Ilustrasi (Sumber : 2.bp.blogspot.com) |
Pengalaman pahit saat kali pertama tinggal di Yogyakarta
adalah saat saya dan seorang teman ditilang polisi. Sial bukan main rasanya,
Yogyakarta yang punya gelar “daerah istimewa” itu rasanya benar-benar istimewa,
terlampau istimewanya sehingga orang yang baru beberapa hari tinggal di
Yogyakarta langsung ditilang begitu saja. Sudahlah tapi, mungkin itulah
istimewanya Yogyakarta, setiap orang yang melanggar hukum langsung ditindak
secepatnya. Ah, yakin? Lha, apa saya benar-benar melanggar humum? Sebetulnya
teman sayalah yang melanggar hukum itu, namun sebagai warga negara yang baik,
saya dengan gagah berani pun harus mempertanggungjawabkan itu. Ah, bohong,
terpaksa barangkali.
Pada suatu malam, awal-awal kami tinggal di Yogayakrta,
Bambang Irawan, mahasiswa bau SMA yang berasal satu kampung halaman dengan saya
di Bangka yang sekarang kuliah di Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY),
meminta saya menemaninya yang hendak bertandang ke asrama ISBA (Ikatan
Mahasiswa Bangka) Yogyakrta, sebelah timur laut Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Maka pergilah kami berdua menuju asrama itu, menggunakan motor
milik teman satu kampung halaman lain yang sudah bertahun-tahun tinggal disini.
Saat itu, dia masih berada di kampung halaman, sedang motornya kami pinjam
sebelum kiriman motor dari Bangka tiba. Saat itu, saya yang jadi “pilot”,
sedang Bambang bercengengesan ria di belakang.
Dari Pogung Lor, Sinduadi, Mlati, Sleman, kami menelusuri
Jalan Monjali, Jalan AM. Sangaji, Jalan Mangkubumi, berbelok kea rah timur
menuju Jalan Abu Bakar Ali, hingga akhirnya sampailah ke Jalan Mataram.
Perjalanan yang lancer-lancar saja. Ah, ternyata begitu mudahnya membelah keramaian
di Yogyakarta, saya membatin sepanjang jalan. Sombong bukan main rupanya.
Saat berada di Jalan Mayor Suryotomo, perempatan menuju Jalan
Brigjend. Katamso arah selatan, lampu merah tiba-tiba menyala. Ah, hal biasa,
namanya juga kota, pastilah lalu lintasnya harus diatur oleh rambu-rambu,
termasuk pula lampu lalu lintas yang hanya punya tiga warna itu. Sesungguhnya,
saya tak tahu menahu dimana letak asrama ISBA Yogyakarta, sekalipun saat kali
pertama kali datang ke Yogyakarta dulu saat baru mendaftar kuliah, lalu
mengikuti seleksi, saya pernah diajak sepupu kesana. Namanya juga baru kali
pertama, tentu saja saya sudah lupa. Maka, bertanyalah saya pada Bambang yang
dengan begitu yakin katanya tahu letak asrama itu.
Lampu merah menyala. Saya berbelok kea rah barat, meluncur
di atas Jalan P. Senopati, menuju titik 0 KM Yogyakarta. Tepat di depan pintu
masuk Taman Pintar, dua orang polisi menyalip kami seraya melambai-lambai
tangannya petanda menyuruh berhenti. Wah, ada apa ini, apa salah kami? Pikiran
saya pun langsung kembali ke Pogung Lor, lalu ke Jalan Monjali, dan seterusnya
sampai kami secara tidak berkepriorangyangbarutinggaldiyogyakartaan, disuruh
berhenti begitu saja oleh polisi. Seingat saya, tak ada yang kami langgar, kami
pun tak salah arah jalan, normal-normal saja. Persoalannya, mengapa kami di
suruh berhenti? Ah, dengan percaya diri, hati yang ditenang-tenangkan, saya
menuruti kehendak polisi-polisi itu, segera menepi.
“Ada apa, Pak?”
“Ikuti kami ke pos depan,” katanya tak satu huruf pun
menjawab pertanyaan saya.
Sial, saya mulai mengumpat, tapi tentu saja dalam hati. Mana
beranilah saya mengumpat depan mereka langsung. Sebetulnya bukan tidak berani,
tetapi lebih kepada menghormati mereka sebagai salah satu bagian dari penegak
hukum di negara tercinta ini. Ah, gombal, bilang saja tak bernyali, tinggal
mengaku tak berani saja gengsinya tinggi minta ampun. Silakanlah mau berkata apa,
yang jelas malam itu saya cuma mengumpat dalam hati, sedang si Bambang
cengengesannya lenyap sudah entah kemana. Mukanya, saya yakin betapa pun tak
melihatnya langsung, pasti langsung kram. Ah, Bambang, gara-gara kamu ini,
pakai acara mau ke asrama ISBA segala, kalau cuma mau bertemu orang Bangka, di
Bangka kan banyak, tak usah jauh-jauh sampai ke Yogyakarta. Sialnya, gara-gara
mau bertemu orang Bangka yang paling-paling tak lebih satu orang saja kamu
kenal, kita jadi berurusan dengan polisi dengan alasan yang belum pula kita
tahu.
Namun, bila dipikir-pikir lagi, Bambang ada benarnya.
Bukankah bertemu orang yang berasal dari kampung halaman yang sama saat berada
di tempat orang macam Yogayakarta rasanya bagai berada di kampung halaman sendiri?
Paling tidak, ada orang sesama orang Bangka yang ada di Yogyakarta selain kita,
sekalipun mulanya saat di Bangka kita tak kenal mereka. Sekalipun sering
bertemu, sekadar bertemu saja, tak pernah mau saling menyapa, bahkan saling
melempar senyum pun tidak. Macam tak saling membutuhkan saja. Setelah berada di
tempat orang, barulah sok-sok saling kenal, pernah bertemu, saling bertanya
ini-itu, basi sekali bukan?
Ah, Bambang, betapa pun mulia niatmu malam itu, tetap saja
kita dihadang polisi. Sialnya, entah karena suara bising lalu lalang kendaraan
bermotor yang ramai melewati kawasan pusat Yogyakarta itu, atau saya yang
mungkin tuli, atau polsisi itu yang berbicara seraya makan rebus ubi yang masih
panas sehingga bicaranya tak jelas, yang jelas mereka tak pula memberi alasan
mengapa kami disuruh menepi.
Ilustrasi (Sumber : redaksi.luwuraya.com) |
“Punya SIM?” kata salah seorang polisi akhinya.
Ah, cuma itu ternyata persolannya. Saya pun tersenyum-senyum
girang. Apa saya bilang, dua pak polisi itu paling-paling cuma menanyakan ada
SIM atau tidak. Lalu, bila dilihatnya sang calon korban tilang dengan senyum
mengembang tanda bahagia mengeluarkan sepotong kartu warna putih itu, dengan
tampang putus asa pasti langsung menanyakan STNK (Surat Tanda Kepemilikan
Kendaraan), jurus terakhir mereka sebagai alasan menilang. Setelah sang calon
kena tilang ternyata punya kedua-duanya, surat menyurat mereka lengkap, mereka
pasti langsung pergi tanpa berkata-kata. Sedih pasti, pahit mungkin bagi
mereka. Paling tidak, berkatalah beberapa kata, semisal “terimakasih, selamat
melanjutkan perjalanan”, ‘maaf telah mengganggu perjalanan anda”, atau
berupa-rupa ungkapan keputusasaan lainnya. Sialnya, malam itu kami tidak
mengalami hal seperti itu. Rasanya, semua kartu yang saya miliki sudah saya
perlihatkan, termasuk kartu Jamsostek yang tak ada hubungannya dengan kegiatan
tilang-menilang. Polisi-polisi itu tetap saja meminta kami mengikuti pos mereka
yang katanya ada di depan.
“Lha, ada apalagi, Pak?” saya bertanya heran.
“Ban motor yang kalian kendarai kecil, tak sesuai standard,”
kata mereka.
Saya pun langsung menoleh sesuatu yang diberi nama ban itu.
Allahuakbar!!! Ini sepeda motor atau sepeda lipat? Sial betul kawan kami yang
saat kami berurusan dengan polisi itu mungkin sedang ngakak-ngakak menikmati liburannya di Pulau Bangka, sedang
kami harus menanggung akibat ban motornya yang bagai habis minum susu
pelangsing itu. Sialnya lagi, selama dia di Yogyakarta, mengapa tidak dia saja
yang ditilang dari dulu, bukan kami malam itu? Lha, saya tiba-tiba heran,
mengapa selama ini kawan saya itu aman-aman saja rupanya, bermotor lalu-lalang
mengitari Yogyakarta, tak adakah polisi yang berniat menilangnya karena dengan
melanggar hukum telah memberi asupan susu pelangsing terhadap ban motornya?
Itulah mengapa kemudian saya mengatakan itu pengalaman
paling tidak sedap saat kali pertama tinggal di Yogyakarta, tinggal untuk
sementara maksudnya. Setelah menyelesaikan kuliah, saya pun berniat kembali ke
kampung halaman di Pulau Bangka. Setidaknya sampai malam kami ditilang. Soal
niat itu berubah atau tidak, itu perkara nanti. Jangankan cuma niat, cita-cita
yang sudah mantap saja waktu kecil pasti kelak banyak yang berubah. Lha,
bayangkan, coba baca cita-cita anak-anak SD, pasti sebagian besar mau jadi
presiden bukan? Apa semuanya betul-betul jadi presiden kelak? Tentu saja tidak
semuanya bukan? Apa harus tetap jadi presiden, bersikeras sekalipun sudah kalah
saat pemilihan umum? Sudah kalah, lalu berniat mengamandemen konstitusi biar
semua orang yang dulu bercita-cita menjadi presiden bisa betul-betul jadi
presiden, sehingga siapa yang mau jadi presiden bisa mengikuti seleksi
sebagaimana seleksi penerimaan pegawai, alokasinya sampai ribuan? Coba
bayangkan kalau sebuah negara presidennya banyak sekali macam jumlah pegawai
negeri?
Nah, itulah mengapa saya bilang bahwa perkara niat saya
berubah atau tidak kemudian, itu urusan kemudian pula. Seandainya situasi
mengharuskan saya untuk tetap di Yogyakarta misalkan, atau berada ditempat lain
sehingga saya tak bisa balik ke Pulau Bangka, itulah jalan hidup saya. Mengutip
sebuah kalimat yang cukup bijaksana, kalau memang itu jalan hidup saya, berarti
itulah yang terbaik. Sekalipun malam itu kami sampai ditilang oleh polisi,
berarti itulah yang terbaik. Ah, padahal pahit sekali rasanya ditilang polisi.
Mulanya, berbekal ilmu hukum yang saya pelajari selama 4
tahun kuliah, saya sempat berkilah bahwa ban motor yang kami kendarai malam itu
sesuai standard. Saat sok-sok membela diri, saya berdo;a semoga saja lensa mata
polisi itu berubah bagai lup sehingga ban yang semula kecil jadi besar oleh
mereka. Semoga . Semoga. Semoga. Celaka tujuh turunan, jangankan melihat,
mendengar pembelaan yang saya utarakan sepertinya pun tidak. Mereka langsung
meminta kami mengikuti mereka. Sebenarnya, otak sinting saya mulai berkasi,
berniat hendak putar arah lalu putar gas sekencang-kencangnya lari dari
pengawasan polisi. Namun, untungnya saya masih tergolong warga negara yang
baik, saya ikuti saja polisi itu sampai pos mereka di perempatan 0 KM.
Sebetulnya, warga negara yang baik itu adalah alasan nomor 99 mengapa saya
mengikuti permintaan pak polisi. Alasan pertama, sebab SIM dan STNK sudah
ditangan mereka. Ah, pahit, kawan.
Sebelum masuk pos, sekali lagi saya memandang ban motor yang
mungkin sudah bertahun-tahun ikut program diet itu dengan tatapan kosong. Oh, kawan, apa kerjamu di
Yogyakarta selama ini melangsingkan ban-ban motor orang seantero Daerah
Istimewa Yogayakrta? Apa sekarang kamu sedang merampingkan ban-ban motor orang
kampung halaman kita di Bangka? Awas kamu, kawan, kalau sampai saya dapati kamu
sedang melangsingkan ban motor RX Special Ayahku? Saya tilang kamu.
“Pilih SIM atau STNK yang kami tahan?”
Ah, bapak, macam kuis saja saya dibuatnya, pakai acara
pilihan ganda segala. Mengapa tidak bapak saja yang memutuskannya? Astaga,
tiba-tiba saya ingat sesuatu, cepat-cepat saya menyilang salah satu pilihan
yang diajukan pak polisi.
“SIM saja, Pak!”
“Mengapa bukan STNK saja?”
Ah, bapak, kalau begini bukan pilihan ganda lagi namanya.
Ini sudah masuk pertanyaan uraian, tak sekedar menjawab, tapi harus menjabarkan
alasan mengapa saya menjawab itu. Apa saya bilang, kawan, pahit bukan ditilang
polisi itu? Sekonyong-konyong, ingat lagi saya akan sesuatu itu. Mati, bisa
panjang perkara malam ini. Ah, asrama ISBA. Semua gara-gara kamu wahai, asrama.
“Tidak apa-apa, SIM saja, pak.”
Pak polisi membolak-balik berkas, surat tilang yang tadi ia
coret-coret, SIM, dan…Ah, STNK, saya tambah gugup. Oh, Tuhan, persilakan saja
polisi-polisi ini menilang kami malam ini, apabila dipandang perlu, percepatkanlah
proses penilangannya. Saya hanya mohon, tahanlah SIM saya, jangan ditahan
STNK-nya.
“Tapi SIM kamu sebentar lagi mati. STNK saja, ya?”
“Oh, tidak apa-apa, Pak, matinya akhir tahun bukan? Masih
lumayan lama, beberapa bulan lagi,” saya menyanggah, harap-harap cemas.
“Oh, ya sudah, berarti SIM, ya?”
“Iya, Pak.”
Alhamdulillah, saya terharu, pak polisi. Sumpah.
“Ini, saya kembalikan STNK-nya, ini surat tilangnya, sidang
di PN Yogyakarta.”
Saya langsung meraih berkas-berkas itu, terutama STNK. Ah,
selamat juga dikau wahai STNK si motor malang, si motor sial korban OCD. Saya
membaca sekilas surat tilang, meilhat alamat Pengadilan Negeri Yogyakarta;
Jalan Kapas. Ah, dimana pula itu Jalan Kapas? Manalah saya tahu Jalan Kapas,
orang saya baru beberapa hari di Yogyakarta. Saya tak mengira sedikit pun saat
bila begitu mudahnya selanjutnya Jalan Kapas itu ditemukan. Maklum, ibarat
pemain film, saya artis pendatang baru yang bakal menggeser peran artis senior
yang sudah tua. Ah, nanti sajalah urusan Jalan Kapas, STNK dikembalikan saja
saya sudah senang, mau jungkir balik sampai alun-alun utara rasanya saya malam
itu. Untung saja prajurit kraton cepat membaca situasi, sehingga saya dengan
mudahnya dikendali. Ah, sumpah, kalau yang satu ini saya bohong.
Saat pak polisi mengajukan pertanyaan pilihan ganda,
sebetulnya saya malas sekali menjawab. Intinya, terserah bapaklah mau menahan
yang mana, SIM kah, STNK kah, asal jangan hati saya saja, bapak. Please, bapak,
jelek-jelek begini, saya masih normal, saya masih butuh perempuan. Namun
persoalannya jadi berubah manakala saya ingat status “kewarganegaraan” STNK
itu. Bayangkan saja bila STNK itu yang harus jadi tahanan, perkara bisa
bertambah panjang. Seingat saya, saya sempat membaca STNK itu, pajaknya
berbulan-bulan tak dibayar sama kawan saya. Ah, pak polisi, ada untungnya pula
lensa mata bapak tak berubah menjadi lup, sehingga perihal pajak yang sudah
almarhum itu tak bapak-bapak ketahui.
Ah, pahit, kawan, kami ditilang.
Yogyakarta, 2 Desember 2013
hahaha gokiiil bacanya ceee..lanjutkaaaaan penasaraaaan :D,
BalasHapuspy pengalaman yang hampir sama karna baru kemaren tgl 30 Nov ampe yogya turun dari pswat lgsg liburan seharian full. baru ampe daerah klaten mau ke umbul ponggok twnya kena tilang polisi gara2 berhenti dilampu merah klaten yang shrusnya g boleh berenti krn harus langsung belok kiriii..."masalahnya cuma 1 berhenti dilampu merah yang lampu merahnya emg lagi menyala merah" bikin binguuung polisi daerah sono gilaaa sengaja kaya'na :( surat lengkap semua harus ngeluarin duit juga gr2 polisi kampreeeet :((
Terimakasiiiiiiiiiiiiiiiiiiiih, btw ini siapakah? Lampu merah disini emg kenyakan 'Belok Kiri Langsung"...:D Please wait lanjutannya yaaa...:D
BalasHapushihiiiii elin ni ceeee hahaha kebetulan kemren liburan ke yogya ke tempat adek tapi emg parah ok polisi disanee kacaaauuuu lebih parah dr jakarta untung jalan2 bareng cwo q jadiii g tekooor de :), k ngambi' S2 ok diyogyaaa mantaaaappp
BalasHapusOhhhhhhhhhhhhhhhhh, dikauuuuuu. Alhmdulillah, dpt rjki diberi ksmpatan lnjut S2...:) Hehe...
BalasHapussemangaaaaat cepet kelar ceeee :)
BalasHapus