karena umak yang sibuk mengurusi acara tahlilan almarhum abuk selama tujuh hari ke depan, sendirilah aku berangkat ke bandara yang ada di Pangkalpinang, 140 kilometer dari kampung kami. Umak, ayah, dan saudara-saudaraku yang lain urung ke Pangkalpinang. Hanya abang dan Ori, keponakan kecil kami yang nakal luar biasa itu yang mengantarkan aku ke Toboali. Abang mengantar aku ke Toboali menggunakan mobil sedan sederhana yang berhasil ia beli setelah sekian lama bekerja. Di Toboali, aku kemudian menumpang mobil Pak Syaf, guru SD adikku yang kebetulan akan ke Pangkalpinang.

Pada hari sabtu, kuliah perdana pun dimulai. Salah satu pemateri pagi itu adalah Prof. Kamarudin Hidayat, salah seorang akademisi terkenal dari Jakarta. Selain berusaha mendengar dan memahami isi materi yang disampaikan, mataku berputar mengitari ruangan sederhana itu. Satu demi satu, aku menatap muka orang-orang yang tak lain adalah mahasiswa baru, sama sepertiku. Sesekali, aku melihat wajah sejumlah orang yang sepertinya aku mengenali mereka. Siapa mereka? Siapa lagi bila bukan ahli-ahli hukum yang saban hari mukanya berseliweran di sejumlah stasiun televisi. Semakin bangga rasanya aku bisa menapakkan kaki di kampus ini.

Acara terus berlangsung. Peserta kuliah perdana mulai menampakkan wujud aslinya, mulai bosan dengan acara yang tak kunjung usai. Aku yang kala itu duduk dengan seorang teman baru yang dikenalkan oleh seorang teman waktu bekerja dulu, pun merasakan hal yang sama. Biar tak membuat kepala pecah, aku pun terus melangsungkan prosesi melihat tingkah polah orang dalam ruangan itu satu demi satu. Dari sekian banyak orang, ada satu orang yang menarik perhatianku kala itu. Siapa pun, terutama laki-laki, pasti tak hendak berpaling pandang bila sudah menatap perempuan ini. Bagaimana tidak, perempuan ini tampak ayu. Cantik sekali dia. Mengenakan baju serba hitam, ia duduk di depan sebelah kanan tempat dudukku. Alhasil, dengan leluasa aku bisa melihat tingkah polahnya dengan seksama. Berbeda dengan orang lain, bukan perihal wajahnya yang cantik itu yang menarik perhatianku saat itu. Penyebabnya tak lain adalah gerak-gerik perempuan itu yang sebentar-sebentar mengibaskan rambutnya yang terurai ke belakang. Tak sampai lima kedipan mata, perempuan itu kembali mengibaskan rambutnya.Begitulah seterusnya.  Aduh, ini perempuan mengapa bisa sedemikian dengan rambutnya? Apa dia tak memikirkan dengan orang dibelakangnya yang bisa saja terkena kibasan rambutnya yang aromanya pun masih tanda tanya itu? Perempuan pengibas rambut ini ternyata kelak akan menjadi bagian dari cerita selama aku menimba ilmu di kampus ini.

Sudahlah, mungkin perempuan tadi lelah. Biarkan saja dia dengan rambutnya itu. Aku pun mulai mencari pemandangan lain. Mataku berputar mencari sosok lain. Pada sebuah sudut, tiba-tiba aku baru menyadari bahwa doa yang aku panjatkan tempo hari ditolak mentah-mentah oleh Tuhan. Buktinya, perempuan berpenampilan laki-laki yang dulu sempat aku lihat di gedung akademik, ada lagi di gedung ini. Saat itu adalah kuliah perdana khusus untuk mahasiswa fakultas hukum. Itu artinya, perempuan itu pun kuliah di fakultas yang sama. Mengapa dia tak kuliah di fakultas lain saja? Seraya tetap menatapnya dari kejauhan, aku kembali memanjatkan doa. Doaku tak jauh berbeda dengan doa yang lalu. Bedanya,permintaanku turun satu tingkat. Isinya,” Ya Allah, biarlah kami satu fakultas, tapi semoga perempuan itu tidak satu jurusan denganku. Amin”.

***

Acara akhirnya usai. Setelahnya, para mahasiswa baru diminta untuk masuk pada sebuah ruangan lain, sesuai dengan jurusannya. Saat itu, jurusan magister di fakultas hukum ada lima jurusan, yakni magister hukum, magister ilmu hukum, magister litigasi, magister hukum kesehatan, dan magister kenotariatan. Setelah mempertimbangkan dengan begitu matang, aku bulat memilih masuk jurusan magister hukum dengan kosentrasi hukum bisnis. Padahal, strata sebelumnya aku mengambil jurusan hukum pidana. Banyak orang yang heran, terutama kawan-kawan dan beberapa orang dosenku dulu. Mengapa saya sampai menyeberang ke hukum bisnis? Bagiku, itu bukan soal. Paling tidak, aku bisa memahami semua bidang hukum. Sesederana itulah alasanku, sekalipun sebetulnya aku mengambil jurusan ini karena terjebak sempat bekerja selama satu lebih. Bekerja di bank itu lebih banyak hukum perdatanya dibandingkan pidana. Maka, jadilah aku mengambil jurusan hukum bisnis.

Satu demi satu, kami memasuki sebuah rungan. Serupa semula, kali ini pun aku kembali menatap wajah calon kawan-kawanku kelak satu demi satu manakala mereka masuk. Aku duduk pada sebuah kursi, tapi bukan di depan. Posisinya cukup strategis, pada bagian tengah. Mereka-mereka yang masuk ruangan ini berarti mereka yang kelak akan satu jurusan denganku di magister hukum bisnis, terlepas apa pun kosentrasi mereka. Di magister hukum, ada dua kosentrasi, yakni hukum bisnis dan hukum kenegaraan.

“Hai,” sapa seorang perempuan bertubuh mungil, berjilbab dia. Siapa pula orang sok kenal ini? Terlampau herannya, aku sampai terlambat membalas sapaanya. Hal aneh apalagi yang bakal terjadi. Perempuan berjilbab yang tiba-tiba menyapaku, lalu duduk tak jauh dariku bersama seorang temannya yang tak lain adalah perempuan pengibas rambut itu, siapa dia? Ah, aku ingat. Aku lupa siapa namanya kala itu. Yang aku ingat, dia adalah perempuan yang mengaku berasal dari Duri di Riau, tapi tinggal di Solo. Pertama kali aku bertemu dengannya saat tes wawancara dulu. Saat perempuan itu menatapku, aku lantas membalasnya dengan senyuman sebagai simbol bahwa aku pun ingat dengan dia. Ahai, laki-laki sekali bukan? Selain perempuan berjilbab ini, aku tiba-tiba ingat dengan sosok laki-laki berambut panjang, pendiam, berpenampilan agak lusuh. Melihatnya kala itu, aku jadi ingat Limbad, magician paling irit suara sedunia itu. Betapa tidak, dia hanya menunduk, tanpa bicara, hanya sesekali saja. Sosoknya begitu misterius sekali. Laki-laki itu, pun ada di ruangan itu.

Separuh ruangan yang lumayan lapang itu sudah terisi. Tidak adalagi yang hilir mudik keluar maupun masuk. Mungkin hanya ini mahasiwa yang ada di jurusan yang aku pilih. Beberapa orang bapak-bapak dan ibu-ibu yang aku tebak berasal dari pengelola kampus ini, pun tampak akan memulai acara. Seraya tersenyum kecil, aku menoleh ke langit-langit. Dalam hati kecil aku berujar kepada Tuhan, “Terimakasih, doaku telah Engkau kabulkan.”

Aku bersiap mengikuti acara selanjutnya yang entah apa. Namun, aku seolah tersengat listrik manakala pandanganku tertuju pada seorang perempuan yang dengan gontainya memasuki ruangan ini. Perempun itu…Tak salah lagi! Dia adalah perempuan berpenampilan laki-laki yang menjadi objek doaku beberapa jam yang lalu. Dia memasuki ruangan ini? Alamak, itu artinya dia mengambil jurusan magister hukum? Benarkah? Padahal aku sudah terlanjur berterimakasih kepada Tuhan. Benar, dia mengambil jurusan hukum tampaknya. Tapi, apa kosentrasinya, belum ada yang tahu kecuali dia sendiri. Paling tidak, aku masih punya celah untuk kembali berdoa kepada Tuhan. Maka, beginilah isi doaku selanjutnya,” Ya Allah, semoga perempuan itu tidak satu kosentrasi denganku. Semoga dia tidak satu kelas denganku. Itu saja.”

Sayang, tiga kali aku berdoa perihal perempuan itu, tiga kali pula doaku ditolak oleh Tuhan. Perempuan itu ternyata mengambil jurusan magister hukum, jurusan hukum bisnis, satu kelas denganku. Aku benar-benar pasrah. Paling tidak, kurang lebih 2 tahun ke depan, aku harus kuliah bersama-sama dengan dia. Tapi, cerita selanjutnya ternyata jauh berbeda. Inilah mungkin yang sering disebut orang-orang bahwa keputusan Tuhan adalah keputusan terbaik. Mengutip perkataan seorang kawan manakala kami menyebutkan nama seseorang sebagai jodohnya, dengan santai dia menjawab,”kalau itu memang jodohku, berarti itu yang terbaik.” Ya, jodoh itu di tangan Tuhan, kita hanya berusaha mendekatinya. Sekali lagi, ini juga kata orang-orang. Dian, nama perempuan berpenampilan layaknya laki-laki itu, sebagaimana arti namanya adalah cahaya bagi kami kelak, kawan-kawannya di magister hukum. Dian adalah orang pertama yang sempat membuatku tak mau satu kelas dengannya, ternyata adalah orang yang menjadi kawan saat kami menjalani hari-hari penghujung kami di kampus.

“Tuh ‘kan, Cek, dulu kamu sempat berdoa yang tidak-tidak saat awal-awal kita kuliah, ujung-ujungnya kita berteman akrab juga bukan? Ujung-ujungnya kita sering di kampus bersama-sama juga bukan?,” begitu kata Dian pada suatu ketika, di bawah salah satu gazebo favorit kami di fakultas hukum. Aku tersenyum menyeringai.

“Ya maaf,” hanya itu yang bisa aku ucap. Itupun meniru salah satu gaya bicaranya yang khas.

BERSAMBUNG…
Jakarta, 21-22 Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar