Rabu, 18 Desember 2013

PERKARA HURUF "i"

Ilustrasi (Sumber: http://dhaychee.files.wordpress.com)
Sebagai laki-laki Muslim yang baik, saya senantiasa menunaikan kewajiban menjalankan ibadah sholat Jum’at yang satu kali dalam seminggu itu. Ah, berat sebetulnya saya menyelesaikan kalimat ini, apalagi harus menyelipkan kata “senantiasa’ dalam kalimat itu. Biarlah tapi, tak mengapa. Orang sering berkata bila apa yang kita utarakan adalah do’a. Semoga pula ini adalah do’a biar kelak saya pun benar-benar senantiasa menjalankan kewajiban menyembah Tuhan. Saya senantiasa berusaha, barangkali itu kalimat yang paling mengena. Ibarat orang-orang di Senayan, nurani saya terbagi menjadi dua poros kepentingan saat hendak merampungkan kalimat itu, termasuk perlu atau tidaknya memasukkan kata “senantiasa”. Namun setelah melakukan kompromi, akhirnya disetujui untuk memasang kata paling kontrovesial itu. Sekali lagi, anggap saja itu do’a.

Dulu, sebelum rela membawa dua lembar koran untuk sholat Jumat di sebuah masjid di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, saya sholat Jum’at di sebuah masjid di Pogung Lor, Sinduadi, Mlati, Sleman, tak jauh dari tempat tinggal saya. Semenjak melanjutkan kuliah di Yogyakarta, secara tidak sengaja saya menemukan sebuah kos yang hingga kini membuat saya tetap betah tinggal di dalamnya. Padahal, kamar kos yang saya tempati itu selalu mengeluarkan debu. Apa penyebabnya, hingga kini saya pun tak tahu dan memang tak hendak mencari tahu. Saya hanya menduga-duga malas, barangkali karena memang ini daerah berdebu. Apalagi, pemukiman dimana saya tinggal itu memang berada di bawah Gunung Merapi di bagian utara.

Penyebab mengapa saya betah tinggal disitu saya kita tak perlulah untuk ditanya. Pertama, saya tipe orang yang malas repot, apalagi bila harus mengangkut barang untuk pindah sana pindah sini. Sudahlah, akhirnya saya memutuskan untuk tetap tinggal disitu sampai mengatakan selamat tinggal kepada Yogyakarta. Alasan kedua, dan saya kira ini yang paling mengena, tak lain karena biaya sewa kamar kos itu murah sekali. Ah, saya harap pahamlah mengapa saya meganggap ini sebagai alasan utama sekalipun saya tempatkan di posisi kedua. Sebagai mahasiswa apa adanya, saya berusaha untuk berhemat semaksilmal mungkin. Ah, lumayan berat juga menyelesaikan kalimat terakhir ini. Lupakan saja perihal harga kamar kos, kembali ke soal sholat Jum’at yang meneguhkan posisi saya sebagai laki-laki Muslim baik tadi.

Pada sebuah Jum’at, setelah berhasil melawan rasa kantuk dan terutama rasa malas yang seolah bagai mengikat badan saya dalam kamar kos, pergilah saya ke masjid tak jauh dari kos saya itu untuk menunaikan sholat Jum’at. Apa saya bilang, laki-laki Muslim yang baik bukan? Ah, sudahlah, soal itu biar opini yang berbicara. Intinya, hari itu saya sholat Jum’at, itu yang lebih penting. Laki-laki Muslim yang katanya baik tapi tak sholat Jum’at juga percuma. Saya lebih memilih menjadi laki-laki Muslim yan tak baik tapi sholat Jum’at. Ah, apa pula ini, sama saja tampaknya. Sudahlah, singkat cerita hari itu saya sholat Jumat. Bagaimana, pusing bukan? Sama, saya juga.

Setelah  berlari-lari kecil menuju masjid, akhirnya saya mendapati orang-orang yang berdiri. Masjid itu memang selalu tak mampu  menampung para jamaah yang hendak bersujud menghadap Tuhan-nya saban Jum’at. Bahkan ada yang sampai sholat di teras rumah warga di sekitar masjid itu. Saya sebetulnya tidak nyaman dengan suasana macam itu. Apalagi bagi saya yang selalu hampir khotib menyudahi khotbahnya baru sampai di masjid. Itu artinya saya harus tulus iklhas sholat diluar masjid seraya menyingkir sandal para jamaah barang sedikit untuk menggelar sajadah. Oh, Tuhan, apakah keadaan semacam ini sudah berlangsung lama?

Pada sebuah Jum’at, alhamdulillah saya datang ke masjid manakala khotib baru saja naik ke atas mimbar untuk menyampaikan khotbahnya dihadapan para jamaah. Saya pun mendengar isi khotbah dengan saksama. Intinya, sang khotib siang itu menyampaikan perihal karakter Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikenal sebagai daerah pelajar yang tetap memegang teguh nilai-nilai agama. Oleh sebab itu, kata sang khotib, kita harus tetap menjaga marwah tersebut dengan menjalankan syariat Islam sebagaimana yang telah dianjurkan. Saya sepakat dengan sang khotib itu, yang pula menyinggung perihal pemisahan laki-laki dan perempuan yang datang belajar ke Yogyakarta oleh pengelola kamar kos disini. Beberapa kali saya mengangguk-ngangguk kepala, entah karena apa. Saya juga bingung mengapa saya mengangguk-ngangguk tanpa alasan macam itu.

Isi khotbah sang khotib yang disampaikan secara berapi-api telah berhasil menyihir sejumlah jamaah siang itu, dikurangi sejumlah jamaah lain yang asyik bercakap-capap, lalu dikurangi lagi dengan jumlah anak-anak yang lari-lari diiringi tawa yang sontak mengundang nafsu saya untuk melempar sandal kearah mereka. Beruntung mereka, sebab saya tiba-tiba ingat bila dulu saya tak ubah seperti mereka. Namun bagaimana pun, khotbah hari ini disampaikan dengan gaya yang lumayan menarik, tidak macam khotib lain yang hanya bisa menambah kadar mengantuk menjadi tinggi menjulang. Sayang, terlampau berapi-apinya beliau, atau entah karena saya yang terlampau jeli, ada kalimat yang membuat saya lantas melongo macam hilang akal. Beginilah kira-kira bunyi kalimat itu.

“Salah satu hal membuktikan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah daerah iman, bisa dilihat dari motto setiap daerah yang ada disini, seperti Yogyakarta Berhati Nyaman, Sleman Sembada, Kulon Progo Binangun, Bantul Projo Tamansari, dan Gunung Kidul Handayani,” kata sang khotib berapi-api. Saya penasaran menunggu penjelasan lanjut apa korelasinya iman dengan semua motto daerah yang telah dia sebutkan diatas. Akhirnya, sang khotib pun melanjutkan,” semuanya ada huruf “i” yang artinya adalah iman,” begitu kata sang khotib.

Mulanya, saya hanya sekadar mengangguk-ngangguk saja, masih tak tahu alasannya apa. Namun akhirnya saya terperanjat juga. Saya bukan tak paham, apalagi sampai tak sependapat dengan isi khotbah sang khotib yang ilmu agamanya jauh melampaui saya yang masih buta barangkali. Ah, sekalipun buta, saya tetap laki-laki Muslim yang baik pokoknya. Hanya saja saya merasa ada yang aneh dari isi khotbah yang disampaikan siang itu, utamanya saat sang khotib mengaitkan iman dengan semua motto kabupaten dan kota dilingkungan provinsi pimpinan sultan ini. Maka, saya pun mengingat-ingat isi khotbah itu.

Yogyakarta Berhati Nyaman betul ada huruf i, begitupula dengan Kulon Progo Binangun, Bantul Projo Tamansari, dan Gunung Kidul Handayani, semuanya ada huruf i yang oleh sang khotib dianggap sebagai akronim dari iman. Lha, masalahnya sekarang terletak di Sleman Sembada, dimanakah menyelipnya huruf i dalam dua kata itu? Beruntung, itu adalah khotbah. Seandainya itu seminar atau kuliah, saya yakin sang khotib sudah di interupsi oleh beberapa orang jamaah. Sampai sekarang, setiap bertemu tulisan Sleman Sembada disetiap persimpangan jalan di Sleman, saya selalu berusaha mencari dimana letak huruf i. Sayang, usaha saya selalu gagal. Ingin sekali rasanya saya mencari alamat khotib siang itu, ingin bertanya perihal huruf i itu. Saya yakin, dia juga pasti pusing. Ah, semoga saja saya salah dengar siang itu. Atau kalau ternyata benar itu yang saya dengar, saya hanya ingin menyampaikan saran kepada sang khotib.

“Pak, kalau memang semua ingin ada huruf ini, seharusnya benginilah kalimat bapak,’salah satu hal membuktikan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah daerah iman, bisa dilihat dari motto setiap daerah yang ada disini, seperti Yogyakarta Berhati Nyaman, Kulon Progo Binangun, Bantul Projo Tamansari, Gunung Kidul Handayani, dan “Sembada di Sleman” ‘. Dengan demikian, selesailah perkara huruf i itu.

Ah, pak khotib…

Yogyakarta, 19 Desember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar