Rabu, 04 Desember 2013

PAK MIRSIDIK, 4 TAHUN BERSAMA

Pak Mirsidik, saat mengesahkan saya menjadi seorang sarjana

Sekarang, apabila saya mengangumi akan sosok  Bapak Paripurna P. Sugarda, dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang gelar akademisnya panjang melingkar macam jalan ring road yang mengitari Yogyakarta, maka dulu pun mengagumi sosok seorang dekan. Bedanya, dulu saya mengangumi seorang dekan di Fakultas Hukum milik sebuah universitas yang baru berdiri, tempat dimana saya belajar ilmu hukum secara formal untuk pertama kali. Ah, engkau pasti bergetar bila mendengar nama kampus saya dulu. Maka, ada baiknya sebelum saya menyebutnya, sebaiknya engkau mencari pegangan dulu biar tak terjatuh. Namanya Universitas Bangka Belitung, kampus pertama yang berbentuk universitas di kampung halaman kami.

Dekan itu, Pak Mirsidik namanya. Titel akademisnya memang tak semakmur Pak Parip, begitu Dekan Paripurna P. Sugarda biasa dipanggil. Sekalipun begitu, mengenai pengetahuan tentang ilmu hukuM, saya kira Pak Mirsidik tak kalah lincah dengan Pak Parip yang lulusan Eropa. Serupa kancil barangkali terlampau lincahnya beliau. Maklum, sebelum diangkat jadi seorang dekan saat kampus kami itu berdiri dulu, beliau aktif menjadi seorang pengacara. Dengar-dengar, perjalanan beliau meniti profesi itu juga cukup lenggang.Wah, hebat bukan dekan kami yang lincah macam kancil ini?

Sebetulnya, bukan perkara beliau yang mahir ilmu hukum dan lincah macam kancil itu yang membuat saya mengagumi beliau. Penyebabnya adalah sosok beliau yang sederhana. Selain itu, beliau juga suka tertawa-tawa saja bila mendengar mahasiswanya bercerita tentang hal yang tak jelas rimbanya, seperti mahasiswa macam saya yang bergurau dengan beliau. Seperti biasa, beliau cuma tertawa-tawa saja. Seingat saya, tak sekali pun beliau  marah terhadap saya, padahal dulu pernah saya masuk ruangan beliau sedang beliau terlelap menjelang siang. Saya mengetuk pintu lalu membukanya, maka terkejutlah beliau yang sedang pulas dengan mulut setengah terbuka.

"Wah, dekan kita ini tidur terus," kataku kepada kawan lain yang mengikuti dibelakang.

"Hahaha..." cuma itu jawabannya, tak lebih, apalagi marah. "Masuk-masuk, ada cerita apalagi?"

Nah, heran bukan bila kita masuk ruangan dekan, sang dekan justru bertanya ada cerita apalagi? Ah, bagi kami itu biasa, kawan. Soalnya, kami bersama dekan kami itu sering bercerita banyak hal, mulai dari perkara serius, sampai perkara remeh-temeh yang tak ada faedahnya barangkali selain mengundang "Hahaha" Pak Mirsidik dengan jumlah yang jauh lebih banyak. Seratus "ha" barangkali, sampai terpingkal-pingkal beliau setiap mendengar kami bercerita. Ah, Pak Mirisidik, saya jadi merindukan bapak sekarang. Serius. Sekali-kali, ingin saya bertandang kerumah bapak. Syaratnya, bapak traktir saya beli bakso enak depan rumah bapak itu ya? "Hahaha"

Cerita saya periha Pak Mirsidik sebetulnya sangatlah panjang. Salah satu yang saya ingat hingga kini adalah ulah saya dan teman-teman saya macam Acing, Yulis, dan Rere, yang sering meminta beliau membayar makan kami di kantin. Wah, mahasiswa macam apa ini? "Hahaha". Ah, bapak, padahal kami cuma bercanda saja, tapi kalau bapak menganggap itu tak main-main, saya kira itu jauh lebih baik. "Hahaha". Rupanya, suatu waktu ternyata beliau benar-benar ingin membayar kami makan dikantin. Subhanallah, bapak, ini main-main, sekalipun persantase main-mainnya tak lebih dari 0,1 %, bapak!!!

"Makan saja, bilang sama penjaga kantin, isi di kas bon bapak..."

Bapak, ini main-main. Bukankah begitu, kawan-kawan? Ah, sayang, kawan-kawan saya itu rupanya sepakat bahwa ini main-main,, padahal saya sudah mau meloncat kegirangan terlampau senangnya. Tak jadilah akhirnya saya makan uang pak dekan. Bapak, ini tidak main-main sebenarnya, saya lapar sekali.

Pengalaman lainnya yang masih saya ingat adalah saat saya mengibaratkan Pak Mirsisik sebagai seorang terdakwa. Saat itu, beliau menjadi salah seorang penguji pada sidang skripsi saya diantara hujan menjelang malam itu. Sebelum memasuki ruang sidang, saya sadar betul di dalamnya ada musuh bebuyutan saya, rang itu adalah Pak Mirsidik, dekam kami sendiri. Maka saya pun mencoba bersikap sesantai mungkin saat memasuki ruangan, lengkap dengan gaya lebay biar Pak Mirsidik tertawa "Hahaha". Alhamdulillah, berhasil, sekalipun saya meliat Pak Mirsidik tetap menjaga wibawanya sebagai seorang penguji. Ah, bapak, tertawalah dengan lebih banyak "ha", biar seru.

Saat itu, yang menguji saya adalah musuh  bebuyutan saya itu sebagai ketua, sahabat saya Jeanne Darc Novianti Manik, perempuan tomboy akibat alam yang salah mendidik, serta Pak Syamsul Hadi, salah seorang dosen pembimbing yang sempat saya temui di semak belukar, melewati jalan kuning penuh kubangan, hanya untuk minta tandatangan beliau yang beberapa kali garis saja. Ah, bapak, kalau cuma garis-garis, mengapalah saya harus menguras tenaga sampai sini?

Pemaparan saya selesai. Awas kalau ada "hahaha", wahai musuh bebuyutan. Pertengahan sidang, tibalah giliran beliau musuh bebuyutan saya ini yang bertanya. Ini yang saya tunggu-tunggu, silakan tanya apa saja, bapak. Beliau cuma bolak-balik skripsi saya itu. "Hahaha", saya tertawa dalam hati. Mengapa, bapak, tak ada pertanyaankah? Seraya melirik, beliau tersenyum-senyum, begitu pula dosen lain yang sepertinya mulai merasakan ada gelagat tak beres antara saya dan pak dekan.

"Coba jelaskan bagaimana misalnya sesorang yang berhak atas bantuan hukum cuma-cuma itu?"

Saya terperanjat. Ah, si bapak senyum-senyum rupanya. Otak sinting saya mulai tak sabar ingin segera dikerahkan. Otak sinting saya itu terus memukul-mukul kepala saya, sebelum akhirnya saya setujui dia untuk menyerang.

"Oh, begini, pak, misalkan ada seorang warga yang tidak mampu secara ekonomi, lalu melakukan tindak pidana, misalnya Pak Mirsidik mencuri..."

"Lha, kenapa saya?" terkejut rupanya beliau, tak percaya barangkalai saya akan menjawab seperti itu.

"Lha, kan bapak yang bertanya..." sanggahku mulai merasa memang.

"Saya tahu," katanya senyum-senyum, pahit tampaknya," tapi bukankah masih banyak nama lain," lanjutnya seraya menyebut nama kawan saya satu-satu.

"Oh, tidak bisa, bapak, pakai nama bapak saja, biar lebih mudah dipahami.."

Nah, dua dosen disampingnya tertawa pula. Bu Yokotani yang bertugas sebagai notulen kala itu pun senyum-senyum simpul.

"Hahaha...suka-suka kamulah..."katanya menyerah.

Pak Mirsidik, adalah saksi saya mengakhiri pendidikan saya di Fakultas Hukum, fakultas yang dibawanya semenjak baru pertama kali berdiri. Beliau pula yang akhirnya memindahkan toga saya saat wisuda. Selang beberaka waktu kemudian, saya mendengar berita bila musuh bebuyutan saya yang satu itu lak lagi menjadi dekan, tak pula menjadi dosen biasa. Beliau menepi dari aktivitas akademis, dengan alasan yang saya tak paham dan tau hendak mau memahaminya. Terlalu rumit. Setelah lulus, saya pun sempat beberapa kali berkunjung kerumah beliau. Sayang, tak sekalipun beliau berniat membayar saya membeli bakso enak depan rumahnya itu. Ah, bapak, padahal ini tidak  main-main.

Yogyakarta, 4 Desember 2013

Miss You Always, My "Musuh Bebuyutan", "Hahaha", engkau tetap dekan, namun engkau tetap pula seorang kawan, namun engkau bukan seorang terdakwa sebagaimana yang saya contohkan, itu hanya main-main.

3 komentar:

  1. rindu nian dengan pakmir.. selamanya di hati. dekan ad-interim boleh silih berganti, tapi tetap beliau yang saya akui.. beruntungnya abang sepergutuan saya ini, menamatkan gelar akademisnya di tangan sang dekan. ketika wisuda saya, bahkan kacamatanya pun tak kelihatan...
    sekedar berbagi cerita, singkat kisah di tahun 2012 kampus kita mencetak kalender meja. ada wajah saya di situ.. hahahaha...
    namun, entah tak sadar royalti atau apalah motifnya, tak sebarang benda apapun sampai kepada sang model ini. hahahaha...
    kupandangi kalender meja di meja pakmir kala itu, setengah merajuk bioang sungguh sayang aku tak punya kenang-kenangan diriku sendiri.
    melenggang keluar dari ruangan biro, diberikannyalah kalender itu.
    dengan singkat berkata : kelak k stress bapak payah... (nanti kalau kamu stress bapak yg susah...) hahahaha...
    rasa-rasanya kenangan itu akan terpatri selamanya..
    aih, pak dekanku sayang, pak dekanku malang...
    semoga masih ada jodoh bertemu lg dengan sepuh ini.. :)

    BalasHapus
  2. Ukeeeeeeeeeeeeeeeeeeee, air mataku berderai.Hahahaha....begitu banyak pengalaman bersama beliau, yang pasti selalu tertawa terbahak-bahak...Wkwkwkwkwk...Semoga, lekaslah pulang ke Bangka, tengok beliau, jangan melulu di ibukota Jakarte..Hihi...

    BalasHapus
  3. memang si ayah (kami biasa memanggilnya begitu), ... ku kterakhir ketemu belaiu, sebelum beliau naik haji... dan masih dengan nyantai tapi seriusnya ...

    BalasHapus