*) Artikel ini merupakan kelanjutan dari cerita petualangan singkat saya dalam "Rp.0 (Nol), Petualangan Saya Sampai ke Malaysia".
Saya gemar berpetualang, saya pun suka melukis, saya pun punya cita-cita ingin menjadi seorang penulis hebat serupa Andrea Hirata, penulis Laskar Pelangi yang lahir di provinsi yang sama dengan saya, Kepulauan Bangka Belitung. Sedari saya menempuh pendidikan di tanah kelahiran saya di Pulau Bangka, hingga akhirnya saya mendapatkan gelar sarjana di sana, sampai akhirnya saya kembali kuliah strata selanjutnya di Yogyakarta, telah banyak tempat yang saya datangi bersama-sama teman kuliah. Semua petualangan saya itu, di Pulau Bangka sampai di Pulau Jawa, saya salurkan melalui lukisan cerita pertualangan dalam bentuk tulisan di detikTravel.
Menjelang pertengahan Januari 2014, akhirnya para pemenang d'Traveler of The Year diumumkan. Alhamdulillah, nama saya ada di dalamnya, berada di peringkat tiga kategori The Most Published Article. Saya pun berhak atas hadiah jalan-jalan seraya mengikuti Airport and AirAsia Academy di Asian Aviation Centre of Execcelence (AACE) di Sepang, hadiah uang tunai Rp 500.000, tiket domestik pulang-pergi AirAsia, dan sebuah jaket dari detikTravel.
Pada tanggal 16 Februari 2014, sesuai rencana kami akan terbang ke Malaysia. Namun, pada malam hari tanggal 13 Februari 2014, Gunung Kelud yang ada di Kediri, Jawa Timur meletus tiba-tiba. Letusan itu menyemburkan abu vulkanik dengan jumlah yang sangat melimpah, menyembur tinggi, tertiup angin hingga akhirnya terbawa sampai ke Yogyakarta. Paginya, saya mendapati Yogyakarta penuh abu. Pagi yang seharusnya sudah terang oleh sinar matahari ternyata masih gulita serupa subuh menjelma. Saya cuma berharap, semoga Bandar Udara Internasional Adi Sutjipto tidak ditutup. Sehingga esoknya saya bisa terbang ke Jakarta, untuk selanjutnya bisa ke Malaysia.
Namun sayang, oleh karena volume abu yang cukup tebal, sejumlah televisi yang saya saksikan dari dalam kamar memberitakan perihal sejumlah bandara yang tutup, termasuk pula Adi Sutjipto. Sialnya, tidak tahu sampai kapan akan kembali dibuka. Saya langsung menuju Stasiun Lempuyangan, menerobos abu vulkanik yang kian menimbun jalan-jalan utama di Yogyakarta. Orang-orang mengendarai sepeda motor dengan sangat pelan dalam jarak pandang yang sangat dekat, menggunakan masker, termasuk pula saya. Sesampai di stasiun, pakaian saya penuh debu.
Stasiun sepi sekali. Saya langsung menuju ruang customer service, bertanya perihal tiket kereta yang masih kosong untuk ke Jakarta esok hari. Alhamdulillah, saya dapat tiket sebuah kereta api yang diberangkatkan dari Stasiun Tugu, menjelang maghrib esok hari. Saya sengaja membeli tiket kereta api, kalau-kalau besok bandara belum buka. Apabila bandara buka, maka tiket yang sudah saya beli akan saya kembalikan dengan pengembalian 75% harga.
Pagi-pagi, saya sudah terjaga, bersiap ke bandara. Saat hendak memanggil taksi di perempatan Kentungan, saya menelepon nomor yang kemarin saya lihat di sebuah kertas yang tertempel di Bandar Udara Internasional Adi Sutjipto. Rupanya itu nomor pengelola bandara. Bandara masih belum buka hari itu, begitu informasi yang saya terima dari suara di ujung telepon. Artinya, petang nanti saya harus menuju Jakarta naik kereta api.
Menjelang pukul 03.00 WIB, kereta bergerak pelan memasuki wilayah Jakarta. Saya turun di Stasiun Jatinegara, hendak menuju rumah seorang teman di Utan Kayu. Sebelumnya, saya mendapat pesan singkat bahwa acara yang semula akan berlangsung pukul 08.00 WIB di Soekarno Hatta Internasional Airport (SHIA) di Cengkareng, ditiadakan oleh karena maskapai AirAsia yang sedang berkonsentrasi mengantisipasi semburan abu letusan Gunung Kelud. Acara akan dimulai pukul 12.30 WIB. Sekalipun demikian, sekitar pukul 10.00 WIB saya keluar rumah setelah sempat tidur sejenak. Sudah janji dengan Anisa Rahardini untuk bertemu di shelter busway di Monumen Nasional.
Setelah sempat sarapan, jalan-jalan di sekitar Monas, saya langsung naik Damri di Gambir hendak ke Cengkareng. Anisa pun ikut mengantar saya ke Cengkareng. Setelah berpamitan dengan Anisa Rahardini, saya langsung menuju lantai 2 terminal 3 SHIA, bertemu dengan para pemenang lain yang sudah berkumpul pada sebuah restoran. Mereka adalah Pak Merza Gamal Syukur, Zulfan Ariansyah, Agus Rahmat, serta dua orang blogger Mas Eric Wijanarta dan Mbak Lucia Nancy. Selain mereka, ada Mbak Tina dari AirAsia, serta para awak detikTravel seperti Mas Fitraya Ramadhanny selaku managing editor, Mbak Putri Rizqi Hernasari, Mas Muhammad Miradi. Seraya menunggu terbang ke Malaysia, kami bercerita banyak hal seraya menikmati makanan dan minuman yang sudah kami pesan.
Pesawat AirAsia Indonesia dengan nomor penerbangan QZ8206 yang semula dijadwalkan berangkat sekitar jam setengah empat sore, oleh karena kendala harus diundur sampai menjelang pukul 19.00 WIB. Seraya menunggu, oleh Mas Satria Ramadhan dari AirAsia Indonesia yang kemudian tiba, kami diajak menuju sebuah lounge, seraya meghilangkan lelah dengan berpijat pada sebuah refleksi di Terminal 3 SHIA Cengkareng. Semuanya diinisiasi oleh pihak AirAsia Indonesia.
Menjelang pukul 19.00 WIB, kami berangkat ke Kuala Lumpur dengan pesawat AirAsia Indonesia. Sekitar pukul 22.00 waktu Malaysia yang satu jam lebih cepat dari Waktu Indonesia Barat (WIB), atau pukul 21.00 di Indonesia dengan zona waktu WIB, kami tiba di Terminal LCC Kuala Lumpur Interntional Airport (KLIA) di Sepang. Seorang perempuan paruh baya yang kelak kami panggil Mak Cik, menuntun kami keluar terminal LCC, menuju sebuah bus persiaran (bus pariwisata) yang dikemudikan seorang laki-laki yang kelak kami panggil Pak Cik. Mereka berasal dari sebuah agen travel di sana.
Selama kurang lebih satu jam perjalanan, setidaknya itu yang diutarakan oleh Mak Cik dengan gaya khas seorang pemandu wisata, kami akan menuju pusat Kuala Lumpur, sang ibukota negara Malaysia. Saya menyaksikan jalanan Malaysia yang sepi, kebalikan dari jalan di Jakarta, sang ibukota tercinta. Namun saya tak langsung membandingkan apa yang saya lihat dengan Jakarta, apalagi sampai mencerca Jakarta, sebab sebagaimana yang Mak Cik katakan, Kuala Lumpur tak seramai Jakarta. Sehingga wajar jalan-jalan di sana sepi. Apalagi, jumlah penduduk Malaysia hanya kurang lebih 28 juta jiwa, bandingkan dengan negara kita yang lebih dari 200 juta jiwa.
Cuaca Kuala Lumpur sangat panas, kata Mak Cik, tak macam Jakarta yang sesekali terasa dingin. Saya sedikit bangga manakala seorang yang bukan orang Indonesia, tiba-tiba menyanjung Jakarta yang di dalam negeri sendiri malah banyak dicerca warganya sendiri. Saya memang melihat rumput di tepian jalan yang mulai menguning diterkam kemarau dengan cuaca 36 derajat celcius, begitu kata Mas Andhika dari AirAsia Indonesia keesokan harinya.
Mobil terus berjalan. Setelah melewati pusat pemerintahan Malaysia di Putrajaya dengan lampu gedung yang berkerlap-kerlip, gedung-gedung tinggi di hadapan kami pun seolah mendekat, petanda Kuala Lumpur sudah di hadapan mata. Malam itu, tujuan pertama kami adalah Petronas Twin Towers, gedung kembar ikon Malaysia masa kini. Setelah menyaksikan gagahnya Petronas Twin Tower, seiring matinya lampu-lampu di gedung itu petanda pukul 24.00 waktu lokal, kami pun pergi menuju sebuah jalan. Hendak mencari buah durian, begitu kata Mak Cik tak lama kami meninggalkan Terminal LCC di Sepang.
Paginya, setelah
sarapan nasi lemak yang sengaja saya pilih karena khas Malaysia
barangkali, semacam nasi uduk kalau di tanah air. Kami langsung
mengikuti mini tour untuk melihat-lihat fasilitas Seri Pacifik Hotel,
dipandu oleh Magdalena Jenos, senior sales manager Seri Pacifik Hotel
Kuala Lumpur. Dengan penuh semangat, perempuan sigap itu
memaparkan kepada kami sejumlah ruangan mewah yang dimiliki oleh Seri
Pacifik Hotel di Kuala Lumpur. Seperti yang telah saya utarakan semula,
hotel ini berkelas dunia.
Siang mulai datang, petanda pagi akan hilang. Mak Cik dan Pak Cik kembali memnjemput kami di Seri Pacifik Hotel Kuala Lumpur, hendak menuju AACE di Sepang. Sesampainya di sana, kami langsung disambut Mr Manesh yang seketika itu juga, dengan senang hati, mengajak kami memasuki ruang demi ruang pusat pelatihan di AACE. Dengan bahasa Inggrisnya dengan aksen Melayu bercampur India, dia menerangkan dengan detil setiap benda yang menjadi alat pelatihan bagi awak peswat terbang. Selain Mr Manesh, tampak pula sejumlah pegawai lain yang mendampingi beliau, termasuk pula Mas Adhika dari AirAsia Indonesia. Selanjutnya, Mas Andhika-lah yang memberi pemaparan kepada kami seputar sistem keselamatan pesawat terbang, terutama yang diaplikasikan oleh maskapai AirAsia, maskapai yang membawa kami terbang ke Malaysia. Sungguh pengalaman yang sangat berharga bisa belajar banyak hal di AACE, terutama seputar keselamatan transportasi pesawat terbang yang acapkali diabaikan para penumpang itu sendiri. Selain itu, di AACE, tentu saja kita bisa cuci mata melihat cantiknya calon pramugari AirAsia dari berbagai negara. Lha, kapan lagi bisa melihat pramugari berkumpul dalam satu ruangan, bisa foto bersama pula.
Petang hari, rencananya kami akan kembali ke Jakarta. Seraya menunggu petang datang, Mas Satria yang memandu kami dari Jakarta hingga ke Kuala Lumpur, mengajak kami ke pusat pemerintahan Malaysia di Putrajaya. Seperti semalam, seperti pula pagi tadi, jalanan tetap lengang, apalagi di jalan menuju Putrajaya. Hanya ada beberapa mobil yang melintas, termasuk bas persiaran yang membawa sejumlah pelancong yang bertandang ke Malaysia. Bila semula saya melihat Malaysia tak ubah Jakarta di Kuala Lumpur, kecuali jalannya yang lengang dan Petronas Twin Towers, maka di Putrajaya saya menemukan Malaysia yang sesungguhnya.
Inilah mungkin yang membedakan Malaysia dengan Indonesia. Apabila Indonesia punya pusat pemerintahan yang sebgain besar ada di Senayan, maka Malaysia membangunnya di sebuah kawasan yang terpisah dari Kuala Lumpur, membentuk daerah sendiri dengan nama Putrajaya. Seluruh perkantoran pemerintah Malaysia tumpah ruah di sini, dalam kompleks yang diselingi dengan danau buatan dengan sejumlah jembatan, serta sebuah masjid dengan menara yang menjulang tinggi. Masjid itu, Masjid Putra namanya. Sedangkan yang menjadi pusat perhatian di Putrajaya tentu saja kantor perdana menteri yang berdiri pada sebuah ketinggian, dengan atap berbentuk kubah masjid dan dinding bergaya Eropa. Sebelum pulang, saya pun sempat membeli souvenir khas Malaysia di sini, seperti gantungan kunci dan miniatur Petronas Twin Towers.
Akhirnya, sampailah waktunya kami harus kembali ke Jakarta, kembali ke Indonesia, kembali kenegara tercinta. Sepanjang jalan pulang menuju Terminal LCC KLIA di Sepang, sepanjang itu pula perkebunan kelapa sawit perlambang hasil pertanian Malaysia. Saya jadi ingat alam di Pulau Bangka, dengan hutan-hutan di sepanjang jalan, diselingi perkebunan lada, karet, dan kelapa sawit tentu saja. Kondisi alam Malaysia sekilas memang mirip alam di Pulau Sumatera, termasuk di Pulau Bangka, pulau yang ceritanya banyak saya tulis di travel.detik.com sehingga mengantarkan saya menjelajahi Malaysia bersama AirAsia Indonesia dan para pemang d'Traveler of the year 2013 detikTravel.
Semakin dekat dengan Terimal LCC KLIA di Sepang, semakin dekat pula rasanya dengan Jakarta. Di landasan pacu, saya membayangkan pesawat Malaysia AirAsia dengan nomor penerbangan AK1388 telah menunggu untuk membawa kami pulang ke Jakarta. Setelah seharian menjalani rangkaian kegiatan penuh manfaat di AACE bersama AirAsia, berkat tulisan-tulisan dan foto-foto pertualangan yang kami kirim ke travel.detik.com. Terimakasih alam Indonesia, terimakasih detikTravel, terimakasih AirAsia. Selamat berpetualang kembali.
(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Perjuangan Menembus Abu Gunung Kelud Demi ke Malaysia" oleh penulis yang sama)
"Menikmati Menara Petronas,
kawasan Putrajaya hingga menyambangi tempat pelatihan pramugari AirAsia
menjadi hadiah para pemenang d'Traveler of The Year 2013. Abu Gunung
Kelud jadi ujian yang harus ditempuh para petualang."
Saya gemar berpetualang, saya pun suka melukis, saya pun punya cita-cita ingin menjadi seorang penulis hebat serupa Andrea Hirata, penulis Laskar Pelangi yang lahir di provinsi yang sama dengan saya, Kepulauan Bangka Belitung. Sedari saya menempuh pendidikan di tanah kelahiran saya di Pulau Bangka, hingga akhirnya saya mendapatkan gelar sarjana di sana, sampai akhirnya saya kembali kuliah strata selanjutnya di Yogyakarta, telah banyak tempat yang saya datangi bersama-sama teman kuliah. Semua petualangan saya itu, di Pulau Bangka sampai di Pulau Jawa, saya salurkan melalui lukisan cerita pertualangan dalam bentuk tulisan di detikTravel.
Menjelang pertengahan Januari 2014, akhirnya para pemenang d'Traveler of The Year diumumkan. Alhamdulillah, nama saya ada di dalamnya, berada di peringkat tiga kategori The Most Published Article. Saya pun berhak atas hadiah jalan-jalan seraya mengikuti Airport and AirAsia Academy di Asian Aviation Centre of Execcelence (AACE) di Sepang, hadiah uang tunai Rp 500.000, tiket domestik pulang-pergi AirAsia, dan sebuah jaket dari detikTravel.
Pada tanggal 16 Februari 2014, sesuai rencana kami akan terbang ke Malaysia. Namun, pada malam hari tanggal 13 Februari 2014, Gunung Kelud yang ada di Kediri, Jawa Timur meletus tiba-tiba. Letusan itu menyemburkan abu vulkanik dengan jumlah yang sangat melimpah, menyembur tinggi, tertiup angin hingga akhirnya terbawa sampai ke Yogyakarta. Paginya, saya mendapati Yogyakarta penuh abu. Pagi yang seharusnya sudah terang oleh sinar matahari ternyata masih gulita serupa subuh menjelma. Saya cuma berharap, semoga Bandar Udara Internasional Adi Sutjipto tidak ditutup. Sehingga esoknya saya bisa terbang ke Jakarta, untuk selanjutnya bisa ke Malaysia.
Namun sayang, oleh karena volume abu yang cukup tebal, sejumlah televisi yang saya saksikan dari dalam kamar memberitakan perihal sejumlah bandara yang tutup, termasuk pula Adi Sutjipto. Sialnya, tidak tahu sampai kapan akan kembali dibuka. Saya langsung menuju Stasiun Lempuyangan, menerobos abu vulkanik yang kian menimbun jalan-jalan utama di Yogyakarta. Orang-orang mengendarai sepeda motor dengan sangat pelan dalam jarak pandang yang sangat dekat, menggunakan masker, termasuk pula saya. Sesampai di stasiun, pakaian saya penuh debu.
Stasiun sepi sekali. Saya langsung menuju ruang customer service, bertanya perihal tiket kereta yang masih kosong untuk ke Jakarta esok hari. Alhamdulillah, saya dapat tiket sebuah kereta api yang diberangkatkan dari Stasiun Tugu, menjelang maghrib esok hari. Saya sengaja membeli tiket kereta api, kalau-kalau besok bandara belum buka. Apabila bandara buka, maka tiket yang sudah saya beli akan saya kembalikan dengan pengembalian 75% harga.
Pagi-pagi, saya sudah terjaga, bersiap ke bandara. Saat hendak memanggil taksi di perempatan Kentungan, saya menelepon nomor yang kemarin saya lihat di sebuah kertas yang tertempel di Bandar Udara Internasional Adi Sutjipto. Rupanya itu nomor pengelola bandara. Bandara masih belum buka hari itu, begitu informasi yang saya terima dari suara di ujung telepon. Artinya, petang nanti saya harus menuju Jakarta naik kereta api.
Menjelang pukul 03.00 WIB, kereta bergerak pelan memasuki wilayah Jakarta. Saya turun di Stasiun Jatinegara, hendak menuju rumah seorang teman di Utan Kayu. Sebelumnya, saya mendapat pesan singkat bahwa acara yang semula akan berlangsung pukul 08.00 WIB di Soekarno Hatta Internasional Airport (SHIA) di Cengkareng, ditiadakan oleh karena maskapai AirAsia yang sedang berkonsentrasi mengantisipasi semburan abu letusan Gunung Kelud. Acara akan dimulai pukul 12.30 WIB. Sekalipun demikian, sekitar pukul 10.00 WIB saya keluar rumah setelah sempat tidur sejenak. Sudah janji dengan Anisa Rahardini untuk bertemu di shelter busway di Monumen Nasional.
Setelah sempat sarapan, jalan-jalan di sekitar Monas, saya langsung naik Damri di Gambir hendak ke Cengkareng. Anisa pun ikut mengantar saya ke Cengkareng. Setelah berpamitan dengan Anisa Rahardini, saya langsung menuju lantai 2 terminal 3 SHIA, bertemu dengan para pemenang lain yang sudah berkumpul pada sebuah restoran. Mereka adalah Pak Merza Gamal Syukur, Zulfan Ariansyah, Agus Rahmat, serta dua orang blogger Mas Eric Wijanarta dan Mbak Lucia Nancy. Selain mereka, ada Mbak Tina dari AirAsia, serta para awak detikTravel seperti Mas Fitraya Ramadhanny selaku managing editor, Mbak Putri Rizqi Hernasari, Mas Muhammad Miradi. Seraya menunggu terbang ke Malaysia, kami bercerita banyak hal seraya menikmati makanan dan minuman yang sudah kami pesan.
Pesawat AirAsia Indonesia dengan nomor penerbangan QZ8206 yang semula dijadwalkan berangkat sekitar jam setengah empat sore, oleh karena kendala harus diundur sampai menjelang pukul 19.00 WIB. Seraya menunggu, oleh Mas Satria Ramadhan dari AirAsia Indonesia yang kemudian tiba, kami diajak menuju sebuah lounge, seraya meghilangkan lelah dengan berpijat pada sebuah refleksi di Terminal 3 SHIA Cengkareng. Semuanya diinisiasi oleh pihak AirAsia Indonesia.
Menjelang pukul 19.00 WIB, kami berangkat ke Kuala Lumpur dengan pesawat AirAsia Indonesia. Sekitar pukul 22.00 waktu Malaysia yang satu jam lebih cepat dari Waktu Indonesia Barat (WIB), atau pukul 21.00 di Indonesia dengan zona waktu WIB, kami tiba di Terminal LCC Kuala Lumpur Interntional Airport (KLIA) di Sepang. Seorang perempuan paruh baya yang kelak kami panggil Mak Cik, menuntun kami keluar terminal LCC, menuju sebuah bus persiaran (bus pariwisata) yang dikemudikan seorang laki-laki yang kelak kami panggil Pak Cik. Mereka berasal dari sebuah agen travel di sana.
Selama kurang lebih satu jam perjalanan, setidaknya itu yang diutarakan oleh Mak Cik dengan gaya khas seorang pemandu wisata, kami akan menuju pusat Kuala Lumpur, sang ibukota negara Malaysia. Saya menyaksikan jalanan Malaysia yang sepi, kebalikan dari jalan di Jakarta, sang ibukota tercinta. Namun saya tak langsung membandingkan apa yang saya lihat dengan Jakarta, apalagi sampai mencerca Jakarta, sebab sebagaimana yang Mak Cik katakan, Kuala Lumpur tak seramai Jakarta. Sehingga wajar jalan-jalan di sana sepi. Apalagi, jumlah penduduk Malaysia hanya kurang lebih 28 juta jiwa, bandingkan dengan negara kita yang lebih dari 200 juta jiwa.
Cuaca Kuala Lumpur sangat panas, kata Mak Cik, tak macam Jakarta yang sesekali terasa dingin. Saya sedikit bangga manakala seorang yang bukan orang Indonesia, tiba-tiba menyanjung Jakarta yang di dalam negeri sendiri malah banyak dicerca warganya sendiri. Saya memang melihat rumput di tepian jalan yang mulai menguning diterkam kemarau dengan cuaca 36 derajat celcius, begitu kata Mas Andhika dari AirAsia Indonesia keesokan harinya.
Mobil terus berjalan. Setelah melewati pusat pemerintahan Malaysia di Putrajaya dengan lampu gedung yang berkerlap-kerlip, gedung-gedung tinggi di hadapan kami pun seolah mendekat, petanda Kuala Lumpur sudah di hadapan mata. Malam itu, tujuan pertama kami adalah Petronas Twin Towers, gedung kembar ikon Malaysia masa kini. Setelah menyaksikan gagahnya Petronas Twin Tower, seiring matinya lampu-lampu di gedung itu petanda pukul 24.00 waktu lokal, kami pun pergi menuju sebuah jalan. Hendak mencari buah durian, begitu kata Mak Cik tak lama kami meninggalkan Terminal LCC di Sepang.
Memasuki
jalan itu, saya jadi ingat sebuah jalan di Bandung yang dulu sempat
saya jejalahi bersama teman-teman pada malam hari. Mirip sekali. Saya
pun sempat terperangah saat menyaksikan deretan rumah makan Khas Padang
di sepanjang jalan itu, termasuk pula warung yang menjajakan makanan
dari daerah lain di Indonesia. Ini Kuala Lumpur apa Jakarta?
Begitu yang ada dalam pikiran saya. Saya menyadari betul bila itu adalah
Malaysia saat melihat tulisan di atas tumpukan buah durian, 'Durian
Spesial Pahang'. Setahu saya, Pahang adalah nama sebuah region di
Malaysia. Stok durian mungkin tak terlalu banyak malam itu,
sehingga kami memutuskan untuk makan saja.
Setelah diajak makan tengah
malam di Laman Aiman di daerah Jalan Dewan Sultan Sulaiman, kami
langsung menuju Seri Pacifik Hotel di Jalan Putra untuk merebahkan badan
akibat lelah. Salah satu hotel mewah di pusat kota Kuala Lumpur
ini menjadi partner hotel kegiatan kami selama di Malaysia. Fasilitas
mewah serta design apik hotel ini menandakan bahwa hotel ini bersaing di
papan atas hotel kelas dunia, termasuk fasiltas kamar 1906 yang saya
tempat bersama Agus Rahmat, pemenang lain. Bahkan, kamar yang
kami tempati menghadap langsung ke pusat kota dimana Petronas Twin
Towers dan KL Tower berdiri gagah. Sunrise dari hotel ini cantiknya
juara, seperti yang kami saksikan keesokan pagi.
Siang mulai datang, petanda pagi akan hilang. Mak Cik dan Pak Cik kembali memnjemput kami di Seri Pacifik Hotel Kuala Lumpur, hendak menuju AACE di Sepang. Sesampainya di sana, kami langsung disambut Mr Manesh yang seketika itu juga, dengan senang hati, mengajak kami memasuki ruang demi ruang pusat pelatihan di AACE. Dengan bahasa Inggrisnya dengan aksen Melayu bercampur India, dia menerangkan dengan detil setiap benda yang menjadi alat pelatihan bagi awak peswat terbang. Selain Mr Manesh, tampak pula sejumlah pegawai lain yang mendampingi beliau, termasuk pula Mas Adhika dari AirAsia Indonesia. Selanjutnya, Mas Andhika-lah yang memberi pemaparan kepada kami seputar sistem keselamatan pesawat terbang, terutama yang diaplikasikan oleh maskapai AirAsia, maskapai yang membawa kami terbang ke Malaysia. Sungguh pengalaman yang sangat berharga bisa belajar banyak hal di AACE, terutama seputar keselamatan transportasi pesawat terbang yang acapkali diabaikan para penumpang itu sendiri. Selain itu, di AACE, tentu saja kita bisa cuci mata melihat cantiknya calon pramugari AirAsia dari berbagai negara. Lha, kapan lagi bisa melihat pramugari berkumpul dalam satu ruangan, bisa foto bersama pula.
Petang hari, rencananya kami akan kembali ke Jakarta. Seraya menunggu petang datang, Mas Satria yang memandu kami dari Jakarta hingga ke Kuala Lumpur, mengajak kami ke pusat pemerintahan Malaysia di Putrajaya. Seperti semalam, seperti pula pagi tadi, jalanan tetap lengang, apalagi di jalan menuju Putrajaya. Hanya ada beberapa mobil yang melintas, termasuk bas persiaran yang membawa sejumlah pelancong yang bertandang ke Malaysia. Bila semula saya melihat Malaysia tak ubah Jakarta di Kuala Lumpur, kecuali jalannya yang lengang dan Petronas Twin Towers, maka di Putrajaya saya menemukan Malaysia yang sesungguhnya.
Inilah mungkin yang membedakan Malaysia dengan Indonesia. Apabila Indonesia punya pusat pemerintahan yang sebgain besar ada di Senayan, maka Malaysia membangunnya di sebuah kawasan yang terpisah dari Kuala Lumpur, membentuk daerah sendiri dengan nama Putrajaya. Seluruh perkantoran pemerintah Malaysia tumpah ruah di sini, dalam kompleks yang diselingi dengan danau buatan dengan sejumlah jembatan, serta sebuah masjid dengan menara yang menjulang tinggi. Masjid itu, Masjid Putra namanya. Sedangkan yang menjadi pusat perhatian di Putrajaya tentu saja kantor perdana menteri yang berdiri pada sebuah ketinggian, dengan atap berbentuk kubah masjid dan dinding bergaya Eropa. Sebelum pulang, saya pun sempat membeli souvenir khas Malaysia di sini, seperti gantungan kunci dan miniatur Petronas Twin Towers.
Akhirnya, sampailah waktunya kami harus kembali ke Jakarta, kembali ke Indonesia, kembali kenegara tercinta. Sepanjang jalan pulang menuju Terminal LCC KLIA di Sepang, sepanjang itu pula perkebunan kelapa sawit perlambang hasil pertanian Malaysia. Saya jadi ingat alam di Pulau Bangka, dengan hutan-hutan di sepanjang jalan, diselingi perkebunan lada, karet, dan kelapa sawit tentu saja. Kondisi alam Malaysia sekilas memang mirip alam di Pulau Sumatera, termasuk di Pulau Bangka, pulau yang ceritanya banyak saya tulis di travel.detik.com sehingga mengantarkan saya menjelajahi Malaysia bersama AirAsia Indonesia dan para pemang d'Traveler of the year 2013 detikTravel.
Semakin dekat dengan Terimal LCC KLIA di Sepang, semakin dekat pula rasanya dengan Jakarta. Di landasan pacu, saya membayangkan pesawat Malaysia AirAsia dengan nomor penerbangan AK1388 telah menunggu untuk membawa kami pulang ke Jakarta. Setelah seharian menjalani rangkaian kegiatan penuh manfaat di AACE bersama AirAsia, berkat tulisan-tulisan dan foto-foto pertualangan yang kami kirim ke travel.detik.com. Terimakasih alam Indonesia, terimakasih detikTravel, terimakasih AirAsia. Selamat berpetualang kembali.
(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Perjuangan Menembus Abu Gunung Kelud Demi ke Malaysia" oleh penulis yang sama)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar