Senin, 25 November 2013

PERIHAL HUJAN



Oleh : Darwance

Perihal hujan, aku tak membencinya. Hanya saja kadangkala aku sedikit kesal dengan hujan. Aku paling kesal bila hujan turun dengan tiba-tiba sedang aku berada di jalan menggunakan sepeda motorku yang hampir usang, entah itu pergi atau pulang. Apa-apaan ini, gerutuku sepanjang jalan. Sepanjang jalan itu pula aku terus mengumpat hujan dengan beragam sebutan, hujan yang sial, hujan yang turun tak tahu waktu, hujan yang malas yang hanya bisa menghempas tubuh seenak hatinya di atas pundak bumi. Apa-apaan ini? Lihat saja aku jadi basah kuyup. Aku ini naik motor, gerutuku lagi, bukan enak-enakkan dalam mobil yang berkatup. Aku tak ingin basah kuyup, tapi aku tak  mau repot-repot berteduh, maka aku pun menerobos hujan seraya terus mengumpat hujan.
Perihal hujan, aku tak membencinya. Hanya saja kadangkala aku sedikit kesal dengan hujan. Aku paling kesal bila hujan turun dengan tiba-tiba sedang aku berada di jalan menggunakan sepeda motorku yang hampir usang, entah itu pergi atau pulang. Sepanjang jalan aku terus mengumpat hujan dengan beragam sebutan. Namun setelahnya biasanya aku tiba-tiba menyesal telah mengumpat hujan. Cepat-cepat aku langsung istighfar memohon ampun kepada Tuhan, memohon maaf kepada Sang Pemilik Hujan yang pula sempat aku umpat lantaran menurunkan hujan seenak hati-Nya. Perihal hujan, aku punya cerita lain mengapa aku sulit untuk membenci hujan.
***
                Perihal hujan, aku telah menyukainya sejak lama. Saat kecil, aku paling suka dengan yang namanya hujan, meskipun aku tak tahu menahu perihal sampai tejadinya hujan. Pikirku kala itu adalah bila hujan sengaja dicurahkan oleh sekelompok orang diatas langit menggunakan drum besar-besar, sedang langit sengaja dibolong-bolong biar hujan turun setitik demi setitik. Perihal dari mana orang-orang itu dapat air, aku pun tak tahu menahu.
                Sore hari menjelang petang adalah puncak dimana kau sangat menyukai hujan. Bagiamana tidak, bila hujan maka aku dan Abangku punya alasan untuk tidak pergi mengaji sore di rumah Cik Cot, guru membaca Al-Quran kami yang humoris bukan main itu. Padahal jarak rumah kami dengan rumah Cik Cot tak terlampau jauh, berlindung dibawah sebuah payung pun bisa semestinya. Tapi tetap saja hujan adalah alasan paling mujarab yang selalu kami utarakan bila Ayah dan Umak bertanya perihal kenapa kami tak mengaji sore ini, sepulangnya mereka dari kebun.
                Namun alangkah kecewanya bila hujan yang semula deras tiba-tiba berhenti sedang matahari belum tenggelam. Bagai janji yang tak ditepati rasanya, bukan main sakit hati ini. Artinya, aku dan Abang harus segera mandi berbilas air sumur setelah berhujan ria dihalaman rumah, lalu bergegas ke rumah Cik Cot. Apabila tidak maka kala itu pula kami harus siap pasang telinga mendengar celotehan Umak yang tak punya muara, memarahi kami habis-habisan mengapa kami sampai tak mengaji sore ini. Untung-untung Umak tak memukuli kami dengan sebilah tangannya yang pedas minta ampun, atau dengan sepotong kayu yang sembarangan ia raih di halaman rumah. Suatu hari pernah aku dipukul Umak habis-habisan dengan sebilah kayu api dari pohon besar yang dibelah, bergerigi pula kayu itu, terlampau kesalnya Umak sebab aku telah dengan tidak sengaja memotong jari telunjuk sepupuku sendiri.
                Itulah mengapa aku begitu suka dengan hujan. Aku tak membenci hujan, hanya saja kadangkala aku sedikit kesal dengan hujan yang semula turun dengan derasnya tiba-tiba berhenti sedang matahari belum tenggelam. Aku kesal bila hujan tak kunjung turun sementara sebentar lagi kami harus pergi belajar mengaji di rumah Cik Cot, guru membaca Al-Quran kami yang kerap aku lihat sering berolok-olok dengan Ayah di depan rumah. Aku kesal bila hujan turun terlampau giat hingga di televisi yang hanya menyajikan stasiun TV milik pemerintah kala itu menyiarkan perihal banjir yang terjadi oleh sebab hujan. Aku kesal bila hujan tak kunjung datang sementara sumur di belakang rumah sudah kerontang, hingga Umak pontang-panting membawa air dari sumber nun jauh di tengah hutan.  Aku paling kesal bila hujan turun dengan tiba-tiba sedang aku berada di jalan menggunakan sepeda motorku yang hampir usang, entah itu pergi atau pulang.
                Maka sampailah saat dimana aku begitu marah dengan hujan. Aku mengumpat hujan yang tak kunjung datang sedang air sumur mulai kerontang, sedang pohon-pohon sahang kian kejang di sengat matahari yang kelaparan. Orang-orang dikampung bersusah payah setiap hari harus mengangkut air dari tengah hutan, apalagi orang-orang yang rumahnya berada di dataran tinggi macam kami. Aku mulai mengecam hujan yang pemalas, tinggal turun saja tidak mau. Apa susahnya coba tinggal menjatuhkan diri ke bumi, mengisi sumur-sumur dengan tubuhnya yang basah, menyirami sahang-sahang yang meradang berbulan-bulan tak dijamah oleh hujan.
                Di koran-koran, otoritas berwenang yang punya tugas memantau cuaca pun berujar bila hujan masih lama datang. Cemas bukan main setelah aku membaca berita itu. Namun aku baca pula berita itu sampai tuntas kalaulah dipenghujung berita ada disampaikan bila bisa saja hujan datang dengan tiba-tiba, menurut pihak yag berwenang itu. Semakin aku baca, semakin sedikit huruf-huruf yang disajikan, tidak ada tanda-tanda berita semacam itu,tidak ada tanda-tanda hujan akan turun dengan tiba-tiba.
                Ah, hujan memang selalu bikin masalah. Mentang-mentang dibutuhkan seenaknya dia bersembunyi entah dimana, tidur mungkin, merajuk barangkali lantaran sering dihujat sebagai penyebab air bah padahal menurutnya dia tidak salah. Orang-orang itulah yang salah, menutup saluran tempat biasa dia berjalan dengan elegannya dengan berupa-rupa sampah yang membuatnya mau tak mau harus berubah menjadi musibah. Ah, tetap saja hujan bermain-main kali ini, orang disana yang salah kenapa kami yang dikampung-kampung jadi tumbalnya? Hujan yang sial, hujan yang tak mau turun tepat waktu, hujan yang malas yang tak lekas meghempasnya tubuhnya di atas pundak bumi.
                Setiap kali berdoa, aku selalu menyelipkan kalimat meminta hujan kepada Tuhan, biarlah tahun depan kemarau panjang asal sekarang segera Dia turunkan hujan. Masa bodoh tahun depan kemarau sampai membunuh seisi bumi sekalipun. Setiap kali keluar dari ruangan kerjaku di kota, aku selalu mengintip langit dibalik jendela kaca, kalau-kalau langit mulai legam petanda hujan. Langit tersenyum begitu cerah,. Sial, gunamku kemudian. Sementara di koran-koran katanya hujan sudah mulai turun di pulau sebelah, dan di pulau ini di bagian utara. Di kota tempat aku berkerja ini pun sesekali hujan sudah mulai turun, tapi tidak di kampungku di ujung selatan. Aku selalu menghubungi Ayah, apakah dikampung hujan sudah turun, jawaban ayah selalu sama, tidak, bukan belum. Tambahan lagi jawaban ayah itu ditimpali penjelasan Umak yang segera meraih posel dari telinga Ayah. Umak bercerita, katanya Ayah mulai mengumpulan bekas-bekas botol minuman untuk selanjutnya dijadikan semacam infus bagi sahang-sahang di kebun yang mulai mati mengering. Ah, aku makin sedih saja jadinya, hujan betul-betul makin kurang ajar, sekarang berbuat tidak adil dia.
                Maka aku pun mulai menghitung-hitung tabunganku, tidak lagi berharap pada hujan yang mulai payah. Aku mulai putus asa, tabunganku tak seberapa, apalagi bonus yang aku dapat awal tahun kemarin sudah aku pakai liburan ke pulau sebelah, tak berpikir kalau hujan akan jadi biang masalah. Apabila ditambah bonus tahunan yang akan aku dapat pertengahan tahun kelak pun rasanya tidak akan cukup, apalagi gajiku tidak seberapa. Kalau begini ceritanya, gagal sudah rasanya aku menunaikan rencana yang sejak dulu aku susun dengan rapi itu. Menyesal rasanya aku tidak menabung dari awal bekerja dulu. Apa harus menunggu tahun depan lagi? Terlampau lama rasanya, untung-untung kalau hujan tidak bertingkah seperti sekarang.
                Akan tetapi malamnya hujan turun dengan begitu lepas di kota tempatku bekerja, tiba-tiba pula. Sontak saja aku jadi senang tak terbahasakan. Apalalagi malam itu sedang berlangsung upacara Chien Nyiet Pan oleh orang Tiong Hoa. Orang-orang banyak yang bilang, bila hujan turun sedang orang Tiong Hoa sedang upacara itu, maka itu petanda bila musim kemarau akan segera berhenti. Maka aku sampaikan segera perihal ini pada Ayah dan Umak segera, tapi jawaban mereka tetap tidak berubah, hujan belum pula turun di kampung, sahang-sahang seolah mulai sudah tak bisa diharapkan lagi. Aku kembali lemas. Sampai aku pulang ke kampung halamanku itu esok harinya, aku dapati kampungku yang berdebu, hujan belum sudi menyiraminya.
                “Lalu bagaimana dengan rencana itu?” tanyaku hati-hati pada Umak.
                “Tergantung hujan, berdoa saja semoga dia segera datang,” sambar Umak cepat. Begitu pula bila aku sodorkan pertanyaan serupa pada Ayah, hanya saja jawaban Ayah dipolesi dengan berupa-rupa kata motivasi, berdoa semoga hujan lekas turun. Ayah malah bercerita panjang lebar. Katanya, bila saja hujan sudi turun dalam minggu-minggu ini, tidak hari ini, maka InsyaAllah rencana itu terwujud segera. Aku senang mendengar jawaban Ayah. Bukan senang dengan kata hujan, tapi senang dengan cara ayah mengutarakan jawabannya. Sedap benar rasanya di telinga.
                Sampai menjelang siang, aku terus mengamati langit yang tampak hitam, namun sebentar kemudian kembali cerah bagai bohlam yang baru saja disengat listrik. Ayah bilang, pemandangan semacam ini terjadi hampir setiap hari. Selama angin masih bertiup kencang, awan yang  bergumpal-gumpal itu tak akan pernah berubah menjadi titik hujan, melainkan terusir oleh hembusan angin yang membuat awan-awan itu jadi lari tumbang-langggang. Aku hanya terdiam, tanpa bisa bicara satu patah kata pun. Seperti kata Ayah, aku menatap awan yang kembali mulai menggumpal, namun sejenak menghilang entah kemana. Sampai akhinya aku mendengar suara air hujan yang menghujam atap rumah, manakala aku mulai terlelap sendiri di atas kursi ruang tamu. Cepat-cepat aku keluar rumah, ternyata benar itu air hujan. Namun sayang, jangankan mengisi air sumur, memberi minum sahang-sahang yang mulai sakaratulmaut, debu pun tak hilang diterjang hujan yang segera reda.
                “Hujan semacam ini hanya akan membuat sahang-sahang cepat mati,” kata Ayah. Orang-orang berpendapat sama dengan Ayah, terang saja aku jadi begitu benci dengan hujan. Untuk kali ini, hujan betul-betul sudah bergurau tidak pada waktunya. Dia telah mempermainkan begitu banyak nyawa. Sial, aku mulai menggerutu lagi. Bayangkan ada berapa ribu nyawa yang menggantung hidupnya pada sahang, pada batang-batang karet yang getahnya pun tak sudi menetes karena kehausan. Kalau tak sudi turun, jangan turun, jangan turun tapi cuma sejenak yang hanya akan membunuh sahang-sahang yang sudah sekarat itu. Dasar hujan yang payah.
                Hari itu, aku benar-benar sudah putus asa. Aku sudah mengumpat hujan habis-habisan, aku sampai-sampai turut benci dengan Tuhan yang tak mau menegur hujan. Kalau mau, Tuhan tinggal perintah hujan agar segera turun tanpa harus bersusah payah menimba air dari dalam sumur lalu menyiramnya dari atas langit. Hujan pasti menuruti perintah-Nya, jangan-jangan mereka sudah bersekongkol, gerutuku tiada habisnya. Tamat sudah riwayat cita-citaku itu. Semua tinggal rencana yang tak akan pernah terlaksana. Namun jauh di dalam hati, aku tetap berdoa pada Tuhan yang sempat aku marahi, semoga Dia mau berbaik hati mendorong hujan yang sedang cengengesan di tepi langit, hingga ia terjatuh terjerembab menyirami tanah-tanah yang teronggok merana.
                Malamnya, hujan benar-benar turun…
***
                Perihal hujan, aku tak membencinya. Hanya saja kadangkala aku sedikit kesal dengan hujan. Aku paling kesal bila hujan turun dengan tiba-tiba sedang aku berada di jalan menggunakan sepeda motorku yang hampir usang, entah itu pergi atau pulang. Apa-apaan ini, gerutuku sepanjang jalan. Sepanjang jalan itu pula aku terus mengumpat hujan dengan beragam sebutan, hujan yang sial, hujan yang turun tak tahu waktu, hujan yang malas yang hanya bisa menghempas tubuh seenak hatinya di atas pundak bumi. Setelahnya biasanya aku tiba-tiba menyesal telah mengumpat hujan. Cepat-cepat aku langsung istighfar memohon ampun kepada Tuhan, memohon maaf kepada Sang Pemilik Hujan yang pula sempat aku umpat lantaran menurunkan hujan seenak hati-Nya. Perihal hujan, aku punya cerita lain mengapa aku sulit untuk membenci hujan, sebab karena hujanlah akhirnya aku bisa sampai di kota ini untuk melanjutkan pendidikan yang jauh lebih tinggi. Semua karena hujan yang datang menjamah pokok-pokok sahang, sebatang demi sebatang.

Yogyakarta, 4-6 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar