Selasa, 24 Maret 2015

PETUALANGAN SERU, MENGARUNGI PULAU LOMBOK DAN BALI SELAMA SATU MINGGU

"Lombok telah menjadi destinasi favorit banyak traveler selain Bali. Selain tidak seramai Bali, Lombok juga menawarkan pesona pantai indah dan gili yang selalu meriah. Long weekend di akhir Mei ini, yuk liburan ke Lombok."


Akhirnya, cita-cita saya untuk menginjakkan kaki di Pulau Lombok tercapai juga. Berbeda dengan orang kebanyakan yang lebih mengidamkan Pulau Bali sebagai destinasi yang ingin dikunjungi di negeri ini. Sebaliknya saya justru jauh lebih mengidamkan Pulau Lombok sebagai pulau yang paling ingin didatangi. Penyebabnya mengapa? Saya sendiri pun tak tahu. Namun yang jelas, yang ada di dalam pikiran saya, sosok Pulau Lombok jauh lebih eksotis dan alami dibandingkan Pulau Bali yang sudah ramai oleh ratusan, bahkan ribuan bangunan aneka rupa. Itulah alasan mengapa saya lebih mengidolakan Pulau Lombok daripada Pulau Bali.

Masih ingat program D'Traveler of The Year 2013 dari detikTravel? Saya yakin Anda yang sering membaca berita seputar dunia pariwisata paling update ini masih ingat dengan kompetisi memperebutkan hadiah utama mengikuti Airport AND AirAsia Academy Tour di Asian Aviation Centre of Excellence (AACE) di Sepang, Malaysia, serta jalan-jalan singkat di sejumlah ikon Negeri Jiran itu. Alhamdulillah, saat itu saya menjadi pemenang ke-3 untuk kategori the most published article, sehingga berhak atas hadiah utama. Sebagai pemenang ke-3, saya juga berhak atas uang tunai Rp 500.000, sebuah jaket detikTravel, dan hadiah khusus pemenang 1, 2 dan 3 berupa tiket domestik pulang-pergi dari maskapai AirAsia.

Siapa yang tidak senang mendapatkan free ticket untuk pergi liburan? Apalagi kita diberi kebebasan untuk melilih rute yang kita inginkan, selama rute tersebut adalah rute AirAsia. Akhirnya, melalui tenggang waktu yang diberikan pihak AirAsia, saya tanpa pikir panjang memilih rute Yogyakarta-Denpasar (PP) sebagai destinasi pilihan. Lho, kenapa saya memilih pergi ke Bali? Bukankah saya sendiri yang mengatakan bahwa saya lebih menyukai Lombok daripada Bali?

Tunggu dulu, saya memang sengaja memilih Yogyakarta-Bali, tak lain karena dari kota tempat saya menimba ilmu itu tidak ada direct route atau rute langsung yang menghubungkan Yogyakarta-Lombok. Itulah sebabnya mengapa kemudian saya memilih penerbangan dari Adi Sutjipto International Airport di Yogyakarta menuju I Gusti Ngurah Rai International Airport di Bali. Selanjutnya, dari I Gusti Ngurah Rai saya berencana menuju Pelabuhan Padang Bai, lalu menyeberang ke Pelabuhan Lembar di Lombok menggunakan sebuah kapal penumpang. Alhasil, sampailah di pulau impian saya, Lombok. Setelah puas menikmati Lombok, barulah rencananya saya menikmati Bali, untuk selanjutnya kembali ke Yogyakata menggunakan maskapai yang sama.

Sebelum menentukan tanggal keberangkatan, terlebih dahulu saya menghubungi seorang teman asli Lombok, Rachmat Z. Hakim. Saya kenal saat sama-sama mengikuti tes masuk program pascasarjana di Fakultas Hukum Univeristas Diponegoro, Semarang. Ia yang dulu memang sempat berencana mengajak saya melancong ke tanah kelahiran kebanggaannya itu menggunakan sebuah bus dari Semarang, langsung memberitahu pula perihal rencana kepulangannya ke Lombok beberapa minggu kemudian. Oke fix, berati saya punya traveling partner di Lombok. Saya pun menentukan tanggal keberangkatan untuk selanjutnya dikirim ke pihak detikTravel dan Mbak Tina dari Indonesia AirAsia di Jakarta, yakni Yogyakarta-Denpasar 1 Mei 2014 dan Denpasar-Yogyakarta 8 Mei 2014.

Tanggal 1 Mei 2014 semakin dekat, yang artinya saya harus segera pergi ke Lombok. Pada sebuah multichat di aplikasi Line, Adam Wijaya Medantara, teman kuliah saya yang lain, tiba-tiba bertanya perihal keberangkatan saya ke Lombok yang sudah mendekati hari H. Dari gelagat teman saya yang badannya makmur itu, saya tahu bahwa dia pasti ingin ikut petualangan saya selama seminggu. Sekalipun dia orang Pulau Jawa asli Wonosobo, dengar-dengar dia belum sekali pun menginjakkan kaki di Pulau Bali, apalagi Lombok. Saya pun mulai mengeluarkan jurus ampuh merayu orang yang sering dipakai Adam sendiri,"ya sudaaah, ikut sajaaa..." Oke fix, Adam cuma senyum-senyum. Selain Adam, saya pun masih sempat mengajak Hendry yang sebenarnya sudah menyatakan tak bakal ikut ke Lombok. Singkat cerita, sampailah pada sebuah kejadian dimana akhirnya Adam dan Hendry memutuskan ikut saya bepetualang selama seminggu. Selain mereka berdua, beberapa hari kemudian, Muhammad Aridho, adik tingkat kami di kampus pun bergabung bersama kami.

Tanggal 1 Mei 2014 tiba akhirnya. Setelah ada perubahan jadwal terbang dari AirAsia yang efektif berlaku mulai hari itu, kami berkumpul di terminal keberangkatan domestik Adi Sutjipto. Ada untungnya pula perubahan jadwal yang semula jam 06.25 WIB itu menjadi 0730 WIB. Sebab, bila tidak, maka Adam yang akhirnya bangun dari tidur jam 07.00 WIB oleh operasi gedor pintu, dipastikan akan gagal terbang pagi itu.

Sekitar pukul 09.30 WITA yang satu jam lebih cepat dari Yogyakarta, menggunakan pesawat AirAsia nomor penerbangan QZ8441, kami tiba di I Gusti Ngurah Rai Interntional Airport di Bali. Sekilas, bandara ini mirip Soekarno-Hatta, setidaknya itu bandara pembanding yang ada dalam pikiran saya pagi itu. Setelah bernegosiasi dengan seorang supir travel dengan mobil Avanzanya, kami menuju Pelabuhan Padang Bai dengan biaya Rp 250.000/sekali jalan 4 orang.

Sesampai di Padang Bai, segerombolan orang langsung menyebu kami menawarkan penyeberangan menuju Lombok menggunakan kapal cepat dengan harga yang sangat luar biasa tinggi, Rp. 250.000/orang! Wow, kami terperanjat bukan main. Beruntung, sebelum berangkat kami sudah cari-cari info terlebih dahulu, termasuk bertanya pada Putu Dian Pratiwi atau Dian Pande, teman kami yang asli orang Bali. Menurut info yang kami dapat, ada penyeberangan menggunakan kapal penumpang dengan hanya membayar Rp 40.000/orang. Lantas, kami pun menuju tempat penjualan tiket di sebuah loket di Pelabuhan Padang Bai.

Sepanjang jalan menuju loket, kami mendengar orang-orang yang terus berusaha menawarkan jasa speedboat. Mereka berujar bahwa kapal yang kami tumpangi dengan harga Rp 40.000 itu memakan waktu sampai 8 jam ke Lombok. Sayang, kami tak percaya begitu saja dengan trik para penawar jasa itu. Setelah membeli tiket, kami langsung masuk ke kapal yang akan segera meninggalkan pelabuhan. Sekitar 3-4 jam kemudian, kami sampai di Pelabuhan Lembar di Lombok. Serupa dengan di Pelabuhan Padang Bai, di Lembar pun kami disambut sejumlah penyedia jasa yang menawarkan angkutannya dengan sejumlah harga. Seraya mendengar harga-harga itu, kami menyesuaikannya dengan harga normal dari sejumlah pengalaman orang yang banyak diceritakan di dunia maya.

Akhirnya, setelah bernegoisasi, kami berhasil mendapatkan angkutan dengan membayar Rp 25.000/orang menuju Pantai Senggigi. Selain kami berempat, ada 3 orang backpacker dari Jakarta yang ikut bergabung petang itu, totalnya 7 orang, sehingga biayanya Rp 175.000/sekali jalan. Setengah jam kemudian, sampailah kami di sentral Pantai Senggigi. Sebetulnya kami sudah menghubungi sebuah homestay jauh-jauh hari, ternyata letak homestay itu sangat jauh dari sentral Pantai Senggigi. Kami pun bertanya kepada salah seorang bapak yang berdiri di tepi jalan Senggigi, perihal penginapan di sini. Ternyata, bapak-bapak itu juga menawarkan sebuah penginapan, Penginapan Shinta kalau tak salah namanya. Setelah tawar-menawar, kami mendapatkan kamar yang luas untuk 4 orang, hanya dengan Rp 150.000/malam 4 orang. Langsung saja kami membayar untuk 2 malam, jadi totalnya Rp 300.000/2 malam untuk 4 orang. Lumayan bukan? Kondisinya kamarnya juga baik, bersih, dihiasi gambar indah pula di dinding. Malamnya, sebelum istirahat tidur, kami jalan-jalan sebentar menikmati Pantai Senggigi dikala malam. Saya penasaran dengan Pantai Senggigi yang selalu dilukiskan bak surga yang jatuh ke dunia.

Pagi esoknya kami langsung menuju pantai. Namun, alangkah kecewanya, Pantai Senggigi tak seperti apa yang dilukiskan orang dengan kata-kata itu. Saya juga melihat kekecewaan di raut muka teman saya yang lain. Semoga hanya Senggigi yang seperti ini. Sekitar pukul 09.00 WITA, kami langsung menyewa motor tak jauh dari penginapan dengan biaya Rp 50.000/motor/hari. Kami menyewa 2 motor untuk 4 orang selama 1 hari, totalnya Rp 100.000/2 motor/hari.

Setelah mengantar Egi dan kawan-kawan, backpacker dari Jakarta ke Pelabuhan Bangsal, kami berencana menuju Pantai Pink. Di tengah perjalanan menuju Praya, hujan turun begitu deras. Akhirnya kami langsung merubah haluan menuju Pantai Tanjung Aan dan Pantai Kuta di Lombok Tengah. Sebelum sampai di kedua pantai yang katanya jelita itu, kami singgah di sebuah desa Suku Sasak, suku asli Lombok, dengan biaya Rp 20.000/orang. Selanjutnya kami langsung menuju Pantai Kuta di bawah hujan yang tak kunjung reda.

Sampailah kami di Pantai Kuta yang ternyata juga sedikit agak mengecewakan. Rupanya kami salah Pantai Kuta, yang kami tuju adalah Pantai Kuta tempat pemukiman penduduk. Sebelum pindah ke Pantai Kuta yang sebenarnya (Kuta tempat wisata), kami membeli satu ikan tuna dengan harga Rp 10.000/tusuk ukuran jumbo. Setelah memasuki Pantai Kuta dengan biaya Rp 5.000/motor, menikmatinya sebentar seraya mengabadikan dalam jepretan kamera, sesegera mungkin kami langsung menuju Pantai Tanjung Aan di sebelahnya karena hari mulai petang.

Pantai Kuta ternyat lumayan jelita, paling tidak sedikit bisa mengobati kekecewaan kami terhadap Pantai Senggigi. Ternyata ada yang jauh lebih jelita dan rupawan dari Pantai Kuta, yakni Tanjung Aan. Terus terang, pantai di Lombok yang satu ini benar-benar jelita. Padahal hari sudah petang, malam sudah mulai mendekap hari itu, namun pesona Tanjung Aan tetap terpancar dari air lautnya yang jernih, warna-warni antara birunya laut, hijaunya terumbu karang, dan putihnya pasir di dasar laut. Sayangnya, pantai itu kotor seolah tak terawat, tapi saya tetap memuja Tanjung Aan.



Hari sudah malam, hujan masih rintik-rintik. Setelah singgah pada sebuah minimarket terkenal depan Bandara Lombok, kami langsung meuju Kota Mataram hendak mencari makan. Setelah makan, kami beristirahat di penginapan kami di Senggigi. Sebelum tidur, kami menyempatkan diri untuk mengatur tempat mana yang akan kami datangi esok. Akhirnya, kami memutuskan untuk segera pergi ke Gili Trawangan, pulau favorit turis mancanegara sekaligus daya tarik Pulau Lombok.

Paginya, hari ketiga kami di Lombok. Sebelum berangkat ke Pelabuhan Bangsal untuk menyeberang ke Gili Trawangan, kami jalan-jalan dulu mengitari pantai-pantai sekitar Senggigi, seperti Batu Layar dan Batu Bolong, serta Senggigi dari ketinggian. Saat menyaksikan Senggigi dari ketinggian itulah, kami bertemu dengan seorang sopir taksi, namanya Pak Samiun. Saya langsung bertanya perihal biaya ke Bangsal bila menggunakan taksi. Ternyata, hitungannya tetap argo, yakni tak kurang lebih Rp 90.000/sekali jalan. Akhirnya, kami memutuskan untuk kembali ke penginapan, mengemas barang-barang, untuk selanjutnya minta diantar ke Bangsal oleh Pak Samiun.

Sekitar setengah jam perjalan, sampailah kami di Pelabuhan Bangsal. Biaya di taksi yang beliau kendarai menunjukkan angka Rp 80.000 lebih beberapa rupiah. Sebagai bentuk penghargaan kami untuk Pak Samiun, kami pun membayar Rp 90.000. Seraya berjanji dengan Pak Samiun untuk menjemput kami, meminta nomor beliau yang bisa dihubungi, kami langsung menuju Pelabuhan Bangsal. Taksi tak boleh masuk pada jarak yang telah ditentukan. Sebetulnya ada cidomo, delman ala Lombok yang siap mengangkut siapa saja dengan sejumlah harga, namun kami lebih memilih jalan kaki saja.

Sebelum ke pelabuhan, kami makan dulu nasi balap, semacam nasi kucing di Yogyakarta, hanya saja yang ini pedasnya lebih terasa, serta bernuansa bahari dengan ikan sebagai menu utama. Harganya cuma Rp 5.000/bungkus. Isinya jauh lebih banyak dari nasi kucing. Lauknya ada ayam atau ikan, saya lebih memilih ikan. Mengenai rasa, tak usah diragukan lagi pokoknya. Setelah kenyang, tenaga sedikit agak kuat. Kami langsung menuju kapal.

Ini bukan speed boat, tapi public boat, istilah untuk kapal penumpang yang menunggu penuh dulu baru menyeberang. Biaya cuma Rp 13.000/orang untuk Gili Trawangan, Rp 12.000/orang untuk Gili Meno, dan Rp 11.000/orang untuk Gili Air. Tak kurang dari setengah jam, tibalah kami di Gili Trawangan. Wow, salah satu gili yang ada di Lombok Utara ini benar-benar menyajikan pemandangan bahari yang luar biasa. Selain jernih, air laut di sini juga memadukan warna biru yang pekat, hijau, dan bening serupa kaca yang seolah terpisahkan satu sama lain. Bule-bule berpakaian minim berseliweran, seolah ini adalah pulau pribadi. Sungguh, kekecewaan terhadap Senggigi dan pantai-pantai yang ada disekitarnya terobati sudah di gili ini. Jatuh cinta pada Pulau Lombok di Pantai Tanjung Aan, semakin lengkap dengan pemandangan luar biasa yang ada di Gili Trawangan.

Setelah berfoto dengan latar belakang papan "Selamat Datang di Gili Trawangan" dan jernihnya air laut, kami langsung diajak Egi, backpacker asal Jakarta yang sudah sehari sebelumnya berada di Gili Trawangan, menuju sebuah penginapan. Sebetulnya, jauh-jauh hari kami juga sudah menghubungi sebuah cottage di gili ini, namun harga yang lebih murah yang ditawarkan oleh penginapan yang ditempati Egi bersama teman-temannya, membuat kami berpindah ke lain hati. Pilihan kami jatuh pada penginapan yang hanya Rp 100.000/malam untuk 2 orang. Saya tak tahu apa nama penginapan itu, tapi yang pasti airnya tersendat-sendat, serta panas minta ampun kala malam tiba.

Menjelang sore, kami langsung menuju pusat keramaian Gili Trawangan di mana bule-bule seksi memanggangkan diri di atas putihnya pasir pantai di Gili Trawangan, serta di bawah teriknya matahari Pulau Lombok. Saya pun tak tahan untuk segera menceburkan diri ke dalam air laut, menggabungkan diri mandi bersama bule-bule cantik entah darimana asalnya itu. Lalu, kami ke sisi barat Gili Trawangan, hendak melihat matahari tenggelam alias sunset di Gili Trawangan yang katanya tak kalah cantik dengan Gili Trawangan itu sendiri.

Setelah menikmati kehidupan malam di Gili Trawangan, paginya kami bermaksud mengelilingi Gili Trawangan dan mendatangi sebuah resor terkemuka yang ada di Gili Trawangan. Setelah lebih dari satu jam, sampailah kami di tempat yang kami maksud, seraya berfoto dengan keindahan Gili Trawangan yang selalu tersajikan di setiap sisi. Pulang ke penginapan, kami naik cidomo seharga Rp 75.000/sekali jalan. Dari resor itu ke penginapan kami tak jauh dari pelabuhan. Selanjutnya, kami berkemas, memutuskan kembali ke Pulau Lombok.

Menjelang siang, kami langsung naik kapal dengan biaya yang sama saat kami berangkat dari Bangsal ke Gili Trawangan. Sesampai di Bangsal, Pak Samiun, sopir yang baik hati itu sudah menunggu pada sebuah sisi jalan. Sebelum menghampiri Pak Samiun, kami makan nasi balap dulu. Saya makan dua bungkus, lalu beli lagi dua bungkus untuk bekal kelak dalam kapal yang membawa kami dari Lombok ke Bali. Dalam perjalanan menuju Pelabuhan Lembar, kami singgah di beberapa pantai yang ada di sepanjang jalan Bangsal-Senggigi. Seperti Pantai Pandanan, Pantai Nipah, dan Pantai Malimbu yang eksotis.

Setelahnya kami langsung menuju sebuah toko oleh-oleh di Mataram. Sekadar membeli oleh-oleh untuk dibawa pulang. Selesai berbelanja oleh-oleh, Pak Samiun langsung membawa kami menuju Pelabuhan Lembar. Biaya taksi kami dari Bangsal, singgah di beberapa pantai dan toko oleh-oleh, termasuk pula singgah di beberapa ATM beberapa bank, semuanya 260 ribuan. Sekali lagi kami membayar lebih besar, yakni Rp 280 ribu kepada Pak Samiun atas kebaikan beliau. Setelah saling menghaturkan ucapan terimakasih, kami langsung membeli tiket kapal seharga Rp 40.000/orang, tujuan Padang Bai di Bali. Selang beberapa menit saja, kapal langsung berangkat meninggalkan Lombok.

Sore mulai datang, mengiringi kapal yang pelan-pelan menjauhi pulau indah yang masih ingin saya jelajahi itu. Perlahan-lahan, Pulau Bali juga mulai tampak wajahnya. Di Padang Bai, kami bernegosiasi dengan angkutan yang hendak mengantarkan kami ke Pantai Kuta, tujuan kami selanjutnya. Setelah saling tawar yang cukup lama dan alot, akhirnya sang bapak mau mengantar kami dengan biaya Rp 300.000 sekali jalan sampai ke Gang Poppies Lane II di Pantai Kuta. Sebelumnya, kami mendengar bapak sopir bercakap-capak dengan dengan bahasa Bali yang unik, namun sedikit banyak saya memahanimya. Intinya, teman-teman bapak itu berujar perihal macetnya jalan menuju Pantai Kuta yang tak tergantikan dengan uang senilai yang kami sepakakati.

Sampai di Kuta, kami langsung memasuki Gang Poppies Lane II, gang yang katanya banyak penginapan dengan harga terjangkau. Setelah berjalan beberapa meter, berbelok pada sebuah persimpangan, saling bernegosiasi, kami mendapatkan penginapan dengan harga Rp 110.000/malam untuk dua orang. Kami langsung membayar untuk 4 malam untuk empat orang, jadi totalnya Rp 880.000. Lalu, pada pengelola penginapan yang sama, Bali Manik Beach nama penginapan itu, kami juga menyewa motor dengan hitungan 3 hari seharga Rp 50.000/hari, totalnya Rp. 300.000/3 hari untuk 2 motor bagi kami yang 4 orang.

Esok pagi kami langsung menuju Tanah Lot di Tabanan dan Danau Beratan di Bedugul dengan biaya masuk Rp 10.000/orang untuk masing-masing destinasi. Hari berikutnya, kami menuju Objek Wisata Uluwatu di paling selatan Pulau Bali, termasuk pura dan pantai yang dipenuhi para surfer mancanegara. Setelahnya, kami menuju Pantai New Kuta yang lebih dikenal dengan sebutan Pantai Dreamland. Dengan hanya membayar biaya parkir Rp 5.000/motor, lalu ke Garuda Wisnu Kencana dengan biaya masuk Rp 50.000/orang. Sebelum mengakhiri petualangan hari itu di Pantai Jimbaran tanpa biaya satu rupiah pun.

Menjelang siang keesokan harinya, kami menuju Pantai Sanur di bagian tenggara Pulau Bali. Sempat salah tempat sehingga terdampar di Pantai Duyung, akhirnya kami putar balik menuju Pantai Sanur yang sesungguhnya. Apabila saat tiba di Lombok kami kecewa dengan Pantai Senggigi, maka Pantai Sanur adalah pantai yang memberikan kekecewaan selama kami di Bali. Saya heran, dan mungkin teman saya yang lain juga sama, mengapa pantai ini begitu terkenal, padahal pemandangan yang disajikan termasuk biasa-biasa saja.

Di Pantai Sanur kami hanya sebentar, sebelum akhirnya kami melanjutkan ke destinasi lain. Hendry dan Ridho punya janji dengan salah seorang teman dari mereka, sehingga tinggal saya dan Adam yang melanjutkan perjalanan siang di bawah terik matahari itu. Tujuan kami adalah Tanjung Benoa dan Nusa Dua, dua tempat yang sangat terkenal di Bali. Melewati jalan tol Mandara hanya dengan membayar Rp 4.000 untuk sepeda motor, sampailah kami di Tanjung Benoa dengan pantainya yang sangat putih berseri. Selanjutnya kami menuju komplek Nusa Dua, tempat paling fenomenal di Bali karena sering dijadikan sebagai tempat perhelatan acara berkelas dunia, seperti konferensi tingkat tinggi para pemimpin dunia, serta salah satu yang paling anyar adalah pergelaran Miss World 2013 yang menuai pro dan kontra di negeri ini.

Senja mulai tiba, cepat-cepat kami meninggalkan Nusa Dua untuk segera kembali ke Pantai Kuta. Kami ingin menyaksikan sunset yang katanya paling cantik di Bali. Sesampainya di sana, orang-orang tumpah ruah di sepanjang garis pantai, mungkin punya tujuan yang sama dengan kami. Namun sayang, awan yang cukup tebal sore itu membuat sunset tak semenawan yang kami harapkan. Setelah melanjutkan perjalanan dari Pantai Kuta ke beberapa toko untuk berbelanja oleh-oleh khas Bali, termasuk pie susu yang katanya enak bukan main itu, kami langsung kembali ke penginapanan untuk berkemas.

Akhirnya pagi pun tiba. Setelah mengabadikan diri di Monumen Bom Bali, kami berangkat menuju bandara. Sesuai jadwal terbaru yang kami terima, pesawat AirAsia dengan nomor penerbangan QZ8448 itu sedianya akan berangkat pukul 08.00 WITA dan sampai di Yogyakarta pukul 08.10 WIB. Namun tampaknya jadwal sedikit lebih cepat dari jadwal semula, karena sebelum jam 07.30 WITA, kami sudah diharuskan boarding. Alhamdulillah, setelah sempat lama berputar-putar di langit Yogyakarta, akhirnya berjumpa lagi dengan kota kami menimba ilmu itu. Sampai berjumpa lagi Lombok, sampai berjumpa pula Bali. Sekali lagi, terimakasih alam Indonesia, terimakasih detikTravel, terimasih AirAsia. Salam traveler!

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Super Long Weekend, Yuk Liburan ke Lombok & Bali!" atau "Begini Serunya Bertualang Satu Minggu di Bali & Lombok" oleh penulis yang sama)

Rabu, 18 Maret 2015

MASEK PARI, KULINER KHAS BANGKA YANG SUPER PEDA

"Banyak orang mengenal Lempah Kuning sebagai kuliner khas Pulau Bangka dengan cita rasa pedas, namun ternyata ada yang lebih pedas. Mesak Pari, kuliner Bangka berbahan dasar ikan pari yang rasanya jauh lebih pedas."


Di selatan Pulau Bangka, ada lagi kuliner khas yang tak kalah pedas dari Lempah Kuning, bahkan mungkin melampauinya, yakni Masek Pari. Sekalipun ini kuliner khas, namun hanya ada di bagian selatan Pulau Bangka saja, seperti di sebagian Toboali, Tukak Sadai, Pulau Lepar dan Pulau Pongok. Sebagaimana namanya, kuliner pedas satu ini memang terbuat dari ikan pari, salah satu biota laut yang mudah dikenali karena bentuk tubuhnya yang lebar bak bersayap. Apalagi saat ini ikan pari sudah berhasil menggebrak dunia kuliner sebagai salah satu santapan lezat yang telah disajikan disejumlah restoran mewah. Cita rasanya yang khas dengan tekstur daging yang unik, menjadi salah satu faktor mengapa ikan pari begitu digemari sekarang.

Pecinta kuliner selama ini mungkin menyantap pari dengan cara membakarnya, lalu mencelupnya dengan sambal sebelum melahapnya penuh nikmat. Namun tidak demikian dengan masyarakat yang berada di pesisir selatan Pulau Bangka. Selain mengolah pari dengan menumisnya menggunakan bumbu Lempah Kuning, biasanya ikan pari segar dipotong-potong menyerupai gaple. Masyarakat juga sering memanggang ikan pari yang disebut menyalai, berasal dari kata salai. Sehingga, ikan pari yang sudah disalai disebut salai pari.



Secara linguistik, masek berasal dari kata masak dalam Bahasa Indonesia. Oleh karena logat orang Bangka yang Melayu, ejaan itu berubah menjadi masek, khususnya di Bangka Selatan. Selain itu, masek di Bangka Selatan juga mengarah pada masakan disana yang diolah dengan cara menumis bumbu yang telah dihaluskan, tetapi tanpa kuah. Sekalipun ada, kuahnya tak sebanyak tumis pada umumnya, seperti Masek Pari, Masek Ikan, Masek Terong, dan lain sebagainya.

Pada dasarnya, bumbu untuk menghasilkan sajian Masek Pari tak berbeda dengan bumbu pada Lempah Kuning, yakni cabe, kunyit, dan belacan (terasi). Setelah dicampur dan dihaluskan, bumbu-bumbut itu lalu dimasukkan kedalam minyak goreng panas bercampur irisan bawang merah yang sudah matang. Setelahnya, tumisan yang sudah mengeluarkan aroma harum itu diisi dengan air yang telah bercampur dengan perasan asam Jawa sampai mendidih. Lalu, bagaimana mengolah ikan pari? Ikan pari yang sudah disalai (salai pari), selanjutnya disiwir-siwir menyerupai suwiran ayam panggang pada bubur ayam.



Setelahnya, suwiran itu dicuci sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam bumbu yang sudah mendidih dalam kuali. Biasanya dalam masakan Masek Pari dicampur dengan kucai, sayuran sejenis tanaman bawang. Cita rasa kucai yang serupa bawang itu, menambah sensasi pedas pada Masek Pari yang memang sudah pedas luar biasa. Menurut saya, inilah kuliner paling pedas yang ada di Pulau Bangka. Orang di sana mengatakan, "Dak nyamen Masek Pari men dak pedes," atau tidak enak Masek Pari kalau tidak pedas. Salam traveler!

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Masek Pari, Kuliner Khas Bangka yang Super Pedas" oleh penulis yang sama)

MENYINGKAP KEINDAHAN PANTAI TANJUNG PESONA DI PULAU BANGKA


"Kecantikan deretan pantai di Pulau Bangka tak usah diragukan lagi. Pantai Tanjung Pesona adalah salah satunya. Sesuai namanya, pantai ini memesona siapa saja yang datang. Yuk ke sana!"


Selain Pantai Parai Tenggiri, masih ada lagi pantai cantik di Pulau Bangka yang sudah dilengkapi sejumlah fasilitas mamadai yang menunjang sektor pariwisata di sana. Salah satunya adalah Pantai Tanjung Pesona. Seperti halnya Pantai Parai Tenggiri, pantai ini juga terletak di Kabupaten Bangka Induk. Yakni sekitar 9 kilometer dari pusat Sungailiat, kota jelita yang menjadi ibukota kabupaten ini. Secara administratif maupun geografis, pantai ini masuk dalam wilayah Desa Rambak, yakni antara Pantai Teluk Uber dan Pantai Tikus dengan vihara atas bukitnya yang khas.



Liburan beberapa waktu lalu, saya menyempatkan diri singgah di Pantai Tanjung Pesona saat pulang ke Pulau Bangka. Saya masih ingat, semasa kecil sempat beberapa kali menikmati keindahan pantai ini. Saat itu sarana dan prasarana di pantai ini baru selesai dibangun, sehingga nama pantai ini pun melejit tinggi. Siapapun kala itu ingin sekali berkunjung ke pantai yang menjadi pesona Pulau Bangka ini, termasuk saya dan keluarga yang sesekali berkunjung ke rumah saudara di Kota Sungailiat, kota indah yang sangat saya sukai itu.

Pada suatu hari menjelang malam, beberapa hari sebelum kembali ke Yogyakarta, saya memasuki kawasan wisata ini. Setelah membayar tiket masuk sebesar Rp 10.000 per orang, saya membawa motor yang saya kendarai menuju bibir pantai di sebelah selatan. Dari kawasan itu, dengan jelas kita bisa menikmati keindahan Pantai Tanjung Pesona yang dilatarbelakangi bukit bak perut seorang raksasa yang sedang terlelap. Nah, di sebelah itulah ada Pantai Tikus, pantai cantik lain yang terkenal dengan viharanya yang berdiri gagah di bukit itu.

Selain itu, dari sisi selatan ini kita juga bisa menyaksikan pesona Pulau Bangka yang selah terhimpun di Pantai Tanjung Pesona. Air laut yang biru, pasir pantai yang putih, serta bebatuan granit khas pulau ini yang dipadu dengan sejumlah cottage yang dibangun menghadap pantai. Saya pun tak menyia-nyiakan kecantikan Pulau Bangka sore itu dalam jepretan sebuah kamera sederhana. Sekalipun cuaca gelap sore itu karena tertutup awan musim hujan, tetapi matahari senja sesekali menampakkan sinarnya di atas laut Pantai Tanjung Pesona. Menyajikan pemandangan cantik, yakni air laut berkilauan karena pantulan cahaya matahari.



Sebuah jembatan yang selama ini menjadi identitas Pantai Tanjung Pesona pun bisa kita saksikan dari sisi selatan ini. Selanjutnya, saya pun menuju jembatan itu untuk menyeberang ke sebuah pondok kecil yang dibangun di ujung jembatan. Dari pondok itu, kita bisa menerasakan pesona lain Pantai Tanjung Pesona, kita seolah-olah berada di tengah laut lepas saja rasanya. Sehabis itu, saya berkeliling menuju sisi lain Pantai Tanjung Pesona, menapaki satu demi satu bebatuan granit yang bertumpukan menghadang gelombang laut timur Pulau Bangka. Saya melewati beberapa kamar-kamar hotel yang di desain menghadap pantai, serta restoran yang dikunjungi sejumlah wisatawan. Akhirnya, sampailah saya di sisi utara Pantai Tanjung Pesona. Pada sisi yang menghadap Pantai Teluk Uber ini, hamparan bebatuan granit dengan jumlah banyak dapat kita saksikan. Sungguh pemandangan yang luar biasa.

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Menyingkap Keindahan Pantai Tanjung Pesona di Pulau Bangka" oleh penulis yang sama)

LONTONG SANTAN, KULINER NIKMAT KHAS PULAU BANGKA

"Sekilas, kuah Lontong Santan Bangka mirip dengan kuah Soto Betawi. Bedanya, Lontong Santan Bangka berasal dari ikan atau udang. Jika berkunjung ke Bangka, pastikan Anda mencicipi Lontong Santan ini."


Orang Bangka ternyata benar-benar kreatif menyiasati melimpahnya hasil laut di sana. Berbagai macam jenis kuliner pun berhasil mereka ciptakan sejak zaman dahulu. Sampai sekarang pun, kuliner-kuliner itu tetap bisa dinikmati. Salah satunya adalah Lontong Santan. Seperti kuliner Pulau Bangka yang lain, kuliner yang satu ini pun kuahnya bersal dari hasil laut, seperti ikan atau udang.




Saat berlibur di Pulau Bangka, cobalah makanan yang satu ini. Sekilas kuah Lontong Santan Bangka mirip dengan kuah Soto Betawi. Bedanya, Lontong Santan Bangka berasal dari ikan atau udang. Sekalipun begitu, terkadang juga orang Pulau Bangka membuat kuah Lontong dari daging ayam atau sapi. Tapi yang jelas, sebagaimana namanya, Lontong Santan Bangka dimakan lengkap dengan irisan lontong.

Nah, bukan kuliner dari Pulau Bangka namanya bila tak pedas. Oleh karena itu, menikmati kuliner Pulau Bangka yang ini tentu akan terasa lebih nikmat bila ditambah sedikit sambal asam. Sekalipun sambal pada umumnya pedas, berbeda dengan sambal yang satu ini. Selain sensasi rasa pedas, sambal ini juga ada unsur rasa asam karena memang dicampur dengan asam Jawa. Makanan ini biasanya disajikan pada saat orang di Pulau Bangka sedang mengadakan acara, seperti syukuran, penikahan, dan acara sejenis lainnya.

 
(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Lontong Santan, Kuliner Nikmat Khas Pulau Bangka" oleh penulis yang sama)

PURA SIMPANG RIMBA, NUANSA HINDU DI PULAU BANGKA

"Bangunan pura memang sangat melekat dengan Pulau Dewata Bali. Tapi di Pulau Bangka juga terdapat pura sebagus di Bali. Pura Simpang Rimba namanya, berada di Kabupaten Bangka Selatan. Mau tahu?"


Pura merupakan rumah ibadah pemeluk agama Hindu. Di Indonesia, pura banyak terdapat di Pulau Dewata, Bali, yang mayoritas penduduknya memang pemeluk agama Hindu. Sangat jarang sekali ditemukan pura di tempat-tempat lain. Apalagi di daerah yang jaraknya jauh sekali dari Pulau Bali. Namun siapa mengira, ternyata di Pulau Bangka yang jaraknya barangkali ratusan kilometer dari Pulau Bali, ada bangunan pura yang dibangun oleh pemeluk Hindu. Padahal, selain jaraknya yang jauh dari Bali, Pulau Bangka juga dikenal sebagai tanah Melayu yang penduduknya Muslim

Nah, inilah mungkin keunikan Pulau Bangka di mana toleransi antar umat beragama tetap erat terjaga di sana. Orang-orang di sana hidup rukun satu sama lain, tak memandang agama. Sekali pun penduduknya mayorita Muslim, bukan berarti mereka tidak menerima kedatangan pemeluk agama lain. Buktinya, selain tempat ibadah agama Islam yang mudah ditemui, di sana banyak terdapat banguanan rumah ibadah agama lain. Bahkan, jangan heran bila sesekali Anda melihat bangunan masjid yang berdampingan dengan kelenteng, tempat ibadah penganut Kong Hu Cu.




Selain itu, di sana ternyata juga ada pura, tempat ibadah umat Hindu. Beda dengan kelenteng yang dengan mudah ditemui di setiap sudut kota-kota utama di Pulau Bangka, pura justru sebaliknya. Pura yang ada di Pulau Bangka terletak di Dusun Trans III, Desa Simpang Rimba, Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan, sekitar 11O kilometer dari Toboali, ibukota Kabupaten Bangka Selatan. Selain dari Toboali, akses menuju Pura Simpang Rimba juga bisa langsung dari Pangkalpinang.

Suatu hari, berbekal rasa penasaran, saya pergi menyambangi Pura Simpang Rimba bersama sahabat karib saya Ahmad Faisal yang sekarang bekerja di Samarinda, Kalimantan Timur. Mengendarai sepeda motor, dari Pangkalpinang kami berdua menuju Simpang Rimba di Bangka Selatan. Di sepanjang jalan, tak lupa kami bertanya pada warga yang kami temui perihal lokasi pura itu. Akhirnya, sampailah kami di komplek pura yang berada di lingkungan asri dengan pepohonan dan perkebunan warga di sekelilingnya



Pura di Simpang Rimba ada dua yang jaraknya saling berdekatan, yakni Pura Puseh Wanasari dan Pura Penataran Peed. Semuanya dibangun oleh orang Hindu dari Bali yang merantau ke Bangka suatu ketika dengan beragam alasan. Seorang warga yang diberi tugas mengelola dan menjaga pura-pura itu bercerita bahwa pura tersebut sengaja tidak diberi warna. Alasannya biar alami sebagaimana hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta.

Selain di Desa Simpang Rimba, ternyata ada pula pura lain yang ada di desa-desa sekitar, seperti pura di Desa Sumber Jaya Permai dan Desa Pancal Tunggal yang berada di Kecamatan Pulau Besar, masih kabupaten yang sama. Nah, Anda yang belum sempat ke Bali, terutama warga sekitar Bangka yang ingin melihat pura secara langsung, datanglah ke Simpang Rimba.

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Pura Simpang Rimba, Nuansa Hindu di Pulau Bangka" oleh penulis yang sama)

HUJAN ATAU PANAS, LIBURAN KE TANGKUBAN PERAHU TETAP SERU

"Walaupun cuaca sekarang sedang tidak menentu, namun liburan tetap harus jalan. Tangkuban Perahu di Bandung dapat menjadi tempat wisata seru untuk akhir pekan. Mau hujan atau panas, liburan ke Tangkuban Perahu tetap seru!"


Saat ingin liburan, memperhatikan kondisi cuaca memang tidak ada salahnya. Salah-salah membaca kondisi cuaca, liburan yang semula telah direncanakan bisa jadi tak sesuai dengan harapan. Hal itulah yang saya alami saat berlibur di Bandung, beberapa waktu yang lalu. Pagi-pagi sekali, saya dan Anis, Adam, Eka, Sherly, dan Mas Angga telah tiba di Bandung setelah melakukan perjalanan malam dari Yogyakarta. Sangat melelahkan memang. Sekali pun demikian, setelah beristirahat sejenak, kami langsung menuju Tangkuban Perahu, destinasi pertama kami. Mulanya, cuaca di seputaran Bandung memang terlihat gelap, pertanda hujan akan segera turun. Namun bagaimana pun cuaca hari itu, kami bersikeras untuk tetap sampai di Tangkuban Perahu.

Setelah membelah kemacetan yang akhir-akhir ini telah menjadi pemandangan sehari-hari di Bandung, kami pun sampai di jalan utama menuju Tangkuban Perahu. Wah, ternyata benar, hujan turun begitu deras. Sampai-sampai kaca depan mobil tampak begitu putih oleh air hujan. Pelan-pelan, Mas Angga mengemudikan mobil menembus hujan yang kian deras.





Dalam perjalanan, sempat terbersit niat dari kami untuk berbalik arah kembali ke pusat kota Bandung. Cuaca terasa semakin ekstrem saja. Namun semakin dekat dengan Tangkuban Perahu, rupanya pelan-pelan hujan mulai reda. Jalan yang kami tempuh semakin menanjak dan berkelok, pertanda bahwa lokasi sudah semakin dekat. Menjelang pintu gerbang masuk objek wisata, tiba-tiba hujan kembali turun. Mobil yang kami bawa sampai mengalami kesulitan saat hendak menanjak, oleh karena harus berbagi tenaga dengan wiper yang terus siaga. Mobil-mobil lain tampak pula sempoyongan macam kehabisan tenaga. Sebelum akhirya mundur dan berbalik arah, menepi menunggu hujan reda.

Akhirnya kami pun mengambil langkah yang sama dengan mobil-mobil itu. Tepat di depan pintu gerbang masuk, kami menepi dan berteduh di sebuah warung. Seraya menunggu hujan reda, kami memesan minuman hangat dan aneka mie instan. Lumayan, untuk menghilangkan rasa dingin akibat hujan. Wah, ternyata pemandangan di sekitar warung-warung itu sungguh cantik, hamparan luas tanaman strawberry dan aneka sayur lain. Ah, biar pun hujan, liburan kali ini tetap seru.

Beberapa menit kemudian, hujan reda. Kami pun melanjutkan perjalanan. Alhamdulillah, sampai pula akhirnya kami di kawah Tangkuban Perahu, meskipun sesekali titik air hujan membasahi kami. Tak mau terjebak hujan yang jauh lebih deras, cepat-cepat kami turun dari dalam mobil dan mengabadikan liburan di Tangkuban Perahu dalan jepretan lensa kamera. Langit Tangkuban Perahu masih gelap, sepertinya hujan akan kembali turun. Seraya lari kesana kemari, naik turun bebatuan, kami tetap bisa menikmati cantiknya kawah Tangkuban Perahu. Menakjubkan. Liburan hujan-hujanan di Tangkuban Perahu, tetap seru ternyata.

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di detik.com dengan judul "Hujan atau Panas, Liburan ke Tangkuban Perahu Tetap Seru!" oleh penulis yang sama)