Semalam, tiba-tiba saya dikejutkan dengan isi pesan singkat
yang dikirim adik permpuan saya yang paling bungsu. Adik saya itu, Lara
namanya. Sekarang, dia duduk dikelas 6 SD. Seperti biasa, adik kesayangan saya
itu selalu tanpa titik koma yang jelas bila mengirim SMS. Maklum, anak SD, wong yang sudah lulus sarjana dan kuliah
mengambil gelar master saja masih ada yang lebih parah dari itu.
Seperti biasa pula, menjelang 2/4 malam saya baru tiba di
kos, setelah seharian kemana-mana. Salah satu handphone yang saya miliki
ternyata mati. Saya baru menyadari itu setelah meraihnya dari dalam saku
celana, dan menatap layarnya yang kosong. Maka saya pun memberikan tenaga
kepada si black senter itu dengan asupan listrik alias menge-charge-nya.
Setelah nyawanya kembali pulih, tulisan “1 pesan diterima” pun muncul.
Cepat-cepat saya membuka pesan itu, dan segera pula membaca isi pesannya dalam
bahasa Melayu Bangka. Astaga, saya kaget bukan kepalang.
Bang engka telpon Aya
nyuro pulang. Aku dak tau ngebel dak aktif terus. Plis.
(Bang kamu telpon Ayah menyuruh pulang. Aku tidak tahu
(bisa) menelpon tidak aktif terus. Please)
Suara televisi yang setibanya tadi langsung saya hidupkan
seketika juga aku matikan lagi. Hampir pukul 10 malam. Lantas, saya langsung
menghubungi nomor Ayah. Sebetulnya bukan untuk menghubunginya, menelponnya lalu
bercakap-cakap, tetapi sekadar menelponnya biar Ayah menelpon balik. Ah,
maklum, pulsa saya bila diuangkan untuk membeli kerupuk pun tak dapat lagi,
tambahan pula nomor Ayah dan nomor saya beda pengelola. Gugup, cepat-cepat saya
menghubungi nomor Umak (Ibu). Lagi-lagi, beda pengelola, maka saya mempunyai
alasan yang sama saat menelpon Ayah tadi. Sebelum menghubungi dua nomor itu,
saya pun sempat membalas SMS adik saya itu, dalam bahasa Melayu Bangka pula.
Ni la aktif, pakai HP
Umak nelpon e.
(Ini sudah aktif, pakai HP Umak nelponnya)
Namun karena tak mendapat balasan, saya pun berinisiasi
menelpon dua nomor diatas. Ah, mungkin saja mereka sudah tidur, saya berpikir
sekilas. Namun bila ingat isi pesan singkat yang saya terima, saya berdoa
semoga mereka belum lelap. Sekalipun mereka sudah lelap, saya harus tetap
menghubungi mereka. Setelah sekedar miscall, saya pun langsung menghubungi
nomor adik saya yang tadi mengirim pesan. Terdengar jawaban “hallo”. Beda
pengelola, saya pun mematikannya. Apa saya bilang, 2 detik saja Rp. 240, mana
cukuplah kalau berlama-lama? Ah, beda pengelola, beginilah. Mengetahui masih
ada yang terjaga semalam, saya pun kembali mengirim adik saya itu pesan
singkat.
Pakai HP Umak nelpon,
pakai nomor ni mahal pulsa dak cukup, HP hikuk dak hua ku isik pulsa e.
(Pakai HP Umak nelpon, pakai nomor ini mahal pulsa tidak
cukup, HP satunya lagi tidak pernah saya isi pulsanya)
Maksud saya, saya meminta mereka untuk menghubungi saya
menggunakan nomor Umak ke HP saya yang satunya lagi. Kebetulan, nomor Umak
dengan nomor saya di HP yang satu pengelolanya sama. Jadi, bisa murah meriah
bila hendak berkomunikasi jarak jauh semacam ini. Apalagi HP Umak sudah di
setting dengan kode tertentu menurut pengelola itu, sehingga jauh lebih murah
dari tarif komunikasi normal. Namun semakin lama saya menunggu, tak pula ada
panggilan masuk. Ah, saya jadi tambah gugup. Selang beberapa detik kemudian, si
adik membalas.
Dak biak la Umak la
pulang.
(Tidak biarlah Umah sudah pulang)
Hah? Saya melongo. Lama saya
menatap layar handphone yang saya genggam, memahami isi pesan itu
sehuruf demi sehuruf. Dan, entah untuk yang keberapa kalinya saya salah
memahami isi SMS adik saya sendiri. Oh, Tuhan. Saya jadi senyum-senyum sendiri.
Cepat-cepat saya mengirim BBM (Blackberry Messenger) ke Abang saya yang tinggal
beda kabupaten dengan keluarga saya di Pulau Bangka. Mulanya, saya mengirim BBM
ke Abang saya, bertanya perihal sedang bekerjakah dia, lantas selanjutnya saya
mau bertanya perihal SMS yang saya terima dari adik saya itu. Lantas,
cepat-cepat saya mengirim BBM yang kedua, mengatakan bahwa saya mencabut BBM
yang pertama, sebab saya telah salah memahami SMS adik kami yang tiada titik
dan koma itu. Ah, adik…
Mulanya, atas SMS yang saya terima itu, saya mengira bahwa
saya disuruh menelpon Ayah yang menyuruh saya pulang ke Bangka entah karena
alasan apa. Sebab HP saya mati dari tadi, mungkin saja Ayah sudah menelpon
saya, namun tak masuk-masuk karena HP saya mati. Lha, bukankah HP yang satunya
lagi tidak mati? Ah, tiba-tiba saya ingat bila HP saya yang itu juga sempat
mati beberapa jam, sebelum akhirnya saya charge saat istirahat di kampus,
sepulangnya dari Candi Plaosan bersama teman-teman. Ternyata, saya salah memahaminya.
Saya langsung membalas SMS adik saya yang terakhir tadi.
Oooh, engka nyuro Aya
pulang maksud e, nyangkak ku Aya nyuro aku pulang. Aya kemana nian tadi?
(Oooh, kamu menyuruh Ayah pulang maksudnya, sangkaku Ayah menyuruh
saya pulang. Ayah kemana memang tadi?”)
Senyap, tak ada lagi balasan. Mungkin dia sudah terlelap.
Maklum, besok harus sekolah pagi-pagi. Sekalipun dia tak membalasnya, tetapi
saya sudah paham kemudian. Maksud SMS dia yang pertama adalah menyuruh saya
menelpon Ayah yang pergi entah kemana bersama Umak, biasanya kerumah Nenek atau
kerumah teman Ayah di desa sebelah. Nah, adik saya ini mungkin sendiri dirumah,
atau ada orang datang yang lagi ingin bertemu dengan Ayah atau Umak. Ah,
pokoknya seperti itulah. Apapun alasannya, yang jelas adik saya itu meminta
bantuan kepada saya untuk menghubungi Ayah untuk pulang kerumah segera. Ah,
adik….
Nah, saya mungkin tak salah memahami bila SMS dari adik saya mengetik SMS seperti ini:
Bang, engka telpon Aya,
huro pulang. Aku dak tau ngebel, dak aktif terus. Plis.
(Bang, kamu telpon Ayah, suruh pulang. Aku tidak tahu (bisa)
menelpon, tidak aktif terus. Please)
Namun sekali lagi, namanya juga anak SD. Wong yang sudah
lulus…Ah, sudahlah.
Sebetulnya ini entah yang untuk keberapa kalinya saya salah
memahami isi SMS dia. Sebelumnya, sempat pula kejadian serupa sehingga kami
sekeluarga besar terpingkal-pingkal dibuatnya. Saat itu, nenek saya sakit
keras, sehingga beliau harus dibawa ke Rumas Sakit Umum Daerah (RSUD) Depati
Hamzah di Pangkalpinang, 150 KM dari kampung halaman saya di selatan Pulau
Bangka. Menurut kabar yang saya terima, nenek diantar oleh anak-anak beliau,
para bibi saya dan menantu-menantunya. Saya pun SMS adik saya itu, bertanya
perihal Umak. Selang beberapa detik, dia membalasnya.
Umak gi ke Pengkal
nganter Ninek laok aku nek ngaji.
(Umak pergi ke Pengkal (maksudnya Pangkalpinang) mengantar
Nenek lauk aku mau mengaji)
Lha, saya pun heran membaca SMS itu. Saya bukan heran
mengapa Umak pergi ke Pangkapinang, karena alasannya sudah jelas, yakni
mendampingi Nenek selama di rumah sakit. Oh, mungkin saja Umak menyusul, tidak
sama-sama dengan Nenek yang terbaring lemah. Tapi bukankah Umak sudah bersama
Nenek? Setidaknya, begitu kabar yang saya dengar. Lantas, kenapa pula ada
kalimat “nganter Ninek laok…(mengantar Nenek lauk…)”? Bukankah itu berarti Umak
masih dirumah, lalu baru pergi ke Pangkalpinang mengantar lauk untuk Nenek?
Lama saya membaca SMS ini, berulang kali. Oh, Tuhan, saya tertawa-tawa sendiri. Ah, adik…Saya paham selanjutnya, ternyata maksud dia adalah sederhana. Beginilah SMS dia seharusnya:
Umak gi ke Pengkal
nganter Ninek. La ok, aku nek ngaji.
(Umak pergi ke Pengkal (maksudnya Pangkalpinang). Sudah ya,
saya mau mengaji)
Ah, adik, terpingkal-pingkat kami dibuatnya.
Yogyakarta, 28 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar