Tampilan akun saya di detikTravel, diambil pada tanggal 16 Mei 2014 |
Saya gemar bepetualang, saya pun suka melukis, saya pun punya cita-cita
ingin menjadi seorang penulis hebat serupa Andrea Hirata, penulis Laskar
Pelangi yang lahir di provinsi yang sama dengan saya, Kepulauan Bangka
Belitung. Sedari saya menempuh pendidikan di tanah kelahiran saya di Pulau
Bangka, hingga akhirnya saya mendapatkan gelar sarjana disana, sampai akhirnya
saya kembali kuliah strata selanjutnya di Yogyakarta, telah banyak tempat yang
saya datangi bersama-sama teman kuliah. Saat dulu saya kuliah di Fakultas Hukum
di Universitas Bangka Belitung, hampir seluruh pantai-pantai cantik yang
mengelilingi Pulau Bangka telah berhasil saya tapaki.
Cerita demi cerita pun berhasil kami rangkai, termasuk saat dimana kami
harus kehilangan tas yang berisi dompet, handphone, dan pakaian saat kami
bersama berpetualang di Pantai Tanjung Kelayang, tak jauh dari Pantai Parai
Tenggiri di Pulau Bangka. Inilah peristiwa singkat yang selanjutnya
menggabungkan kami dalam sebuah komunitas kecil bernama D'Bolang'z, nama yang
kami ambil dari nama sebuah acara petualangan anak di Trans 7. Hanya saja,
bila Bolang di Trans 7 akronim dari Bocah Petualang, maka Bolang kami adalah
Bocah Malang, karena baru saja kehilangan saat berpetualangan. Intinya, kami
juga suka bepetualang serupa anak-anak dalam salah satu program TV favorit
saya itu.
Ini dia, petualangan penuh cerita di Pantai Tanjung Kelayang, Pulau Bangka |
Akhirnya, sampailah saya menapakkan kaki di Pulau Jawa untuk sekolah lagi,
setelah sempat bekerja selama satu tahun lebih pada cabang sebuah bank swasata
nasional di Pangkalpinang. Semula, saya ingin sekolah di Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro di Semarang. Saya pun menuju ibukota Jawa
Tengah itu setelah sempat singgah beberapa malam di Bandung, terbang ke
Yogyakarta beberapa hari berikutnya, dan naik bus dari terminal Jombor di
Sleman menuju Semarang. Saya mengamati kota Semarang yang kelak, setidaknya itu
yang ada dalam pikiran saya kala itu, akan menjadi tempat tinggal saya selama
saya menimba ilmu di sini. Suasana kota yang tak jauh beda dengan kota-kota
lain yang pernah saya datangi, termasuk pula Jakarta sang ibukota negara
tercinta.
Namun, entak kenapa, sekonyong-konyong saya merasa kurang nyaman dengan
Semarang, apalagi bila saya membandingkannya dengan Yogyakarta yang beberapa
hari sempat saya jelajahi. Saya mulai merasa gelisah, sebelum akhirnya
memutuskan dengan bulat untuk sekolah di Yogyakarta saja, apapun kampus yang
kelak akan menerima saya sebagai mahasiswa. Sekalipun demikian, esok harinya
saya tetap mengikuti seleksi ujian masuk di kampus Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro di wilayah Simpang Lima. Setelahnya, bersama Pak Dwi
Haryadi, dosen saya yang sedang studi S3 di kampus yang sama, Rangga Maradona
yang ikut seleksi Magister Kenotariatan di fakultas dan universitas yang sama
pula, kami menjelajahi Semarang yang menyajikan perpaduan bangunan klasik
peninggalan zaman dahulu serta perkembangan Semarang yang modern dengan
gedung-gedung yang mulai menjulang. Sebulan setelahnya, saya pun dinyatakan
diterima di Universitas Diponegoro.
Bersama Pak Dwi, di depan Lawang Sewu, Semarang. |
Menumpang sebuah bus, saya kembali ke Yogyakarta. Saya pun mendaftar di
Program Studi Magister Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada. Sedikit
pun saya tak berharap bisa diterima di kampus nomor wahid di Indonesia itu.
Bagaimana tidak, sepanjang yang saya tahu, orang-orang yang berhasil lulus
untuk kulaih disini adalah orang pilihan dengan kualitas otak yang mumpuni,
orang-orang cerdas yang berhasil menyisihkan ribuan pendaftar lain. Lulusan
kampus negeri pertama di Indonesia ini juga sudah terjamin kualitasnya, tak
usah diragukan lagi. Tambahan pula, pihak pengelola mempunyai cara tersendiri
untuk menyeleksi mahasiswa yang kelak akan diterima, yakni tes psikologi yang
dikemas dalam bentuk PAPS (Potensi Akademik Pasca Sarjana),dan tes bahasa
Inggris TOEFL yang dikemas dalam bentuk ACEPT (Academic English Proficiency
Test) ala UGM. Itu sebabnya, demi kuliah di Yogyakarta, bukan di Semarang, saya
pun mendaftar pula di program dan fakultas yang sama, tapi di universitas
berbeda, yakni Universitas Islam Indonesia (UII).
Namun, alhamdulillah, saat berpetualang di ibukota negara, saya mengakses
pengumuman via dunia maya, saya mendapati nama seorang Darwance diterima di
Universitas Gadjah Mada. Maka, dimulailah petualangan saya di tanah Jawa.
Selain untuk sekolah, hal lain yang kelak akan saya jalani selama tinggal di
Yogayakarta tak lain adalah berpetualang. Apalagi, selain sebagai kota pelajar,
daerah pimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono X itu dikenal sebagai daerah tujuan
wisata yang menawarkan beragam keunikan, mulai dari budaya masyarakatnya,
peninggalan sisa peradaban masa lalu berupa candi-candi, hingga kecantikan alam
yang dikemas dalam bentuk goa dan pantai-pantai yang ada di pesisir selatan
Yogyakarta. Semuanya sebisa mungkin saya jelajahi, selama saya berada di tanah
Jawa. Namun, sebisa mungkin petualangan saya itu saya jalani dengan tidak
menganggu jadwal kuliah yang menjadi prioritas utama.
Letak Yogyakarta yang strategis,setidaknya menurut saya, yang berada
ditengah-tengah Pulau Jawa, menjadikan jarak tempuh antara Yogyakarta dengan
destinasi wisata lain yang ada disekitarnya menjadi lebih mudah, seperti
Yogyakarta-Jakarta, Yogyakarta-Bandung, Yogyakarta-Solo, Yogyakarta-Semarang,
Yogyakarta-Surabaya, termasuk pula Yogyakarta-Malang. Apabila ada waktu, maka
sesekali saya bersama teman-teman kuliah pun berpetualang keluar Daerah
Istimewa Yogyakarta itu, menjelajahi situs wisata yang ada disana.
Suatu waktu, untuk kali pertama dalam hidup, saya bersama beberapa orang
teman naik kereta api tengah malam dari Solo menuju Malang, hendak mendaki
pundak bumi menuju Semeru. Sekalipun tujuan kami sesuai rencana semula adalah
Ranu Kumbolo, namun itulah pengalaman saya sebagai anak pantai mendaki
naik-turun perbukitan, berbelok kiri-kanan menelusuri jalan setapak, hanya demi
satu tujuan, melihat dengan mata kepala sendiri serupa apa kecantikan Ranu
Kumbolo yang terlukis di di sebuah film 5 CM itu. Semua petualangan saya itu,
petualangan saya bersama-sama teman-teman di Pulau Bangka, sampai akhirnya
saya bertemu dengan teman-teman yang tak kalah hebat di Pulau Jawa, saya
salurkan melalui lukisan cerita petualangan dalam bentuk tulisan di situs
berita online yang khusus mengupas masalah pariwisata.
Saat hendak menuju Ranu Kumbolo di pundak Semeru |
Saya gemar berpetualang, saya suka menulis, saya pun bercita-cita ingin
menjadi seorang penulis serupa Andrea Hirata, gabungan kegemaran saya yang
kelak mengantarkan saya untuk kali pertama kalinya menginjakkan kaki di negeri
orang, Malaysia. Oleh sebab saya gemar berpetulang yang sering saya sebut
sendiri dengan istilah "ngebolang", maka saya pun sering membuka
berita perihal tempat wisata, termasuk pula di dunia maya. Melalu akun twitter
yang saya buat sejak tahun 2009 yang lalu, saya mengikuti beberapa akun yang
menyajikan berita perihal petualangan. Melalui akun-akun itu, sang pemilik
biasanya membagikan berita yang dimuat pada halaman berita yang mereka kelola.
Apabila ada berita yang sekiranya menarik, maka tanpa ragu saya mengklik link
yang tertera. Lumayan, untuk menambah pengetahun seputar destinasi wisata yang
kelak, apabila ada kesempatan, bisa kita datangi.
Dari sekian banyak akun yang saya ikuti, ada satu akun yang mengoneksikan
dengan halaman berita mereka, yang cukup menarik perhatian saya. Mulanya saya
heran sekali dengan situs berita itu. Selain berita yang disajikan sangat
beragam, dari Sabang sampai Merauke, dari ujung dunia ke ujung dunia lagi,
seolah wartawan situs ini bertebaran ada dimana-mana. Sampai-sampai daerah
terpencil yang ada didaerah terpencil sekalipun, ada di situs itu. Lha,
bagaimana ceritanya coba? Saya pun mulai membedah situs itu, membuka halaman
demi halam berita yang saya baca, melihat nama-nama sang penulis cerita.
Alamak, nama penulisnya berbeda-beda, banyak pula.
Siapa mereka-mereka itu, saya tak henti-henti dalam hati bertanya. Lantas,
dibelakang nama penulis berita ada kata "dtraveler". Apalagi itu?
Sesingkat pengetahuan saya, travel artinya bepergian, apabila ditambah dengan
akhiran -er, maka artinya menjadi orang yang bepergian. Saya mulai paham.
Namun, mengapa ada huruf D di hadapan kata itu? Akhirnya saya menyimpulkan
sendiri, mungkin saja D itu singkatan dari kata "the", biar lebih
keren maka dibuat saja jadi huruf D saja. Atau, huruf D bisa saja singkatan
dari "detik", nama situs dengan alamat resmi www.detik.com. Itulah
situs yang beritanya sering dibagi melalui akun twitter @detikTravel itu.
Saya masih penasaran tentu saja. Setelah menyimpulkan bahwa berita yang
tertera di halaman situs travel.detik.com banyak ditulis oleh para pelancong
yang membagikan cerita petualangannya, tetapi saya masih belum memahani
bagaimana caranya para dtraveler itu menulis cerita mereka sehingga bisa
dipublikasi di halaman travel.detik.com. Saya pun memperhatikan setiap sudut
halaman berita travel.detik.com dengan seksama. Pada sebuah sudut, saya melihat
sebuah tulisan yang lebih kurang mempersilakan kepada siapapun yang sedang
membuka situs itu untuk menuliskan cerita dan foto-foto petualangan mereka.
Segera saya mengarahkan kursor bertanda anak panah itu pada salah satu
tulisan, tulisan untuk berbagi cerita. Layar selanjutnya menampilkan semacam
formulir untuk mengisi biodata. Itulah halaman bagi siapapun yang ingin berbagi
cerita di situs travel.detik.com, dengan terlebih dahulu mengisi sejumlah
biodata sebagai syarat untuk membuat akun dtraveler di travel.detik.com. Saya
pun mencoba membuat akun disana dengan nama Darwance Law, sama seperti
akun-akun jejaring sosial saya yang lain. Mulanya, akun yang telah berhasil
saya daftarkan itu saya tinggalkan begitu saja, tanpa ada cerita petualangan
yang saya bagikan. Padahal, telah banyak tempat yang telah saya datangi, di
Pulau Bangka, termasuk pula di Pulau Belitung, bahkan sampai disetiap sudut
Pulau Jawa.
Suatu ketika, saya menyadari bahwa potensi pariwisata tanah kelahiran saya
di Pulau Bangka yang kaya akan pantai-pantai yang jelita, tak banyak dibahas
oleh sejumlah media. Hanya beberapa destinasi saja yang sering dikupas, di
media online, cetak, termasuk pula oleh sejumlah program di televisi. Namun,
tempat yang diulas hanya itu-itu saja, tak hendak berpindah ke destinasi lain
yang barangkali jauh lebih potensial. Alhasil, pariwisata di pulau ini
berkembang dengan lamban, berbeda dengan Pulau Belitung yang melejit tak lain
karena Laskar Pelangi. Semula saya ingin mengulasnya di media blog yang saya miliki,
namun tampaknya kurang ada pembaca. Apalagi blog yang saya miliki belum berumur
lama.
Akhirnya, saya menjatuhkan pilihan untuk kembali membuka akun saya di
travel.detik.com yang sempat saya tinggalkan begitu saja. Saya masih ingat,
tulisan pertama kali yang saya buat adalah perihal Pantai Tanjung Kemirai di
Desa Pasirputih, Bangka Selatan. Saya pun masih ingat, bagaimana saya yang
hanya mengirim satu foto saja di artikel itu karena terlanjur mengklik tombol
"kirim", padahal travel.detik.com mensyaratkan minimal dua foto untuk
artikel. Beruntung, para awak traveldetik.com berbaik hati sehingga tulisan itu
terbit pula akhirnya.
Artikel tulisan pertama yang saya kirim ke detikTravel |
Pada awalnya, saya mengira tulisan yang telah kita kirim akan langsung
terpajang dihalaman travel.detik.com. Alamak, terlampau bodohnya saya, ternyata
tulisan itu terlebih dahulu harus dimoderasi oleh redaksi. Biaralah, tak
mengapa. Saya pun terus menulis perihal pantai-pantai lain yang ada di Pulau
Bangka, terutama yang jarang disentuh tukang berita. Dari hari ke hari, minggu
ke minggu, tak lekas saya melihat tulisan yang saya kirim itu terpajang.
Sudahlah, saya menghibur diri. Mungkin masih mengantri dengan tulisan lain yang
telah masuk terlebih dahulu, atau sialnya tulisan perihal pantai di Pulau
Bangka kurang berdaya jual tinggi. Saya menyerah berharap tulisan-tulisan itu
terpajang.
Suatu waktu, saat berada di perpustakaan Fakultas Hukum UGM, seperti biasa
saya membuka email saya. Siapa tahu ada pesan masuk yang penting. Mata saya
langsung terpaku oleh sebuah tulisan pada kota masuk, nama pengirimnya
detikTravel. Ada apa ini? Saya membukanya. Oh, ternyata pemberitahuan bila
salah satu tulisan saya sudah terpublikasi di halaman travel.detik.com. Seperti
sebelumnya, saat mengetahui tulisan-tulisan saya dimuat oleh media untuk kali pertama,
saya senang bukan main. Saya pun langsung mengirim link tulisan itu kepada
teman-teman yang mukanya ada di dalamnya melalu Blackberry Messenger, termasuk
pula memanjang link beritanya di kolom status BBM. Senang bukan main pokonya.
Judul tulisan yang kali pertama terbit adalah "Pantai Rambak, Si Cantik
dari Pulau Bangka".
Artikel berupa kumpulan foto pertama yang publish di halaman detikTravel |
Hari berikutnya, dengan malas-malasan saya mengetik nama saya di kotak
pencari google. Saya hanya ingin menengok foto-foto di blog saya apakah sudah
masuk di halaman pencarian google atau belum. Saya klik gambar, maka keluarlah
beberapa foto yang telah saya pajang di halaman darwance-law.blodspot.com.
Seketika, mata saya tertuju pada gambar pepohonan lada. Saya heran sekali.
Bukan apa-apa, foto itu hasil jepretan saya, tapi belum pernah saya isi di blog
saya. Lalu, bagaimana ceritanya foto itu bisa terpasang di google?
Saya langsung mengklik hendak memperbesar gambar itu. Pada sudut kanan bawah
foto itu tertera tulisan putih tipis "published by detikTravel". Ah,
jangan-jangan tulisan saya yang menceritakan perihal petualangan saya di
perkebunan lada milik ayah saya di Pulau Bangka itu dipublikasi oleh
travel.detik.com. Saya klik link menuju halaman berita yang memanjang foto itu.
Apa saya bilang, tulisan saya kembali di terima oleh redaksi. Lagi-lagi saya
senang, apalgi cerita perihal kebun lada ini sedikit pun tak mengira akan
diterima oleh redaksi. Namun rupanya tulisan ini justru yang paling disukai
redaksi, setidaknya itu yang diceritakan langsung oleh Mas Fitraya Ramadhanny
kepada saya suatu hari kelak. Buktinya, dua tulisan perihal lada setelahnya pun
kembali dipubilkasi dengan begitu cepat oleh redaksi.
Saat saya membuka berita perihal lada inilah, saya membaca perihal adanya
semacam perlombaan menulis cerita petualangan dengan hadiah utama jalan-jalan
ke Kuala Lumpur, Malaysia. Sponsor utamanya adalah maskapai AirAsia. Saya
sempat gugup. Manakala saya mengklik nama akun saya, yang terpampang dihadapan
saya adalah sepotong kalimat yang menyatakan bahwa saya adalah d'traveler of the
year 2013. Saya mengklik perintah selanjutnya, siapa tahu benar saya adalah
pemenang yang berhak ke negara tetangga. Oh, ternyata itu semacam pengingat
yang menggiring pada kita untuk melihat berada diperingkat berapa kita. 100+,
itulah peringkat yang tersemat pada akun Darwance Law.
Saya pun mempelajari lebih jauh lagi perihal perlombaan itu. Ada tiga
kategori, yakni the most published article, the most read article, dan the most
shared article. Saya pun melihat-lihat siapa saja yang bertengger di lima
teratas untuk masing-masing kategori, sekaligus yang kelak berhak hadiah
jalan-jalan ke Malaysia. Satu kategori pun tak ada nama saya. Pada kategori the
most published article, saya melihat jumlah artikel dtraveler yang bertengger
di peringkat satu sampai lima. Peringkat pertama, delapan puluhan artikel.
Sulit rasanya untuk mengejar jumlah artikel setinggi itu. Namun diperingkat
selanjutnya, hanya ada belasan artikel. Artinya, ada kesempatan bagi saya untuk
berada di posisi itu. Saat itu, penghujung Oktober 2013, setidaknya masih ada
dua bulan lagi sempai program ini ditutup di akhir tahun 2013.
Saya pun segera membuka foto-foto petualangan saya yang tersimpan rapi di
laptop, menulis cerita perjalanan serta gambaran daerah yang saya tujui, lalu
sebanyak mungkun saya kirim ke travel.detik.com. Setiap hari, saya selalu
berharap tulisan-tulisan, maupun foto-foto petualangan yang saya kirim itu
dipublikasi oleh redaksi. Cerita petualangan yang saya tulis mulanya banyak
bercerita perihal pertualngan saya di Pulau Bangka dulu. Sekalipun kelak saya
tak berhasil menjadi salah satu pemenang, paling tidak saya telah bercerita
perihal potensi wisata yang ada di Pulau Bangka, tanah kelahiran saya.
Satu demi satu, tulisan dan foto yang saya kirim dipublikasi. Saya senang
sekali. Saya melihat peringkat akun saya yang pelan-pelan ikut naik pula. Saya
kembali menulis tulisan dan foto lain, tak terkecuali seputar petualangan saya
selama tinggal di Yogyakarta, menelusuri setiap sudut keindahan alam Pulau
Jawa. Saya pun tak lupa mengirim cerita saya saat menyaksikan pernikahan agung
Keraton Yogyakarta, sebuah peristiwa langka yang saya yakini sangat ditunggu
oleh redaksi. Apa yang menjadi dugaan saya ternyata benar, hanya beberapa hari
kemudian artikel itu langsung dipublikasi. Peringkat saya langsung naik tinggi,
dari semula diatas 50 langsung melompat di sebuah angka dibawah angka itu.
Sampai akhirnya tibalah akun Darwance Law berada di 10 besar, menjelang akhir
tahun, sekaligus petanda program ini segera diakhiri.
Saat berada di peringkat 65 |
Saya semakin gugup. Beberapa tulisan dan foto kembali dipublikasi, peringkat
saya kembali naik. Sampai akhirnya, setelah artikel saya berjudul 'Kalian Harus
Datang ke Pantai Tanjung Kalian" mengantarkan akun saya untuk kali pertama
duduk di peringkat lima, peringkat yang kelak akan diikutsertakan ke Malaysia.
Saya senang bukan main, seraya berdoa semoga peringkat ini tetap bertahan, atau
menanjak naik bila perlu. Besoknya, peringkat itu kembali turun ke peringkat
enam. Saya kecewa bukan main, namun tetap berharap semoga naik kembali. Apalagi
sejumlah tulisan dan foto, yang mungkin karena tidak update lagi, foto-fotonya
kurang jelas menampilkan objek yang sedang diulas, terlampau sering dibahas,
atau alasan redaksi lain yang tidak saya ketahui, hilang dari daftar moderasi
atau tidak akan diterbitkan oleh redaksi. Hari demi hari, saya menunggu semoga
akan ada lebih banyak lagi tulisan dan foto yang saya kirim dipublikasi.
Kadang-kadang, saya kecewa bukan kepalang bila tahu tak ada satu pun tulisan
dan foto yang terbit hari itu. Namun kecewa itu berubah jadi girang bukan
kepalang setelah mengetahu ternyata, tanpa saya tahu, ada artikel yang
dipublikasi hari itu, bahkan lebih dari satu. Saya yakin, peringkat saya naik
kembali. Dugaan saya kembali benar, sampai akhirnya peringkat saya terus naik
ke peringkat dua, sekalipun akhirnya saya pada hari terakhir tahun 2013 akun
saya berada di peringkat ketiga. Sekalipun dilayar saya ditampilkan di
peringkat tiga, sekaligus menandakan saya menjadi salah seorang pemenang dari
lima pemenang di kategori the most published artcle, saya tetap gugup seraya
menunggu pengumnan secara resmi dari travel.detik.com.
Menaaaaang!!! |
Menjelang pertengahan Januari 2014, akhirnya para pemenang diumumnkan.
Alhamdulillah, nama saya ada didalamnya, berada di peringkat tiga kategori the
most published article. Saya pun berhak atas hadiah jalan-jalan seraya
mengikuti Airport and AirAsia Academy di Asian Aviation Cetre of Execcelence
(AACE) di Sepang, hadiah uang tunai Rp. 500.000, tiket domestik pulang-pergi
AirAsia, dan sebuah jaket dari detikTravel. Setelah melengkapi sejumlah
persyaratan administasi, sampailah dihari dimana kami akan terbang ke Malaysia
bersama AirAsia dari Jakarta.
Saat berada di Kuala Lumpur, Sang Ibukota Malaysia |
Para pemenang yang berasal dari luar Jakarta pun
dikirim e-tiket pesawat terbang pulang-pergi oleh detikTravel, termasuk saya
yang saat itu berada di Yogyakarta. Oh ya, untuk tiket domestik, saya memilih liburan ke Pulau Lombok sekaligus Pulau Bali selama satu minggu, via Adi Sutjipto International Airport di Yogyakarta ke I Gusti Ngurah Rai Intertional Airport di Bali. Demikian, "semoga menginspirasi", meminjam istilah Dr. Ibrahim, S.Fil., M,Si., dosen Universitas Bangka Belitung saat saya memberi ucapan selamat atas keberhasilan beliau memperoleh gelar doktor dari Universitas Gadjah Mada, beberapa hari sebelum saya berangkat ke Malaysia.
Ingin mengetahui kegiatan saya dan traveler lain selama di Malaysia? Klik "Perjuangan Menembus Aku Gunung Kelud Demi ke Malaysia". Lalu, bagaimana serunya petualangan saya memanfaatkan hadiah tiket gratis dari AirAsia bersama kawan-kawan di Bali dan Lombok? Tunggu link berikutnya!!! Hehe.
Ingin mengetahui kegiatan saya dan traveler lain selama di Malaysia? Klik "Perjuangan Menembus Aku Gunung Kelud Demi ke Malaysia". Lalu, bagaimana serunya petualangan saya memanfaatkan hadiah tiket gratis dari AirAsia bersama kawan-kawan di Bali dan Lombok? Tunggu link berikutnya!!! Hehe.