Sabtu, 13 Desember 2014

29 (BAGIAN JEJAK PENDAPAT)



29; Minus Mbak Mitha dan Stella


Soal mengapa kemudian saya menulis tulisan ini, saya sendiri pun tak terlalu tahu. Entah bagaimana, saat pulang dari rumah yang ditempati keluarga kecil Abang saya di salah satu sudut Kota Pangkalpinang, tiba-tiba ide itu muncul begitu saja. Saya rasa, menarik juga sepertinya menulis apa yang telah saya alami, lebih-lebih menulis sekaligus melukiskan tentang orang-orang yang telah saya kenal selama hampir dua tahun lamanya di sebuah kota yang penuh cerita bernama Yogyakarta (selanjutnya saya sebutkan Jogja saja). Setelah beberapa bulan lulus, meninggalkan Jogja, rindu juga rupanya dengan kota yang sempat dijadikan sasaran kekesalan seorang mahasiswa itu. Hemheeemhhhh…Akhirnya, jadilah setibanya di rumah, saya menyambar laptop, lalu segera menulis apa yang ada dalam otak saya kala itu.

Sebelum menapakkan kaki di Jogja, dulu saya pernah baca sebuah tulisan yang ditulis oleh seseorang yang kemudian menjadi seorang akademisi hebat di tanah kelahiran saya di Pulau Bangka. Sang akademisi memang banyak menghabiskan waktunya menimba ilmu di Jogja. Dalam tulisan itu, beliau melukiskan bahwa Jogja itu adalah Indonesia versi mini. Artinya, hampir semua suku bangsa yang ada di negara ini, pun ada di Jogja. Dari Sabang sampai Merauke, dari Timor sampai ke Talaud, bila dikecilkan maka jadilah daerah istimewa bernama Jogja. Begitulah kira-kira gambarannya. Akhirnya, saya pun percaya dengan itu setelah betul-betul menginjakkan kaki di sana. Jangankan Jogja, orang di kelas saya sendiri mahasiswanya berasal dari daerah-daerah yang letaknya sangat jauh satu sama lain. Ada yang dari Binjai di Sumatera Utara (hemheeemhhh!), Wonosobo di Jawa Tengah (iyopooo???), Banjarmasin di Kalimantan Selatan (!@#$%^&*blekblekblek), Bali (krik-krik), Manado di Sulawesi Utara (iyakan, bro?), teruuuuus sampai ke Ternate di Maluku Utara untuk Indonesia Timur (apazzziiiiih?). Pokoknya, ini kelas paling Nusantara!

Ini kelas juga unik dan menarik! Sehingga tak heran bila kemudian saya pun saaaaangat tertarik untuk menganalisis kawan-kawan itu satu demi satu. Hehe…Bagi saya, hidup itu akan indah bila kita sering mengamati. Setelah diamati, lalu nikmatilah. Oh ya, sebelum saya berceita perihal kelas saya yang unik, ada baiknya (hemheeemhhhhh, sudah seperti gaya bahasa ceramah saja) kalau saya memperkenalkan terlebih dahulu kelas apa dan dimana kelas itu. Kelas yang saya ceritakan ini bernama Angkatan 29 Magister Hukum di Universitas Gadjah Mada alias UGM. Sebagaimana namanya, kelas ini sebagaian besar berisi lulusan hukum dari jenjang sebelumnya. Tapi, ada juga yang bukan berasal dari jurusan hukum (positif), misalnya kawan saya yang bernama Irwansyah Saleh Kusuma dan Yusron Asropi. Irwan berlatar belakang pendidikan ekonomi dan ilmu politik, sedangkan Ucon (nama panggilan sayang kami terhadap Yusron Asropi), berasal dari jurusan syariah. Almamater kami pun berbeda-beda, ada yang dari USU, UNS, UAJY, UGM sendiri, UBB (yang paling keren), UMM, dan lain-lain, dan lain-lain. Yang mendominasi, jelas lulusan UII (baca:YU-I-I !!! dengan penekanan yang teramat sangat ditekan). Demikian perkenalan singkat perihal “kelas” yang ada di tulisan ini? Pakhhaaam? Kemuuudiaaan…Lanjut ke cerita sebenarnya!!!

Sekali lagi, kelas kami ini sangat unik dan menarik. Selain berasal dari daerah yang berbeda-beda, entah mengapa saya melihat masing-masing dari kawan yang saya kenal punya karakter dan cirri-ciri yang menandakan bahwa itu adalah dia. Mulai dari gaya bicara, suara, gaya berjalan, dan sebagainya. Dari sekian banyak keunikan itu, ada menemukan sesuatu yang entah kenapa sepertinya hanya ada pada orang tertentu. Saya tak ingin berbicara hal lain, saya hanya ingin berbagi kisah perihal keunikan mereka. Biar adil, saya akan mengurutkan cerita ini berdasarkan daerah asal, dari Indonesia bagian barat sampai Indonesia bagian timur! Jadi, yang berasal dari Indonesia bagian timur, bersabarlah. Hehe…Ini bukan tulisan mengumbar keburukan, bukan pula berarti bahwa saya benci kalian, kawan. Sama sekali bukan. Saya hanya ingin berbagi cerita lucu semasa kita masih bersama, hal yang dari dulu pun selalu kita jadikan sebagai bahan tertawaan kita. Ini adalah tulisan karena saya rindu kalian semua….Hiks!!!

INDONESIA BARAT (Berdasarkan Zona WIB).
1.       Dhuma Melinda Harahap, USU, Binjai, Sumatera Utara.
2.       Irwansyah Saleh Kusuma, …& UGM, Batam, Kepulauan Riau.
3.       Sherly Fitriana Haris, UII, Pekanbaru, Riau.
4.       Titis Restuning Kartika, UNS, Duri, Riau (KTP-nya), tapi mengaku sebagai wong Solo ke Pak Dekan.
5.       Hendry Septiawan, UII, Bengkulu, Bengkulu.
6.       …(BERSAMBUNG)

SAYA TULIS TENTANG KEUNIKAN KALIAN, BOLEH??? Bila boleh, tulisan ini akan saya lanjutkan, sebaliknya kalau tidak BOLEEEH, saya harus menghormati keputusan 29!!! Tapi jujur, saya mengalamai kesulitan harus meniru gaya kalian satu demi satu dalam format TULISAN!!! SETUJU atau TIDAK, silakan tulis di kolom KOMENTAR di bawah ini :)

Pangkalpinang, 13 Desember 2014

Kamis, 11 Desember 2014

WEEKEND DI GUNUNGKIDUL, AYO KE PANTAI KUKUP

Bebagai pantai dan gua eksotis memang menjadi alasan banyak orang berlibur ke Gunungkidul, DIY di akhir pekan. Salah satu pantai di Gunungkidul yang menjadi primadona adalah Pantai Kukup. Ayo ke sana akhir pekan ini. Menyaksikan matahari terbit di ujung laut barangkali menjadi keinginan banyak orang. Saya, dan beberapa orang teman adalah beberapa dari sekian banyak orang itu. Itulah mengapa kemudian, menjelang tengah malam, kami berangkat dari pusat Kota Yogyakarta menuju Gunungkidul, salah satu kabupaten di DI Yogyakarta yang mempunyai banyak sekali pantai-pantai yang menawan. Adapun pantai yang menjadi tujuan pertama kami malam itu adalah Pantai Kukup.



Saya, Adam Wijaya Medantara, Hendri Septiawan, Mas Angga Rawijayadi, serta Anisa Rahardini, dan Eka Lestaria, sengaja berangkat malam-malam menuju Pantai Kukup hanya karena satu alasan, yakni menyaksikan sunrise keesokan paginya. Menggunakan mobil milik Hendri, menjelang tengah malam kami pun tiba di Pantai Kukup setelah melewati kurang lebih 2 jam perjalanan. Sesampainya, kami langsung mencari penginapan yang letaknya tak jauh dari bibir pantai. Kami memesan dua kamar, satu untuk perempuan, satunya lagi untuk laki-laki.

Niat untuk menyaksikan cantiknya matahari terbit di Pantai Kukup tiba-tiba sirna begitu saja, ketika tiba-tiba pula saat kami terbangun dari lelap, matahari sudah beranjak tinggi alias sudah pagi. Alamat, gagal sudah menyaksikan sunset pagi itu. Mungkin lantaran letihnya menempuh perjalanan malam. Apalagi, sebelumnya kami harus seharian kuliah, membuat kami terlampau lelap dalam tidur dan lupa akan niat utama. Padahal, Mas Angga dan Hendri yang malam itu entah tidur entah tidak, sudah berteriak-teriak membangunkan kami untuk segera melihat matahari pagi.



 
Ibarat kata pepatah, nasi sudah menjadi bubur, matahari sudah terlanjur meninggi. Namun tak mengapa, ada pepatah lain, tak ada rotan akar pun jadi, tak jadi menyaksikan matahari terbit, matahari yang sudah tinggi pun tak apa. Maka setelah masing-masing mandi, kami segera menuju bibir Pantai Kukup. Suasana masih sepi kala itu, belum banyak wisatawan yang datang. Wah, dari kejauhan saya mulai berdecak kagum akan paras Pantai Kukup yang elok. Apalagi pada sebuah sudut, ada dataran menjorok ke laut yang mirip Tanah Lot di Bali. Ombak khas pantai selatan Jawa menghempas kencang.
Sebelum menelusuri keindahan pantai, kami sarapan terlebih dahulu di sebuah warung. Adam, teman saya yang lain, membeli udang goreng yang masih hangat beberapa bungkus. Nikmat sekali rasanya, saya yang sudah lama tak menyantap makanan laut pun seolah menemukan oase di tengah padang pasir yang tandus, kala menyantap udang-udang itu seekor demi seekor.

Mumpung masih sepi, kami pun segera menuju dataran yang mirip Tanah Lot itu. Di atasnya, ada sebuah bangunan mirip pendopo. Pendopo itu sengaja dibangun, selain untuk  memperelok keindahan Pantai Kukup, tentu saja untuk tempat berteduh para wisatawan yang berkunjung ke Pantai Kukup. Dari atas dataran itu, dengan leluasa saya bisa menyaksikan Samudera Hindia yang lepas, perkasa bukan main. Alam di sekitarnya juga menyajikan pemandangan yang tak kalah rupawan. Air laut di bawah sana juga unik. Biarpun ombak kencang, namun ada bagian air laut yang tampak tenang-tenang saja, jernih pula. Orang-orang terlihat menangkap aneka hewan laut yang terlihat menepi.

Alam Indonesia memang luar biasa. Anisa Rahardini tiba-tiba berujar, "Jawa juga punya pantai yang cantik bukan? Cantik mana sama pantai di Bangka Belitung?" Saya tersenyum, lantas menjawab, "Sama-sama cantik, masing-masing pantai di Indonesia memiliki karakter yang berbeda, seperti pantai di Bangka Belitung yang berciri khas batu granit raksasa di setiap sudut pantai." Ya, Indonesia memang cantik. Salah satunya terepresentasi di Pantai Kukup, Gunungkidul Yogyakarta. Gagal melihat sunrise, bukan berarti tak bisa menikmati keindahannya bukan?

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di Detik.Com dengan judul "Weekend di Gunungkidul, Ayo ke Pantai Kukup" oleh penulis yang sama)

MUSIM KEMARAU, PADANG LAVENDER ORO0-ORO OMBO TETAP MEMUKAU



Bagi siapa pun yang pernah mendaki Gunung Semeru, pasti ingat indahnya gunung tertinggi di Jawa itu. Salah satu spot yang terkenal indah adalah padang lavender di Oro-oro Ombo. Pada musim kemarau pun tetap memukau. Siapa yang tak kenal Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa itu? Apalagi seiring kepouleran film 5 CM, nama gunung itu semakin dikenal masyarakat luas. Itu sebabnya para pelancong berduyun-duyun datang ke sana, baik lokal maupun pelancong dari luar negeri.



Saya pun ikut tertarik untuk melihat langsung, serupa apa gunung fenomenal itu. Akhirnya, bersama beberapa orang teman, saya pun berangkat dari Yogyakarta menuju Malang. Saya berangkat bersama beberapa orang teman kuliah. Mereka adalah Anisa Rahardini, Titis Restuning Kartika, Dhuma Melinda Harahap, Mohammad Ghoza Farghani, dan Annisa Rahmah. Kami berenam berangkat dari Yogyakarta, sedang seorang lagi, Reza, menunggu di Solo. Reza merupakan seorang pendaki gunung yang sudah lama terjun di dunia daki-mendaki. Dialah yang kelak akan menjadi pemandu kami berjalan menelusuri tepian bukit menuju Gunung Semeru.



Singkat cerita, sampailah akhirnya kami di Ranu Pane, desa terakhir sebelum akhirnya berjalan kaki menuju lokasi. Sebelum mendaki, kami makan dulu agar tenaga tetap terjaga. Sebetulnya, tujuan kami bukanlah puncak Semeru, tapi cukup sampai Ranu Kumbolo saja. Nah, biar tidak sampai puncaknya, tapi gagahnya Gunung Semeru tetap terasa dari kejauhan. Luar biasa bukan?

Setelah naik turun, jalan yang berkelok dan berdebu oleh musim kemarau yang tak berkesudahan, tibalah kami di Ranu Kumbolo pada malam hari. Pagi menjelang siang, kami melewati Tanjakan Cinta menuju Oro-Oro Ombo yang terkenal akan keindahan padang lavendernya itu. Sayang, musim kemarau yang panjang membuat tanaman itu mengering, hanya bau wanginya sesekali tetap tercium aromanya. Tapi, padang yang gersing bukan berarti tidak bisa dinikmati bukan? Padang lavender yang gersang justru terkesan eksotis! Saya sendiri tak menyangka bahwa pemandangan yang saya lihat kala itu adalah Indonesia, bukan Afrika. Negeri ini benar-benar luar biasa, apapun sepertinya dimilki oleh Indonesia.

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di Detik.Com dengan judul "Musim Kemarau, Padang Lavender Oro-Oro Ombo Tetap Memukau" oleh penulis yang sama)

BAYAR RP. 3.000, NIKMATI 3 PANTAI DI GUNUNGKIDUL

Jika mencari destinasi pantai dengan biaya murah, pantai di daerah Gunungkidul adalah jawabannya. Cukup dengan membayar biaya parkir Rp 3.000, turis dapat menikmati Pantai Ngrenehan, Ngobaran, dan Nguyahan sekaligus. Siapa yang bilang liburan di penghujung pekan itu harus mahal? Buktinya, di Kabupaten Gunungkidul di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, liburan akhir pekan yang singkat sekalipun bisa dinikmati dengan hanya merogoh kocek yang sangat minim sekali, yakni Rp 3.000 saja. Bahkan, dengan hanya mengeluarkan uang sebesar itu, kita bisa menikmati keindahan 3 pantai sekaligus. Nah, penasaran bukan?


Sebagai orang yang lahir di tepi pantai, besar pun banyak dihabiskan di tepi pantai, hingga kini pantai seolah-olah sesuatu yang tidak bisa saya tinggalkan begitu saja. Itulah sebabnya, sesekali saya tetap mengunjungi pantai selama tinggal di Yogyakarta. Di DI Yogyakarta, salah satu kabupaten yang mempunyai pantai yang cukup banyak dan indah adalah Gunungkidul. Kabupaten paling selatan provinsi pimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono X itu. Sekalipun demikian, pantai-pantai yang saya datangi bersama beberapa orang kawan yang tenyata juga hobi berpetualang itu, bukanlah pantai yang itu-itu saya. Sesekali, kami mencoba pantai yang sekarang masih terasa asing di telinga banyak orang.


Suatu hari, kami pun kembali merencanakan untuk menelusuri pantai-pantai yang ada di Yogyakarta. Setelah dibicarakan, alhasil kami memilih untuk pergi ke Pantai Ngobaran, Nguyahan dan Ngrenehan. Inilah 3 pantai yang kelak bisa kami nikmati dengan hanya membayar Rp 3.000 saja per orang sebagai retribusi. Nah, murah bukan? Sekalipun demikian murahnya, jangan pernah berpikir bahwa pemdangan di pantai-pantai ini tak secantik pantai yang lain. Saya yakin, siapa pun yang berkunjung ke pantai ini pasti akan berdecak kagum, apalagi saat menikmatinya dari atas ketinggian.

Pagi-pagi sekali, seraya berharap hujan tak turun hari itu, kami berangkat menuju Wonosari, kota kecil yang kelak akan kami lalui sebelum sampai ke pantai. Ada beberapa orang teman yang berencana akan ikut serta, namun akhirnya hanya saya, Anisa Rahardini, Putu Dian Pratiwi, dan Mbak Dhuma Melinda Harahap yang jadi berangkat. Sebetulnya, ini entah kali keberapa kami menelusuri pantai-pantai di Gunungkidul, namun entah kenapa kami masih saja salah jalan. Saat itu, Dian yang bertindak sebagai navigator perjalanan kami kala itu, berniat mengarahkan kami dengan menempuh jalan pintas yang tak memakan banyak waktu. Selain itu, menurut Dian sang navigator, biar kami tak terjebak keramaian di Wonosari



Singkat cerita, setelah sempat kebingungan, tiba-tiba kami menemukan sedikit keanehan. Saya seperti mengenal apa yang saya lihat di depan, sebuah bundaran kecil yang di dalamnya ada taman sebagai hiasan. Itu Wonosari! Artinya, kami telah memutar jalan hingga kembali harus ke pusat ibu kota Gunungkidul itu. Maka, tertawalah kami atas kejadian siang itu. Oleh karena sudah berada di pusat kota, maka kami pun memutuskan untuk makan terlebih dahulu di sebuah warung, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Setelah melewati jalan yang berkelok dan turun naik, menikmati hijaunya pemandangan sepanjang jalan, maka sampailah kami di pintu gerbang masuk Pantai Ngobaran, Nguyahan dan Ngrenehan. Seorang petugas menghampiri kami, menyerahkan empat lembar kertas sebagai bukti biaya masuk. Seorang dikenakan Rp 3.000. Beberapa menit kemudian, sampailah kami di pantai-pantai itu.


Wow, pengunjung cukup ramai hari itu. Maklum hari libur di akhir pekan. Setelah memarkir mobil, di bawah rintik hujan yang mulai turun, kami pun menelusuri pantai yang berbukit. Hujan semakin deras, kami singgah di sebuah warung di Pantai Nguyahan, seraya menikmati es kelapa muda. Hujan reda. Kami pun turun ke bibir Pantai Nguyahan. Berjalan di atas bulir-bulir pasir pantai yang eksotis. Setelahnya, saya menaiki sebuah bukit, disusul Dian beberapa menit kemudian untuk menikmati keindahan pantai-pantai itu dari ketinggian. Di atas bukit itu terdapat sebuah pura. Sedangkan di bawah sana, komplek pura yang jauh lebih besar menambah keindahan Pantai Ngobaran.

Dari atas bukit itu pula, kami bisa sekilas melihat keindahan Pantai Ngrenehan yang terkenal akan kapal-kapal nelayan penghasil ikan. Setelah agak lama, kami pun turun dan segera memasuki komplek pura yang sekejap seolah mengantar kita ke Pulau Dewata Bali. Ah, begitu nikmatnya bermain di tepi pantai. Salam traveler!

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di Detik.Com dengan judul "Bayar Rp. 3.000, Nikmati 3 Pantai di Gunungkidul" oleh penulis yang sama)

MENIKMATI MEGAHNYA PUTRAJAYA

Selain ke Kuala Lumpur, wisatawan yang ke Malaysia biasanya juga mampir ke Putrajaya. Inilah pusat pemerintahan di Malaysia nan megah, walau lebih sepi dari Kuala Lumpur. Ada danau buatan, sampai bangunan artistik.
Selama ini, Kuala Lumpur memang dikenal dunia sebagai ibukota sekaligus pusat pemeintahan Malaysia. Sekalipun demikian, sejak 19 Oktober 1995, posisi pusat pemeintahan diambil alih oleh Putrajaya, sebuah kawasan seluas 46 KM persegi.











(Foto-foto yang sama juga bisa dilihat di Detik,Com dengan judul "Menikmati Megahnya Putrajaya" oleh photografer yang sama)

MENGINTIP PRAMUGRASI AIRASIA DANDAN SAMPAI EVAKUASI

AirAsia adalah salah satu maskapai favorit para traveler. Adalah pengalaman langka bisa melihat para pramugarinya berlatih, dari berlatih dandan sampai berlatih evakuasi dalam situasi darurat. Sejumlah penghargaan kelas dunia berhasil diraih oleh maskapai berbiaya murah ini. Mau tahu rahasis sukses mereka? Ternyata itu adalah latihan serius di komplek Asian Aviation Centre of Excellence (AACE) di Sepang, Malaysia. Di sana ada alat simulasi yang digunakan oleh para calon pilot. Ada tempat simulasi penurunan penumpang apabila terjadi emergency. Ada kolam tempat pelatihan oleh calon pramugari apabila terjadi pendaratan darurat di air. Di AACE, calon pramugara dan pramugari juga dilatih tata cara berdandan.











(Foto-foto yang sama juga bisa dilihat di Detik.Com dengan judul "Mengintip Pramugari AirAsia Dandan Sampai Evakuasi" oleh photografer yang sama)

Rabu, 10 Desember 2014

Liburan Imlek di Bangka, Ayo ke Pantai Matras!

Kalau liburan Imlek ke Bangka, ada banyak yang seru selain melihat kelenteng. Nikmatilah suguhan cantik Pantai Matras yang sudah menunggu Anda untuk bersantai di pesisir sembari menikmati deburan ombak. Pantai cantik ini yang panjangnya sekitar 3 kilometer, dengan lebar 20-30 meter. Saking panjangnya, pantai ini disebut-sebut sebagai pantai terpanjang di Pulau Bangka. Pantai Matras terletak tepat di utara Pantai Parai Tenggiri, di Kota Sungailiat, kota terbesar kedua di Pulau Bangka setelah Pangkalpinang.









Foto-foto yang sama juga bisa dilihat di Detik.Com dengan judul "Liburan Imlek di Bangka, Ayo ke Pantai Matras!" oleh photografer yang sama.

Selasa, 02 Desember 2014

SELAMAT DATANG DI SEMBUNGAN, DESA TERTINGGI DI PULAU JAWA

Dari sekian banyak desa yang bisa dikunjungi traveler, tampaknya Desa Sembungan adalah yang paling menarik. Desa yang ada di dataran tinggi Dieng ini berada di ketinggian 2.306 mdpl dan jadi yang tertinggi di Pulau Jawa. Wow! Dataran tinggi Dieng memang menyajikan kombinasi pemandangan yang menarik. Selain kecantikann Telaga Warna yang sudah tersohor, legenda rambut gimbal di Kawah Sikidang, Candi Arjuna, golden sunrise di puncak Sikunir, flora Carica yang khas, serta masih banyak lagi.


Ada satu lagi fenomena di Dieng yang membuat saya terkagum-kagum, yakni Sembungan, yang ternyata adalah desa tertinggi di Pulau Jawa. Sungguh menakjubkan bukan? Itulah sebabnya tak lama lalu, saya kembali mengunjungi Dieng untuk yang kedua kalinya. Satu tahun yang lalu, saya sempat berkunjung ke Dieng bersama beberapa orang teman, termasuk Adam Wijaya Medantara, laki-laki gagah asli Wonosobo yang bertindak sebagai tour guide sekaligus tuan rumah bagi kami di tananah kelahiran yang selalu ia banggakan itu.

Apabila dulu kami diajaknya mengunjungi Candi Arjuna, Kawah Sikidang, Telaga Warna, lalu naik perahu mengarungi Telaga Menjer, maka kali ini kami diajaknya menyaksikan golden sunrise di puncak Sikunir sebagai tujuan utama. Pukul 03.00 WIB, saya, Anisa Rahardini gadis Magelang, dan Putu Dian Pratiwi gadis Bali yang unik itu, serta Adam sendiri, memaksakan diri kami masing-masing membuka mata, membebaskannya dari rasa kantuk yang sulit dilawan.

Maklum, selain cuaca di Wonosobo yang dingin, perjalanan melelahkan dari Yogyakarta sehabis magrib itu pun sepertinya menjadi penyebab utama. Ditambah pula siangnya kami harus berhadapan dengan seorang profesor di kampus, menjalankan ujian lisan satu mata kuliah. Namun akhirnya kami berhasil bangun, dan segera menuju puncak Sikunir, membelah hitamnya dinihari di Wonosobo.



Sepanjang jalan yang berkelok, naik turun, dan di balik jendela kaca mobil yang masih berembun, sesekali kami melihat penduduk setempat yang mulai menjalanakan aktivitas mereka sehari-hari. Ibu-ibu terlihat membawa sayur mayur, bapak-bapak mengangkut kentang dalam karung, serta mobil pengangkut aneka hasil bumi pada sebuah pasar. Pemandangan yang sangat unik, sebab kain sarun selalu terikat kuat di leher mereka. Pemandangan unik khas Dieng saya kira.


Selain itu, dari jalan yang berkelok diatas perbukitan, dengan leluasa kami juga bisa menyaksikan keindahan pemukiman penduduk yang berkelip oleh cahaya lampu. Dinihari itu, kami menyebut pemandangan itu sebagai Bukit Bintang-nya Wonosobo. Di Yogyakarta, Bukit Bintang adalah kawasan perbukitan di jalan Wonosari, tempat dimana kita bisa melihat Yogyakarta dengan leluasa dari atas ketinggian. Bedanya, cuaca di Wonsosobo dinging sekali.

Singkat cerita, sampailah kami di depan sebuah masjid. Masjid itu cukup besar, ada tiga lantai seingat saya. Itulah masjid milik masyarakat Desa Sembungan, yang disebut-sebut Adam sebagai desa tertinggi di Pulau Jawa. Sepanjang perjalanan, berkali-kali kawan saya yang makmur itu mengatakan perihal itu. Sangat bangga dia dengan predikat itu rupanya. Saya tak heran lagi. Saya sudah cukup paham bagaimana Adam yang menggebu-gebu bila sudah membanggakan sesuatu, termasuk perihal Dieng.

Mulanya, saya tak percaya begitu saja dengan ucapan Adam. Bukan sebab Adamm yang terlampau sering berbohong, melainkan seingat saya desa tertinggi di Pulau Jawa itu adalah Ranu Pane, desa di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Senmeru di Jawa Timur. Saya tak membantah Adam, sebab saya pun masih ragu dengan apa yang saya ketahui kala itu. Ah, mungkin saja Adam benar, saya yang keliru, atau bisa jadi sebaliknya. Subuh menjelang, malam masih hitam, sehingga tak ada tulisan yang bisa kami lihat yang menginformasikan perihak predikat desa itu.


Paginya, saat kami keluar meninggalkan Desa Sembungan, maka terkuaklah perihal desa tertinggi itu. Pada sebuah pintu gerbang yang berdiri gagah di pintu masuk desa, tertera tulisan," Welcome To Sembungan Village, Desa Tertinggi di Pulau Jawa". Ternyata Adam tak sedang bersenda, dan saya keliru. Selanjutnya saya pun mengerti, Desa Ranupane itu desa terakhir sebelum mendaki Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa, bukan desa tertinggi. Setelah saya cari informasi, ternyata tinggi desa ini sekitar 2306 mdpl. Wow!

Sembungan tidak hanya sekadar menyandang gelar itu saja, melainkan banyak keindahan alam yang ditawarkan di desa ini. Selain cuacanya yang dingin tentunya, perkebunan Carica yang terhampar hampir disetiap sudut desa, begitu banyak tempat wisata yang menjadi buruan para pelancong, seperti golden sunrise di Bukit Sikunir, Telaga Cebong, Gunung Pakuwojo, dan Curug Sikarim. Nah, tunggu apalagi, datanglah dan rasakan sensasi desa tertinggi di Pulau Jawa. Salam traveler!

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Selamat Datang di Sembungan, Desa Tertinggi di Pulau Jawa" oleh penulis yang sama)

LONG WEEKEND DI BANGKA, KUNJUNGI PANTAI PARAI TENGGIRI

Jika kebetulan libur panjang kali ini Anda sedang melancong ke Bangka, jangan lupa menengok pantai yang satu ini. Pantai Parai Tenggiri, cantiknya membuat siapa saja lupa diri! Saat pulang ke Pulau Bangka, saya pasti selalu mencuri-curi waktu untuk menyempatkan diri mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada di sana. Terutama wisata pantai yang memang menjadi sektor wisata andalan daerah ini.


Pada saat pulang liburan beberapa bulan yang lalu misalnya, saya bersama seorang sepupu pergi ke Pantai Parai Tenggiri, pantai ikonik yang selama ini telah menjadi semacam identitas bagi Pulau Bangka. Sudah lama saya tak mengunjungi pantai ini. Kalau tak salah ingat, sekitar tiga tahun yang lalu terakhir saya kesana. Nah, mumpung lagi pulang ke Bangka, sekalian saja saya menyambangi pantai itu. Apalagi dengar-dengar, fasilitas di pantai ini semakin bertambah. Benar ternyata, cottage-cottage semakin menjalar panjang mengikuti garis pantai. Semakin indah saja pantai ini.



Sebelum pulang, dalam hati saya memang sudah berencana untuk mengunjungi sejumlah pantai yang ada di Bangka bila kelak sudah tiba di sana, termasuk Pantai Parai Tenggiri. Alhamdulillah, rencana itu akhirnya terwujud juga. Menggunakan sepeda motor matic milik Umak (panggilan terhadap Ibu bagi sebagian orang Bangka), saya bersama sepupu meluncur dari kampung halaman di paling ujung selatan Pulau Bangka, Desa Pasirputih namanya.

Sesampai di Pangkalpinang, kami melanjutkan perjalanan menuju Kota Sungailiat, tempat di mana Pantai Parai Tenggiri berada. Nah, jarak dari kampung halaman dengan Pangkalpinang lumayan jauh, sekitar 150 km. Tapi, jarak antara Pangkalpinang dengan Pantai Parai Tenggiri tidak jauh, kurang lebih 40 km atau sekitar setengah jam perjalanan normal.

Setelah melewati sejumlah ruas jalan di Kota Sungailiat yang asri, akhirnya sampailah kami di Pantai Parai Tenggiri. Sebelum masuk area pantai, terlebih dahulu kita harus membayar retribusi sebesar Rp 25.000/ orang. Lumayan mahal, maklum pantai ini memang sudah dikelola secara profesional oleh sebuah perusahaan. Lagipula, bukti tanda masuk itu bisa ditukar dengan minuman ringan yang sudah disediakan pengelola di sebuah gerai.

Senja mulai datang. Langit di atas Pantai Parai Tenggiri pun pelan-pelan berwarna orange. Angin pantai yang sejuk pun menyambut kedatangan kami. Wah, ternyata benar kata orang-orang, Pantai Parai Tenggiri semakin cantik. Saya pun tak lupa mengabadikan setiap keindahan yang disajikan dengan sebuah kamera saku.

Wisatawan cukup ramai kala itu, apalagi saat saya pulang ke sana. Ada acara level nasional yang sedang berlangsung. Peserta dari seluruh provinsi tumpah-ruah. Mereka tentu saja tidak melewati kesempatan itu untuk mengunjungi pantai-pantai pasir putih yang ada di sana.

Pasir pantai di Pantai Parai Tenggiri tampaknya selalu terjaga kebersihannya. Sesekali saya melihat beberapa orang petugas sedang membersihkan pantai dari rumput laut, yang sesekali terdampar terbawa ombak yang lumayan besar kala itu. Namun ombak yang besar itu tidak mempengaruhi sejumlah wisatawan untuk bermain bola di pantai. Apalagi pantai di antara garis pantai menuju Rock Island, pulau yang menjadi ciri khas Pantai Parai Tenggiri. Bahkan pantai itu cukup lapang digunakan untuk bermain bola sekalipun.

Puas menikmati semilir angin pantai yang sejuk, kami pun langsung menyeberangi jembatan menuju Rock Island, sebuah pulau yang dianugerahi batu-batu granit berukuran raksasa. Selain itu, di pulau ini juga ditumbuhi pepohonan yang membuat suasana kian terasa sejuk. Anda pun bisa memesan makanan di sebuah restoran di pulau ini. Seraya menikmati keindahan alam Pantai Parai Tenggiri. Di sebelah utara jembatan, Anda dapat menyaksikan hamparan batu granit yang melimpah ruah.


Sejumlah fotografer terlihat memanfaatkan keindahan itu pada sebuah senja. Wah, tak henti-hentinya saya berdecak menyaksikan pemandangan yang sudah lama tidak saya alami itu. Saya pun tak  mau kalah dengan para fotografer itu. Secara bergiliran, kami mengabadikan diri berfoto dengan latar bebatuan granit khas Pulau Bangka yang bertebaran di setiap sudut pantai disana. Yah, meskipun hanya dengan kamera saku, namun hasilnya tetap luar biasa. Penyebabnya, apalagi kalu bukan latar belakang Pantai Parai Tenggiri yang memang sudah indah tak terkata. Selamat berlibur ke Bangka!

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Long Weekend di Bangka, Kunjungi Pantai Parai Tenggiri" oleh penulis yang sama)