Oleh : Darwance
Perihal hujan,
aku tak membencinya. Hanya saja kadangkala aku sedikit kesal dengan hujan. Aku
paling kesal bila hujan turun dengan tiba-tiba sedang aku berada di jalan
menggunakan sepeda motorku yang hampir usang, entah itu pergi atau pulang.
Apa-apaan ini, gerutuku sepanjang jalan. Sepanjang jalan itu pula aku terus
mengumpat hujan dengan beragam sebutan, hujan yang sial, hujan yang turun tak
tahu waktu, hujan yang malas yang hanya bisa menghempas tubuh seenak hatinya di
atas pundak bumi. Apa-apaan ini? Lihat saja aku jadi basah kuyup. Aku ini naik
motor, gerutuku lagi, bukan enak-enakkan dalam mobil yang berkatup. Aku tak
ingin basah kuyup, tapi aku tak mau
repot-repot berteduh, maka aku pun menerobos hujan seraya terus mengumpat
hujan.
Perihal hujan,
aku tak membencinya. Hanya saja kadangkala aku sedikit kesal dengan hujan. Aku
paling kesal bila hujan turun dengan tiba-tiba sedang aku berada di jalan
menggunakan sepeda motorku yang hampir usang, entah itu pergi atau pulang.
Sepanjang jalan aku terus mengumpat hujan dengan beragam sebutan. Namun
setelahnya biasanya aku tiba-tiba menyesal telah mengumpat hujan. Cepat-cepat
aku langsung istighfar memohon ampun kepada Tuhan, memohon maaf kepada Sang
Pemilik Hujan yang pula sempat aku umpat lantaran menurunkan hujan seenak
hati-Nya. Perihal hujan, aku punya cerita lain mengapa aku sulit untuk membenci
hujan.
***
Perihal
hujan, aku telah menyukainya sejak lama. Saat kecil, aku paling suka dengan
yang namanya hujan, meskipun aku tak tahu menahu perihal sampai tejadinya hujan.
Pikirku kala itu adalah bila hujan sengaja dicurahkan oleh sekelompok orang
diatas langit menggunakan drum besar-besar, sedang langit sengaja dibolong-bolong
biar hujan turun setitik demi setitik. Perihal dari mana orang-orang itu dapat
air, aku pun tak tahu menahu.
Sore
hari menjelang petang adalah puncak dimana kau sangat menyukai hujan. Bagiamana
tidak, bila hujan maka aku dan Abangku punya alasan untuk tidak pergi mengaji sore
di rumah Cik Cot, guru membaca Al-Quran kami yang humoris bukan main itu.
Padahal jarak rumah kami dengan rumah Cik Cot tak terlampau jauh, berlindung
dibawah sebuah payung pun bisa semestinya. Tapi tetap saja hujan adalah alasan
paling mujarab yang selalu kami utarakan bila Ayah dan Umak bertanya perihal kenapa
kami tak mengaji sore ini, sepulangnya mereka dari kebun.
Namun
alangkah kecewanya bila hujan yang semula deras tiba-tiba berhenti sedang
matahari belum tenggelam. Bagai janji yang tak ditepati rasanya, bukan main sakit
hati ini. Artinya, aku dan Abang harus segera mandi berbilas air sumur setelah berhujan
ria dihalaman rumah, lalu bergegas ke rumah Cik Cot. Apabila tidak maka kala
itu pula kami harus siap pasang telinga mendengar celotehan Umak yang tak punya
muara, memarahi kami habis-habisan mengapa kami sampai tak mengaji sore ini.
Untung-untung Umak tak memukuli kami dengan sebilah tangannya yang pedas minta
ampun, atau dengan sepotong kayu yang sembarangan ia raih di halaman rumah.
Suatu hari pernah aku dipukul Umak habis-habisan dengan sebilah kayu api dari
pohon besar yang dibelah, bergerigi pula kayu itu, terlampau kesalnya Umak
sebab aku telah dengan tidak sengaja memotong jari telunjuk sepupuku sendiri.
Itulah
mengapa aku begitu suka dengan hujan. Aku tak membenci hujan, hanya saja
kadangkala aku sedikit kesal dengan hujan yang semula turun dengan derasnya
tiba-tiba berhenti sedang matahari belum tenggelam. Aku kesal bila hujan tak
kunjung turun sementara sebentar lagi kami harus pergi belajar mengaji di rumah
Cik Cot, guru membaca Al-Quran kami yang kerap aku lihat sering berolok-olok
dengan Ayah di depan rumah. Aku kesal bila hujan turun terlampau giat hingga di
televisi yang hanya menyajikan stasiun TV milik pemerintah kala itu menyiarkan
perihal banjir yang terjadi oleh sebab hujan. Aku kesal bila hujan tak kunjung
datang sementara sumur di belakang rumah sudah kerontang, hingga Umak
pontang-panting membawa air dari sumber nun jauh di tengah hutan. Aku paling kesal bila hujan turun dengan
tiba-tiba sedang aku berada di jalan menggunakan sepeda motorku yang hampir
usang, entah itu pergi atau pulang.
Maka
sampailah saat dimana aku begitu marah dengan hujan. Aku mengumpat hujan yang
tak kunjung datang sedang air sumur mulai kerontang, sedang pohon-pohon sahang
kian kejang di sengat matahari yang kelaparan. Orang-orang dikampung bersusah
payah setiap hari harus mengangkut air dari tengah hutan, apalagi orang-orang
yang rumahnya berada di dataran tinggi macam kami. Aku mulai mengecam hujan
yang pemalas, tinggal turun saja tidak mau. Apa susahnya coba tinggal
menjatuhkan diri ke bumi, mengisi sumur-sumur dengan tubuhnya yang basah,
menyirami sahang-sahang yang meradang berbulan-bulan tak dijamah oleh hujan.
Di
koran-koran, otoritas berwenang yang punya tugas memantau cuaca pun berujar
bila hujan masih lama datang. Cemas bukan main setelah aku membaca berita itu.
Namun aku baca pula berita itu sampai tuntas kalaulah dipenghujung berita ada
disampaikan bila bisa saja hujan datang dengan tiba-tiba, menurut pihak yag
berwenang itu. Semakin aku baca, semakin sedikit huruf-huruf yang disajikan,
tidak ada tanda-tanda berita semacam itu,tidak ada tanda-tanda hujan akan turun
dengan tiba-tiba.
Ah,
hujan memang selalu bikin masalah. Mentang-mentang dibutuhkan seenaknya dia
bersembunyi entah dimana, tidur mungkin, merajuk barangkali lantaran sering
dihujat sebagai penyebab air bah padahal menurutnya dia tidak salah.
Orang-orang itulah yang salah, menutup saluran tempat biasa dia berjalan dengan
elegannya dengan berupa-rupa sampah yang membuatnya mau tak mau harus berubah
menjadi musibah. Ah, tetap saja hujan bermain-main kali ini, orang disana yang
salah kenapa kami yang dikampung-kampung jadi tumbalnya? Hujan yang sial, hujan
yang tak mau turun tepat waktu, hujan yang malas yang tak lekas meghempasnya
tubuhnya di atas pundak bumi.
Setiap
kali berdoa, aku selalu menyelipkan kalimat meminta hujan kepada Tuhan, biarlah
tahun depan kemarau panjang asal sekarang segera Dia turunkan hujan. Masa bodoh
tahun depan kemarau sampai membunuh seisi bumi sekalipun. Setiap kali keluar dari
ruangan kerjaku di kota, aku selalu mengintip langit dibalik jendela kaca,
kalau-kalau langit mulai legam petanda hujan. Langit tersenyum begitu cerah,.
Sial, gunamku kemudian. Sementara di koran-koran katanya hujan sudah mulai
turun di pulau sebelah, dan di pulau ini di bagian utara. Di kota tempat aku
berkerja ini pun sesekali hujan sudah mulai turun, tapi tidak di kampungku di
ujung selatan. Aku selalu menghubungi Ayah, apakah dikampung hujan sudah turun,
jawaban ayah selalu sama, tidak, bukan belum. Tambahan lagi jawaban ayah itu
ditimpali penjelasan Umak yang segera meraih posel dari telinga Ayah. Umak
bercerita, katanya Ayah mulai mengumpulan bekas-bekas botol minuman untuk
selanjutnya dijadikan semacam infus bagi sahang-sahang di kebun yang mulai mati
mengering. Ah, aku makin sedih saja jadinya, hujan betul-betul makin kurang
ajar, sekarang berbuat tidak adil dia.
Maka
aku pun mulai menghitung-hitung tabunganku, tidak lagi berharap pada hujan yang
mulai payah. Aku mulai putus asa, tabunganku tak seberapa, apalagi bonus yang
aku dapat awal tahun kemarin sudah aku pakai liburan ke pulau sebelah, tak
berpikir kalau hujan akan jadi biang masalah. Apabila ditambah bonus tahunan
yang akan aku dapat pertengahan tahun kelak pun rasanya tidak akan cukup,
apalagi gajiku tidak seberapa. Kalau begini ceritanya, gagal sudah rasanya aku
menunaikan rencana yang sejak dulu aku susun dengan rapi itu. Menyesal rasanya
aku tidak menabung dari awal bekerja dulu. Apa harus menunggu tahun depan lagi?
Terlampau lama rasanya, untung-untung kalau hujan tidak bertingkah seperti
sekarang.
Akan
tetapi malamnya hujan turun dengan begitu lepas di kota tempatku bekerja,
tiba-tiba pula. Sontak saja aku jadi senang tak terbahasakan. Apalalagi malam
itu sedang berlangsung upacara Chien Nyiet Pan oleh orang Tiong Hoa.
Orang-orang banyak yang bilang, bila hujan turun sedang orang Tiong Hoa sedang
upacara itu, maka itu petanda bila musim kemarau akan segera berhenti. Maka aku
sampaikan segera perihal ini pada Ayah dan Umak segera, tapi jawaban mereka
tetap tidak berubah, hujan belum pula turun di kampung, sahang-sahang seolah mulai
sudah tak bisa diharapkan lagi. Aku kembali lemas. Sampai aku pulang ke kampung
halamanku itu esok harinya, aku dapati kampungku yang berdebu, hujan belum sudi
menyiraminya.
“Lalu
bagaimana dengan rencana itu?” tanyaku hati-hati pada Umak.
“Tergantung
hujan, berdoa saja semoga dia segera datang,” sambar Umak cepat. Begitu pula
bila aku sodorkan pertanyaan serupa pada Ayah, hanya saja jawaban Ayah dipolesi
dengan berupa-rupa kata motivasi, berdoa semoga hujan lekas turun. Ayah malah
bercerita panjang lebar. Katanya, bila saja hujan sudi turun dalam
minggu-minggu ini, tidak hari ini, maka InsyaAllah rencana itu terwujud segera.
Aku senang mendengar jawaban Ayah. Bukan senang dengan kata hujan, tapi senang
dengan cara ayah mengutarakan jawabannya. Sedap benar rasanya di telinga.
Sampai
menjelang siang, aku terus mengamati langit yang tampak hitam, namun sebentar
kemudian kembali cerah bagai bohlam yang baru saja disengat listrik. Ayah
bilang, pemandangan semacam ini terjadi hampir setiap hari. Selama angin masih
bertiup kencang, awan yang bergumpal-gumpal
itu tak akan pernah berubah menjadi titik hujan, melainkan terusir oleh hembusan
angin yang membuat awan-awan itu jadi lari tumbang-langggang. Aku hanya
terdiam, tanpa bisa bicara satu patah kata pun. Seperti kata Ayah, aku menatap
awan yang kembali mulai menggumpal, namun sejenak menghilang entah kemana.
Sampai akhinya aku mendengar suara air hujan yang menghujam atap rumah,
manakala aku mulai terlelap sendiri di atas kursi ruang tamu. Cepat-cepat aku
keluar rumah, ternyata benar itu air hujan. Namun sayang, jangankan mengisi air
sumur, memberi minum sahang-sahang yang mulai sakaratulmaut, debu pun tak
hilang diterjang hujan yang segera reda.
“Hujan
semacam ini hanya akan membuat sahang-sahang cepat mati,” kata Ayah.
Orang-orang berpendapat sama dengan Ayah, terang saja aku jadi begitu benci
dengan hujan. Untuk kali ini, hujan betul-betul sudah bergurau tidak pada waktunya.
Dia telah mempermainkan begitu banyak nyawa. Sial, aku mulai menggerutu lagi.
Bayangkan ada berapa ribu nyawa yang menggantung hidupnya pada sahang, pada
batang-batang karet yang getahnya pun tak sudi menetes karena kehausan. Kalau
tak sudi turun, jangan turun, jangan turun tapi cuma sejenak yang hanya akan
membunuh sahang-sahang yang sudah sekarat itu. Dasar hujan yang payah.
Hari
itu, aku benar-benar sudah putus asa. Aku sudah mengumpat hujan habis-habisan,
aku sampai-sampai turut benci dengan Tuhan yang tak mau menegur hujan. Kalau
mau, Tuhan tinggal perintah hujan agar segera turun tanpa harus bersusah payah
menimba air dari dalam sumur lalu menyiramnya dari atas langit. Hujan pasti
menuruti perintah-Nya, jangan-jangan mereka sudah bersekongkol, gerutuku tiada
habisnya. Tamat sudah riwayat cita-citaku itu. Semua tinggal rencana yang tak
akan pernah terlaksana. Namun jauh di dalam hati, aku tetap berdoa pada Tuhan
yang sempat aku marahi, semoga Dia mau berbaik hati mendorong hujan yang sedang
cengengesan di tepi langit, hingga ia terjatuh terjerembab menyirami
tanah-tanah yang teronggok merana.
Malamnya,
hujan benar-benar turun…
***
Perihal
hujan, aku tak membencinya. Hanya saja kadangkala aku sedikit kesal dengan
hujan. Aku paling kesal bila hujan turun dengan tiba-tiba sedang aku berada di
jalan menggunakan sepeda motorku yang hampir usang, entah itu pergi atau
pulang. Apa-apaan ini, gerutuku sepanjang jalan. Sepanjang jalan itu pula aku
terus mengumpat hujan dengan beragam sebutan, hujan yang sial, hujan yang turun
tak tahu waktu, hujan yang malas yang hanya bisa menghempas tubuh seenak
hatinya di atas pundak bumi. Setelahnya biasanya aku tiba-tiba menyesal telah
mengumpat hujan. Cepat-cepat aku langsung istighfar memohon ampun kepada Tuhan,
memohon maaf kepada Sang Pemilik Hujan yang pula sempat aku umpat lantaran
menurunkan hujan seenak hati-Nya. Perihal hujan, aku punya cerita lain mengapa
aku sulit untuk membenci hujan, sebab karena hujanlah akhirnya aku bisa sampai
di kota ini untuk melanjutkan pendidikan yang jauh lebih tinggi. Semua karena
hujan yang datang menjamah pokok-pokok sahang, sebatang demi sebatang.
Yogyakarta, 4-6 Oktober
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar