Jumat, 29 November 2013

PERKARA HURUF H

Orang-orang seringkali berkata bila apa yang sedang kita ucapkan sekarang adalah do'a untuk kemudian hari. Ah, mulanya saya tidak percaya begitu saja. Buktinya, dari dulu saya sering berkata ini itu, ingin ini itu, tapi sampai sekarang apa yang saya ucapkan itu tak pernah datang. Tapi bukankah itulah hakikah dari sebuah do'a, bisa dikabulkan atau malah sebaliknya? Mungkin saja, dan akhirnya saya pun memahami itu. Apalagi saat saya masih duduk di kelas 3 MTs (Madrasah Tsanawiyah, sekolah Islam setingkat Sekolah  Menengah Pertama), saya dan seorang kawan saya yang hari ini (30 November 2013) mengenakan toga sebagai bukti bahwa dia sudah sarjana, pernah merasa bahwa perkataan kami akhirnya dikabulkan oleh Tuhan.

Saat itu, saya sekolah di MTs Jaya Sempurna di Pondok Pesantren Miftahul Jannah Al-Jabbariyah, milik YAHIMAS alias Yayasan Hidup Jaya Mati Sempurna. Wah, gagah sekali bukan nama sekolah kami dulu? Namun sayang, jalan hidupnya tak sejaya namanya, mati pun tak begitu sempurna. Yayasan yang punya satu MTs, MA, dan sekolah informal bernama Pondok Pesantren ini, akhirnya tutup dengan cerita yang begitu tragis. Perginya yayasan ini lengkap dengan sekolah-sekolah yang ia kelola didalamnya, selanjutnya meneguhkan keyakinan saya, jadi apa artinya sebuah nama? Apa nama yang begitu bagus bisa menjamin seseorang bisa berbuat sebagaimana namanya? Buktinya, saya punya teman yang namanya gabungan nama dua orang nabi, pun kalau mandi di sungai tingkahnya tak ubah bagai monyet-monyet yang bergelantungan pada akar-akat diatas sungai itu sendiri. Mandi di sungai, lepas baju,celana, dan menyisakan celana dalam, lalu terjun dari ketinggian sambil cengengesan.

Ah, sudahlah, yang jelas kadang nama adalah do'a ada pula benarnya, begitupula dengan ucapan adalah do'a. Saat di MTs kala itu, saya punya beberapa kawan karib, karib sekali. Satu laki-laki, satunya lagi perempuan. Laki-laki namanya Hermansah, yang perempaun namanya Zuhairiyah (atau Zuwairiyah kalau tak salah). Hermansah, seperti yang saya ceritakan mula-mula, sekarang seorang sarjana ekonomi. Sedang Aang, panggilan akrab Zuhairiyah (atau Zuwairiyah tadi), diploma bidang perikanan. Mereka semua lulusan Universitas Bangka Belitung. Namun ditengah jalan, ada insiden kecil yang membuat hubungan kami renggang, terutama antara Hermansah dan Aang. Oleh karena saya kemana-mana selalu dengan Hermansah, maka secara tidak langsung saya pun seolah-olah bertikai dengan Aang. Ah, sial benar teman bernama Hermansah ini. Namun tak jadi soal.

Saya ingat sekali, insiden itu terjadi saat kami naik ke kelas dua, dan masih berlangsung sampai kami naik ke kelas tiga menjelang ujian. Lama sekali bukan? Padahal dulunya akrab bukan main, bagai kakak-adik pokonya. Terlampau akrabnya, kami pun saling mengenal orangtua masing-masing, lengkap dengan nama mereka tentunya, meskipun tak lengkap-lengkap sekali. Nah, disinilah cerita itu bermula. Ayah Aang, yang kami tahu, namanya Basri, itu saja. Namun pada sebuah buku tugas tarawih ang kelak ditandatangan oleh imam sholat tarawih, tertera nama H. Basri, lengakp dengan tanda tangan beliau. Setahu saya, Ayah Aang belum haji.

Saya dan Hermansah kebetulan  berasal dari kampung yang sama, sedang Aang dari kampung yang lain lagi. Selanjutnya, Aang pun mejadi warga negara kampung kami juga setelah menikah dengan salah seorang bujang kawan kami sendiri. Ah, mungkin saja itu bukan Basri Ayah Aang, mungkin Basri-Basri yang lain.

"Itu Basri Ayahnya Aang!!!" kata seorang teman, Maradona namanya, yang satu kampung dengan Aang.

"Tapi kok sudah haji? sanggah Hermansah dengan gagak berani. Padahal saat ketemu Aang, ciut juga nyali laki-lakinya. Maklum, Aang adalah jenis manusia berjenis kelamin perempuan yang ganas bukan main.

"Mungkin beliau memang sudah haji,"saya menambah ringan. "Jadi, anggap saja panjangnya Haji Basri!!!"

"Bukan, H itu Hasan, jadi Hasan Basri, nama beliaukan Hasan Basri," jelas Maradona.

Maka, tertawalah kami kala itu. Dasar Maradona yang sikapnya terbalik seterbalik-baliknya terbalik dari Maradona orang Argentina, mulut ala presenter infotaiment, sudah tahu Aang spesies perempuan beringat, dikasih tahu pula kejadian itu sama anak Pak Hasan Basri. Selanjutnya, saya kira, tahulah semua apa yang terjadi. Aang mencak-mencak macam ibu-ibu yang lagi mengomeli lakinya akibat tak dapat uang banyak hari itu. Hermansah terdiam, saya pun sama, Maradona si makhluk aneh cekikikan. Ah, sial kamu, kawan.

Sekarang, hubungan kami dengan Aang sudah kembali seperti semula, setelah masing-masing sudah lulus SMA. Semuanya berdamai setelah masuk perguruan tinggi. Wah, lama sekali bukan? Coba bayangkan waktu selama itu kami saling berdiam diri, apalagi Hermansah yang nasib sialnya tak hilang-hilang, satu sekolahan dengan Aang saat SMA. Sedang saya sekolah disekolah yang berbeda dengan mereka berdua. Alhamdulillah ya Allah, Engkau jauhkan hamba-Mu ini dari makhluk bernama Aang. Maafkan saya, kawan, saya harus berpisah dengan kalian, selamat menikmati keganasan Aang versi SMA.

Masa-masa itu pula, saya mendengar kabar bahwa kedua orang tua Aang berangkat haji. Apa saya bilang? H itu Haji, bukan? Ah, bukan memang, H itu tetap Hasan. Namun bukan itu persoalannya, semestinya Aang berterimakasih kepada kami kala itu, mungkin berkat kami yang merubah H yang semula Hasan menjadi Haji, Bapak H. Basri akhirnya benar-benar berangkat haji. Sekarang, namanya H.H. Basri, bukan Haji-Haji Basri, tap Haji Hasan Basri.

Ah, gara-garaf huruf H...

Yogyakarta, 30 November 2013

Kamis, 28 November 2013

SIAL SEKALI NASIBMU, TEMAN

(Sumber: http://catatan-abg-jonni.blogspot.com)

Sebelum kampus Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung pindah ke Kampus Terpadu di Desa Balun Ijuk, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka (Induk), mula-mula kami kuliah di sebuah gedung di Bukit Intan, persis depan Kantor Walikota Pangkalpinang yang lama. Sekarang, gedung itu sendiri sudah berubah menjadi Gedung Tudung Saji (GTS), semacam Gedung Sate di Bandung, yang difungsikan menjadi Kantor Walikota Pangkalpinang yang baru.

Menurut cerita, gedung itu dulunya merupakan gedung FH dan FE Universitas Sriwijaya Cabang Bangka, namun seiring larangan pemukaan cabang bagi perguruan tinggi oleh departemen pendidikan dan kebudayaan kala itu, kampus itupun tutup alias kembali ke Palembang. Selanjutnya, yang saya tahu, dipakai sebagai gedung DPRD Kepulauan Bangka Belitung sementara, Kepolisian Wilayah yang selanjutnya berubah menjadi Kepolisisan Daerah Kepulauan Bangka Belitung. Setelah semuanya pindah ke Air Itam, Senayan ala Bangka Belitung, maka UBB menggunakan gedung itu sebagai kampus III, yakni FHIS (gabungan Hukum dan Ilmu Sosial sebelum berdiri FISIP) dan Fakultas Ekonomi.

Nah, sebetulnya saya bukan hendak bercerita perihal sejarah gedung itu, melainkan kisah bagaimana saya dengan sinting yang luar biasa meninggalkan teman saya sendiri saat pulang kuliah di kampus itu. Ceritanya, saya pergi dan pulang kuliah selalu bersama teman saya itu. Namanya Hermansah. Sekarang dia sudah menyandang gelar sarjana ekonomi alis SE setelah berjibaku 7 tahun kuliah. Ah, teman, yang penting lulus juga bukan? Sekarang, dua huruf itu tersangkut pula dibelakang namamu yang cuma sepotong itu bukan? Ah, teman, semoga engkau jadi orang hebat kelak, setidaknya menjadi ekonom yang pintar menganalisis kenapa secara ekonomi kamu dulu bisa saya tinggalkan begitu saja dikampus? Ah, sial benar nasibmu, teman.

Pulang kuliah, dia selalu menungguku selesai kuliah bila ternyata dia yang selesai paling dulu. Begitu pula sebaliknya. Bila saya yang selesai duluan, mau tak mau, suka tak suka, meminjam istilah Pak Dr. Arief Setiawan, S.H., M.H., seorang akademisi sekaligus advokat di FH UII Yogyakarta, saya pun harus menunggu si keriting itu yang selanjutnya bernasib sial itu. Ah, beginilah persahabatan saya kira, mau bagai kepompongkah, apakah, yang penting indah bukan? Saling menunggu, tapi semoga saja dia tidak menunggu saya untuk segera menikah, sebab umurnya jauh melampaui umur saya. Bila ia menunggu, mati sudah, jadi bujang tualah dia.

Suatu hari, entah bagaimana ceritanya, pulanglah kami dari kampus dengann warna biru laut mencolok mata itu. Mahasiswa lain juga berduyun-duyun hendak keluar dari cengkraman kampus. Saya menuju tempat parkir seraya tertawa tak jelas. Ah, biasalah, apalagi bila bukan tertawa karena menertawakan orang lain. Habis, salah orang itu sendiri, uniknya tak mau dibagi-bagi dengan orang lain. Ah, apa daya, parkir penuh, sedang motor saya berada ditengah-tenga motor yang lain. Sialan orang-orang ini, otaknya dimana coba, bagaimana motor saya mau keluar bila dikepung macam ini?

Ah, teman, apa saya bilang, engkau pasti jadi ekonom hebat kelak. Buktinya, dengan sigap satu demi satu dia memindahkan motor yang mengepung motor saya itu, biar kami bisa segera pulang. Setelah motor saya dirasakan bisa keluar melalui celah-celah yang diciptakan perpindahan motor-motor lain oleh teman saya yang saat itu masih berstatus calon ekonom hebat itu, saya pun mengeluarkan motor saya pelan-pelan. Saya putas kuncinya, saya pencet starter, maka mengaumlah motor saya itu seantero Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial dan Fakultas Ekomoni Universitas Bangka Belitung yang unggul membangun peradaban itu. Setelahnya, saya injak gigi satu, puta gas, meluncurlah keluar kampus menelusuri Jalan Bukit Intan. Sesekali, seraya berjalan, saya bercakap-cakap dengan teman saya dibelakang. Beberapa meter berjalan, lampu merah berjalan pada sebuah perempatan. Saya masih bercakap-cakap. Aneh, teman saya diam saja, tak seperti biasanya berkicau bagai semua hal dia ketahui. Saya mulai curiga, Motor saya juga terasa sedikit agak ringan, tak macam biasa,

Saya lihat lampu merah. Ah, masih lama. Saya menoleh ke belakang. Astaga, Tuhan!!! Mana teman saya yang calon ekonom itu?? Ah, sinting, dia jatuh atau ketinggalan? Semoga saja dia ketinggalan, saya harap-harap cemas. Secepat kilat, saya langsung putar arah, hendak kembali ke kampus. Namun sebelum sempat memutar gas sekencang-kencangnya, seorang yang sangat saya kenal memanggil dari jauh. Orang itu, sedang dibonceng oleh seorang teman lain, menuju perempatan yang warna merah masih menyala. Orang itu, adalah teman saya yang calon ekonom hebat itu.

"Gila, kamu meninggalkanku!!!"

"Lha, kenapa tadi tak naik langsung? Saya pikir kamu sudah naik!!!" teriakku.

"Tadi saya mengembalikan posisi motor-motor itu pada posisi semula..."

Oh, teman sial sekali kamu hari itu. Ah, teman, sekarang engkau sudah Sarjana Ekonomi, tolong analisis secara ekonomi, mengapa dulu engkau bisa aku tinggalkan begitu saja. Ah, sinting...

Sebetulnya, ini bukan satu-satunya kejadian dimana saya dengan begitu sinting meninggalkan teman begitu saja. Selang beberapa hari setelah kejadian itu, saya kembali sinting melakukan hal serupa. Saat itu, saya dan salah seorang teman, Sahrian namanya, membeli air galon di sebuah toko kelontong di Pangkalpinang. Sekarang dia sudah berkarier berbekal gelar Sarjana Hukum bidang Hukum Tata Negara yang ia raih dari sebuah perguruan tinggi di Pulau Bangka. Saya tak turun dari motor, hanya dia. Lalu dia mengangkat galon yang berat itu keatas motor bagian belakang. Mengira semua sudah siap, saya pun tancap gas. Namun baru beberapa meter, saya mendengar suara yang sangat saya kenal berteriak histeris.

"Woiiiii, tunggu, saya ambil kembaliannya dulu!!!"

Astaga,, untung galonnya tak jatuh. Ah, sinting....

Yogyakarta, 29 November 2013

Rabu, 27 November 2013

SMS DARI SI BUNGSU


Adik bungsu saya, Lara namanya

Semalam, tiba-tiba saya dikejutkan dengan isi pesan singkat yang dikirim adik permpuan saya yang paling bungsu. Adik saya itu, Lara namanya. Sekarang, dia duduk dikelas 6 SD. Seperti biasa, adik kesayangan saya itu selalu tanpa titik koma yang jelas bila mengirim SMS. Maklum, anak SD, wong yang sudah lulus sarjana dan kuliah mengambil gelar master saja masih ada yang lebih parah dari itu.

Seperti biasa pula, menjelang 2/4 malam saya baru tiba di kos, setelah seharian kemana-mana. Salah satu handphone yang saya miliki ternyata mati. Saya baru menyadari itu setelah meraihnya dari dalam saku celana, dan menatap layarnya yang kosong. Maka saya pun memberikan tenaga kepada si black senter itu dengan asupan listrik alias menge-charge-nya. Setelah nyawanya kembali pulih, tulisan “1 pesan diterima” pun muncul. Cepat-cepat saya membuka pesan itu, dan segera pula membaca isi pesannya dalam bahasa Melayu Bangka. Astaga, saya kaget bukan kepalang.

Bang engka telpon Aya nyuro pulang. Aku dak tau ngebel dak aktif terus. Plis.
(Bang kamu telpon Ayah menyuruh pulang. Aku tidak tahu (bisa) menelpon tidak aktif terus. Please)

Suara televisi yang setibanya tadi langsung saya hidupkan seketika juga aku matikan lagi. Hampir pukul 10 malam. Lantas, saya langsung menghubungi nomor Ayah. Sebetulnya bukan untuk menghubunginya, menelponnya lalu bercakap-cakap, tetapi sekadar menelponnya biar Ayah menelpon balik. Ah, maklum, pulsa saya bila diuangkan untuk membeli kerupuk pun tak dapat lagi, tambahan pula nomor Ayah dan nomor saya beda pengelola. Gugup, cepat-cepat saya menghubungi nomor Umak (Ibu). Lagi-lagi, beda pengelola, maka saya mempunyai alasan yang sama saat menelpon Ayah tadi. Sebelum menghubungi dua nomor itu, saya pun sempat membalas SMS adik saya itu, dalam bahasa Melayu Bangka pula.

Ni la aktif, pakai HP Umak nelpon e.
(Ini sudah aktif, pakai HP Umak nelponnya)

Namun karena tak mendapat balasan, saya pun berinisiasi menelpon dua nomor diatas. Ah, mungkin saja mereka sudah tidur, saya berpikir sekilas. Namun bila ingat isi pesan singkat yang saya terima, saya berdoa semoga mereka belum lelap. Sekalipun mereka sudah lelap, saya harus tetap menghubungi mereka. Setelah sekedar miscall, saya pun langsung menghubungi nomor adik saya yang tadi mengirim pesan. Terdengar jawaban “hallo”. Beda pengelola, saya pun mematikannya. Apa saya bilang, 2 detik saja Rp. 240, mana cukuplah kalau berlama-lama? Ah, beda pengelola, beginilah. Mengetahui masih ada yang terjaga semalam, saya pun kembali mengirim adik saya itu pesan singkat.

Pakai HP Umak nelpon, pakai nomor ni mahal pulsa dak cukup, HP hikuk dak hua ku isik pulsa e.
(Pakai HP Umak nelpon, pakai nomor ini mahal pulsa tidak cukup, HP satunya lagi tidak pernah saya isi pulsanya)

Maksud saya, saya meminta mereka untuk menghubungi saya menggunakan nomor Umak ke HP saya yang satunya lagi. Kebetulan, nomor Umak dengan nomor saya di HP yang satu pengelolanya sama. Jadi, bisa murah meriah bila hendak berkomunikasi jarak jauh semacam ini. Apalagi HP Umak sudah di setting dengan kode tertentu menurut pengelola itu, sehingga jauh lebih murah dari tarif komunikasi normal. Namun semakin lama saya menunggu, tak pula ada panggilan masuk. Ah, saya jadi tambah gugup. Selang beberapa detik kemudian, si adik membalas.

Dak biak la Umak la pulang.
(Tidak biarlah Umah sudah pulang)

Hah? Saya melongo. Lama saya  menatap layar handphone yang saya genggam, memahami isi pesan itu sehuruf demi sehuruf. Dan, entah untuk yang keberapa kalinya saya salah memahami isi SMS adik saya sendiri. Oh, Tuhan. Saya jadi senyum-senyum sendiri. Cepat-cepat saya mengirim BBM (Blackberry Messenger) ke Abang saya yang tinggal beda kabupaten dengan keluarga saya di Pulau Bangka. Mulanya, saya mengirim BBM ke Abang saya, bertanya perihal sedang bekerjakah dia, lantas selanjutnya saya mau bertanya perihal SMS yang saya terima dari adik saya itu. Lantas, cepat-cepat saya mengirim BBM yang kedua, mengatakan bahwa saya mencabut BBM yang pertama, sebab saya telah salah memahami SMS adik kami yang tiada titik dan koma itu. Ah, adik…

Mulanya, atas SMS yang saya terima itu, saya mengira bahwa saya disuruh menelpon Ayah yang menyuruh saya pulang ke Bangka entah karena alasan apa. Sebab HP saya mati dari tadi, mungkin saja Ayah sudah menelpon saya, namun tak masuk-masuk karena HP saya mati. Lha, bukankah HP yang satunya lagi tidak mati? Ah, tiba-tiba saya ingat bila HP saya yang itu juga sempat mati beberapa jam, sebelum akhirnya saya charge saat istirahat di kampus, sepulangnya dari Candi Plaosan bersama teman-teman. Ternyata, saya salah memahaminya. Saya langsung membalas SMS adik saya yang terakhir tadi.

Oooh, engka nyuro Aya pulang maksud e, nyangkak ku Aya nyuro aku pulang. Aya kemana nian tadi?
(Oooh, kamu menyuruh Ayah pulang maksudnya, sangkaku Ayah menyuruh saya pulang. Ayah kemana memang tadi?”)

Senyap, tak ada lagi balasan. Mungkin dia sudah terlelap. Maklum, besok harus sekolah pagi-pagi. Sekalipun dia tak membalasnya, tetapi saya sudah paham kemudian. Maksud SMS dia yang pertama adalah menyuruh saya menelpon Ayah yang pergi entah kemana bersama Umak, biasanya kerumah Nenek atau kerumah teman Ayah di desa sebelah. Nah, adik saya ini mungkin sendiri dirumah, atau ada orang datang yang lagi ingin bertemu dengan Ayah atau Umak. Ah, pokoknya seperti itulah. Apapun alasannya, yang jelas adik saya itu meminta bantuan kepada saya untuk menghubungi Ayah untuk pulang kerumah segera. Ah, adik….

Nah, saya mungkin tak salah memahami bila SMS dari adik saya mengetik SMS seperti ini:

Bang, engka telpon Aya, huro pulang. Aku dak tau ngebel, dak aktif terus. Plis.
(Bang, kamu telpon Ayah, suruh pulang. Aku tidak tahu (bisa) menelpon, tidak aktif terus. Please)

Namun sekali lagi, namanya juga anak SD. Wong yang sudah lulus…Ah, sudahlah.

Sebetulnya ini entah yang untuk keberapa kalinya saya salah memahami isi SMS dia. Sebelumnya, sempat pula kejadian serupa sehingga kami sekeluarga besar terpingkal-pingkal dibuatnya. Saat itu, nenek saya sakit keras, sehingga beliau harus dibawa ke Rumas Sakit Umum Daerah (RSUD) Depati Hamzah di Pangkalpinang, 150 KM dari kampung halaman saya di selatan Pulau Bangka. Menurut kabar yang saya terima, nenek diantar oleh anak-anak beliau, para bibi saya dan menantu-menantunya. Saya pun SMS adik saya itu, bertanya perihal Umak. Selang beberapa detik, dia membalasnya.

Umak gi ke Pengkal nganter Ninek laok aku nek ngaji.
(Umak pergi ke Pengkal (maksudnya Pangkalpinang) mengantar Nenek lauk aku mau mengaji)

Lha, saya pun heran membaca SMS itu. Saya bukan heran mengapa Umak pergi ke Pangkapinang, karena alasannya sudah jelas, yakni mendampingi Nenek selama di rumah sakit. Oh, mungkin saja Umak menyusul, tidak sama-sama dengan Nenek yang terbaring lemah. Tapi bukankah Umak sudah bersama Nenek? Setidaknya, begitu kabar yang saya dengar. Lantas, kenapa pula ada kalimat “nganter Ninek laok…(mengantar Nenek lauk…)”? Bukankah itu berarti Umak masih dirumah, lalu baru pergi ke Pangkalpinang mengantar lauk untuk Nenek?

Lama saya membaca SMS ini, berulang kali. Oh, Tuhan, saya tertawa-tawa sendiri. Ah, adik…Saya paham selanjutnya, ternyata maksud dia adalah sederhana. Beginilah SMS dia seharusnya:

Umak gi ke Pengkal nganter Ninek. La ok, aku nek ngaji.
(Umak pergi ke Pengkal (maksudnya Pangkalpinang). Sudah ya, saya mau mengaji)

Ah, adik, terpingkal-pingkat kami dibuatnya.

Yogyakarta, 28 November 2013


SAMA, SAYA JUGA KULIAH DI SANA

Ilustrasi (Sumber : malesbanget.com)

Daripada cerita ini saya makan sendiri, tiada salahnya bukan bila saya berbagi? Nah, begini cerintanya. Saya lupa tepatnya kapan, yang pasti saat itu saya menunggu connecting flight dari Pangkalpinang menuju Yogyakarta, di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten. Bila tak salah mengingat, saat itu saya terbang ke Yogyakarta karena beberapa waktu yang lalu, saya menerima panggilan tes wawancara dari Program Magister Hukum di Universitas Gadjah Mada. Sontak, saya langsung menginformasikan ini kepada kedua orang tua saya. Singkat cerita, terbanglah saya ke Yogyakarta.

Oleh karena tidak ada maskapai yang melayani rute langsung Pangkalpinang ke Yogyakarta, jadi mau tidak mau, saya harus berganti pesawat di Bandara Internasional Soekarno Hatta, untuk selanjutkan melanjutkan penerbangann ke Yogakarta, kota idaman saya menempuh pendidikan. Sebetulnya, inilah saat-saat membosankan melakukan perjalanan yang menyelipkan transit menjadi bagian dari perjalanan itu. Harus menunggu berjam-jam, apalagi kalau pesawat tiba-tiba delay oleh alasan klasik yang menggema di setiap pengeras suaras di sudut terminal, kendala teknis.

Seperti biasa, terminal di Bandara Internasional Soekarno Hatta selalu ramai oleh penumpang beragam jurusan, mulai dari anak-anak yang bau ikan asin sampai orang tua yang bau bapaknya ikan asin. Seorang bapak-bapak duduk didepan saya. Saya lupa, saya yang memulai pembicaraan kala itu, atau sebaliknya si bapak. Anggap sajalah saya yang memulai, biar saya dikira ramah terhadap semua orang.

"Mau kemana, Pak?" saya bertanya basa-basi, dan memang sudah basi sebab sudah dari tadi bapak itu duduk didepan saya.

"Saya mau ke Jogja. Lha, kamu sendiri?"

"Sama, Pak, saya juga mau ke Jogja."

"Liburan?"

"Bukan, Pak..."

"Sekolah?" maksud di bapak mungking termasuk kuliah.

"Iya," saya mulai menjawab singkat, gugup.

"Dimana?"

Mampus, apa saya bilang, si bapak pasti bertanya tiada ampun, bertubi-tubi tiada henti. Lha, apa persoalannya? Nah, tentu saja saya bingung mau jawab apa. Niat saya ke Jogja memang untuk kuliah, tapi sekarang saya belum diterima secara resmi di Magister Hukum Universitas Gadjah Mada. Sebenarnya saya sudah diterima dijurusan yang sama di Universitas Diponegoro, tapi itu di Semarang, bukan di Jogja. Sedangkan terhadap pertanyaan Bapak, saya menjawan hendak ke Jogja. Lantas, bagaimana ini? Ah, tiba-tiba otak sinting saya berbicara.

"Di Hukum UGM, Pak..."

"Oh, semester berapa?" kata si Bapak lagi, semakin gila dia.

"Saya S2, Pak..."

"Oh, sama, saya juga disitu, S2 juga..."

Mampus!!! Saya benar-benar habishilang akal kala itu. Lha, bagaimana bila tiba-tiba dia bertanya perihal kenal tidak dengan dosen ini, dosen itu, pernah diajar dia tidak, dan lain-lain, dan lain-lain. Niat saya untuk menyiasati pertanyaan-pertanyaan si Bapak tadi sepertinya akan segra terbongkar, saya bukan siapa-siapa, saya hanya seorang yang baru saja berhenti bekerja, dan belum diterima secara resmi jadi mahasiswa. Namun, tiba-tiba si Bapak melanjutkan pembicaraannya.

"Tapi saya jurusan kedokteran..."

ALHAMDULILLAH, DIA BUKAN S2 HUKUM!!! Ah, Bapak....

Yogyakarta, 28 November 2013

CANDI PLAOSAN, CANDI MENAWAN SEBELAH PRAMBANAN






Berpetualang di Yogyakarta, salah satu destinasi yang seolah wajib untuk dikunjungi adalah Candi Prambanan, yang terletak di perbatasan Kabupaten Sleman di Daerah Istimewa Yogakarta dan Kabupaten Klaten di Jawa Tengah. Cukup beralasan memang, mengingat sejarah pembangunan candi tersebut yang begitu fenomenal, serta hikayat yang berkembanbg perihal cinta seorang pangeran kepada seorang putri yang berakhir dengan dikutuknya seorang putri karena tipu muslihatnya. Padahal, tak jauh dari candi Hindu itu, ada pula candi lain yang tak kalah rupawan dan mengundang decak kagum, yakni Candi Plaosan.



Penghujung bulan ini, saya dan perempaun istimewa Anisa Rahardini, serta tiga orang teman lain, yakni Adam Wijaya Medantara, Titis Restuning Kartika, dan Mbak Dhuma Melinda Harahap, pergi ke kawasan candi itu. Candi Plaosan terletak tak kurang dari 1 kilometer timur laut dari Candi Prambanan, tepatnya di Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dari Candi Prambanan, terus lurus ke bagian utara, berbelok ke arah timut, satu kali lagi belokan ke utara dan timur, maka sampailah kita di Candi Plaosan. Mulanya, saat teman saya bercerita perihal keelokan candi ini yang tak kalah dengan Prambanan, saya tak percaya begitu saja. Setelah melihat dengan mata kepala sendiri, barulah saya menyadari bila selain Candi Prambanan, ada pula candi lain yang tak kalah menawan.

Candi Plaosan terbagi menjadi dua bagian, Candi Plaosan Kidul dan Candi Plaosan Lor yang letaknya saling berdekatan, kurang lebih 100 meter saja. Pertama, terlebih dahulu kami mengunjungi Candi Plaosan Kidul yang sesuai namanya, Kidul dalam bahasa Jawa berarti selatan, terletak di bagian selatan. Ada beberapa candi yang masih berdiri disini, namun sebagian sudah runtuk oleh berbagai penyebab. Beberapa candi juga terlihat dibalut oleh lumut disepanjang bagiannya. Namun demikian, candi ini tetap dirawat dengan baik. Beberapa orang tampak membersihkan komleks candi saat kami datang, sehingga kecantikan candi ini tetap terjaga, ditambah keasrian lingkungan sekitar candi yang ditumbuhi pepohonan serta rumah warga yang terjaga asri.

Selanjutnya, kami melanjutkan ke Candi Plaosan Lor, sesuai namanya, Lor dalam bahasa Jawa berarti utara, bagian candi ini terletak di bagian utara. Nah, Candi Plaosan Lor merupakan candi utama. Dalam kompleks candi inilah berdiri begitu banyak candi yang masih berdiri dengan tegaknya. Berbeda dengan Candi Plaosan Kidul, Candi Plaosan Lor jauh lebih luas.

Berdasarkan catatan sejarah yang dipajang pengelola tak jauh dari pintu masuk Candi Plaosan Lor, candi ini didirikan oleh Rakai Panangkaran, salah seorang raja dari Dinasti Sailendra yang juga mendirikan Candi Borobudur dan Candi Sewu, terdiri dari candi induk dan mahdapa yang dikelilingi 58 Candi Perwara dan 194 stupa. Pada beberapa perwara dijumpai tulisan-tulisan pendek yang mengindikasikan bahwa bangunan tersebut merupakan sumbangan dari bawahan sang raja.

Selain itu, dikompleks candi ini ada parit berukuran 440 meter x 270 meter, yang konon digunakan untuk menurunkann air tanah di kompleks candi agar tahta dibawahnya menjadi padat berisi. Berbeda dengan Candi Prambanan, sekeliling candi ini ditumbuhi rerumputan hijau, sehingga dengan leluasa kita bisa duduk diatasnya sembari befoto dengan latar Candi Plaosan. Nah, tunggu apalagi, sekarang giliran anda mengunjungi Candi Plaosan. Apalagi tiket masuknya tak semahal Candi Prambanan dan Borobudur, cukup Rp. 5.000 saja perorang. Murah bukan? Salam traveler!!!

Senin, 25 November 2013

PERIHAL HUJAN



Oleh : Darwance

Perihal hujan, aku tak membencinya. Hanya saja kadangkala aku sedikit kesal dengan hujan. Aku paling kesal bila hujan turun dengan tiba-tiba sedang aku berada di jalan menggunakan sepeda motorku yang hampir usang, entah itu pergi atau pulang. Apa-apaan ini, gerutuku sepanjang jalan. Sepanjang jalan itu pula aku terus mengumpat hujan dengan beragam sebutan, hujan yang sial, hujan yang turun tak tahu waktu, hujan yang malas yang hanya bisa menghempas tubuh seenak hatinya di atas pundak bumi. Apa-apaan ini? Lihat saja aku jadi basah kuyup. Aku ini naik motor, gerutuku lagi, bukan enak-enakkan dalam mobil yang berkatup. Aku tak ingin basah kuyup, tapi aku tak  mau repot-repot berteduh, maka aku pun menerobos hujan seraya terus mengumpat hujan.
Perihal hujan, aku tak membencinya. Hanya saja kadangkala aku sedikit kesal dengan hujan. Aku paling kesal bila hujan turun dengan tiba-tiba sedang aku berada di jalan menggunakan sepeda motorku yang hampir usang, entah itu pergi atau pulang. Sepanjang jalan aku terus mengumpat hujan dengan beragam sebutan. Namun setelahnya biasanya aku tiba-tiba menyesal telah mengumpat hujan. Cepat-cepat aku langsung istighfar memohon ampun kepada Tuhan, memohon maaf kepada Sang Pemilik Hujan yang pula sempat aku umpat lantaran menurunkan hujan seenak hati-Nya. Perihal hujan, aku punya cerita lain mengapa aku sulit untuk membenci hujan.
***
                Perihal hujan, aku telah menyukainya sejak lama. Saat kecil, aku paling suka dengan yang namanya hujan, meskipun aku tak tahu menahu perihal sampai tejadinya hujan. Pikirku kala itu adalah bila hujan sengaja dicurahkan oleh sekelompok orang diatas langit menggunakan drum besar-besar, sedang langit sengaja dibolong-bolong biar hujan turun setitik demi setitik. Perihal dari mana orang-orang itu dapat air, aku pun tak tahu menahu.
                Sore hari menjelang petang adalah puncak dimana kau sangat menyukai hujan. Bagiamana tidak, bila hujan maka aku dan Abangku punya alasan untuk tidak pergi mengaji sore di rumah Cik Cot, guru membaca Al-Quran kami yang humoris bukan main itu. Padahal jarak rumah kami dengan rumah Cik Cot tak terlampau jauh, berlindung dibawah sebuah payung pun bisa semestinya. Tapi tetap saja hujan adalah alasan paling mujarab yang selalu kami utarakan bila Ayah dan Umak bertanya perihal kenapa kami tak mengaji sore ini, sepulangnya mereka dari kebun.
                Namun alangkah kecewanya bila hujan yang semula deras tiba-tiba berhenti sedang matahari belum tenggelam. Bagai janji yang tak ditepati rasanya, bukan main sakit hati ini. Artinya, aku dan Abang harus segera mandi berbilas air sumur setelah berhujan ria dihalaman rumah, lalu bergegas ke rumah Cik Cot. Apabila tidak maka kala itu pula kami harus siap pasang telinga mendengar celotehan Umak yang tak punya muara, memarahi kami habis-habisan mengapa kami sampai tak mengaji sore ini. Untung-untung Umak tak memukuli kami dengan sebilah tangannya yang pedas minta ampun, atau dengan sepotong kayu yang sembarangan ia raih di halaman rumah. Suatu hari pernah aku dipukul Umak habis-habisan dengan sebilah kayu api dari pohon besar yang dibelah, bergerigi pula kayu itu, terlampau kesalnya Umak sebab aku telah dengan tidak sengaja memotong jari telunjuk sepupuku sendiri.
                Itulah mengapa aku begitu suka dengan hujan. Aku tak membenci hujan, hanya saja kadangkala aku sedikit kesal dengan hujan yang semula turun dengan derasnya tiba-tiba berhenti sedang matahari belum tenggelam. Aku kesal bila hujan tak kunjung turun sementara sebentar lagi kami harus pergi belajar mengaji di rumah Cik Cot, guru membaca Al-Quran kami yang kerap aku lihat sering berolok-olok dengan Ayah di depan rumah. Aku kesal bila hujan turun terlampau giat hingga di televisi yang hanya menyajikan stasiun TV milik pemerintah kala itu menyiarkan perihal banjir yang terjadi oleh sebab hujan. Aku kesal bila hujan tak kunjung datang sementara sumur di belakang rumah sudah kerontang, hingga Umak pontang-panting membawa air dari sumber nun jauh di tengah hutan.  Aku paling kesal bila hujan turun dengan tiba-tiba sedang aku berada di jalan menggunakan sepeda motorku yang hampir usang, entah itu pergi atau pulang.
                Maka sampailah saat dimana aku begitu marah dengan hujan. Aku mengumpat hujan yang tak kunjung datang sedang air sumur mulai kerontang, sedang pohon-pohon sahang kian kejang di sengat matahari yang kelaparan. Orang-orang dikampung bersusah payah setiap hari harus mengangkut air dari tengah hutan, apalagi orang-orang yang rumahnya berada di dataran tinggi macam kami. Aku mulai mengecam hujan yang pemalas, tinggal turun saja tidak mau. Apa susahnya coba tinggal menjatuhkan diri ke bumi, mengisi sumur-sumur dengan tubuhnya yang basah, menyirami sahang-sahang yang meradang berbulan-bulan tak dijamah oleh hujan.
                Di koran-koran, otoritas berwenang yang punya tugas memantau cuaca pun berujar bila hujan masih lama datang. Cemas bukan main setelah aku membaca berita itu. Namun aku baca pula berita itu sampai tuntas kalaulah dipenghujung berita ada disampaikan bila bisa saja hujan datang dengan tiba-tiba, menurut pihak yag berwenang itu. Semakin aku baca, semakin sedikit huruf-huruf yang disajikan, tidak ada tanda-tanda berita semacam itu,tidak ada tanda-tanda hujan akan turun dengan tiba-tiba.
                Ah, hujan memang selalu bikin masalah. Mentang-mentang dibutuhkan seenaknya dia bersembunyi entah dimana, tidur mungkin, merajuk barangkali lantaran sering dihujat sebagai penyebab air bah padahal menurutnya dia tidak salah. Orang-orang itulah yang salah, menutup saluran tempat biasa dia berjalan dengan elegannya dengan berupa-rupa sampah yang membuatnya mau tak mau harus berubah menjadi musibah. Ah, tetap saja hujan bermain-main kali ini, orang disana yang salah kenapa kami yang dikampung-kampung jadi tumbalnya? Hujan yang sial, hujan yang tak mau turun tepat waktu, hujan yang malas yang tak lekas meghempasnya tubuhnya di atas pundak bumi.
                Setiap kali berdoa, aku selalu menyelipkan kalimat meminta hujan kepada Tuhan, biarlah tahun depan kemarau panjang asal sekarang segera Dia turunkan hujan. Masa bodoh tahun depan kemarau sampai membunuh seisi bumi sekalipun. Setiap kali keluar dari ruangan kerjaku di kota, aku selalu mengintip langit dibalik jendela kaca, kalau-kalau langit mulai legam petanda hujan. Langit tersenyum begitu cerah,. Sial, gunamku kemudian. Sementara di koran-koran katanya hujan sudah mulai turun di pulau sebelah, dan di pulau ini di bagian utara. Di kota tempat aku berkerja ini pun sesekali hujan sudah mulai turun, tapi tidak di kampungku di ujung selatan. Aku selalu menghubungi Ayah, apakah dikampung hujan sudah turun, jawaban ayah selalu sama, tidak, bukan belum. Tambahan lagi jawaban ayah itu ditimpali penjelasan Umak yang segera meraih posel dari telinga Ayah. Umak bercerita, katanya Ayah mulai mengumpulan bekas-bekas botol minuman untuk selanjutnya dijadikan semacam infus bagi sahang-sahang di kebun yang mulai mati mengering. Ah, aku makin sedih saja jadinya, hujan betul-betul makin kurang ajar, sekarang berbuat tidak adil dia.
                Maka aku pun mulai menghitung-hitung tabunganku, tidak lagi berharap pada hujan yang mulai payah. Aku mulai putus asa, tabunganku tak seberapa, apalagi bonus yang aku dapat awal tahun kemarin sudah aku pakai liburan ke pulau sebelah, tak berpikir kalau hujan akan jadi biang masalah. Apabila ditambah bonus tahunan yang akan aku dapat pertengahan tahun kelak pun rasanya tidak akan cukup, apalagi gajiku tidak seberapa. Kalau begini ceritanya, gagal sudah rasanya aku menunaikan rencana yang sejak dulu aku susun dengan rapi itu. Menyesal rasanya aku tidak menabung dari awal bekerja dulu. Apa harus menunggu tahun depan lagi? Terlampau lama rasanya, untung-untung kalau hujan tidak bertingkah seperti sekarang.
                Akan tetapi malamnya hujan turun dengan begitu lepas di kota tempatku bekerja, tiba-tiba pula. Sontak saja aku jadi senang tak terbahasakan. Apalalagi malam itu sedang berlangsung upacara Chien Nyiet Pan oleh orang Tiong Hoa. Orang-orang banyak yang bilang, bila hujan turun sedang orang Tiong Hoa sedang upacara itu, maka itu petanda bila musim kemarau akan segera berhenti. Maka aku sampaikan segera perihal ini pada Ayah dan Umak segera, tapi jawaban mereka tetap tidak berubah, hujan belum pula turun di kampung, sahang-sahang seolah mulai sudah tak bisa diharapkan lagi. Aku kembali lemas. Sampai aku pulang ke kampung halamanku itu esok harinya, aku dapati kampungku yang berdebu, hujan belum sudi menyiraminya.
                “Lalu bagaimana dengan rencana itu?” tanyaku hati-hati pada Umak.
                “Tergantung hujan, berdoa saja semoga dia segera datang,” sambar Umak cepat. Begitu pula bila aku sodorkan pertanyaan serupa pada Ayah, hanya saja jawaban Ayah dipolesi dengan berupa-rupa kata motivasi, berdoa semoga hujan lekas turun. Ayah malah bercerita panjang lebar. Katanya, bila saja hujan sudi turun dalam minggu-minggu ini, tidak hari ini, maka InsyaAllah rencana itu terwujud segera. Aku senang mendengar jawaban Ayah. Bukan senang dengan kata hujan, tapi senang dengan cara ayah mengutarakan jawabannya. Sedap benar rasanya di telinga.
                Sampai menjelang siang, aku terus mengamati langit yang tampak hitam, namun sebentar kemudian kembali cerah bagai bohlam yang baru saja disengat listrik. Ayah bilang, pemandangan semacam ini terjadi hampir setiap hari. Selama angin masih bertiup kencang, awan yang  bergumpal-gumpal itu tak akan pernah berubah menjadi titik hujan, melainkan terusir oleh hembusan angin yang membuat awan-awan itu jadi lari tumbang-langggang. Aku hanya terdiam, tanpa bisa bicara satu patah kata pun. Seperti kata Ayah, aku menatap awan yang kembali mulai menggumpal, namun sejenak menghilang entah kemana. Sampai akhinya aku mendengar suara air hujan yang menghujam atap rumah, manakala aku mulai terlelap sendiri di atas kursi ruang tamu. Cepat-cepat aku keluar rumah, ternyata benar itu air hujan. Namun sayang, jangankan mengisi air sumur, memberi minum sahang-sahang yang mulai sakaratulmaut, debu pun tak hilang diterjang hujan yang segera reda.
                “Hujan semacam ini hanya akan membuat sahang-sahang cepat mati,” kata Ayah. Orang-orang berpendapat sama dengan Ayah, terang saja aku jadi begitu benci dengan hujan. Untuk kali ini, hujan betul-betul sudah bergurau tidak pada waktunya. Dia telah mempermainkan begitu banyak nyawa. Sial, aku mulai menggerutu lagi. Bayangkan ada berapa ribu nyawa yang menggantung hidupnya pada sahang, pada batang-batang karet yang getahnya pun tak sudi menetes karena kehausan. Kalau tak sudi turun, jangan turun, jangan turun tapi cuma sejenak yang hanya akan membunuh sahang-sahang yang sudah sekarat itu. Dasar hujan yang payah.
                Hari itu, aku benar-benar sudah putus asa. Aku sudah mengumpat hujan habis-habisan, aku sampai-sampai turut benci dengan Tuhan yang tak mau menegur hujan. Kalau mau, Tuhan tinggal perintah hujan agar segera turun tanpa harus bersusah payah menimba air dari dalam sumur lalu menyiramnya dari atas langit. Hujan pasti menuruti perintah-Nya, jangan-jangan mereka sudah bersekongkol, gerutuku tiada habisnya. Tamat sudah riwayat cita-citaku itu. Semua tinggal rencana yang tak akan pernah terlaksana. Namun jauh di dalam hati, aku tetap berdoa pada Tuhan yang sempat aku marahi, semoga Dia mau berbaik hati mendorong hujan yang sedang cengengesan di tepi langit, hingga ia terjatuh terjerembab menyirami tanah-tanah yang teronggok merana.
                Malamnya, hujan benar-benar turun…
***
                Perihal hujan, aku tak membencinya. Hanya saja kadangkala aku sedikit kesal dengan hujan. Aku paling kesal bila hujan turun dengan tiba-tiba sedang aku berada di jalan menggunakan sepeda motorku yang hampir usang, entah itu pergi atau pulang. Apa-apaan ini, gerutuku sepanjang jalan. Sepanjang jalan itu pula aku terus mengumpat hujan dengan beragam sebutan, hujan yang sial, hujan yang turun tak tahu waktu, hujan yang malas yang hanya bisa menghempas tubuh seenak hatinya di atas pundak bumi. Setelahnya biasanya aku tiba-tiba menyesal telah mengumpat hujan. Cepat-cepat aku langsung istighfar memohon ampun kepada Tuhan, memohon maaf kepada Sang Pemilik Hujan yang pula sempat aku umpat lantaran menurunkan hujan seenak hati-Nya. Perihal hujan, aku punya cerita lain mengapa aku sulit untuk membenci hujan, sebab karena hujanlah akhirnya aku bisa sampai di kota ini untuk melanjutkan pendidikan yang jauh lebih tinggi. Semua karena hujan yang datang menjamah pokok-pokok sahang, sebatang demi sebatang.

Yogyakarta, 4-6 Oktober 2013