Kamis, 06 November 2014

CANDI PLAOSAN, TAK KALAH MENAWAN DENGAN PRAMBANAN


Kalau traveling ke Yogyakarta, candi adalah tempat yang wajib dikunjungi. Kalau Anda mengenal Candi Prambanan dan sudah pernah datang ke sana, tak ada salahnya menyambangi Candi Plaosan yang letaknya berdekatan. Candi Prambanan memang fenomenal. Sejarahnya begitu kaya,  serta hikayat yang berkembang perihal cinta pangeran kepada seorang putri yang berakhir dengan dikutuknya seorang putri karena tipu muslihatnya. Padahal, tak jauh dari candi Hindu ini, ada candi lain yang tak kalah rupawan dan mengundang decak kagum, yakni Candi Plaosan. 

Penghujung bulan ini, saya dan perempuan istimewa, Anisa Rahardini, serta tiga orang teman lain, yakni Adam Wijaya Medantara, Titis Restuning Kartika, dan Mbak Dhuma Melinda Harahap, pergi ke kawasan candi itu. Candi Plaosan terletak sekitar 1 km timur laut dari Candi Prambanan, tepatnya di Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dari Candi Prambanan, berjalanlah lurus ke bagian utara, berbelok ke arah timur, satu kali lagi belokan ke utara dan timur, maka sampailah kita di Candi Plaosan. Mulanya, saat teman bercerita perihal keelokan candi yang tak kalah dengan Prambanan ini, saya tak percaya begitu saja. Setelah melihat dengan mata kepala sendiri, barulah saya menyadari bila selain Candi Prambanan, ada pula candi lain yang tak kalah menawan. Candi Plaosan terbagi menjadi dua bagian, Candi Plaosan Kidul dan Candi Plaosan Lor yang letaknya saling berdekatan, sekitar 100 meter.
 


Pertama, kami mengunjungi Candi Plaosan Kidul yang sesuai namanya, Kidul dalam bahasa Jawa berarti selatan, terletak di bagian selatan. Ada beberapa candi yang masih berdiri di sini, namun sebagian sudah runtuh oleh berbagai penyebab. Beberapa candi juga terlihat dibalut oleh lumut di sepanjang bagiannya. Namun demikian, candi ini tetap dirawat dengan baik. Beberapa orang tampak membersihkan komleks candi saat kami datang, sehingga kecantikan candi ini tetap terjaga, ditambah keasrian lingkungan sekitar candi yang ditumbuhi pepohonan serta rumah warga yang terjaga asri.

Selanjutnya, kami melanjutkan ke Candi Plaosan Lor. Sesuai namanya, Lor dalam bahasa Jawa berarti utara, bagian candi ini terletak di bagian utara. Nah, Candi Plaosan Lor merupakan candi utama. Dalam kompleks candi inilah berdiri begitu banyak candi yang masih berdiri dengan tegaknya. Berbeda dengan Candi Plaosan Kidul, Candi Plaosan Lor jauh lebih luas.

Berdasarkan catatan sejarah yang dipajang pengelola tak jauh dari pintu masuk Candi Plaosan Lor, candi ini didirikan oleh Rakai Panangkaran, salah seorang raja dari Dinasti Syailendra, yang juga mendirikan Candi Borobudur dan Candi Sewu. Candi Plaosan Lor terdiri dari candi induk dan mandapa yang dikelilingi 58 Candi Perwara dan 194 stupa. Pada beberapa perwara dijumpai tulisan-tulisan pendek yang mengindikasikan bahwa bangunan tersebut merupakan sumbangan dari bawahan sang raja.



Selain itu, di kompleks candi seluas 440x270 meter ini, konon digunakan untuk menurunkan air tanah di kompleks candi agar tahta di bawahnya menjadi padat berisi. Berbeda dengan Candi Prambanan, sekeliling candi ini ditumbuhi rerumputan hijau, sehingga dengan leluasa kita bisa duduk diatasnya sembari befoto dengan latar Candi Plaosan. Nah, tunggu apalagi, sekarang giliran anda mengunjungi Candi Plaosan. Apalagi tiket masuknya tak semahal Candi Prambanan dan Borobudur, cukup Rp 5.000 saja per orang. Murah bukan? Salam traveler!

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di www.detik.com dengan judul "Candi Plaosan, Tak Kalah Menawan Dengan Prambanan" oleh penulis yang sama)

TAHUN BARU USAI, LANJUT LIBURAN KE GUA PINDUL


Seusai bergembira menyalakan kembang api di kawasan Malioboro, jangan buru-buru meninggalkan Yogyakarta. Usai Tahun Baru, Gua Pindul di Gunungkidul sudah menunggu wisatawan dengan sungai bawah tanah yang makin beken.

Setelah sempat tertunda beberapa kali, akhirnya kami berangkat ke Gua Pindul setelah keinginan itu sekian lama direncanakan. Saya datang bersama Anis, Adam, Eka dan Abang Ghoza. Gua ini berada di Kabupaten Gunungkidul, kabupaten paling selatan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
 

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, sudah lama sebetulnya saya berkeinginan untuk datang ke gua yang namanya mulai populer di kalangan para pelancong. Namun apa hendak dikata, rencana itu selalu gagal oleh berbagai alasan yang tak bisa diceritakan satu demi satu, sebelum akhirnya rencana itu terwujud akhirnya. Nah, ini merupakan pengalaman pertama kali saya masuk lorong gua. Maklum, masa kecil saya banyak dihabiskan di tepi pantai. Tambahan pula, di tanah kelahiran saya mungkin memang tak ada gua. Sekalipun ada, sangat jarang dimasuki orang seperti gua-gua yang ada di Pulau Jawa. Itu sebabnya kemudian saya ingin sekali mengunjungi Gua Pindul. Selain pemandangan rongga Gua Pindul yang menurut banyak cerita menyajikan pemandangan tak biasa, saya penasaran serupa apa wujud gua itu sebenarnya.



Setelah menempuh perjalanan dari Kota Yogyakarta menuju lokasi, kami tiba di Gua Pindul kurang lebih satu jam perjalanan kemudian. Dalam perjalanan menuju gua, tiba-tiba ada seorang yang menyalip kami menggunakan kendaraan bermotor. Jangan takut, itu adalah orang bagian dari pengelola wisata Gua Pindul yang sengaja ditempatkan di sepanjang jalan utama untuk selanjutnya menuntun para pengunjung menuju lokasi. Masalah biaya juga jangan takut, mereka tak memungut biaya alias gratis!

Sesampainya di lokasi, tak membuang banyak waktu kami langsung menuju sebuah meja untuk menentukan trip apa saja yang akan kami jalani nanti. Akhirnya, kami sepakat untuk menelusuri Gua Pindul dan Sungai Oyo saja. Harga masing-masing fasilitas wisata itu adalah Rp 30.000 untuk Goa Pindul dan Rp 40.000 untuk rafting di Sungai Oyo. Hanya saja karena kami mahasiswa, kami dapat potongan masing-masing Rp 5.000, sehingga total keduanya tinggal Rp 60.000 per orang. Singkat cerita, kami langsung ke kamar ganti dan mengenakan baju khusus yang disediakan pengelola. Lalu bergegas menuju gua seraya membawa pelampung yang terbuat dari ban. Pelampung-pelampung itulah yang akhirnya membawa kami menelusuri Gua Pindul yang dialiri air di dalamnya.

Wah, airnya itu jernih sekali ternyata, dingin pula. Saya dan Adam, salah seorang teman saya, beberapa kali kami mencelupkan rambut ke dalamnya, sehingga kepala terasa sejuk bukan kepalang. Mas Yopi, yang menjadi pemandu kami kala itu dengan sangat sabar menjelaskan setiap detil bagian gua. Sesekali penjelasan itu diselingi ulah iseng Mas Yopi yang sontak mengundang gelak tawa.

Mulanya, saya mengira gua itu tempat yang menyeramkan dan ini memang sempat saya alami saat pelan-pelan pelampung yang membawa kami masuk rongga gua. Susana pertama yang saya tangkap adalah gua yang gelap gulita tanpa cahaya sedikitpun. Sang pemandu pun sesekali menunjuk detil gua dengan sebuah penerang di tangannya. Namun, beberapa saat kemudian, pemandangan berubah sebaliknya. Saya justru mendapatkan sisi lain sebuah gua. Selain air di dalamnya yang jernih juga keindahan dinding gua yang terukir secara alami. Apalagi beberapa meter kemudian, ada lubang di atap gua yang menjadi celah bagi cahaya untuk masuk dalam rongga gua. Cahaya itu menjadikan keindahan sebuah gua semakin terasa. Tepat di bawah celah itu, kami selanjutnya terjun bebas dari ketinggian menceburkan diri ke dalam air gua yang dalam lagi dingin.

 
Apakah cuma sampai di situ suasana unik sebuah gua? Alamak, ternyata masih ada lagi. Setelah kami keluar dari gua, ada semacam kawah kecil yang di dalamnya bersemayam air yang sangat jernih sekali. Sampai-sampai lantai gua seolah terlihat dari atasnya. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami menceburkan diri ke dalam air yang jernih itu. Sejuk bukan main. Penasaran? Coba saja datang ke Gunungkidul, tak jauh dari pusat Kota Yogyakarta.

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di www.detik.com dengan judul "Tahun Baru Usai, Lanjut Liburan ke Gua Pindul"oleh penulis yang sama)

LIBURAN TAHUN BARU, AYO KE GUNUNG KIDUL


Gunungkidul punya banyak potongan surga berupa pantai berparas elok seperti Pantai Sepanjang. Istimewanya, suasana romantis membuai wisatawan untuk menikmati hari pertama di Tahun Baru ini.

Dulu, beramai-ramai saya pernah menelusuri pantai-pantai yang ada di pesisir selatan Pulau Jawa, tepatnya di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Hanya saja, selain keterbatasan waktu yang mengharuskan kami terburu-buru dan memprioritaskan tempat-tempat tertentu saja yang memang sudah terkenal banyak didatangi para pelancong.



Letak Pantai Sepanjang yang tersembunyi juga menjadi salah satu faktor mengapa kami tidak singgah di sana. Padahal, pemandangan di pantai ini tak kalah elok dengan pantai-pantai yang sudah tersohor itu.

Pantai Sepanjang memang tak sepopuler pantai-pantai yang ada di sekitarnya, sebut saja Pantai Indrayanti. Letaknya pantainya tersembunyi, diapit Pantai Kukup dan Pantai Indrayanti. Sedikit orang yang mengetahui keberadaannya, apalagi bagi saya yang bukan orang Pulau Jawa asli.

Namun berbicara penampilan, paras Pantai Sepanjang tak kalah elok. Apalagi di sepanjang bibir pantai, berdiri pondok-pondok tak berdinding yang terbuat dari bambu dan beratapkan alang-alang.

Seraya menikmati es kelapa muda yang dijual warga di sekitar pantai. Dengan leluasa kita bisa menikmati keindahan pantai dengan nuansa romantis beraroma cinta.

Pantainya alami berseri. Sejumlah warga hilir mudik menjajakan makanan yang diperuntukan bagi wisatawan yang datang. Setelah menelusuri pantai dari ujung ke ujung, akhirnya kami memilih sebuah pondok seraya menikmati es kelapa muda yang kami pesan pada seorang warga.



Matahari mulai tenggelam. Langit selatan Jawa mulai berpendar kemerah-merahan, sedang ombak terus beradu kekuatan dengan pasir pantai. Suasana romantis Pantai Sepanjang kian kental terasa. Suasana yang romantis itu membawa kami pada suasana yang tak kalah romantis pula, merangkai kata cinta.

Menggunakan sebuah kamera, kami mengabadikan setiap momen istimewa yang kami lewati di Pantai Sepanjang. Indonesia memang negara yang diberkahi Tuhan dengan potongan-potongan surga.

Alam negeri ini cantik yang terkatakan, dari ujung Sumatera sampai ke daratan Papua. Pantai-pantai di negeri ini elok-elok luar biasa, seperti Pantai Sepanjang yang romantis penuh cinta ini.

(Artikel yang sama juga bisa dibaca di www.detik.com dengan judul "Liburan Tahun Baru, Ayo ke Gunungkidul" oleh penulis yang sama)

DITIPU PANTAI SENGGIGI VERSI DUNIA MAYA




Saya punya usulan, boleh diikuti, dan tentu saja boleh tidak. Seorang pun tak ada yang bisa melarang. Usul saya, bila hendak pergi ke suatu tempat, jangan terlalu percaya pada referensi yang disajikan di dunia maya! Sebelum bepergian, sebagai pertimbangan kemudian kita biasanya langsung bertanya kepada Mbah Google, karena ini cara yang paling gampang, tinggal klik, tulis nama tempat yang hendak didatangi, klik, klik dan klik lagi, maka keluarlah sejumlah gambar tempat itu. Sajian yang ada di layar tentu saja potongan-potongan tempat itu yang kontan membuat kita segera untuk mengunjunginya. Gambar-gambar yang ditampilkan sungguh menggugah selera. Pantai misalnya, yang tampak adalah lautnya yang biru, jernih pula, berpadu dengan pasir pantai yang putih dan berseri. Sekali lagi, hati-hati! Tidak semua tempat aslinya sama dengan apa yang kita lihat di dunia maya! Pantai Senggigi di Lombok misalnya, jelas membuat saya kecewa bukan main. Intinya, jangan terlalu berharap tinggi, biar pas jatuh pun tak terlampau sakit hati.

Seperti ini cerita lengkapnya. Saat itu, saya, Adam, Hendry dan Ridho, memang berniat hendak bertandang ke Pulau Lombok. Salah satu tujuan kami adalah Pantai Senggigi. Alasannya apalagi kalau bukan popularitas pantai ini yang digambarkan bak surga yang jatuh ke bumi. Sejumlah penginapan beragam kelas, mulai dari kelas orang pelit sampai hotel berbintang-bintang untuk orang yang sudah bingung mau diapakan uangnya terlampau banyaknya, semuanya tumpah ruah di pantai ini.

Saat ke sana, kami tiba saat hari sudah petang. Maklum, kami berangkat dari Yogyajarta via Denpasar, sebelum akhirnya menyeberang ke Pelabuhan Lembar di Lombok dari Padang Bay di Bali. Sebagai seorang penyuka pantai yang memang lahir dan besar tak jauh dari pantai, saya jadi tak sabar menunggu siang untuk segera datang. Penyebabnya, apalagi kalau bukan penasaran dengan wajah Senggigi yang diberitakan macam surga itu. Seandainya Tuhan memotong malam, saya rela asalkan bisa melihat Senggigi sesegera mungkin!

Setelah meletakkan barang bawaan, merenggangkan badan sejenak di sebuah penginapan murah meriah di Pantai Senggigi, akhirnya kami memutuskan untuk menyelinap di antara beberapa bangunan untuk sampai di bibir pantai. Bangunan-banguan itu adalah penginapan, art market, restaurant, dan kamar-kamar hotel aneka rupa. Malam betul-betul hitam, sehingga mata telanjang kami tak mampu menerobosnya sekadar untuk menengok Senggigi sedikit saja. Ombak cukup besar malam itu. Buktinya, kami harus berapa kali pindah tempat duduk akibat dijilat air laut yang menepi tanpa kompromi. Lampu-lampu yang berasal dari restaurant dan teman-temannya itu pun tak sanggup membantu mata kami untuk segera memandang eloknya Senggigi versi dunia maya. Sudahlah, akhirnya kami menyerah. Setelah beberapa kali bergaya apa adanya di hadapan kamera, kembalilah kami ke penginapan kami yang ada lukisan perempuan sedang…Ah, lewati saja tentang yang satu ini, tak enak hati. Sampai jumpa esok pagi wahai, Senggigi!

Akhirnya, pagi pun datang. Setelah sempat balik sana balik sini di atas tempat tidur di penginapan murah meriah itu, kami pun langsung bergegas menuju bibir pantai. Oh ya, penginapan kami yang murah meriah itu berukuran cukup lebar, punya dua tempat tidur, masing-masing untuk dua orang. Kamar mandi cuma ada satu, cukup bersih sekalipun airnya agak berbau aneh, mungkin karena terletak di tepi pantai. Selain ada masalah dengan air, kamar mandi kami tak punya pintu, hanya selembar gorden yang bisa saja melayang-layang saat kita sedang mandi atau menunaikan rukun hidup yang pertama; buang air besar. Ini bukan masalah serius bagi kami, kecuali bagi Hendry yang biasanya cepat-cepat meninggalkan forum atau tutup telinga bila yang dibicarakan adalah seputar akhir dari proses metabolisme tubuh makhluk hidup. Lagi pula, kami semua laki-laki yang sepanjang catatan saya masih berstatus normal, belum siaga apalagi kalau sampai waspada. Apalagi, antusiasme kami terhadap lukisan di dinding kamar sudah cukup membuktikan status orientasi seksual kami, kecuali Ridho yang kadar imannya jauh melampaui kami bertiga.

Pembagian siapa tidur satu tempat tidur dengan siapa, bila dilihat sepintas memang tidak masuk akal alias tidak adil. Coba bayangkan, saya dan Hendri yang berat badannya kurang lebih 50 kilogram per orang harus ridur satu ranjang. Tidak masalah memang. Hanya saja masalahnya ada di tempat tidur yang satunya lagi. Adam dan Ridho yang berat badannya saya yakin hampir dua kali lipat dari berat badan kami harus tidur dalam satu tempat tidur! Coba tebak, rumus sinting macam apa yang kami pakai saat itu?

Jawabannya cukup sederhana. Sebagai orang yang sudah lama saling mengenal, terutama dengan Adam yang punya ritual mendengkur dengan ukuran skala richter setiap kali terlelap, saya dan Hendri yang sama-sama tak bisa terlelap dengan ritual Adam itu pun memutuskan untuk satu ranjang. Itu tidak hanya berlaku saat di Pantai Senggigi saja, tapi sampai kami selesai menunaikan program petualangan satu pekan kami di Pulau Bali dan Lombok! Jadi, biarlah Ridho yang menderita dengan ritual sahabat lamanya itu. Ya, Ridho dan Adam memang sudah lama saling mengenal satu sama lain. Jadi, dia, terutama telinganya, kami anggap jauh lebih siap dengan ritual alami sahabat lamanya itu.

Sepanjang kaki melangkah menuju pantai, hati saya rasanya berdebar-debar. Inilah kali pertama saya akan melihat secara langsung keindahan Pulau Lombok yang dilukiskan banyak orang. Sepanjang perjalanan kami dari Pelabuhan Lembar menuju Pantai Senggi menjelang petang hari kemarin, kami memang belum sempat melihat pemandangan alam yang mampu membuat kami berdecak kagum. Pemandangan hari itu menurut saya masih bernilai biasa, belum luar biasa, apalagi kalau sampai membuat saya menganga. Sekaranglah saatnya, pikir saya sepanjang jalan. Namun sayang, harapan itu belum mampu diberikan oleh Senggigi kepada kami. Saya, Adam, Hendri dan Ridho, sampai-sampai sempat terlibat saling memandang satu sama lain dengan satu pertanyaan yang sama,”ini Pantai Senggigi?”

Apakah kami kecewa? Sebetulnya memang kecewa. Terlampau kecewanya, saya dan Adam sampai mengutuk orang-orang terlampau kreatif yang sudah berlebihan merubah hasil jepretan mereka sebelum memajangnya di dunia maya. Laut yang biru, bening pula, saya kira tak ada masalah. Air laut di Pantai Senggigi memang jernih. Namun pasir pantainya yang dilukiskan putih bak tepung terigu, ternyata malah sebaliknya. Pasir di Pantai Senggigi tak begitu putih, pun tak begitu halus.

Sudahlah tapi, sayang juga sudah datang jauh-jauh namun sajian yang ada tidak dinikmati. Adam yang walaupun kecewa tetap saja menceburkan diri ke dalam air laut Pantai Senggigi. Sialnya, niatnya untuk mengabadikan jernihnya air laut pagi itu diakhiri dengan HP canggihnya yang tiba-tiba mati suri. Sebelum kecewa lebih dalam lagi, kami berfoto beberapa kali sebelum akhirnya mencari keindahan Pulau Lombok yang sesungguhnya. Apakah tempat-tempat lain sama dengan Pantai Senggigi? Jawabannya; TIDAK!!!

Desa Pasirputih, 03 Oktober 2014