Orang-orang seringkali berkata bila apa yang sedang kita ucapkan sekarang adalah do'a untuk kemudian hari. Ah, mulanya saya tidak percaya begitu saja. Buktinya, dari dulu saya sering berkata ini itu, ingin ini itu, tapi sampai sekarang apa yang saya ucapkan itu tak pernah datang. Tapi bukankah itulah hakikah dari sebuah do'a, bisa dikabulkan atau malah sebaliknya? Mungkin saja, dan akhirnya saya pun memahami itu. Apalagi saat saya masih duduk di kelas 3 MTs (Madrasah Tsanawiyah, sekolah Islam setingkat Sekolah Menengah Pertama), saya dan seorang kawan saya yang hari ini (30 November 2013) mengenakan toga sebagai bukti bahwa dia sudah sarjana, pernah merasa bahwa perkataan kami akhirnya dikabulkan oleh Tuhan.
Saat itu, saya sekolah di MTs Jaya Sempurna di Pondok Pesantren Miftahul Jannah Al-Jabbariyah, milik YAHIMAS alias Yayasan Hidup Jaya Mati Sempurna. Wah, gagah sekali bukan nama sekolah kami dulu? Namun sayang, jalan hidupnya tak sejaya namanya, mati pun tak begitu sempurna. Yayasan yang punya satu MTs, MA, dan sekolah informal bernama Pondok Pesantren ini, akhirnya tutup dengan cerita yang begitu tragis. Perginya yayasan ini lengkap dengan sekolah-sekolah yang ia kelola didalamnya, selanjutnya meneguhkan keyakinan saya, jadi apa artinya sebuah nama? Apa nama yang begitu bagus bisa menjamin seseorang bisa berbuat sebagaimana namanya? Buktinya, saya punya teman yang namanya gabungan nama dua orang nabi, pun kalau mandi di sungai tingkahnya tak ubah bagai monyet-monyet yang bergelantungan pada akar-akat diatas sungai itu sendiri. Mandi di sungai, lepas baju,celana, dan menyisakan celana dalam, lalu terjun dari ketinggian sambil cengengesan.
Ah, sudahlah, yang jelas kadang nama adalah do'a ada pula benarnya, begitupula dengan ucapan adalah do'a. Saat di MTs kala itu, saya punya beberapa kawan karib, karib sekali. Satu laki-laki, satunya lagi perempuan. Laki-laki namanya Hermansah, yang perempaun namanya Zuhairiyah (atau Zuwairiyah kalau tak salah). Hermansah, seperti yang saya ceritakan mula-mula, sekarang seorang sarjana ekonomi. Sedang Aang, panggilan akrab Zuhairiyah (atau Zuwairiyah tadi), diploma bidang perikanan. Mereka semua lulusan Universitas Bangka Belitung. Namun ditengah jalan, ada insiden kecil yang membuat hubungan kami renggang, terutama antara Hermansah dan Aang. Oleh karena saya kemana-mana selalu dengan Hermansah, maka secara tidak langsung saya pun seolah-olah bertikai dengan Aang. Ah, sial benar teman bernama Hermansah ini. Namun tak jadi soal.
Saya ingat sekali, insiden itu terjadi saat kami naik ke kelas dua, dan masih berlangsung sampai kami naik ke kelas tiga menjelang ujian. Lama sekali bukan? Padahal dulunya akrab bukan main, bagai kakak-adik pokonya. Terlampau akrabnya, kami pun saling mengenal orangtua masing-masing, lengkap dengan nama mereka tentunya, meskipun tak lengkap-lengkap sekali. Nah, disinilah cerita itu bermula. Ayah Aang, yang kami tahu, namanya Basri, itu saja. Namun pada sebuah buku tugas tarawih ang kelak ditandatangan oleh imam sholat tarawih, tertera nama H. Basri, lengakp dengan tanda tangan beliau. Setahu saya, Ayah Aang belum haji.
Saya dan Hermansah kebetulan berasal dari kampung yang sama, sedang Aang dari kampung yang lain lagi. Selanjutnya, Aang pun mejadi warga negara kampung kami juga setelah menikah dengan salah seorang bujang kawan kami sendiri. Ah, mungkin saja itu bukan Basri Ayah Aang, mungkin Basri-Basri yang lain.
"Itu Basri Ayahnya Aang!!!" kata seorang teman, Maradona namanya, yang satu kampung dengan Aang.
"Tapi kok sudah haji? sanggah Hermansah dengan gagak berani. Padahal saat ketemu Aang, ciut juga nyali laki-lakinya. Maklum, Aang adalah jenis manusia berjenis kelamin perempuan yang ganas bukan main.
"Mungkin beliau memang sudah haji,"saya menambah ringan. "Jadi, anggap saja panjangnya Haji Basri!!!"
"Bukan, H itu Hasan, jadi Hasan Basri, nama beliaukan Hasan Basri," jelas Maradona.
Maka, tertawalah kami kala itu. Dasar Maradona yang sikapnya terbalik seterbalik-baliknya terbalik dari Maradona orang Argentina, mulut ala presenter infotaiment, sudah tahu Aang spesies perempuan beringat, dikasih tahu pula kejadian itu sama anak Pak Hasan Basri. Selanjutnya, saya kira, tahulah semua apa yang terjadi. Aang mencak-mencak macam ibu-ibu yang lagi mengomeli lakinya akibat tak dapat uang banyak hari itu. Hermansah terdiam, saya pun sama, Maradona si makhluk aneh cekikikan. Ah, sial kamu, kawan.
Sekarang, hubungan kami dengan Aang sudah kembali seperti semula, setelah masing-masing sudah lulus SMA. Semuanya berdamai setelah masuk perguruan tinggi. Wah, lama sekali bukan? Coba bayangkan waktu selama itu kami saling berdiam diri, apalagi Hermansah yang nasib sialnya tak hilang-hilang, satu sekolahan dengan Aang saat SMA. Sedang saya sekolah disekolah yang berbeda dengan mereka berdua. Alhamdulillah ya Allah, Engkau jauhkan hamba-Mu ini dari makhluk bernama Aang. Maafkan saya, kawan, saya harus berpisah dengan kalian, selamat menikmati keganasan Aang versi SMA.
Masa-masa itu pula, saya mendengar kabar bahwa kedua orang tua Aang berangkat haji. Apa saya bilang? H itu Haji, bukan? Ah, bukan memang, H itu tetap Hasan. Namun bukan itu persoalannya, semestinya Aang berterimakasih kepada kami kala itu, mungkin berkat kami yang merubah H yang semula Hasan menjadi Haji, Bapak H. Basri akhirnya benar-benar berangkat haji. Sekarang, namanya H.H. Basri, bukan Haji-Haji Basri, tap Haji Hasan Basri.
Ah, gara-garaf huruf H...
Yogyakarta, 30 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar