Jumat, 09 Mei 2014

JAKARTA PEDULI?

Ibukota lebih kejam dari ibu tiri. Itulah adagium singkat yang sering dilontarkan orang untuk menggambarkan kondisi Jakarta, sang ibukota tercinta republik ini. Singkatnya, kehidupan di Jakarta digambarkan sangat keras macam batu. Sangat sulit mencari pekerjaan disana, utamanya bagi orang yang hanya mengandalkan otot sebagai modal utama. Itu kata orang-orang yang sering saya dengar, bukan kata saya. Sekalipun Jakarta itu kejam, rupanya masih berduyun-duyun pula orang mendatangi Jakarta. Sebagian besar memang orang daerah macam saya yang penasaran akan seperti apa rupa Jakarta yang saban seperkian waktu hadir dilayar televisi. Akan tetapi, tak sedikit pula yang datang ke Jakarta untuk mengadu nasib, siapa tahu hidup disana lebih baik dari sebelumnya.

(Sumber: http://rizal-falih.blogspot.com)


Sang ibukota barangkali memang kejam, melampaui kejamnya seorang ibu tiri. Perihal ibu tiri, sebetulnya tak semua ibu tiri itu kejam, tapi itu mungkin hanya sebagian kecil saja. Lupakan ibu tiri, sekarang fokuslah ke ibukota kita bernama Jakarta. Betulkah Jakarta itu kejam? Entahlah. Saya sendiri belum pernah menetap di Jakarta dalam waktu lama. Seingat saya, paling lama saya berada di Jakarta tak kurang dari setengah bulan saja. Itu pun bukan hendak mencari pekerjaan sebagaimana orang-orang yang sering diancam razia KTP di layar televisi. Saat itu, saya berada di Jakarta sekaligus mengelilinginya hanya untuk mengisi waktu seraya menunggu pengumuman diterima atau tidaknya saya kuliah di sebuah kampus ternama di Yogyakarta. Sisanya, saya ke Jakarta hanya untuk travelling, mengunjungi tempat-tempat legenda di Jakarta yang membuat saya penasaran.

Suatu hari, saat hendak kembali ke Yogyakarta dari tanah kelahiran saya di Pulau Bangka, saya sengaja untuk singgah di Jakarta. Menggunakan bus milik damri dari Bandara Internasional Soekarno Hatta di Cengkareng, saya menuju kos-kosan Mirwan Agustino alias Katen, di Pasar Rebo Jakarta Timur. Sepupu saya itu kuliah disebuah universitas disana, ingin menjadi guru katanya. Saya do'akanlah semoga cita-citanya itu tercapai. Apalagi, jumlah guru, utamanya guru yang berkualitas baik ditanah kelahiran kami mungkin jumlahnya sedikit sekali.

Hari-hari berikutnya, setelah mengelilingi kawasan Kota Tua Jakarta pada suatu hari pula, saya berencana pergi ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Sebetulnya, dari kos-kosan sepupu saya itu ada jalan pintas yang dekat dengan TMII. Hanya saja, saya tak ingin mengganggu sepupu saya itu yang lagi pulas berkelana dialam mimpinya pagi itu, ditambah bahwa saya sudah berjanji akan mengelilingi TMII dengan Anisa Rahardini yang beberapa minggu terakhir kala itu tingggal di Jakarta karena sebuah rejeki dari Tuhan, akhirnya saya kembali mengandalkan moda transportasi orang Jakarta, yakni Trans Jakarta alias busway. Saya naik shelter Flyover Bogor di Pasar Rebo, sedangkan Anis sendiri memulai perjalannya di Jakarta Selatan, dari Mangga Dua. Kami berncana bertemu langsung di shelter TMII, sebelum akhirnya keluar dari shelter itu untuk selanjutnya naik angkutan kota menuju pintu masuk TMII.

Sebelum sampai di TMII, saya harus melewati beberapa shelter, tempat para penumpang turun naik, berdesak-desakan tentunya. Pada sebuah shelter, saya lupa apa namanya, shelter BIN kalau tidak salah, satukeluarga lengkap dengan ayah, beberapa orang ibu-ibu, anak, dan seorang balita yang digendong oleh salah seorang ibu tadi, masuk ke dalam busway yang memang sudah sesak. Alhasil, ibu-ibu yang tadi menggendong anak tidak mendapatkan tempat duduk alias harus berdiri. Saya sendiri kasihan sebetulnya dengan ibu itu. Tapi apa hendak dikata, orang saya juga berdiri dengan susah payah dari tadi. Akhirnya, saya hanya cuma bisa memberi lapang yang lebih luas kepada ibu itu, supaya anak yang beliau gendong tak sulit untuk bernafas.

Busway terus berjalan, memecah kemacetan diantaranya kumuhnya kawasan Jakarta Timur yang kami lalui waktu itu. Seorang bapak-bapak yang dari tadi duduk, tiba-tiba berdiri. Semula saya mengira bapak-bapak itu berdiri karena dia akan turun pada sebuah shelter. Saya salah rupanya. Bapak-bapak itu berangkat dari tempat duduknya hanya karena ingin memberi kesempatan kepada ibu-ibu yang tadi menggendong anaknya dengan susah payah untuk duduk. Saya mengetahui itu manakala busway berhenti pada sebuah shelter, namun sang bapak tak juga turun. Sayang sekali, niat baik sang bapak tak didukung oleh penumpang lain. Selang beberapa detik sang bapak itu berdiri dari tempat duduknya yang lumayan empuk, seorang laki-laki lain yang saya lihat masih kuat untuk berdiri walau busway itu berjalan sampai Merauke pun, langsung duduk di kursi yang tadi di tinggalin si bapak, tanpa memberi kesempatan sedikit pun kesempatan kepada ibu dengan seorang anak dalam gendongannya. Parahnya lagi, laki-laki itu langsung menunduk, seolah tak mau tahu apa yang sedang terjadi. Saya langsung menoleh kepada bapak-bapak yang tadi berdiri, ia membalas tatapan saya sambil tersenyum, lalu menggeleng pelan. Saya membalas senyum penuh arti itu. Oh, Jakarta memang kejam ternyata, terutama orang-orang yang menganggap mereka sebagai bagian dari Jakarta.

Yogyakarta, 10 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar