Saya punya usulan, boleh diikuti,
dan tentu saja boleh tidak. Seorang pun tak ada yang bisa melarang. Usul saya,
bila hendak pergi ke suatu tempat, jangan terlalu percaya pada referensi yang
disajikan di dunia maya! Sebelum bepergian, sebagai pertimbangan kemudian kita
biasanya langsung bertanya kepada Mbah Google, karena ini cara yang paling
gampang, tinggal klik, tulis nama tempat yang hendak didatangi, klik, klik dan
klik lagi, maka keluarlah sejumlah gambar tempat itu. Sajian yang ada di layar
tentu saja potongan-potongan tempat itu yang kontan membuat kita segera untuk
mengunjunginya. Gambar-gambar yang ditampilkan sungguh menggugah selera. Pantai
misalnya, yang tampak adalah lautnya yang biru, jernih pula, berpadu dengan
pasir pantai yang putih dan berseri. Sekali lagi, hati-hati! Tidak semua tempat
aslinya sama dengan apa yang kita lihat di dunia maya! Pantai Senggigi di
Lombok misalnya, jelas membuat saya kecewa bukan main. Intinya, jangan terlalu
berharap tinggi, biar pas jatuh pun tak terlampau sakit hati.
Seperti ini cerita lengkapnya.
Saat itu, saya, Adam, Hendry dan Ridho, memang berniat hendak bertandang ke
Pulau Lombok. Salah satu tujuan kami adalah Pantai Senggigi. Alasannya apalagi
kalau bukan popularitas pantai ini yang digambarkan bak surga yang jatuh ke
bumi. Sejumlah penginapan beragam kelas, mulai dari kelas orang pelit sampai
hotel berbintang-bintang untuk orang yang sudah bingung mau diapakan uangnya
terlampau banyaknya, semuanya tumpah ruah di pantai ini.
Saat ke sana, kami tiba saat hari
sudah petang. Maklum, kami berangkat dari Yogyajarta via Denpasar, sebelum
akhirnya menyeberang ke Pelabuhan Lembar di Lombok dari Padang Bay di Bali.
Sebagai seorang penyuka pantai yang memang lahir dan besar tak jauh dari
pantai, saya jadi tak sabar menunggu siang untuk segera datang. Penyebabnya,
apalagi kalau bukan penasaran dengan wajah Senggigi yang diberitakan macam
surga itu. Seandainya Tuhan memotong malam, saya rela asalkan bisa melihat
Senggigi sesegera mungkin!
Setelah meletakkan barang bawaan,
merenggangkan badan sejenak di sebuah penginapan murah meriah di Pantai
Senggigi, akhirnya kami memutuskan untuk menyelinap di antara beberapa bangunan
untuk sampai di bibir pantai. Bangunan-banguan itu adalah penginapan, art
market, restaurant, dan kamar-kamar hotel aneka rupa. Malam betul-betul hitam,
sehingga mata telanjang kami tak mampu menerobosnya sekadar untuk menengok
Senggigi sedikit saja. Ombak cukup besar malam itu. Buktinya, kami harus berapa
kali pindah tempat duduk akibat dijilat air laut yang menepi tanpa kompromi.
Lampu-lampu yang berasal dari restaurant dan teman-temannya itu pun tak sanggup
membantu mata kami untuk segera memandang eloknya Senggigi versi dunia maya.
Sudahlah, akhirnya kami menyerah. Setelah beberapa kali bergaya apa adanya di
hadapan kamera, kembalilah kami ke penginapan kami yang ada lukisan perempuan
sedang…Ah, lewati saja tentang yang satu ini, tak enak hati. Sampai jumpa esok
pagi wahai, Senggigi!
Akhirnya, pagi pun datang.
Setelah sempat balik sana balik sini di atas tempat tidur di penginapan murah
meriah itu, kami pun langsung bergegas menuju bibir pantai. Oh ya, penginapan
kami yang murah meriah itu berukuran cukup lebar, punya dua tempat tidur,
masing-masing untuk dua orang. Kamar mandi cuma ada satu, cukup bersih
sekalipun airnya agak berbau aneh, mungkin karena terletak di tepi pantai.
Selain ada masalah dengan air, kamar mandi kami tak punya pintu, hanya selembar
gorden yang bisa saja melayang-layang saat kita sedang mandi atau menunaikan
rukun hidup yang pertama; buang air besar. Ini bukan masalah serius bagi kami, kecuali bagi Hendry yang biasanya cepat-cepat meninggalkan
forum atau tutup telinga bila yang dibicarakan adalah seputar akhir dari proses
metabolisme tubuh makhluk hidup. Lagi pula, kami semua laki-laki yang sepanjang
catatan saya masih berstatus normal, belum siaga apalagi kalau sampai waspada.
Apalagi, antusiasme kami terhadap lukisan di dinding kamar sudah cukup
membuktikan status orientasi seksual kami, kecuali Ridho yang kadar imannya
jauh melampaui kami bertiga.
Pembagian siapa tidur satu tempat
tidur dengan siapa, bila dilihat sepintas memang tidak masuk akal alias tidak
adil. Coba bayangkan, saya dan Hendri yang berat badannya kurang lebih 50
kilogram per orang harus ridur satu ranjang. Tidak masalah memang. Hanya saja
masalahnya ada di tempat tidur yang satunya lagi. Adam dan Ridho yang berat
badannya saya yakin hampir dua kali lipat dari berat badan kami harus tidur
dalam satu tempat tidur! Coba tebak, rumus sinting macam apa yang kami pakai
saat itu?
Jawabannya cukup sederhana.
Sebagai orang yang sudah lama saling mengenal, terutama dengan Adam yang punya
ritual mendengkur dengan ukuran skala richter setiap kali terlelap, saya dan
Hendri yang sama-sama tak bisa terlelap dengan ritual Adam itu pun memutuskan
untuk satu ranjang. Itu tidak hanya berlaku saat di Pantai Senggigi saja, tapi
sampai kami selesai menunaikan program petualangan satu pekan kami di Pulau
Bali dan Lombok! Jadi, biarlah Ridho yang menderita dengan ritual sahabat
lamanya itu. Ya, Ridho dan Adam memang sudah lama saling mengenal satu sama
lain. Jadi, dia, terutama telinganya, kami anggap jauh lebih siap dengan ritual
alami sahabat lamanya itu.
Sepanjang kaki melangkah menuju
pantai, hati saya rasanya berdebar-debar. Inilah kali pertama saya akan melihat
secara langsung keindahan Pulau Lombok yang dilukiskan banyak orang. Sepanjang
perjalanan kami dari Pelabuhan Lembar menuju Pantai Senggi menjelang petang
hari kemarin, kami memang belum sempat melihat pemandangan alam yang mampu
membuat kami berdecak kagum. Pemandangan hari itu menurut saya masih bernilai
biasa, belum luar biasa, apalagi kalau sampai membuat saya menganga.
Sekaranglah saatnya, pikir saya sepanjang jalan. Namun sayang, harapan itu
belum mampu diberikan oleh Senggigi kepada kami. Saya, Adam, Hendri dan Ridho,
sampai-sampai sempat terlibat saling memandang satu sama lain dengan satu
pertanyaan yang sama,”ini Pantai Senggigi?”
Apakah kami kecewa? Sebetulnya
memang kecewa. Terlampau kecewanya, saya dan Adam sampai mengutuk orang-orang
terlampau kreatif yang sudah berlebihan merubah hasil jepretan mereka sebelum
memajangnya di dunia maya. Laut yang biru, bening pula, saya kira tak ada
masalah. Air laut di Pantai Senggigi memang jernih. Namun pasir pantainya yang
dilukiskan putih bak tepung terigu, ternyata malah sebaliknya. Pasir di Pantai
Senggigi tak begitu putih, pun tak begitu halus.
Sudahlah tapi, sayang juga sudah
datang jauh-jauh namun sajian yang ada tidak dinikmati. Adam yang walaupun
kecewa tetap saja menceburkan diri ke dalam air laut Pantai Senggigi. Sialnya,
niatnya untuk mengabadikan jernihnya air laut pagi itu diakhiri dengan HP
canggihnya yang tiba-tiba mati suri. Sebelum kecewa lebih dalam lagi, kami
berfoto beberapa kali sebelum akhirnya mencari keindahan Pulau Lombok yang
sesungguhnya. Apakah tempat-tempat lain sama dengan Pantai Senggigi? Jawabannya; TIDAK!!!
Desa Pasirputih, 03 Oktober 2014
assalamualaikum wr, wb.aki saya:IBU,MARNI dan SEKELUARGA mengucapkan banyak2
BalasHapusterimakasih kepada ata s angka togel yang di
berikan "4D"yatu< 6148> kami menang 4.50 jta alhamdulillah ternyata itu benar2 jebol dan berkat
bantua AKI MANGKUBONO melunasi semu hutang2 orang tua saya yang
ada di BANK dan bukan hanya itu. aki. alhamdulillah sekarang saya
sudah bisa bermodal sedikit untuk mencukupi kebutuhan keluarga saya
sehari2. itu semua berkat bantuan aki sekali lagi makasih banyak
yah aki… yang ingin merubah nasib seperti saya hubungi di
nomor: -0852-0333-3887
MANGKUBONO
dijamin 100% jebol saya sudah buktikan...sendiri....
Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!
1"Dikejar-kejar hutang
2"Selaluh kalah dalam bermain togel
3"Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel
KLIK DISINI