Acing, dengan latar Pantai Tanjung Kelayang |
Saya sering belajar pada
pengalaman, hampir setiap hari, bahkan setiap waktu. Salah satu pelajaran yang
saya dapatkan dari pengalaman adalah saat saya dan enam kawan lain berada di
Pantai Tanjung Kelayang, di Sungailiat, Bangka. Saya bersama teman-teman yang
saya kenal semasa kuliah di Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung itu, betul-betul
merasakan serupa apa bila pengalaman sudah memberi pelajaran terhadap kita.
Apabila dia sudah member pelajaran terhadap kita, maka sulit bagi kita untuk
melupakan materi pelajaran yang telah ia beri itu.
Lantas, apa
yang membuat kejadian itu begitu sulit untuk dilupakan begitu saja? Ah,
ceritanya panjang, kawan. Sebenarnya tidaklah panjang, tapi
dipanjang-panjangkan saja biar seru. Nah, sebetulnya panjang tidak? Ah, panjang
sajalah, betapa pun kelak cerita ini menjadi pendek, atau paling tidak dianggap
pendek oleh sejumlah orang yang sudi membacanya. Harapannya sederhana sekali,
saya sengaja mengatakan cerita ini panjang, supaya umur persahabatan kami juga
berlangsung panjang. Sampai kakek-kakek, sampai nenek-nenek, sampai ajal
menjemput kami.
Nah, begini
ceritanya. Langsung saja, biar ceritanya tak tambah panjang oleh karena semula
yang sudah sengaja dipanjang-panjangkan. Salah satu hal yang membuat kejadian
ini sulit dilupakan bukan karena taksiran rupiah barang-barang yang hilang
tersebut, atau dollar Singapura kata salah seorang teman saat menaksir harga
ikat pinggangnya saat memberikan keterangan di kantor polisi, Mapolres Bangka
(Induk) kala itu, di Sungailiat. Kawan saya yang satu itu berulang kai bilang
bahwa ikat pinggangnya mahal, di beli di Singapura. Seandainya telinga punya
perut dan mulut, mungkin mau muntah dia terlampau seringnya mendengar teman
kami yang sat itu berujar periahk ikat pingganganya yang mahal dan dibeli di
Singapura.
Semasa
kuliah S1 di UBB, kami memang sering secara tiba-tiba pergi pada suatu tempat
tanpa direncanakan sebelumnya. Selesai kuliah misalnya, atau dosen yang
tiba-tiba tak datang mengajar, maka dengan modal kesepakatan bersama kami pun
meluncur pada suatu tempat untuk sekedar berngakak-ngakak ria dek keruan
jatak. Orang Jawa bilang
ngalor-ngidul, tertawa-tawa tak tentu arah tujuan pembicaraan yang sebenarnya.
Oleh karena di Bangka banyak pantai yang letaknya saling berdimpitan, maka kami
pun sering mengunjungi pantai yang ada disana. Pantai di Bangka memang banyak,
hingga tak sulit bagi kami untuk mencari tempat pelarian akibat kuliah yang
kosong atau sengaja mengosongkan kuliah yang sekali lagi dengan modal
kesepakatan bersama.
Di
Pangkalpinang misalnya, biasanya kami pergi menelusuri Pantai Pasirpadi. Namun
semenjak kampus kami yang unggul membangun peradaban itu pindah ke kawasan
kampus terpadu di Balun Ijuk, sebuah desa yang terletak di Kecamatan Merawang,
Kabupaten Bangka (Induk), antara Kota Sungailiat sebagai ibukota kabupaten dan
Kota Pangkalpinang, maka destinasi pun bergeser ke pantai-pantai yang ada di
pesisir timur Pulau Bangka, utamanya pantai-pantai yang ada di Sungailiat. Di
Bangka, Sungailiat memang dikenal sebagai kawasan yang mempunyai begitu banyak
pantai yang cantik-cantik. Namun kalau kami lagi malas memutar gas sepeda motor
masing-masing menuju Sungailiat, biasanya kami hanya duduk-duduk di Alun-Alun
Taman Merdeka di Pangkalpinang, atau di kawasan Tamansari, atau di-di yang
lainnya, sebelum akhirnya berlanjut pada ritual musui depan El-John Plaza, tak jauh dari Pasar Pembangunan yang
sekarang sudah menjadi Bangka Trade Center (BTC), sebuah pasar berkonsep
modern.
Musui adalah sebutan untuk kegiatan
orang-orang minum tew pusui (kalau tidak salah tulis, soalnya
ini bahasa orang Tiong Hoa), minuman yang terbuat dari kacang kedelai. Susu
kedelailah mungkin. Kalau di Jogja ada kopi joss, diminum sambil makan nasi kucing
lengkap dengan sate usus ayam, kepala ayam yang sampai sekarang tetap membuat
saya bergidik untuk melahapnya, sate telor puyuh, sate keong yang enak minta
ampun meskipun awal makan makanan yang terkesan “hiiiii” ini saya seperti
dijebak karena mengira itu sate kerang laut, lalu ada sate kerang, ceker ayam,
dan sebagainya itu, maka di Bangka orang-orang minum tew pusui ditemani
sejumlah penganan khas daerah ini, semacam pempek, otak-otak dengan aneka
bentuk, dan macam-macam lain yang saya sendiri lupa apa namanya. Tidak sulit
menemukan orang berjualan ini di Bangka, pagi-pagi juga ada, tapi lebih enak
kalau malam hari.
Nah, tibalah
pada suatu hari dimana kami yang orang-orang sial malang minta ampun ini
berencana pergi ke pantai Tanjung Kelayang, salah satu pantai yang ada di
Sungailiat. Kami merencanakan ini saat duduk-duduk (dan foto-foto) di Alun-Alun
Taman Merdeka pada sebuah senja. Maka besoknya kami pun menunaikan rencana itu
dengan semangat yang melimpah ruah. Saya masih ingat betul kala itu pagi-pagi
saya sudah menjemput teman saya diujung kota sebelum akhirnya berkumpul di
rumah seorang teman di tengah kota. Nama teman saya yang badannya makmur, adil
dan sentoda itu Renilda namanya, lengkapnya Renilda Putri Gumala. Haha…No,
Gumala itu nama Bapaknya teman saya itu, lengkapnya Gumala Syamsumin, dan saya
kenal beliau cukup baik bersama istrinya Ibu Yuniarti atau yang akrab saya
panggil Ibu. Nah, teman saya yang ini namanya tetap Renilda, setidaknya itu
namanya yang sah secara yuridis, tidak ada Gumala, apalagi Putri
dibelakangnamanya itu. Tapi apabila kelak dia menghendaki nama itu, apa pun
alasannya itu hak dia. Hehe. Fokus, teman saya yang bernama Renilda ini biasa
kami panggil Rere. Titik.
Dalam
perjalanan kerumah teman ditengah kota itu, setengah perjalanan, tiba-tiba
hujan turun begitu derasnya. Maka cepat-cepat saya berhenti pada teras sebuah
toko yang kebetulan tutup pada hari itu. Cukup lama juga kami berteduh disitu
bersama pengendara lain yang pula ikut berteduh. Hujan belum juga reda, bahkan
semakin tumpah bagai tak terkendali. Alamat bakal batal rencana ini, kataku
dengan temanku itu sambil ngakak-ngakak. Sementara teman kami yang rumahnya
ditengah kota itu selalu bertanya-tanya perihal posisi kami, seraya
menginformasikan siapa saja yang sudah tiba dirumahnya. Nah, mari berkenalan
dengan teman saya yang satu ini, namanya Yulistia Akbari Madjid.Hehe…Namanya cuma
Yulistia Akbari saja, biasa dipanggil Yulis, sedang Madjid adalah nama almarhum
kakek kesayanganya yang selama saya berteman dengannya belum sempat aku temui
barang satu kali pun. Beliau, kakek kesayangan teman saya yang satu ini,
meninggal pada usia pertemanan kami yang masih relatif baru.
Hujan pun
berhenti, menyisakan tetes demi setetes. Perjalanan kami lanjutkan. Tapi tak
lama itu, langit mulai kembali gelap petanda hujan akan kembali turun. Maka
dengan cepat saya pacu sepeda motor menuju rumah salah seorang teman sebelum
dihujam hujan pagi itu. Alhamdulillah, sampai juga akhirnya dirumah salah
seorang teman, diiringi hujan yang pula ikut sampai ke bumi, jauh lebih deras
dari hujan sebelumnya. Alamat bakal batal rencana hari ini, pikir kami untuk
yang kedua kalinya sambil berdoa semoga hujan lekas reda. Namun bukannya reda,
hujan turuan kian beringas dikawali
kilat dan petir yang saling berbalas. Sementara jarum jam dinding dirumah Yulis
itu kian meninggi, siang mulai menjelma.
Sebelum kami, saya
dan Rere tiba dirumah Yulis, ada salah seorang teman yang datang lebih dulu
dirumah teman kala itu, maka kami berempat berkumpul dirumah itu dikurung oleh
hujan yang membuat kami sedikit murung. Nama teman saya itu Harianto. Nah, nama
dia memang Harianto, kawan, namun jangan lekas membayangkan bila teman saya yang
bernama Harianto itu adalah seorang yang berasal dari Pulau Jawa. Dia bukan
orang Jawa, pun bukan pula orang Melayu Bangka. Dia orang Belitung, tapi bukan
pula orang Melayu Belitung. Dia orang Tiong Hoa, kawan. Bukan bermaksud SARA
dengan menyinggung nama dia dengan orang Jawa, namun bagi anda yang mengerti
akan sejarah kawan-kawan Tiong Hoa kita pasti paham mengapa kemudian
kawan-kawan kita ini selalu punya dua nama, termasuk pula teman saya yang satu
ini.
Secara
yuridis,, nama dia Harianto, atau yang sering dia panjang-panjangkan dengan
menambah dua penggal kata sehingga menjadi Harianto Alvonda Jansen. Mengapa
saya katakan kawan-kawan Tiong Hoa kita saya katakan punya dua nama, sebabnya
tak lain karena mereka selalu punya nama berindikasi nama Indonesia pada
umumnya, selain itu mereka juga punya nama yang terdiri atas susunan kata
berbahasa orang Tiong Hoa. Selain itu, meeka juga punya nama kecil sebagai nama
panggilan, seperti Harianto ini yang akrab dipanggil Acing. Mengenai dua nama
dibelakang namanya itu, pahamilah itu sebagai nama keluarganya dia. Dan, itu
pun masih mungkin.
Ah, mengenai
teman saya yang kontroversial ini, tak cukup satu eksemplar buku untuk
bercertia tentang dia seorang diri. Anda tentu mengenal Basuki Tjahaja Purnama
atau Ahok? Nah, pahami Ahok, maka pahamlah akan sosok Acing ini. Maklum,
sama-sama orang Belitung Timur. Bagi anda yang suka film produksi Bollywood,
tahulah pasti akan Tuan Virus dalam film 3 Idiot, terutama saat adegan beliau
naik sepeda. Nah, itu satu lagi gambaran perihal temanku ini. Sudahlah,
sebagaimana yang telah saya utarakan dimuka, tak cukup halaman untuk bercerita
perihal beliau yang ini.
Mulanya, ada
tujuh orang yang bakal berangkat pagi itu, sesuai rencana kemarin sore. Namun
entah kenapa, sisanya yang bertiga orang itu mengirim kabar sepertinya mereka
tidak bisa ikut oleh entah karena apa. Namanya kesepakatan yang tidak
dituangkan dalam bentuk tertulis, siapa dan kapanpun sekehendak hati bisa
ditabrak begitu saja. Itikad sudah baik, mau bepergian secara bersama-sama.
Namun sebaik apa pun itikad itu toh bila ada alasan kuat untuk tidak bisa
menunaikan isi kesepakatan, konsekuensinya paling-paling yang tak bisa
berangkat alamat akan ditinggal, yang bisa berangkat tetap berangkat berapa pun
yang tersisa. Maka seperti itu pulalah yang terjadi dengan kami kala itu. Sisa
empat orang, kami tetap harus menunaikan rencana ini, tidak boleh tidak. Maka
sehabis hujan rebah segalanya merayap-rayap ditanah, berangkatlahkami berempaat
orang itu menuju lokasi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Manakala kami
tiba dirumah Yulis, hujan kian melimpah ruah tak hendak berhenti barang sedetik
pun. Suara guruh bergemuruh. Kilat saling menjilat. Sedang cuaca kian dingin
saja oleh tiupan angin yang melompat diantara hujaman hujan yang kejam. Saya
sempat menatap muka teman saya satu demi satu, mulai layu oleh kekecewaan
alamat tak jadi berangkat. Bahkan ada teman yang sudah ambil posisi untuk
merangkak ke alam mimpi alias tidur, dan cepat-cepat aku mengikuti langkah itu.
Selanjutnya langkah itu diikuti oleh yang lain tanpa terkecuali. Cuaca yang
dingin membuat mata mudah terpejam, lalu lelap entah kemana. Singkat cerita,
kami tergeletak tidur-tidur ayam di ruang tamu rumah Yulistia Akbari.
Sementara
dibalik jendela kaca, hujan masih seperti semula. Berjam-jam lamanya, siang
hampir tergelincir padahal. Saya sendiri memutusan untuk membatalkan rencana
hari itu, dalam hati. Cuaca akibat hujan hari itu membuat rasa malas dengan
mudah mendekap. Lama-lama hujan mulai jinak, pelan-pelan mulai berhenti. Sekali
lagi saya menatap wajah teman saya satu demi satu, mereka mulai tersenyum.
Namun cuaca yang dingin sedari tadi membuat senyum itu berujung pada rangkaaian
kata yang berarti bahwa kami harus membatalkan rencana hari itu. Alasannya
sederhana saja, posisi sudah terlanjur enak untuk melanjutkan tidur siang.
Namun entah bagaimana ceritanya, kembali berbekal kesepakatan bersama, kami pun
segera bangkit dang meraih segala rupa bawaan untuk selanjutnya menuju Pantai
Tanjung Kelayang.
Saat itu, saya
berboncengan dengan Rere, sedang Acing berboncengan dengan Yulis. Selanjutnya
formasi bonceng membonceng itu seolah menjadi tradisi yang tanda disadari
berlangsung seperti itu, saya yang selalu berpasangan dengan Rere, kadang
sebaliknya. Begitupula dengan Acing dan Yulis. Namun tak jarang pula posisi itu
berubah, hanya saja yang paling jarang dan hampir tidak pernah sama sekali
adalah Acing yang berbonceng dengan Rere. Haha…Ini serius, dan nyata.
Pendek
cerita,kami terus memacu sepeda motor menuju lokasi. Langit masih gelap,
sisa-sisa hujan sepertinya belum seluruhnya turun. Hujan yang tadi turun pun
belum sepenuhnya reda,masih menyisakan beberapa titik air hujan yang cukup
dingin. Namun benar rupanya, tepat dipenghujung Desa Pagarawan di Kecamatan
Merawang, hujan pun rebah dengan melimpah. Cepat-cepat kami berteduh pada
sebuah took kelontongan, kalau tidak salah ingat. Orang-orang sudah ramai pula
berteduh ditemapt itu.
Setelah reda,
perjalanan kami lanjutkan tanpa menyerah. Air hujan yang sudah jatuh masih
mengalir bebas diatas jalan yang beraspal sehingga ajalan tam[ak licin mengkilat.
Hati-hati sekali kami memacu sepeda motor. Sepertii tadi, langit belum kunjung
teran, awan yang seolah kian hitam saja tetap menggulung dan bergantung diatas
sana. Semoga tidak hujan lagi, pikirku dalam hati sambil berdoa. Hal yang sama
mungkin dilakukan oleh teman-teman yang lain. Namun sayang, Tuhan tampaknya
belum sepakat dengan pikiran kami. Tepat di depan pemakanan orang Tiong Hoa di
Desa Riding Panjang, hujan kembali turun. Maka kami pun segera menepi, berteduh
pada sebuah bengkel tepat didepan kuburan itu.
Sepertinya
Tuhan tidak mengizinkan kita bepergian hari ini, kata kami kemudian saling
berujar satu sama lain. Bagaimana tidak, sampai di depan kuburan itu, terhitung
empat kali kami berteduh, termasuk saat berhenti dirumah Yulis tak lama lalu.
Namun terlepas dari itu semua, kami masih berharap hujan kembali reda sehingga
kami bisa melanjutkan perjalanan yang tertunda ini. Dari tempat berteduh,
sebagaimana hujan yang tak kunjung berhenti, teman kami yang bertiga orang yang
semula berkabar tidak ikut berangkat, tiba-tiba menanyakan dimana posisi kami.
Mereka mau menyusul katanya. Mau menyusul atau tidak, yang jelas kala itu kami
sudah setengah pejalanan untuk sampai ke Pantai Tanjung Kelayang.
Cuaca mulai
terang. Matahari mulai tak tahan untuk mencumbu pucuk-pucuk pohon.
Alhamdulillah, kami sangat bersyukur sekali. Tuhan memang baik. Atau barangkali
Tuhan sebal dengan kami, dengan hamba-hamba-Nya yang tak pula putar arah
sekalipun batu menjadi pengganti air hujan. Ah, apapun alasan Tuhan berhenti
menumpah hujan, kami bersyukur terhadap-Nya. Maka, kami pun melanjutkan
perjalanan diantara sengatan sinar matahari yang mulai mengeringkan sisa-sisa
hujan yang kadangkala masih turun pula. Ah, ini hujan-panas namanya, tak baik
kata orang-orang dulu bila hujan-panas sedang kita berada diantaranya. Biarlah
tapi, sudah kepalang.
Akhirnya, kami
tiba di Sungailiat. Dari dulu, saya sangat menyukai kota ini. Selain cantik,
tentu saja kota ini bersih dan rapi. Kami singgah disebuah rumah makan Padang,
tak jauh dari terminal. Lama-lama kena hujan, membuat perut kami sontak menjadi
pemberontak hendak meminta haknya sebagai bagian dari organ tubuh yang
dilindungi undang-undang perorgantubuhan. Ah, perut, berontak tiada henti,
namun yang makmur tetap saja Rere. Saya, yang sekalipun makan dengan rumah
makannya sekalian, dengan pemilik rumah makannya, namun tak pula makmur, adil
dan sentosa.
“Mereka
bertiga menyusul,” kata Yulis tiada hentinya.
Bodoh. Mau
menyusul, mau tidak, yang penting makan dulu. Mereka menyusul atau pun tidak,
kalau kita tak makan, tetap saja lapar bukan? Nah, makanya, sebaiknya kita
makan dulu. Lagipula, kami sebetulnya tak terlalu percaya dengan kawan kami
yang bertiga orang itu, yang katanya sudah memasuki wilayah Sungailiat. Sekali
melanggar janji, tetap saja melanggar janji. Namun ternyata pendapat kami
salah. Kawan kami yang tiga orang itu tiba-tiba menyelinap begitu saja,
tahu-tahu sudah menghampiri kami yang masih terpaku di depan warung makan
padang. Cengengesan pula, ingin rasanya saya memotong telinga mereka satu-satu.
Namun tak apalah, gembira pula akhirnya kami bisa menunaikan rencana dengan
jumlah kawan yang tiada kurang satu pun. Maksudnya, tiada kurang satu pun dari
kawan-kawan kemarin yang menyusun rencana.
Selesai
menunaikan kewajiban pemenuhan hak atas salah satu organ tubuh yang paling
penting, biar tak melanggar hak asasi perorgantubuhan, membeli sejumlah makanan
dan minuman ringan di sebuah toko kelontongan depan rumah makan Padang, kami
langsung berpetualang. Pertualangan 7 orang petualang, yang kelak akan mempertemukan
kami dengan sang guru terbaik bernama pengalaman. Pelajaran apa saja yang diberikan pengalan kepada kami? Sangar berharga pengalaman itu, kawan, sulit untuk dilupakan.
Yogyakarta, 3 Desember 2013
mane kelanjutan eeeee :p
BalasHapus