Kamis, 28 November 2013

SIAL SEKALI NASIBMU, TEMAN

(Sumber: http://catatan-abg-jonni.blogspot.com)

Sebelum kampus Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung pindah ke Kampus Terpadu di Desa Balun Ijuk, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka (Induk), mula-mula kami kuliah di sebuah gedung di Bukit Intan, persis depan Kantor Walikota Pangkalpinang yang lama. Sekarang, gedung itu sendiri sudah berubah menjadi Gedung Tudung Saji (GTS), semacam Gedung Sate di Bandung, yang difungsikan menjadi Kantor Walikota Pangkalpinang yang baru.

Menurut cerita, gedung itu dulunya merupakan gedung FH dan FE Universitas Sriwijaya Cabang Bangka, namun seiring larangan pemukaan cabang bagi perguruan tinggi oleh departemen pendidikan dan kebudayaan kala itu, kampus itupun tutup alias kembali ke Palembang. Selanjutnya, yang saya tahu, dipakai sebagai gedung DPRD Kepulauan Bangka Belitung sementara, Kepolisian Wilayah yang selanjutnya berubah menjadi Kepolisisan Daerah Kepulauan Bangka Belitung. Setelah semuanya pindah ke Air Itam, Senayan ala Bangka Belitung, maka UBB menggunakan gedung itu sebagai kampus III, yakni FHIS (gabungan Hukum dan Ilmu Sosial sebelum berdiri FISIP) dan Fakultas Ekonomi.

Nah, sebetulnya saya bukan hendak bercerita perihal sejarah gedung itu, melainkan kisah bagaimana saya dengan sinting yang luar biasa meninggalkan teman saya sendiri saat pulang kuliah di kampus itu. Ceritanya, saya pergi dan pulang kuliah selalu bersama teman saya itu. Namanya Hermansah. Sekarang dia sudah menyandang gelar sarjana ekonomi alis SE setelah berjibaku 7 tahun kuliah. Ah, teman, yang penting lulus juga bukan? Sekarang, dua huruf itu tersangkut pula dibelakang namamu yang cuma sepotong itu bukan? Ah, teman, semoga engkau jadi orang hebat kelak, setidaknya menjadi ekonom yang pintar menganalisis kenapa secara ekonomi kamu dulu bisa saya tinggalkan begitu saja dikampus? Ah, sial benar nasibmu, teman.

Pulang kuliah, dia selalu menungguku selesai kuliah bila ternyata dia yang selesai paling dulu. Begitu pula sebaliknya. Bila saya yang selesai duluan, mau tak mau, suka tak suka, meminjam istilah Pak Dr. Arief Setiawan, S.H., M.H., seorang akademisi sekaligus advokat di FH UII Yogyakarta, saya pun harus menunggu si keriting itu yang selanjutnya bernasib sial itu. Ah, beginilah persahabatan saya kira, mau bagai kepompongkah, apakah, yang penting indah bukan? Saling menunggu, tapi semoga saja dia tidak menunggu saya untuk segera menikah, sebab umurnya jauh melampaui umur saya. Bila ia menunggu, mati sudah, jadi bujang tualah dia.

Suatu hari, entah bagaimana ceritanya, pulanglah kami dari kampus dengann warna biru laut mencolok mata itu. Mahasiswa lain juga berduyun-duyun hendak keluar dari cengkraman kampus. Saya menuju tempat parkir seraya tertawa tak jelas. Ah, biasalah, apalagi bila bukan tertawa karena menertawakan orang lain. Habis, salah orang itu sendiri, uniknya tak mau dibagi-bagi dengan orang lain. Ah, apa daya, parkir penuh, sedang motor saya berada ditengah-tenga motor yang lain. Sialan orang-orang ini, otaknya dimana coba, bagaimana motor saya mau keluar bila dikepung macam ini?

Ah, teman, apa saya bilang, engkau pasti jadi ekonom hebat kelak. Buktinya, dengan sigap satu demi satu dia memindahkan motor yang mengepung motor saya itu, biar kami bisa segera pulang. Setelah motor saya dirasakan bisa keluar melalui celah-celah yang diciptakan perpindahan motor-motor lain oleh teman saya yang saat itu masih berstatus calon ekonom hebat itu, saya pun mengeluarkan motor saya pelan-pelan. Saya putas kuncinya, saya pencet starter, maka mengaumlah motor saya itu seantero Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial dan Fakultas Ekomoni Universitas Bangka Belitung yang unggul membangun peradaban itu. Setelahnya, saya injak gigi satu, puta gas, meluncurlah keluar kampus menelusuri Jalan Bukit Intan. Sesekali, seraya berjalan, saya bercakap-cakap dengan teman saya dibelakang. Beberapa meter berjalan, lampu merah berjalan pada sebuah perempatan. Saya masih bercakap-cakap. Aneh, teman saya diam saja, tak seperti biasanya berkicau bagai semua hal dia ketahui. Saya mulai curiga, Motor saya juga terasa sedikit agak ringan, tak macam biasa,

Saya lihat lampu merah. Ah, masih lama. Saya menoleh ke belakang. Astaga, Tuhan!!! Mana teman saya yang calon ekonom itu?? Ah, sinting, dia jatuh atau ketinggalan? Semoga saja dia ketinggalan, saya harap-harap cemas. Secepat kilat, saya langsung putar arah, hendak kembali ke kampus. Namun sebelum sempat memutar gas sekencang-kencangnya, seorang yang sangat saya kenal memanggil dari jauh. Orang itu, sedang dibonceng oleh seorang teman lain, menuju perempatan yang warna merah masih menyala. Orang itu, adalah teman saya yang calon ekonom hebat itu.

"Gila, kamu meninggalkanku!!!"

"Lha, kenapa tadi tak naik langsung? Saya pikir kamu sudah naik!!!" teriakku.

"Tadi saya mengembalikan posisi motor-motor itu pada posisi semula..."

Oh, teman sial sekali kamu hari itu. Ah, teman, sekarang engkau sudah Sarjana Ekonomi, tolong analisis secara ekonomi, mengapa dulu engkau bisa aku tinggalkan begitu saja. Ah, sinting...

Sebetulnya, ini bukan satu-satunya kejadian dimana saya dengan begitu sinting meninggalkan teman begitu saja. Selang beberapa hari setelah kejadian itu, saya kembali sinting melakukan hal serupa. Saat itu, saya dan salah seorang teman, Sahrian namanya, membeli air galon di sebuah toko kelontong di Pangkalpinang. Sekarang dia sudah berkarier berbekal gelar Sarjana Hukum bidang Hukum Tata Negara yang ia raih dari sebuah perguruan tinggi di Pulau Bangka. Saya tak turun dari motor, hanya dia. Lalu dia mengangkat galon yang berat itu keatas motor bagian belakang. Mengira semua sudah siap, saya pun tancap gas. Namun baru beberapa meter, saya mendengar suara yang sangat saya kenal berteriak histeris.

"Woiiiii, tunggu, saya ambil kembaliannya dulu!!!"

Astaga,, untung galonnya tak jatuh. Ah, sinting....

Yogyakarta, 29 November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar