"Selamat ulang tahun untuk Ayah tercinta, semoga sehat selalu. Amin."
(Darwin, anak sulung Ayah dan Umak)
"Gelik ati (geli hati - lucu), ada tawa, ada lucu, ada sedih. Teringat kembali."
(Fera Armina, keponakan Ayah, cucu ke-4 Abuk dan Nenek)
Keluarga saya, dalam sembarang corat-coret :D |
Hari
itu, hari Rabu tanggal 11 Desember 1963. Pulau Pongok tak macam sekarang.
Orang-orangnya pun belum seramai kini barangkali. Sekarang, sepanjang yang saya
tahu, Pulau Pongok sudah padat penduduk. Pulau kecil itu sudah dijejal oleh
penduduk yang kian waktu semakin bertambah saja jumlahnya, macam setiap hari
orang melahirkan disana, tanpa ada yang berpulang. Namun satu hal yang tak
berubah dari pulau paling terpencil di Bangka Selatan itu, yakni pemandangan
lautnya yang bening bagai kaca. Itu pun menurut cerita.
Hari
itu, Maznun mulai merasakan bayi dalam kandungannya hendak melihat dunia. Ini
adalah kehamilannya untuk yang kedua kali. Jadi, dia tahu benar bila hari itu
sudah saatnya anak keduanya itu meledakkan tangisnya dalam gendongan seorang
ayah. Ia memanggil Abdul Hamid, suaminya yang pun sudah siap menyambut anak kedua mereka. Pak Amid, begitu
beliau disapa, pun langsung memanggil bidan desa. Ia beritahu pada bidan desa
itu perihal istrinya yang hendak melahirkan lagi. Sempat pula Pak Amid gelisah,
sebagaimana suami lain yang menghadapi sang istri mau beranak macam istrinya
kala itu. Namun semuanya sirna oleh terlampau gembiranya dia menyambut anak
kedua.
Langit
Pulau Pongok yang cantik itu tampak cerah. Semoga saja ini petanda baik, begitu
barangkali yang ada dalam pikiran Pak Amid. Dia, sebagaimana ayah-ayah yang
lain, berharap anaknya kelak menjadi orang yang berhasil menjalani hidupnya,
terutama akhirat, tak terkecuali pula di dunia. Maznun, istrinya itu terus
menahan terjangan anak kedua mereka yang mulai meronta, tak sabar hendak
menengok kedua orangtuanya, serta sang kakak yang pula sudah mengharapkan dia
sebagai teman bermain. Pak Amid menemani istrinya itu dengan penuh rasa sayang,
berharap semoga semuanya berjalan dengan apa yang menjadi harapan mereka. Suara
bayi menangis pun pecah, tak lama kemudian.
“Alhamdulillah, Pak Amid, laki-laki,
lengkap sekarang, yang pertama perempuan, sekarang jagoan,” bidan desa turut
bahagia pula tampaknya.
Maznun
tersenyum. Bulir-bulir keringat membasahi keningnya. Nafasnya turun naik. Namun
dia bahagia sekali. Laki-laki. Oh, Alhamdulillah. Mereka memang berharap anak
mereka yang kedua ini berjenis kelamin laki-laki, sebab anak pertama mereka
adalah perempuan. Namun sekalipun Tuhan memberikan mereka kembali seorang
perempuan, mereka pun tetap beryukur, yang penting lahir dengan selamat. Itu
saja.
Pelan-pelan,
bidan desa menjalani proses persalinan keluarga kecil itu. Ia menjadi orang
yang pula ikut bahagia, tak henti-hentinya ia menimang-nimang bayi laki-laki
tampan sekali itu. Pak Amid juga bahagia tak tanggung-tanggung. Sejumlah nama
berkelabat dalam kepalanya, hendak ia sematkan pada jagoan baru mereka. Setelah
mengumandangkan adzan ditelinga sang anak, ia pun mendekati istrinya itu.
Laki-laki kecil itu, selanjutnya diberi nama Suharto oleh Pak Amid dan Maznun.
Laki-laki bernama Suharto itulah yang kelak akan menjadi ayah terbaik sepanjang
masa. Dia adalah ayahku, ayak kami anak-anak yang mencintai beliau, serta suami
dari Umak (Ibu) yang pula terbaik sepanjang masa.
***
Ayah kecil akhirnya tumbuh dewasa. Ia menjalani hidup
sebagaimana anak lain di Pulau Pongok kala itu, sekolah dan belajar mengaji. Mengenai
mengapa ia diberi nama Suharto, saya tak terlalu paham. Hanya saja, yang saya tahu,
abuk (kakek atau atok) saya itu penggemar tokoh-tokoh tertentu. Suatu ketika, saat
berada dirumahnya, saya pernah mendengar beliau yang menyanjung-nyanjung
Soekrano yang tak lain adalah ayah dari Megawati, salah seorang tohoh
reformasi, sampai akhirnya beliau mengganti bendera partai depan rumah yang
semula berwarna kuning menjadi merah padam. Saat itu, Orde Baru baru tumbang.
Ayah hanya diam mendengar orang yang namanya sama dengan namanya sedang
dihujat-hujat orang menjelang reformasi. Mengenai nama ayah, saya menduga
karena saat itu bangsa ini sedang terpesona akan sosok Jendral Soeharto, yang
kemudian menjadi presiden menggantikan Soekarno.
Menurut cerita Mak Wo Asmuni, ayuk (kakak perempuan) ayah, dulu abuk lebih mengutamakan anaknya belajar
membaca Al-Qur’an daripada sekolah formal. Alasannya sederhana sekali, agar
semua anaknya bisa membaca kitab suci itu dengan baik, sebab itulah modal utama
untuk menuntun kita setelah berpulang kelak. Intinya, orang-orang di Pulau
Pongok kala itu, serta orang-orang lain di penjuru Pulau Bangka, memang lebih
mementingkan anaknya belajar mengaji. Itulah sebabnya mengapa kemudian ketika
Mak Wo berhenti tak kembali ke sekolah karena takut dengan gurunya yang memukul
penggaris kayu yang panjang itu ke papan tulis hingga patah, abuk tak marah.
Abuk hanya berkata, yang penting jangan berhenti mengaji.
Cerita perihal ayah remaja, pun
tak jauh berbeda dengan yang lain. Hanya saja, menurut cerita dari Mak Wo dulu,
ayah adalah tipe anak yang rajin serta menyayangi saudara-saudaranya. Cerita
yang sama pun saya dengar dari Nek Mok Rofia, adik nenek, yang dulu suatu waktu
sempat bercerita bahwa ayah tipe anak pekerja keras. Ayah tak malu berjualan
kue keliling kampung, sekalipun kawan-kawannya kala itu asyik bermain selepas
jam sekolah usai. Mengenai sifat ayah yang satu ini, saya percaya, sebab sampai
sekarang saya masih bisa melihat dengan mata kepala sendiri ayah bekerja dengan
begitu giat.
Hidup keluarga kecil ayah di
Pulau Pongok ternyata tidaklah mudah. Orang-orang disana hanya mengandalkan
hasil laut sebagai mata pencaharian. Itupun harus pula menggantung pada angin.
Bila angin bertiup kencang, maka terkadang orang-orang di Pulau Pongok tak
turun menangkap ikan. Sebaliknya, bila cuaca bagus, mereka turun, sekalipun
hasil tangkapannya pun tak menjamin kehidupan mereka esok pagi. Padahal, Pulau
Pongok sampai sekarang terkenal akan hasil ikannya yang melimpah. Mungkin, penyebab terpuruknya
ekonomi masyarakat Pulau Pongok kala itu adalah kehidupan ekonomi bangsa ini
yang masih kacau balau, baru merdeka dari Belanda.
Menjelang remaja, keluarga ayah
pindah ke Pulau Belitung. Mereka tinggal disebuah daerah di Tanjung Pandan,
kota utama di pulau itu. Disana, kehidupan keluarga ayah pun tak banyak
berubah, bahkan semakin parah
barangkali. Situasi ekonomi di pulau itu pun tak ada bedanya dengan Pulau
Pongok. Namun ayah tetap bekerja keras seraya tetap sekolah. Ayah berhasil
lulus SD. Seraya sekolah itu, saya sempat mendengar cerita perihal ayah yang
sempat jual kue tiada henti hanya untuk mebeli susu Mok Tin, adik perempuan
ayah yang masih kecil. Saya terharu bila mendengar cerita ini. Saya selalu
memandangi wajah ayah saat beliau tidur pulas, membayangkan beliau kecil yang
keliling kota Tanjung Pandan menjaja kue demi sang adik biar tak lagi menangis
saat tengah malam.
Situasi di Pulau Belitung kian
tak menentu. Ayah akhirnya meninggalkan bangku SMP. Ayah tak tamat, sekalipun
sampai kini, setiap kali bercerita, ayah selalu bilang setidaknya dia pernah
SMP. Ayah akhirnya merantau ke Pulau Bangka, mengikuti Buk Mamang Mahmud, adik
nenek yang tinggal di Desa Tiram. Sedang Mak Wo Asmuni, pun ikut merantau.
Hanya saja, Mak Wo ikut Nek Mok yang tinggal di Sungailiat, kota terbesar kedua
di Pulau Bangka setelah Pangkalpinang. Mulanya, kata Nek Mok, ayah diajaknya
ikut tinggal bersamanya di Sungailiat, hanya saja ayah lebih memilih tinggal
bersama Buk Mamang, berkebun lada disana. Ayah berpisah dengan Mak Wo, pun
berpisah dengan abuk dan nenek, serta adiknya yang tetap memlilih tinggal di
Pulau Belitung, sebelum akhinya pun ikut menyusul ayah di Pulau Bangka.
Cerita perihal ayah remaja banyak
dihabiskan disini, di Desa Tiram di selatan Pulau Bangka. Disini, ayah
berkebun. Saya pun sempat melihat hutan belukar yang dulu merupakan kebun ayah
saat ayah remaja. Bahkan, bersama abang kala itu yang sama-sama masih kecil,
kami sering diajak ayah memetik buah rambutan yang dulu ditanam ayah. Pohonnya
banyak, buahnya lebat sekali. Sayang, kini hutan itu sudah dijual oleh Buk
Mamang, paman ayah sendiri.
Sebagaimana remaja yang lain,
ayah pun sering bepergian ke desa sebelah. Singkat cerita, akhirnya ayah
bertemu dengan Zanila, Umak kami tercinta. Mereka akhirnya menikah. Umak
merupakan anak ketiga dari lima bersaudara, semuanya perempuan, anak dari
almarhum H. Hakap dan Hj. Rahma. Buk Hakap, ayah Umak, menurut cerita Busu
Yung, adik Umak yang paling bungsu, terkenal galak kala itu. Apalagi nenek.
Bagaimana ceritanya sampai akhirnya ayah bisa merebut hati salah satu putrinya
itu, tak tahulah saya. Mungkin karena ketampanan ayah barangkali. Sayang,
ketampanan ayah muda hanya mengalir pada abang, sedikit pun tak sudi berhendi
di wajahku. Oh, ayah. Tapi, syukurlah, hidung saya menyerupai hidung
ayah.Hehe…Kasihan 3 orang saudara saya yang lain yang hidungnya mirip hidung
Umak.
Saat kecil, saya bersama abang
sering diajak ayah pergi ke Desa Tiram, menjenguk abuk dan nenek yang akhirnya
tinggal disana. Ayah sendiri setelah menikah dengan Umak hingga sekarang,
tinggal di Desa Pasirputih, kampung halaman umak di paling selatan Pulau
Bangka. Situasi ekonomi abuk dan nenek, menurut cerita umak suatu hari, sedikit
lebih baik saat pindah ke Pulau Bangka. Suatu waktu, abuk dan nenek sempat
panen sahang (lada) dalam jumlah lumayan. Sekarang, abuk telah tiada. Beliau
berpulang di Desa Tiram, makamnya pun disana. Beberapa tahun kemudian, nenek
menyusul abuk berpulang. Nenek meninggal di Sungailiat, dirumah Mak Wo, anak
pertamanya. Nenek pun dimakam disana.
Ayah begitu sayang dengan kedua
orangtuanya itu. Saat abuk sakit-sakitan, ayah selalu mengunjungi abuk di Desa
Tiram, beberapa kilometer dari kampung halaman kami. Begitu pula saat nenek
sakit hingga akhirnya dibawa Mak Wo kerumahnya di Sungailiat, beratus-ratus
kilometer dari rumah nenek di Desa Tiram. Ayah harus bolak-balik ke Sungailiat
kala itu. Apalagi setiap kali datang surat dari Mak Wo Muni yang mengabarkan
perihal nenek yang sakitnya kian parah. Saat itu, sarana komunikasi belum
secanggih sekarang. Ayah sering ke wartel menelpon Mak Wo, memanfaatkan uang
seadanya saat itu.
Sebelum nenek meninggal, saat
ayah hendak pulang ke kampung dan saya pulang ke Pangkalpinang karena sekolah,
sempat saya melihat ayah yang memeluk dan mencium nenek yang terbaring tak
berdaya seraya menangis. Ayah sempat mengatakan sesuatu kepada nenek, janji ayah
terhadap nenek kalau kelak nenek berpulang. Sampai kini, apa yang dikatakan
ayah itu masih tersimpan dengan baik dalam pikiran saya. Apabila ayah belum
diberi kesempatan untuk menunaikan janji itu, saya berjanji akan menunaikannya
untuk almarhummah nenek tercinta. Saat berada di kampung, ayah mendapat kabar
nenek sakit keras. Ayah segera ke rumah Mak Wo, berjam-jam lamnya. Nenek
akhirnya menghembusakan nafas terakhirnya tak lama setelah ayah berada
disampingnya. Saya pun menyusul ayah ke Sungailit, sekalipun tak sempat meilhat
nenek dimakamkan.
***
Hari ini, hari Rabu, hari yang
sama saat ayah dilahirkan, 50 tahun yang lalu. Laki-laki bernama Suharto itu
tetap seperti dulu, tetap seperti dalam cerita-cerita yang sering saya dengar.
Ia tetap seorang yang tekun bekerja. Ia tetap sayang terhadap kedua
orangtuanya. Ayah adalah potret orang Melayu tulen. Datuk H.A. Hudarni Rani,
gubernur Kepulauan Bangka Belitung pertama yang sangat saya kagumi karena
orangnya yang Melayu sekali, mengatakan kalau orang Melayu selalu marah dengan
diam. Ayah pun begitu. Bila ayah sudah diam tak hendak bicara, itu artinya ayah
sedang marah. Pokoknya, ia adalah ayah terbaik sepanjang masa, ayah saya, ayah
kami anak-anaknya, serta suami dari Umak kami yang pula terbaik sepanjang masa.
Saya ingin seperti ayah, saya ingin menyayangi orangtua saya sebagaimana ayah
menyayngai orangtuanya. Selamat ulang tahun emas, Ayah, semoga selalu diberi
kesehatan oleh Allah. Salam dari jauh, peluk dan cium pun dari jauh.
Yogyakarta, 11-12-13
Anak ayah, yang ingin seperti ayah
Selamat ulang tahun ayah.. Selamat telah menjadi ayah terhebat sepanjangmasa untuk calon suami terhebat sepanjang masa.. (amiiiin)
BalasHapus"Orang melayu kalo marah diem.." :)) nice statement dear..
Amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin...:D
BalasHapus