Sebagai laki-laki Muslim yang baik, saya senantiasa
menunaikan kewajiban menjalankan ibadah sholat Jum’at yang satu kali dalam
seminggu itu. Ah, berat sebetulnya saya menyelesaikan kalimat ini, apalagi
harus menyelipkan kata “senantiasa’ dalam kalimat itu. Biarlah tapi, tak
mengapa. Orang sering berkata bila apa yang kita utarakan adalah do’a. Semoga
pula ini adalah do’a biar kelak saya pun benar-benar senantiasa menjalankan
kewajiban menyembah Tuhan. Saya senantiasa berusaha, barangkali itu kalimat
yang paling mengena. Ibarat orang-orang di Senayan, nurani saya terbagi menjadi
dua poros kepentingan saat hendak merampungkan kalimat itu, termasuk perlu atau
tidaknya memasukkan kata “senantiasa”. Namun setelah melakukan kompromi,
akhirnya disetujui untuk memasang kata paling kontrovesial itu. Sekali lagi,
anggap saja itu do’a.
Dulu, sebelum rela membawa dua lembar koran untuk sholat
Jumat di sebuah masjid di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, saya
sholat Jum’at di sebuah masjid di Pogung Lor, Sinduadi, Mlati, Sleman, tak jauh
dari tempat tinggal saya. Semenjak melanjutkan kuliah di Yogyakarta, secara
tidak sengaja saya menemukan sebuah kos yang hingga kini membuat saya tetap
betah tinggal di dalamnya. Padahal, kamar kos yang saya tempati itu selalu mengeluarkan
debu. Apa penyebabnya, hingga kini saya pun tak tahu dan memang tak hendak
mencari tahu. Saya hanya menduga-duga malas, barangkali karena memang ini
daerah berdebu. Apalagi, pemukiman dimana saya tinggal itu memang berada di
bawah Gunung Merapi di bagian utara.
Penyebab mengapa saya betah tinggal disitu saya kita tak
perlulah untuk ditanya. Pertama, saya tipe orang yang malas repot, apalagi bila
harus mengangkut barang untuk pindah sana pindah sini. Sudahlah, akhirnya saya
memutuskan untuk tetap tinggal disitu sampai mengatakan selamat tinggal kepada
Yogyakarta. Alasan kedua, dan saya kira ini yang paling mengena, tak lain
karena biaya sewa kamar kos itu murah sekali. Ah, saya harap pahamlah mengapa
saya meganggap ini sebagai alasan utama sekalipun saya tempatkan di posisi
kedua. Sebagai mahasiswa apa adanya, saya berusaha untuk berhemat semaksilmal
mungkin. Ah, lumayan berat juga menyelesaikan kalimat terakhir ini. Lupakan
saja perihal harga kamar kos, kembali ke soal sholat Jum’at yang meneguhkan posisi
saya sebagai laki-laki Muslim baik tadi.
Pada sebuah Jum’at, setelah berhasil melawan rasa kantuk dan
terutama rasa malas yang seolah bagai mengikat badan saya dalam kamar kos,
pergilah saya ke masjid tak jauh dari kos saya itu untuk menunaikan sholat Jum’at.
Apa saya bilang, laki-laki Muslim yang baik bukan? Ah, sudahlah, soal itu biar
opini yang berbicara. Intinya, hari itu saya sholat Jum’at, itu yang lebih
penting. Laki-laki Muslim yang katanya baik tapi tak sholat Jum’at juga
percuma. Saya lebih memilih menjadi laki-laki Muslim yan tak baik tapi sholat
Jum’at. Ah, apa pula ini, sama saja tampaknya. Sudahlah, singkat cerita hari
itu saya sholat Jumat. Bagaimana, pusing bukan? Sama, saya juga.
Setelah berlari-lari
kecil menuju masjid, akhirnya saya mendapati orang-orang yang berdiri. Masjid
itu memang selalu tak mampu menampung para
jamaah yang hendak bersujud menghadap Tuhan-nya saban Jum’at. Bahkan ada yang
sampai sholat di teras rumah warga di sekitar masjid itu. Saya sebetulnya tidak
nyaman dengan suasana macam itu. Apalagi bagi saya yang selalu hampir khotib
menyudahi khotbahnya baru sampai di masjid. Itu artinya saya harus tulus iklhas
sholat diluar masjid seraya menyingkir sandal para jamaah barang sedikit untuk
menggelar sajadah. Oh, Tuhan, apakah keadaan semacam ini sudah berlangsung
lama?
Pada sebuah Jum’at, alhamdulillah
saya datang ke masjid manakala khotib baru saja naik ke atas mimbar untuk
menyampaikan khotbahnya dihadapan para jamaah. Saya pun mendengar isi khotbah
dengan saksama. Intinya, sang khotib siang itu menyampaikan perihal karakter
Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikenal sebagai daerah pelajar yang tetap
memegang teguh nilai-nilai agama. Oleh sebab itu, kata sang khotib, kita harus
tetap menjaga marwah tersebut dengan menjalankan syariat Islam sebagaimana yang
telah dianjurkan. Saya sepakat dengan sang khotib itu, yang pula menyinggung
perihal pemisahan laki-laki dan perempuan yang datang belajar ke Yogyakarta
oleh pengelola kamar kos disini. Beberapa kali saya mengangguk-ngangguk kepala,
entah karena apa. Saya juga bingung mengapa saya mengangguk-ngangguk tanpa
alasan macam itu.
Isi khotbah sang khotib yang disampaikan secara berapi-api
telah berhasil menyihir sejumlah jamaah siang itu, dikurangi sejumlah jamaah
lain yang asyik bercakap-capap, lalu dikurangi lagi dengan jumlah anak-anak
yang lari-lari diiringi tawa yang sontak mengundang nafsu saya untuk melempar
sandal kearah mereka. Beruntung mereka, sebab saya tiba-tiba ingat bila dulu
saya tak ubah seperti mereka. Namun bagaimana pun, khotbah hari ini disampaikan
dengan gaya yang lumayan menarik, tidak macam khotib lain yang hanya bisa
menambah kadar mengantuk menjadi tinggi menjulang. Sayang, terlampau
berapi-apinya beliau, atau entah karena saya yang terlampau jeli, ada kalimat
yang membuat saya lantas melongo macam hilang akal. Beginilah kira-kira bunyi
kalimat itu.
“Salah satu hal membuktikan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta
adalah daerah iman, bisa dilihat dari motto setiap daerah yang ada disini,
seperti Yogyakarta Berhati Nyaman, Sleman Sembada, Kulon Progo Binangun, Bantul
Projo Tamansari, dan Gunung Kidul Handayani,” kata sang khotib berapi-api. Saya
penasaran menunggu penjelasan lanjut apa korelasinya iman dengan semua motto
daerah yang telah dia sebutkan diatas. Akhirnya, sang khotib pun melanjutkan,”
semuanya ada huruf “i” yang artinya adalah iman,” begitu kata sang khotib.
Mulanya, saya hanya sekadar mengangguk-ngangguk saja, masih
tak tahu alasannya apa. Namun akhirnya saya terperanjat juga. Saya bukan tak
paham, apalagi sampai tak sependapat dengan isi khotbah sang khotib yang ilmu
agamanya jauh melampaui saya yang masih buta barangkali. Ah, sekalipun buta,
saya tetap laki-laki Muslim yang baik pokoknya. Hanya saja saya merasa ada yang
aneh dari isi khotbah yang disampaikan siang itu, utamanya saat sang khotib mengaitkan
iman dengan semua motto kabupaten dan kota dilingkungan provinsi pimpinan
sultan ini. Maka, saya pun mengingat-ingat isi khotbah itu.
Yogyakarta Berhati Nyaman betul ada huruf i, begitupula
dengan Kulon Progo Binangun, Bantul Projo Tamansari, dan Gunung Kidul Handayani,
semuanya ada huruf i yang oleh sang khotib dianggap sebagai akronim dari iman.
Lha, masalahnya sekarang terletak di Sleman Sembada, dimanakah menyelipnya
huruf i dalam dua kata itu? Beruntung, itu adalah khotbah. Seandainya itu
seminar atau kuliah, saya yakin sang khotib sudah di interupsi oleh beberapa
orang jamaah. Sampai sekarang, setiap bertemu tulisan Sleman Sembada disetiap
persimpangan jalan di Sleman, saya selalu berusaha mencari dimana letak huruf i.
Sayang, usaha saya selalu gagal. Ingin sekali rasanya saya mencari alamat
khotib siang itu, ingin bertanya perihal huruf i itu. Saya yakin, dia juga
pasti pusing. Ah, semoga saja saya salah dengar siang itu. Atau kalau ternyata
benar itu yang saya dengar, saya hanya ingin menyampaikan saran kepada sang
khotib.
“Pak, kalau memang semua ingin
ada huruf ini, seharusnya benginilah kalimat bapak,’salah satu hal membuktikan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah
daerah iman, bisa dilihat dari motto setiap daerah yang ada disini, seperti
Yogyakarta Berhati Nyaman, Kulon Progo Binangun, Bantul Projo Tamansari, Gunung
Kidul Handayani, dan “Sembada di Sleman” ‘. Dengan demikian, selesailah
perkara huruf i itu.
Ah, pak khotib…
Yogyakarta, 19 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar