Dari sekian banyak desa yang bisa dikunjungi traveler, tampaknya Desa
Sembungan adalah yang paling menarik. Desa yang ada di dataran tinggi
Dieng ini berada di ketinggian 2.306 mdpl dan jadi yang tertinggi di
Pulau Jawa. Wow! Dataran tinggi Dieng memang menyajikan kombinasi
pemandangan yang menarik. Selain kecantikann Telaga Warna yang sudah
tersohor, legenda rambut gimbal di Kawah Sikidang, Candi Arjuna, golden
sunrise di puncak Sikunir, flora Carica yang khas, serta masih banyak
lagi.
Ada satu lagi fenomena di Dieng yang membuat saya
terkagum-kagum, yakni Sembungan, yang ternyata adalah desa tertinggi di
Pulau Jawa. Sungguh menakjubkan bukan? Itulah sebabnya tak lama lalu,
saya kembali mengunjungi Dieng untuk yang kedua kalinya. Satu
tahun yang lalu, saya sempat berkunjung ke Dieng bersama beberapa orang
teman, termasuk Adam Wijaya Medantara, laki-laki gagah asli Wonosobo
yang bertindak sebagai tour guide sekaligus tuan rumah bagi kami di
tananah kelahiran yang selalu ia banggakan itu.
Apabila dulu kami diajaknya mengunjungi Candi Arjuna, Kawah Sikidang, Telaga Warna, lalu naik perahu mengarungi Telaga Menjer, maka kali ini kami diajaknya menyaksikan golden sunrise di puncak Sikunir sebagai tujuan utama. Pukul 03.00 WIB, saya, Anisa Rahardini gadis Magelang, dan Putu Dian Pratiwi gadis Bali yang unik itu, serta Adam sendiri, memaksakan diri kami masing-masing membuka mata, membebaskannya dari rasa kantuk yang sulit dilawan.
Maklum, selain cuaca di Wonosobo yang dingin, perjalanan melelahkan dari Yogyakarta sehabis magrib itu pun sepertinya menjadi penyebab utama. Ditambah pula siangnya kami harus berhadapan dengan seorang profesor di kampus, menjalankan ujian lisan satu mata kuliah. Namun akhirnya kami berhasil bangun, dan segera menuju puncak Sikunir, membelah hitamnya dinihari di Wonosobo.
Apabila dulu kami diajaknya mengunjungi Candi Arjuna, Kawah Sikidang, Telaga Warna, lalu naik perahu mengarungi Telaga Menjer, maka kali ini kami diajaknya menyaksikan golden sunrise di puncak Sikunir sebagai tujuan utama. Pukul 03.00 WIB, saya, Anisa Rahardini gadis Magelang, dan Putu Dian Pratiwi gadis Bali yang unik itu, serta Adam sendiri, memaksakan diri kami masing-masing membuka mata, membebaskannya dari rasa kantuk yang sulit dilawan.
Maklum, selain cuaca di Wonosobo yang dingin, perjalanan melelahkan dari Yogyakarta sehabis magrib itu pun sepertinya menjadi penyebab utama. Ditambah pula siangnya kami harus berhadapan dengan seorang profesor di kampus, menjalankan ujian lisan satu mata kuliah. Namun akhirnya kami berhasil bangun, dan segera menuju puncak Sikunir, membelah hitamnya dinihari di Wonosobo.
Sepanjang jalan yang
berkelok, naik turun, dan di balik jendela kaca mobil yang masih
berembun, sesekali kami melihat penduduk setempat yang mulai
menjalanakan aktivitas mereka sehari-hari. Ibu-ibu terlihat membawa
sayur mayur, bapak-bapak mengangkut kentang dalam karung, serta mobil
pengangkut aneka hasil bumi pada sebuah pasar. Pemandangan yang sangat
unik, sebab kain sarun selalu terikat kuat di leher mereka. Pemandangan
unik khas Dieng saya kira.
Selain
itu, dari jalan yang berkelok diatas perbukitan, dengan leluasa kami
juga bisa menyaksikan keindahan pemukiman penduduk yang berkelip oleh
cahaya lampu. Dinihari itu, kami menyebut pemandangan itu sebagai Bukit
Bintang-nya Wonosobo. Di Yogyakarta, Bukit Bintang adalah kawasan
perbukitan di jalan Wonosari, tempat dimana kita bisa melihat Yogyakarta
dengan leluasa dari atas ketinggian. Bedanya, cuaca di Wonsosobo
dinging sekali.
Singkat cerita, sampailah kami di depan sebuah masjid. Masjid itu cukup besar, ada tiga lantai seingat saya. Itulah masjid milik masyarakat Desa Sembungan, yang disebut-sebut Adam sebagai desa tertinggi di Pulau Jawa. Sepanjang perjalanan, berkali-kali kawan saya yang makmur itu mengatakan perihal itu. Sangat bangga dia dengan predikat itu rupanya. Saya tak heran lagi. Saya sudah cukup paham bagaimana Adam yang menggebu-gebu bila sudah membanggakan sesuatu, termasuk perihal Dieng.
Mulanya, saya tak percaya begitu saja dengan ucapan Adam. Bukan sebab Adamm yang terlampau sering berbohong, melainkan seingat saya desa tertinggi di Pulau Jawa itu adalah Ranu Pane, desa di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Senmeru di Jawa Timur. Saya tak membantah Adam, sebab saya pun masih ragu dengan apa yang saya ketahui kala itu. Ah, mungkin saja Adam benar, saya yang keliru, atau bisa jadi sebaliknya. Subuh menjelang, malam masih hitam, sehingga tak ada tulisan yang bisa kami lihat yang menginformasikan perihak predikat desa itu.
Singkat cerita, sampailah kami di depan sebuah masjid. Masjid itu cukup besar, ada tiga lantai seingat saya. Itulah masjid milik masyarakat Desa Sembungan, yang disebut-sebut Adam sebagai desa tertinggi di Pulau Jawa. Sepanjang perjalanan, berkali-kali kawan saya yang makmur itu mengatakan perihal itu. Sangat bangga dia dengan predikat itu rupanya. Saya tak heran lagi. Saya sudah cukup paham bagaimana Adam yang menggebu-gebu bila sudah membanggakan sesuatu, termasuk perihal Dieng.
Mulanya, saya tak percaya begitu saja dengan ucapan Adam. Bukan sebab Adamm yang terlampau sering berbohong, melainkan seingat saya desa tertinggi di Pulau Jawa itu adalah Ranu Pane, desa di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Senmeru di Jawa Timur. Saya tak membantah Adam, sebab saya pun masih ragu dengan apa yang saya ketahui kala itu. Ah, mungkin saja Adam benar, saya yang keliru, atau bisa jadi sebaliknya. Subuh menjelang, malam masih hitam, sehingga tak ada tulisan yang bisa kami lihat yang menginformasikan perihak predikat desa itu.
Paginya, saat kami keluar meninggalkan Desa Sembungan, maka terkuaklah perihal desa tertinggi itu. Pada sebuah pintu gerbang yang berdiri gagah di pintu masuk desa, tertera tulisan," Welcome To Sembungan Village, Desa Tertinggi di Pulau Jawa". Ternyata Adam tak sedang bersenda, dan saya keliru. Selanjutnya saya pun mengerti, Desa Ranupane itu desa terakhir sebelum mendaki Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa, bukan desa tertinggi. Setelah saya cari informasi, ternyata tinggi desa ini sekitar 2306 mdpl. Wow!
Sembungan tidak hanya sekadar menyandang gelar itu saja, melainkan banyak keindahan alam yang ditawarkan di desa ini. Selain cuacanya yang dingin tentunya, perkebunan Carica yang terhampar hampir disetiap sudut desa, begitu banyak tempat wisata yang menjadi buruan para pelancong, seperti golden sunrise di Bukit Sikunir, Telaga Cebong, Gunung Pakuwojo, dan Curug Sikarim. Nah, tunggu apalagi, datanglah dan rasakan sensasi desa tertinggi di Pulau Jawa. Salam traveler!
(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Selamat Datang di Sembungan, Desa Tertinggi di Pulau Jawa" oleh penulis yang sama)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar