Ilustrasi (Sumber: photobucket.com) |
Hukum pidana adalah salah satu mata kuliah yang berkontribusi besar dalam mengundang rasa kantuk saat mengikuti kuliah itu dalam kelas. Selain jumlah satuan kredit semesternya yang berlipa ganda tak macam mata kuliah lain, istilah-istilah berbahasa Belanda yang setiap pengucapannya selalu mengahasilkan dahak dalam jumlah melimpah ditenggorokan, menjadi salah satu pemicunya. Apalagi, saat saya mengikuti kuliah itu dulu, jumlah mahasiwa dalam kelas seolah tak mau kalah dengan jumlah satuan kredit semester mata kuliah hukum pidana, berlipat-lipat pula, memanjang dari depan ke belakang. Suasana kelas yang tak lagi ideal menurut saya. Alhasil, mahasiswa banyak yang memeilih berbicara sesama mahasiswa daripada mendengar dosen yang sudah berbuih, berdahak-dahak terlampau sering menyebuut istilah berbahasa Belanda itu.
Seingat saya, yang dulu jadi dosen mata kuliah itu adalah Pak Dwi Haryadi, kandidat doktor dari Universitas Diponegoro. Ah, gagah sekali tampaknya beliau sekarang. Sudah hampir doktor rupanya. Namun ketika beliau mengajar hukum pidana, beliau baru diangkat sebagai dosen setelah mengikuti serangkaian seleksi. Bapak Dwi ini pintarnya bukan main, utamanya bagi saya. Namun sayang, sebagai dosen baru kala itu, Pak Dwi tak mampu mengendalikan situasi kelas yang semakin banyak istilah berbahasa Belanda yang beliau ucap, semakin gaduh pula suasana kelas. Apalagi, penyakit mahasiswa negeri ini adalah tak bisa menghormati dosen yang terhitung baru macam Pak Dwi. Ah, tapi itu dulu, sekarang sudah hampir doktor dia.
Saya, sebetulnya adalah orang-orang yang terjebak oleh situasi kelas, sehingga mengantuk pula dibuatnya. Sialnya, sebelum kelas dimulai, saya habis makan bakso enak bukan main depan sekolah pariwisata di Girimaya. Sialnya lagi, entah kenapa, setiap sebelum kelas hukum pidana dimulai, kami beramai-ramai selalu makan bakso nan lezat itu. Sangat jarang sebelum mata kuliah lain. Saya kira, tahulah kalian apa akibatnya bila makan bakso dalam terlampau kenyang. Ngantuk tiada tertahan. Ah, kasihan sekali Pak Dwi. Ah, tapi itu dulu, sekarang sudah hampir doktor dia. Hasil pemikirannya sudah tak asing lagi di sejumlah media di Bangka, lengkap dengan fotonya berambut panjang. Maklum, anak pidana, maksudnya ahli hukum pidana. Salah-salah, bisa dipidana saya sama beliau. Ah, saya tidak takut sekarang. Haha...Saya juga sudah lulus hukum pidana. Sayangnya, orang yang berkontribusi besar meluluskan saya adalah Pak Dwi ini, yang membimbing saya membuat skripsi.
Nah, kembali ke persoalan utama. Sebagai dosen baru kala itu,ditambah penyakit akut mahasiwa negeri ini yang sulit menaruh rasa hormat terhadapnya, Pak Dwi kala itu seolah bingung hendak berbuat apa. Setidaknya, itu yang ada dipikiran saya. Saya melihat beliau dengan semangat kedosenbaruannya berupaya sebisa mungkin menjelaskan segala macam perihal hukum pidana. Suaranya kian tinggi, namun tetap tenggelam oleh jumla mahasiswa yang tak lagi ideal. Singkat cerita, sampailah pada materi yang ada hubunannya dengan jenis-jenis hukuman pidana yang tercantum dalam KUHP, buku suci milik kaum pidana. Lantas, beliau bertanya pada mahasiwa.
"Nah, dalam asal 10 KUHP pidana terdiri atas Pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari, pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim." Suasana kelas tetap macam lebah yang sarangnya habis dibakwar oleh warga. Pak Dwi tetap seperti semula, seraya melanjtkan, "Nah, itu ada penjara dan kurungan. Ada yang tahu apa bedanya?"
Seorang mahasiswa, dengan pintar luar biasa, tiba-tiba menjawab, "kalau kurungan kan untuk ayam, Pak..."
Ayam!!! Siapa gerangan mahasiwa cerdas minta ampun itu? Hebat sekali dia, teori darimana pula itu sehingga ayam bisa dipidana? Ah, semoga kawan kami yang satu itu kelak juga menjadi doktor, dengan disertasi yang membahas masalah pemidadaan terhadap ayam. Mengenai jawaban itu, saya tak tahu Pak Dwi mendengar atau tidak. Sekalipun beliau mendengar, apa daya barangkali.
Ah, kawan, mengapa penyakit ngawur yang engkau derita sejak lama itu tak hilang-hilang? Oh, ayam...
Yogyakarta, 5 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar