Senin, 02 Desember 2013

7 ORANG PETUALANG (Posting-an Pertama Trilogi “7 Orang Petualang")


Acing, dengan latar Pantai Tanjung Kelayang
Pengalaman adalah guru yang terbaik, begitu kata orang-orang. Sekalipun demikian, sampai sekarang, saya belum pernah bertemu dengaan guru yang bernama pengalaman itu. Lulusan sekolah mana dulu sebelum dia menjadi guru, pun saya tak banyak tahu. Saya sudah mencoba bertanya pada banyak orang, membolak-balik sejumlah buku, menelusurinya di dunia maya, namun tak pula saya menemukan biografi beliau. Ah, sadar pula saya akhirnya. Mungkin karena sikap beliau seperti itulah akhirnya beliau dinobatkan sebagai guru terbaik sepanjang masa, hingga kini. Pengalaman, tak macam guru lain, hanya mengajarkan bila apa yang telah kita alami sepatutnya dijadikan pelajaran. Sebuah tugas yang sangat mulia. Apalagi pengalaman tak hendak mengemukakan, siapa beliau sebenarnya, dimana sekarang beliau mengajar. Suatu hari, saya pernah bertanya pada beliau perihal itu, tapi beliau hanya menjawab singkat, “saya mengajar dimana saja.”

Saya sering belajar pada pengalaman, hampir setiap hari, bahkan setiap waktu. Salah satu pelajaran yang saya dapatkan dari pengalaman adalah saat saya dan enam kawan lain berada di Pantai Tanjung Kelayang, di Sungailiat, Bangka. Saya bersama teman-teman yang saya kenal semasa kuliah di Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung itu, betul-betul merasakan serupa apa bila pengalaman sudah memberi pelajaran terhadap kita. Apabila dia sudah member pelajaran terhadap kita, maka sulit bagi kita untuk melupakan materi pelajaran yang telah ia beri itu.

Lantas, apa yang membuat kejadian itu begitu sulit untuk dilupakan begitu saja? Ah, ceritanya panjang, kawan. Sebenarnya tidaklah panjang, tapi dipanjang-panjangkan saja biar seru. Nah, sebetulnya panjang tidak? Ah, panjang sajalah, betapa pun kelak cerita ini menjadi pendek, atau paling tidak dianggap pendek oleh sejumlah orang yang sudi membacanya. Harapannya sederhana sekali, saya sengaja mengatakan cerita ini panjang, supaya umur persahabatan kami juga berlangsung panjang. Sampai kakek-kakek, sampai nenek-nenek, sampai ajal menjemput kami.

Nah, begini ceritanya. Langsung saja, biar ceritanya tak tambah panjang oleh karena semula yang sudah sengaja dipanjang-panjangkan. Salah satu hal yang membuat kejadian ini sulit dilupakan bukan karena taksiran rupiah barang-barang yang hilang tersebut, atau dollar Singapura kata salah seorang teman saat menaksir harga ikat pinggangnya saat memberikan keterangan di kantor polisi, Mapolres Bangka (Induk) kala itu, di Sungailiat. Kawan saya yang satu itu berulang kai bilang bahwa ikat pinggangnya mahal, di beli di Singapura. Seandainya telinga punya perut dan mulut, mungkin mau muntah dia terlampau seringnya mendengar teman kami yang sat itu berujar periahk ikat pingganganya yang mahal dan dibeli di Singapura.
                Semasa kuliah S1 di UBB, kami memang sering secara tiba-tiba pergi pada suatu tempat tanpa direncanakan sebelumnya. Selesai kuliah misalnya, atau dosen yang tiba-tiba tak datang mengajar, maka dengan modal kesepakatan bersama kami pun meluncur pada suatu tempat untuk sekedar berngakak-ngakak ria dek keruan jatak. Orang Jawa bilang ngalor-ngidul, tertawa-tawa tak tentu arah tujuan pembicaraan yang sebenarnya. Oleh karena di Bangka banyak pantai yang letaknya saling berdimpitan, maka kami pun sering mengunjungi pantai yang ada disana. Pantai di Bangka memang banyak, hingga tak sulit bagi kami untuk mencari tempat pelarian akibat kuliah yang kosong atau sengaja mengosongkan kuliah yang sekali lagi dengan modal kesepakatan bersama.

                Di Pangkalpinang misalnya, biasanya kami pergi menelusuri Pantai Pasirpadi. Namun semenjak kampus kami yang unggul membangun peradaban itu pindah ke kawasan kampus terpadu di Balun Ijuk, sebuah desa yang terletak di Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka (Induk), antara Kota Sungailiat sebagai ibukota kabupaten dan Kota Pangkalpinang, maka destinasi pun bergeser ke pantai-pantai yang ada di pesisir timur Pulau Bangka, utamanya pantai-pantai yang ada di Sungailiat. Di Bangka, Sungailiat memang dikenal sebagai kawasan yang mempunyai begitu banyak pantai yang cantik-cantik. Namun kalau kami lagi malas memutar gas sepeda motor masing-masing menuju Sungailiat, biasanya kami hanya duduk-duduk di Alun-Alun Taman Merdeka di Pangkalpinang, atau di kawasan Tamansari, atau di-di yang lainnya, sebelum akhirnya berlanjut pada ritual musui depan El-John Plaza, tak jauh dari Pasar Pembangunan yang sekarang sudah menjadi Bangka Trade Center (BTC), sebuah pasar berkonsep modern.

Musui adalah sebutan untuk kegiatan orang-orang minum tew pusui (kalau tidak salah tulis, soalnya ini bahasa orang Tiong Hoa), minuman yang terbuat dari kacang kedelai. Susu kedelailah mungkin. Kalau di Jogja ada kopi joss, diminum sambil makan nasi kucing lengkap dengan sate usus ayam, kepala ayam yang sampai sekarang tetap membuat saya bergidik untuk melahapnya, sate telor puyuh, sate keong yang enak minta ampun meskipun awal makan makanan yang terkesan “hiiiii” ini saya seperti dijebak karena mengira itu sate kerang laut, lalu ada sate kerang, ceker ayam, dan sebagainya itu, maka di Bangka orang-orang minum tew pusui ditemani sejumlah penganan khas daerah ini, semacam pempek, otak-otak dengan aneka bentuk, dan macam-macam lain yang saya sendiri lupa apa namanya. Tidak sulit menemukan orang berjualan ini di Bangka, pagi-pagi juga ada, tapi lebih enak kalau malam hari.

Nah, tibalah pada suatu hari dimana kami yang orang-orang sial malang minta ampun ini berencana pergi ke pantai Tanjung Kelayang, salah satu pantai yang ada di Sungailiat. Kami merencanakan ini saat duduk-duduk (dan foto-foto) di Alun-Alun Taman Merdeka pada sebuah senja. Maka besoknya kami pun menunaikan rencana itu dengan semangat yang melimpah ruah. Saya masih ingat betul kala itu pagi-pagi saya sudah menjemput teman saya diujung kota sebelum akhirnya berkumpul di rumah seorang teman di tengah kota. Nama teman saya yang badannya makmur, adil dan sentoda itu Renilda namanya, lengkapnya Renilda Putri Gumala. Haha…No, Gumala itu nama Bapaknya teman saya itu, lengkapnya Gumala Syamsumin, dan saya kenal beliau cukup baik bersama istrinya Ibu Yuniarti atau yang akrab saya panggil Ibu. Nah, teman saya yang ini namanya tetap Renilda, setidaknya itu namanya yang sah secara yuridis, tidak ada Gumala, apalagi Putri dibelakangnamanya itu. Tapi apabila kelak dia menghendaki nama itu, apa pun alasannya itu hak dia. Hehe. Fokus, teman saya yang bernama Renilda ini biasa kami panggil Rere. Titik.

Dalam perjalanan kerumah teman ditengah kota itu, setengah perjalanan, tiba-tiba hujan turun begitu derasnya. Maka cepat-cepat saya berhenti pada teras sebuah toko yang kebetulan tutup pada hari itu. Cukup lama juga kami berteduh disitu bersama pengendara lain yang pula ikut berteduh. Hujan belum juga reda, bahkan semakin tumpah bagai tak terkendali. Alamat bakal batal rencana ini, kataku dengan temanku itu sambil ngakak-ngakak. Sementara teman kami yang rumahnya ditengah kota itu selalu bertanya-tanya perihal posisi kami, seraya menginformasikan siapa saja yang sudah tiba dirumahnya. Nah, mari berkenalan dengan teman saya yang satu ini, namanya Yulistia Akbari Madjid.Hehe…Namanya cuma Yulistia Akbari saja, biasa dipanggil Yulis, sedang Madjid adalah nama almarhum kakek kesayanganya yang selama saya berteman dengannya belum sempat aku temui barang satu kali pun. Beliau, kakek kesayangan teman saya yang satu ini, meninggal pada usia pertemanan kami yang masih relatif baru.

Hujan pun berhenti, menyisakan tetes demi setetes. Perjalanan kami lanjutkan. Tapi tak lama itu, langit mulai kembali gelap petanda hujan akan kembali turun. Maka dengan cepat saya pacu sepeda motor menuju rumah salah seorang teman sebelum dihujam hujan pagi itu. Alhamdulillah, sampai juga akhirnya dirumah salah seorang teman, diiringi hujan yang pula ikut sampai ke bumi, jauh lebih deras dari hujan sebelumnya. Alamat bakal batal rencana hari ini, pikir kami untuk yang kedua kalinya sambil berdoa semoga hujan lekas reda. Namun bukannya reda, hujan turuan kian beringas  dikawali kilat dan petir yang saling berbalas. Sementara jarum jam dinding dirumah Yulis itu kian meninggi, siang mulai menjelma.

Sebelum kami, saya dan Rere tiba dirumah Yulis, ada salah seorang teman yang datang lebih dulu dirumah teman kala itu, maka kami berempat berkumpul dirumah itu dikurung oleh hujan yang membuat kami sedikit murung. Nama teman saya itu Harianto. Nah, nama dia memang Harianto, kawan, namun jangan lekas membayangkan bila teman saya yang bernama Harianto itu adalah seorang yang berasal dari Pulau Jawa. Dia bukan orang Jawa, pun bukan pula orang Melayu Bangka. Dia orang Belitung, tapi bukan pula orang Melayu Belitung. Dia orang Tiong Hoa, kawan. Bukan bermaksud SARA dengan menyinggung nama dia dengan orang Jawa, namun bagi anda yang mengerti akan sejarah kawan-kawan Tiong Hoa kita pasti paham mengapa kemudian kawan-kawan kita ini selalu punya dua nama, termasuk pula teman saya yang satu ini.

Secara yuridis,, nama dia Harianto, atau yang sering dia panjang-panjangkan dengan menambah dua penggal kata sehingga menjadi Harianto Alvonda Jansen. Mengapa saya katakan kawan-kawan Tiong Hoa kita saya katakan punya dua nama, sebabnya tak lain karena mereka selalu punya nama berindikasi nama Indonesia pada umumnya, selain itu mereka juga punya nama yang terdiri atas susunan kata berbahasa orang Tiong Hoa. Selain itu, meeka juga punya nama kecil sebagai nama panggilan, seperti Harianto ini yang akrab dipanggil Acing. Mengenai dua nama dibelakang namanya itu, pahamilah itu sebagai nama keluarganya dia. Dan, itu pun masih mungkin.

Ah, mengenai teman saya yang kontroversial ini, tak cukup satu eksemplar buku untuk bercertia tentang dia seorang diri. Anda tentu mengenal Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok? Nah, pahami Ahok, maka pahamlah akan sosok Acing ini. Maklum, sama-sama orang Belitung Timur. Bagi anda yang suka film produksi Bollywood, tahulah pasti akan Tuan Virus dalam film 3 Idiot, terutama saat adegan beliau naik sepeda. Nah, itu satu lagi gambaran perihal temanku ini. Sudahlah, sebagaimana yang telah saya utarakan dimuka, tak cukup halaman untuk bercerita perihal beliau yang ini.

Mulanya, ada tujuh orang yang bakal berangkat pagi itu, sesuai rencana kemarin sore. Namun entah kenapa, sisanya yang bertiga orang itu mengirim kabar sepertinya mereka tidak bisa ikut oleh entah karena apa. Namanya kesepakatan yang tidak dituangkan dalam bentuk tertulis, siapa dan kapanpun sekehendak hati bisa ditabrak begitu saja. Itikad sudah baik, mau bepergian secara bersama-sama. Namun sebaik apa pun itikad itu toh bila ada alasan kuat untuk tidak bisa menunaikan isi kesepakatan, konsekuensinya paling-paling yang tak bisa berangkat alamat akan ditinggal, yang bisa berangkat tetap berangkat berapa pun yang tersisa. Maka seperti itu pulalah yang terjadi dengan kami kala itu. Sisa empat orang, kami tetap harus menunaikan rencana ini, tidak boleh tidak. Maka sehabis hujan rebah segalanya merayap-rayap ditanah, berangkatlahkami berempaat orang itu menuju lokasi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Manakala kami tiba dirumah Yulis, hujan kian melimpah ruah tak hendak berhenti barang sedetik pun. Suara guruh bergemuruh. Kilat saling menjilat. Sedang cuaca kian dingin saja oleh tiupan angin yang melompat diantara hujaman hujan yang kejam. Saya sempat menatap muka teman saya satu demi satu, mulai layu oleh kekecewaan alamat tak jadi berangkat. Bahkan ada teman yang sudah ambil posisi untuk merangkak ke alam mimpi alias tidur, dan cepat-cepat aku mengikuti langkah itu. Selanjutnya langkah itu diikuti oleh yang lain tanpa terkecuali. Cuaca yang dingin membuat mata mudah terpejam, lalu lelap entah kemana. Singkat cerita, kami tergeletak tidur-tidur ayam di ruang tamu rumah Yulistia Akbari.

Sementara dibalik jendela kaca, hujan masih seperti semula. Berjam-jam lamanya, siang hampir tergelincir padahal. Saya sendiri memutusan untuk membatalkan rencana hari itu, dalam hati. Cuaca akibat hujan hari itu membuat rasa malas dengan mudah mendekap. Lama-lama hujan mulai jinak, pelan-pelan mulai berhenti. Sekali lagi saya menatap wajah teman saya satu demi satu, mereka mulai tersenyum. Namun cuaca yang dingin sedari tadi membuat senyum itu berujung pada rangkaaian kata yang berarti bahwa kami harus membatalkan rencana hari itu. Alasannya sederhana saja, posisi sudah terlanjur enak untuk melanjutkan tidur siang. Namun entah bagaimana ceritanya, kembali berbekal kesepakatan bersama, kami pun segera bangkit dang meraih segala rupa bawaan untuk selanjutnya menuju Pantai Tanjung Kelayang.
Saat itu, saya berboncengan dengan Rere, sedang Acing berboncengan dengan Yulis. Selanjutnya formasi bonceng membonceng itu seolah menjadi tradisi yang tanda disadari berlangsung seperti itu, saya yang selalu berpasangan dengan Rere, kadang sebaliknya. Begitupula dengan Acing dan Yulis. Namun tak jarang pula posisi itu berubah, hanya saja yang paling jarang dan hampir tidak pernah sama sekali adalah Acing yang berbonceng dengan Rere. Haha…Ini serius, dan nyata.

Pendek cerita,kami terus memacu sepeda motor menuju lokasi. Langit masih gelap, sisa-sisa hujan sepertinya belum seluruhnya turun. Hujan yang tadi turun pun belum sepenuhnya reda,masih menyisakan beberapa titik air hujan yang cukup dingin. Namun benar rupanya, tepat dipenghujung Desa Pagarawan di Kecamatan Merawang, hujan pun rebah dengan melimpah. Cepat-cepat kami berteduh pada sebuah took kelontongan, kalau tidak salah ingat. Orang-orang sudah ramai pula berteduh ditemapt itu.

Setelah reda, perjalanan kami lanjutkan tanpa menyerah. Air hujan yang sudah jatuh masih mengalir bebas diatas jalan yang beraspal sehingga ajalan tam[ak licin mengkilat. Hati-hati sekali kami memacu sepeda motor. Sepertii tadi, langit belum kunjung teran, awan yang seolah kian hitam saja tetap menggulung dan bergantung diatas sana. Semoga tidak hujan lagi, pikirku dalam hati sambil berdoa. Hal yang sama mungkin dilakukan oleh teman-teman yang lain. Namun sayang, Tuhan tampaknya belum sepakat dengan pikiran kami. Tepat di depan pemakanan orang Tiong Hoa di Desa Riding Panjang, hujan kembali turun. Maka kami pun segera menepi, berteduh pada sebuah bengkel tepat didepan kuburan itu.

Sepertinya Tuhan tidak mengizinkan kita bepergian hari ini, kata kami kemudian saling berujar satu sama lain. Bagaimana tidak, sampai di depan kuburan itu, terhitung empat kali kami berteduh, termasuk saat berhenti dirumah Yulis tak lama lalu. Namun terlepas dari itu semua, kami masih berharap hujan kembali reda sehingga kami bisa melanjutkan perjalanan yang tertunda ini. Dari tempat berteduh, sebagaimana hujan yang tak kunjung berhenti, teman kami yang bertiga orang yang semula berkabar tidak ikut berangkat, tiba-tiba menanyakan dimana posisi kami. Mereka mau menyusul katanya. Mau menyusul atau tidak, yang jelas kala itu kami sudah setengah pejalanan untuk sampai ke Pantai Tanjung Kelayang.

Cuaca mulai terang. Matahari mulai tak tahan untuk mencumbu pucuk-pucuk pohon. Alhamdulillah, kami sangat bersyukur sekali. Tuhan memang baik. Atau barangkali Tuhan sebal dengan kami, dengan hamba-hamba-Nya yang tak pula putar arah sekalipun batu menjadi pengganti air hujan. Ah, apapun alasan Tuhan berhenti menumpah hujan, kami bersyukur terhadap-Nya. Maka, kami pun melanjutkan perjalanan diantara sengatan sinar matahari yang mulai mengeringkan sisa-sisa hujan yang kadangkala masih turun pula. Ah, ini hujan-panas namanya, tak baik kata orang-orang dulu bila hujan-panas sedang kita berada diantaranya. Biarlah tapi, sudah kepalang.

Akhirnya, kami tiba di Sungailiat. Dari dulu, saya sangat menyukai kota ini. Selain cantik, tentu saja kota ini bersih dan rapi. Kami singgah disebuah rumah makan Padang, tak jauh dari terminal. Lama-lama kena hujan, membuat perut kami sontak menjadi pemberontak hendak meminta haknya sebagai bagian dari organ tubuh yang dilindungi undang-undang perorgantubuhan. Ah, perut, berontak tiada henti, namun yang makmur tetap saja Rere. Saya, yang sekalipun makan dengan rumah makannya sekalian, dengan pemilik rumah makannya, namun tak pula makmur, adil dan sentosa.
“Mereka bertiga menyusul,” kata Yulis tiada hentinya.

Bodoh. Mau menyusul, mau tidak, yang penting makan dulu. Mereka menyusul atau pun tidak, kalau kita tak makan, tetap saja lapar bukan? Nah, makanya, sebaiknya kita makan dulu. Lagipula, kami sebetulnya tak terlalu percaya dengan kawan kami yang bertiga orang itu, yang katanya sudah memasuki wilayah Sungailiat. Sekali melanggar janji, tetap saja melanggar janji. Namun ternyata pendapat kami salah. Kawan kami yang tiga orang itu tiba-tiba menyelinap begitu saja, tahu-tahu sudah menghampiri kami yang masih terpaku di depan warung makan padang. Cengengesan pula, ingin rasanya saya memotong telinga mereka satu-satu. Namun tak apalah, gembira pula akhirnya kami bisa menunaikan rencana dengan jumlah kawan yang tiada kurang satu pun. Maksudnya, tiada kurang satu pun dari kawan-kawan kemarin yang menyusun rencana.

Selesai menunaikan kewajiban pemenuhan hak atas salah satu organ tubuh yang paling penting, biar tak melanggar hak asasi perorgantubuhan, membeli sejumlah makanan dan minuman ringan di sebuah toko kelontongan depan rumah makan Padang, kami langsung berpetualang. Pertualangan 7 orang petualang, yang kelak akan mempertemukan kami dengan sang guru terbaik bernama pengalaman. Pelajaran apa saja yang diberikan pengalan kepada kami? Sangar berharga pengalaman itu, kawan, sulit untuk dilupakan.

Yogyakarta, 3 Desember 2013

(Siapakah kawan kami bertiga orang yang ingin sekali kupingnya saya potong satu-satu itu, dan apa yang terjadi dengan pertualangan kami kelak? Hahaha….Nantikan cerita selanjutnya dalam “MEDUSA”, postingan kedua trilogi “7 Orang Petualang”)

1 komentar: