Kamis, 06 November 2014

DITIPU PANTAI SENGGIGI VERSI DUNIA MAYA




Saya punya usulan, boleh diikuti, dan tentu saja boleh tidak. Seorang pun tak ada yang bisa melarang. Usul saya, bila hendak pergi ke suatu tempat, jangan terlalu percaya pada referensi yang disajikan di dunia maya! Sebelum bepergian, sebagai pertimbangan kemudian kita biasanya langsung bertanya kepada Mbah Google, karena ini cara yang paling gampang, tinggal klik, tulis nama tempat yang hendak didatangi, klik, klik dan klik lagi, maka keluarlah sejumlah gambar tempat itu. Sajian yang ada di layar tentu saja potongan-potongan tempat itu yang kontan membuat kita segera untuk mengunjunginya. Gambar-gambar yang ditampilkan sungguh menggugah selera. Pantai misalnya, yang tampak adalah lautnya yang biru, jernih pula, berpadu dengan pasir pantai yang putih dan berseri. Sekali lagi, hati-hati! Tidak semua tempat aslinya sama dengan apa yang kita lihat di dunia maya! Pantai Senggigi di Lombok misalnya, jelas membuat saya kecewa bukan main. Intinya, jangan terlalu berharap tinggi, biar pas jatuh pun tak terlampau sakit hati.

Seperti ini cerita lengkapnya. Saat itu, saya, Adam, Hendry dan Ridho, memang berniat hendak bertandang ke Pulau Lombok. Salah satu tujuan kami adalah Pantai Senggigi. Alasannya apalagi kalau bukan popularitas pantai ini yang digambarkan bak surga yang jatuh ke bumi. Sejumlah penginapan beragam kelas, mulai dari kelas orang pelit sampai hotel berbintang-bintang untuk orang yang sudah bingung mau diapakan uangnya terlampau banyaknya, semuanya tumpah ruah di pantai ini.

Saat ke sana, kami tiba saat hari sudah petang. Maklum, kami berangkat dari Yogyajarta via Denpasar, sebelum akhirnya menyeberang ke Pelabuhan Lembar di Lombok dari Padang Bay di Bali. Sebagai seorang penyuka pantai yang memang lahir dan besar tak jauh dari pantai, saya jadi tak sabar menunggu siang untuk segera datang. Penyebabnya, apalagi kalau bukan penasaran dengan wajah Senggigi yang diberitakan macam surga itu. Seandainya Tuhan memotong malam, saya rela asalkan bisa melihat Senggigi sesegera mungkin!

Setelah meletakkan barang bawaan, merenggangkan badan sejenak di sebuah penginapan murah meriah di Pantai Senggigi, akhirnya kami memutuskan untuk menyelinap di antara beberapa bangunan untuk sampai di bibir pantai. Bangunan-banguan itu adalah penginapan, art market, restaurant, dan kamar-kamar hotel aneka rupa. Malam betul-betul hitam, sehingga mata telanjang kami tak mampu menerobosnya sekadar untuk menengok Senggigi sedikit saja. Ombak cukup besar malam itu. Buktinya, kami harus berapa kali pindah tempat duduk akibat dijilat air laut yang menepi tanpa kompromi. Lampu-lampu yang berasal dari restaurant dan teman-temannya itu pun tak sanggup membantu mata kami untuk segera memandang eloknya Senggigi versi dunia maya. Sudahlah, akhirnya kami menyerah. Setelah beberapa kali bergaya apa adanya di hadapan kamera, kembalilah kami ke penginapan kami yang ada lukisan perempuan sedang…Ah, lewati saja tentang yang satu ini, tak enak hati. Sampai jumpa esok pagi wahai, Senggigi!

Akhirnya, pagi pun datang. Setelah sempat balik sana balik sini di atas tempat tidur di penginapan murah meriah itu, kami pun langsung bergegas menuju bibir pantai. Oh ya, penginapan kami yang murah meriah itu berukuran cukup lebar, punya dua tempat tidur, masing-masing untuk dua orang. Kamar mandi cuma ada satu, cukup bersih sekalipun airnya agak berbau aneh, mungkin karena terletak di tepi pantai. Selain ada masalah dengan air, kamar mandi kami tak punya pintu, hanya selembar gorden yang bisa saja melayang-layang saat kita sedang mandi atau menunaikan rukun hidup yang pertama; buang air besar. Ini bukan masalah serius bagi kami, kecuali bagi Hendry yang biasanya cepat-cepat meninggalkan forum atau tutup telinga bila yang dibicarakan adalah seputar akhir dari proses metabolisme tubuh makhluk hidup. Lagi pula, kami semua laki-laki yang sepanjang catatan saya masih berstatus normal, belum siaga apalagi kalau sampai waspada. Apalagi, antusiasme kami terhadap lukisan di dinding kamar sudah cukup membuktikan status orientasi seksual kami, kecuali Ridho yang kadar imannya jauh melampaui kami bertiga.

Pembagian siapa tidur satu tempat tidur dengan siapa, bila dilihat sepintas memang tidak masuk akal alias tidak adil. Coba bayangkan, saya dan Hendri yang berat badannya kurang lebih 50 kilogram per orang harus ridur satu ranjang. Tidak masalah memang. Hanya saja masalahnya ada di tempat tidur yang satunya lagi. Adam dan Ridho yang berat badannya saya yakin hampir dua kali lipat dari berat badan kami harus tidur dalam satu tempat tidur! Coba tebak, rumus sinting macam apa yang kami pakai saat itu?

Jawabannya cukup sederhana. Sebagai orang yang sudah lama saling mengenal, terutama dengan Adam yang punya ritual mendengkur dengan ukuran skala richter setiap kali terlelap, saya dan Hendri yang sama-sama tak bisa terlelap dengan ritual Adam itu pun memutuskan untuk satu ranjang. Itu tidak hanya berlaku saat di Pantai Senggigi saja, tapi sampai kami selesai menunaikan program petualangan satu pekan kami di Pulau Bali dan Lombok! Jadi, biarlah Ridho yang menderita dengan ritual sahabat lamanya itu. Ya, Ridho dan Adam memang sudah lama saling mengenal satu sama lain. Jadi, dia, terutama telinganya, kami anggap jauh lebih siap dengan ritual alami sahabat lamanya itu.

Sepanjang kaki melangkah menuju pantai, hati saya rasanya berdebar-debar. Inilah kali pertama saya akan melihat secara langsung keindahan Pulau Lombok yang dilukiskan banyak orang. Sepanjang perjalanan kami dari Pelabuhan Lembar menuju Pantai Senggi menjelang petang hari kemarin, kami memang belum sempat melihat pemandangan alam yang mampu membuat kami berdecak kagum. Pemandangan hari itu menurut saya masih bernilai biasa, belum luar biasa, apalagi kalau sampai membuat saya menganga. Sekaranglah saatnya, pikir saya sepanjang jalan. Namun sayang, harapan itu belum mampu diberikan oleh Senggigi kepada kami. Saya, Adam, Hendri dan Ridho, sampai-sampai sempat terlibat saling memandang satu sama lain dengan satu pertanyaan yang sama,”ini Pantai Senggigi?”

Apakah kami kecewa? Sebetulnya memang kecewa. Terlampau kecewanya, saya dan Adam sampai mengutuk orang-orang terlampau kreatif yang sudah berlebihan merubah hasil jepretan mereka sebelum memajangnya di dunia maya. Laut yang biru, bening pula, saya kira tak ada masalah. Air laut di Pantai Senggigi memang jernih. Namun pasir pantainya yang dilukiskan putih bak tepung terigu, ternyata malah sebaliknya. Pasir di Pantai Senggigi tak begitu putih, pun tak begitu halus.

Sudahlah tapi, sayang juga sudah datang jauh-jauh namun sajian yang ada tidak dinikmati. Adam yang walaupun kecewa tetap saja menceburkan diri ke dalam air laut Pantai Senggigi. Sialnya, niatnya untuk mengabadikan jernihnya air laut pagi itu diakhiri dengan HP canggihnya yang tiba-tiba mati suri. Sebelum kecewa lebih dalam lagi, kami berfoto beberapa kali sebelum akhirnya mencari keindahan Pulau Lombok yang sesungguhnya. Apakah tempat-tempat lain sama dengan Pantai Senggigi? Jawabannya; TIDAK!!!

Desa Pasirputih, 03 Oktober 2014

1 komentar:

  1. assalamualaikum wr, wb.aki saya:IBU,MARNI dan SEKELUARGA mengucapkan banyak2
    terimakasih kepada ata s angka togel yang di
    berikan "4D"yatu< 6148> kami menang 4.50 jta alhamdulillah ternyata itu benar2 jebol dan berkat
    bantua AKI MANGKUBONO melunasi semu hutang2 orang tua saya yang
    ada di BANK dan bukan hanya itu. aki. alhamdulillah sekarang saya
    sudah bisa bermodal sedikit untuk mencukupi kebutuhan keluarga saya
    sehari2. itu semua berkat bantuan aki sekali lagi makasih banyak
    yah aki… yang ingin merubah nasib seperti saya hubungi di
    nomor: -0852-0333-3887
    MANGKUBONO


    dijamin 100% jebol saya sudah buktikan...sendiri....



    Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!


    1"Dikejar-kejar hutang


    2"Selaluh kalah dalam bermain togel


    3"Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel

    KLIK DISINI


    BalasHapus