Minggu, 01 Desember 2013

MENGHADAPI PERKARA HUKUM DI YOGYAKARTA (BAGIAN 1: DITILANG POLISI – BERSAMBUNG)



Ilustrasi (Sumber : 2.bp.blogspot.com)

Pengalaman pahit saat kali pertama tinggal di Yogyakarta adalah saat saya dan seorang teman ditilang polisi. Sial bukan main rasanya, Yogyakarta yang punya gelar “daerah istimewa” itu rasanya benar-benar istimewa, terlampau istimewanya sehingga orang yang baru beberapa hari tinggal di Yogyakarta langsung ditilang begitu saja. Sudahlah tapi, mungkin itulah istimewanya Yogyakarta, setiap orang yang melanggar hukum langsung ditindak secepatnya. Ah, yakin? Lha, apa saya benar-benar melanggar humum? Sebetulnya teman sayalah yang melanggar hukum itu, namun sebagai warga negara yang baik, saya dengan gagah berani pun harus mempertanggungjawabkan itu. Ah, bohong, terpaksa barangkali.

Pada suatu malam, awal-awal kami tinggal di Yogayakrta, Bambang Irawan, mahasiswa bau SMA yang berasal satu kampung halaman dengan saya di Bangka yang sekarang kuliah di Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY), meminta saya menemaninya yang hendak bertandang ke asrama ISBA (Ikatan Mahasiswa Bangka) Yogyakrta, sebelah timur laut Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Maka pergilah kami berdua menuju asrama itu, menggunakan motor milik teman satu kampung halaman lain yang sudah bertahun-tahun tinggal disini. Saat itu, dia masih berada di kampung halaman, sedang motornya kami pinjam sebelum kiriman motor dari Bangka tiba. Saat itu, saya yang jadi “pilot”, sedang Bambang bercengengesan ria di belakang.

Dari Pogung Lor, Sinduadi, Mlati, Sleman, kami menelusuri Jalan Monjali, Jalan AM. Sangaji, Jalan Mangkubumi, berbelok kea rah timur menuju Jalan Abu Bakar Ali, hingga akhirnya sampailah ke Jalan Mataram. Perjalanan yang lancer-lancar saja. Ah, ternyata begitu mudahnya membelah keramaian di Yogyakarta, saya membatin sepanjang jalan. Sombong bukan main rupanya.
Saat berada di Jalan Mayor Suryotomo, perempatan menuju Jalan Brigjend. Katamso arah selatan, lampu merah tiba-tiba menyala. Ah, hal biasa, namanya juga kota, pastilah lalu lintasnya harus diatur oleh rambu-rambu, termasuk pula lampu lalu lintas yang hanya punya tiga warna itu. Sesungguhnya, saya tak tahu menahu dimana letak asrama ISBA Yogyakarta, sekalipun saat kali pertama kali datang ke Yogyakarta dulu saat baru mendaftar kuliah, lalu mengikuti seleksi, saya pernah diajak sepupu kesana. Namanya juga baru kali pertama, tentu saja saya sudah lupa. Maka, bertanyalah saya pada Bambang yang dengan begitu yakin katanya tahu letak asrama itu.

Lampu merah menyala. Saya berbelok kea rah barat, meluncur di atas Jalan P. Senopati, menuju titik 0 KM Yogyakarta. Tepat di depan pintu masuk Taman Pintar, dua orang polisi menyalip kami seraya melambai-lambai tangannya petanda menyuruh berhenti. Wah, ada apa ini, apa salah kami? Pikiran saya pun langsung kembali ke Pogung Lor, lalu ke Jalan Monjali, dan seterusnya sampai kami secara tidak berkepriorangyangbarutinggaldiyogyakartaan, disuruh berhenti begitu saja oleh polisi. Seingat saya, tak ada yang kami langgar, kami pun tak salah arah jalan, normal-normal saja. Persoalannya, mengapa kami di suruh berhenti? Ah, dengan percaya diri, hati yang ditenang-tenangkan, saya menuruti kehendak polisi-polisi itu, segera menepi.

“Ada apa, Pak?”

“Ikuti kami ke pos depan,” katanya tak satu huruf pun menjawab pertanyaan saya.

Sial, saya mulai mengumpat, tapi tentu saja dalam hati. Mana beranilah saya mengumpat depan mereka langsung. Sebetulnya bukan tidak berani, tetapi lebih kepada menghormati mereka sebagai salah satu bagian dari penegak hukum di negara tercinta ini. Ah, gombal, bilang saja tak bernyali, tinggal mengaku tak berani saja gengsinya tinggi minta ampun. Silakanlah mau berkata apa, yang jelas malam itu saya cuma mengumpat dalam hati, sedang si Bambang cengengesannya lenyap sudah entah kemana. Mukanya, saya yakin betapa pun tak melihatnya langsung, pasti langsung kram. Ah, Bambang, gara-gara kamu ini, pakai acara mau ke asrama ISBA segala, kalau cuma mau bertemu orang Bangka, di Bangka kan banyak, tak usah jauh-jauh sampai ke Yogyakarta. Sialnya, gara-gara mau bertemu orang Bangka yang paling-paling tak lebih satu orang saja kamu kenal, kita jadi berurusan dengan polisi dengan alasan yang belum pula kita tahu.

Namun, bila dipikir-pikir lagi, Bambang ada benarnya. Bukankah bertemu orang yang berasal dari kampung halaman yang sama saat berada di tempat orang macam Yogayakarta rasanya bagai berada di kampung halaman sendiri? Paling tidak, ada orang sesama orang Bangka yang ada di Yogyakarta selain kita, sekalipun mulanya saat di Bangka kita tak kenal mereka. Sekalipun sering bertemu, sekadar bertemu saja, tak pernah mau saling menyapa, bahkan saling melempar senyum pun tidak. Macam tak saling membutuhkan saja. Setelah berada di tempat orang, barulah sok-sok saling kenal, pernah bertemu, saling bertanya ini-itu, basi sekali bukan?

Ah, Bambang, betapa pun mulia niatmu malam itu, tetap saja kita dihadang polisi. Sialnya, entah karena suara bising lalu lalang kendaraan bermotor yang ramai melewati kawasan pusat Yogyakarta itu, atau saya yang mungkin tuli, atau polsisi itu yang berbicara seraya makan rebus ubi yang masih panas sehingga bicaranya tak jelas, yang jelas mereka tak pula memberi alasan mengapa kami disuruh menepi.

Ilustrasi (Sumber : redaksi.luwuraya.com)

“Punya SIM?” kata salah seorang polisi akhinya.

Ah, cuma itu ternyata persolannya. Saya pun tersenyum-senyum girang. Apa saya bilang, dua pak polisi itu paling-paling cuma menanyakan ada SIM atau tidak. Lalu, bila dilihatnya sang calon korban tilang dengan senyum mengembang tanda bahagia mengeluarkan sepotong kartu warna putih itu, dengan tampang putus asa pasti langsung menanyakan STNK (Surat Tanda Kepemilikan Kendaraan), jurus terakhir mereka sebagai alasan menilang. Setelah sang calon kena tilang ternyata punya kedua-duanya, surat menyurat mereka lengkap, mereka pasti langsung pergi tanpa berkata-kata. Sedih pasti, pahit mungkin bagi mereka. Paling tidak, berkatalah beberapa kata, semisal “terimakasih, selamat melanjutkan perjalanan”, ‘maaf telah mengganggu perjalanan anda”, atau berupa-rupa ungkapan keputusasaan lainnya. Sialnya, malam itu kami tidak mengalami hal seperti itu. Rasanya, semua kartu yang saya miliki sudah saya perlihatkan, termasuk kartu Jamsostek yang tak ada hubungannya dengan kegiatan tilang-menilang. Polisi-polisi itu tetap saja meminta kami mengikuti pos mereka yang katanya ada di depan.

“Lha, ada apalagi, Pak?” saya bertanya heran.

“Ban motor yang kalian kendarai kecil, tak sesuai standard,” kata mereka.

Saya pun langsung menoleh sesuatu yang diberi nama ban itu. Allahuakbar!!! Ini sepeda motor atau sepeda lipat? Sial betul kawan kami yang saat kami berurusan dengan polisi itu mungkin sedang ngakak-ngakak  menikmati liburannya di Pulau Bangka, sedang kami harus menanggung akibat ban motornya yang bagai habis minum susu pelangsing itu. Sialnya lagi, selama dia di Yogyakarta, mengapa tidak dia saja yang ditilang dari dulu, bukan kami malam itu? Lha, saya tiba-tiba heran, mengapa selama ini kawan saya itu aman-aman saja rupanya, bermotor lalu-lalang mengitari Yogyakarta, tak adakah polisi yang berniat menilangnya karena dengan melanggar hukum telah memberi asupan susu pelangsing terhadap ban motornya?

Itulah mengapa kemudian saya mengatakan itu pengalaman paling tidak sedap saat kali pertama tinggal di Yogyakarta, tinggal untuk sementara maksudnya. Setelah menyelesaikan kuliah, saya pun berniat kembali ke kampung halaman di Pulau Bangka. Setidaknya sampai malam kami ditilang. Soal niat itu berubah atau tidak, itu perkara nanti. Jangankan cuma niat, cita-cita yang sudah mantap saja waktu kecil pasti kelak banyak yang berubah. Lha, bayangkan, coba baca cita-cita anak-anak SD, pasti sebagian besar mau jadi presiden bukan? Apa semuanya betul-betul jadi presiden kelak? Tentu saja tidak semuanya bukan? Apa harus tetap jadi presiden, bersikeras sekalipun sudah kalah saat pemilihan umum? Sudah kalah, lalu berniat mengamandemen konstitusi biar semua orang yang dulu bercita-cita menjadi presiden bisa betul-betul jadi presiden, sehingga siapa yang mau jadi presiden bisa mengikuti seleksi sebagaimana seleksi penerimaan pegawai, alokasinya sampai ribuan? Coba bayangkan kalau sebuah negara presidennya banyak sekali macam jumlah pegawai negeri?

Nah, itulah mengapa saya bilang bahwa perkara niat saya berubah atau tidak kemudian, itu urusan kemudian pula. Seandainya situasi mengharuskan saya untuk tetap di Yogyakarta misalkan, atau berada ditempat lain sehingga saya tak bisa balik ke Pulau Bangka, itulah jalan hidup saya. Mengutip sebuah kalimat yang cukup bijaksana, kalau memang itu jalan hidup saya, berarti itulah yang terbaik. Sekalipun malam itu kami sampai ditilang oleh polisi, berarti itulah yang terbaik. Ah, padahal pahit sekali rasanya ditilang polisi.

Mulanya, berbekal ilmu hukum yang saya pelajari selama 4 tahun kuliah, saya sempat berkilah bahwa ban motor yang kami kendarai malam itu sesuai standard. Saat sok-sok membela diri, saya berdo;a semoga saja lensa mata polisi itu berubah bagai lup sehingga ban yang semula kecil jadi besar oleh mereka. Semoga . Semoga. Semoga. Celaka tujuh turunan, jangankan melihat, mendengar pembelaan yang saya utarakan sepertinya pun tidak. Mereka langsung meminta kami mengikuti mereka. Sebenarnya, otak sinting saya mulai berkasi, berniat hendak putar arah lalu putar gas sekencang-kencangnya lari dari pengawasan polisi. Namun, untungnya saya masih tergolong warga negara yang baik, saya ikuti saja polisi itu sampai pos mereka di perempatan 0 KM. Sebetulnya, warga negara yang baik itu adalah alasan nomor 99 mengapa saya mengikuti permintaan pak polisi. Alasan pertama, sebab SIM dan STNK sudah ditangan mereka. Ah, pahit, kawan.

Sebelum masuk pos, sekali lagi saya memandang ban motor yang mungkin sudah bertahun-tahun ikut program diet itu dengan  tatapan kosong. Oh, kawan, apa kerjamu di Yogyakarta selama ini melangsingkan ban-ban motor orang seantero Daerah Istimewa Yogayakrta? Apa sekarang kamu sedang merampingkan ban-ban motor orang kampung halaman kita di Bangka? Awas kamu, kawan, kalau sampai saya dapati kamu sedang melangsingkan ban motor RX Special Ayahku? Saya tilang kamu.

“Pilih SIM atau STNK yang kami tahan?”

Ah, bapak, macam kuis saja saya dibuatnya, pakai acara pilihan ganda segala. Mengapa tidak bapak saja yang memutuskannya? Astaga, tiba-tiba saya ingat sesuatu, cepat-cepat saya menyilang salah satu pilihan yang diajukan pak polisi.

“SIM saja, Pak!”

“Mengapa bukan STNK saja?”

Ah, bapak, kalau begini bukan pilihan ganda lagi namanya. Ini sudah masuk pertanyaan uraian, tak sekedar menjawab, tapi harus menjabarkan alasan mengapa saya menjawab itu. Apa saya bilang, kawan, pahit bukan ditilang polisi itu? Sekonyong-konyong, ingat lagi saya akan sesuatu itu. Mati, bisa panjang perkara malam ini. Ah, asrama ISBA. Semua gara-gara kamu wahai, asrama.

“Tidak apa-apa, SIM saja, pak.”

Pak polisi membolak-balik berkas, surat tilang yang tadi ia coret-coret, SIM, dan…Ah, STNK, saya tambah gugup. Oh, Tuhan, persilakan saja polisi-polisi ini menilang kami malam ini, apabila dipandang perlu, percepatkanlah proses penilangannya. Saya hanya mohon, tahanlah SIM saya, jangan ditahan STNK-nya.

“Tapi SIM kamu sebentar lagi mati. STNK saja, ya?”

“Oh, tidak apa-apa, Pak, matinya akhir tahun bukan? Masih lumayan lama, beberapa bulan lagi,” saya menyanggah, harap-harap cemas.

“Oh, ya sudah, berarti SIM, ya?”

“Iya, Pak.”

Alhamdulillah, saya terharu, pak polisi. Sumpah.

“Ini, saya kembalikan STNK-nya, ini surat tilangnya, sidang di PN Yogyakarta.”

Saya langsung meraih berkas-berkas itu, terutama STNK. Ah, selamat juga dikau wahai STNK si motor malang, si motor sial korban OCD. Saya membaca sekilas surat tilang, meilhat alamat Pengadilan Negeri Yogyakarta; Jalan Kapas. Ah, dimana pula itu Jalan Kapas? Manalah saya tahu Jalan Kapas, orang saya baru beberapa hari di Yogyakarta. Saya tak mengira sedikit pun saat bila begitu mudahnya selanjutnya Jalan Kapas itu ditemukan. Maklum, ibarat pemain film, saya artis pendatang baru yang bakal menggeser peran artis senior yang sudah tua. Ah, nanti sajalah urusan Jalan Kapas, STNK dikembalikan saja saya sudah senang, mau jungkir balik sampai alun-alun utara rasanya saya malam itu. Untung saja prajurit kraton cepat membaca situasi, sehingga saya dengan mudahnya dikendali. Ah, sumpah, kalau yang satu ini saya bohong.

Saat pak polisi mengajukan pertanyaan pilihan ganda, sebetulnya saya malas sekali menjawab. Intinya, terserah bapaklah mau menahan yang mana, SIM kah, STNK kah, asal jangan hati saya saja, bapak. Please, bapak, jelek-jelek begini, saya masih normal, saya masih butuh perempuan. Namun persoalannya jadi berubah manakala saya ingat status “kewarganegaraan” STNK itu. Bayangkan saja bila STNK itu yang harus jadi tahanan, perkara bisa bertambah panjang. Seingat saya, saya sempat membaca STNK itu, pajaknya berbulan-bulan tak dibayar sama kawan saya. Ah, pak polisi, ada untungnya pula lensa mata bapak tak berubah menjadi lup, sehingga perihal pajak yang sudah almarhum itu tak bapak-bapak ketahui.
Ah, pahit, kawan, kami ditilang.

Yogyakarta, 2 Desember 2013

5 komentar:

  1. hahaha gokiiil bacanya ceee..lanjutkaaaaan penasaraaaan :D,
    py pengalaman yang hampir sama karna baru kemaren tgl 30 Nov ampe yogya turun dari pswat lgsg liburan seharian full. baru ampe daerah klaten mau ke umbul ponggok twnya kena tilang polisi gara2 berhenti dilampu merah klaten yang shrusnya g boleh berenti krn harus langsung belok kiriii..."masalahnya cuma 1 berhenti dilampu merah yang lampu merahnya emg lagi menyala merah" bikin binguuung polisi daerah sono gilaaa sengaja kaya'na :( surat lengkap semua harus ngeluarin duit juga gr2 polisi kampreeeet :((

    BalasHapus
  2. Terimakasiiiiiiiiiiiiiiiiiiiih, btw ini siapakah? Lampu merah disini emg kenyakan 'Belok Kiri Langsung"...:D Please wait lanjutannya yaaa...:D

    BalasHapus
  3. hihiiiii elin ni ceeee hahaha kebetulan kemren liburan ke yogya ke tempat adek tapi emg parah ok polisi disanee kacaaauuuu lebih parah dr jakarta untung jalan2 bareng cwo q jadiii g tekooor de :), k ngambi' S2 ok diyogyaaa mantaaaappp

    BalasHapus
  4. Ohhhhhhhhhhhhhhhhh, dikauuuuuu. Alhmdulillah, dpt rjki diberi ksmpatan lnjut S2...:) Hehe...

    BalasHapus
  5. semangaaaaat cepet kelar ceeee :)

    BalasHapus