Selasa, 10 Desember 2013

11 + 12 + 13 = 50

"Selamat ulang tahun untuk Ayah tercinta, semoga sehat selalu. Amin."
(Darwin, anak sulung Ayah dan Umak)

"Gelik ati (geli hati - lucu), ada tawa, ada lucu, ada sedih. Teringat kembali."
(Fera Armina, keponakan Ayah, cucu ke-4 Abuk dan Nenek)

Keluarga saya, dalam sembarang corat-coret :D

Hari itu, hari Rabu tanggal 11 Desember 1963. Pulau Pongok tak macam sekarang. Orang-orangnya pun belum seramai kini barangkali. Sekarang, sepanjang yang saya tahu, Pulau Pongok sudah padat penduduk. Pulau kecil itu sudah dijejal oleh penduduk yang kian waktu semakin bertambah saja jumlahnya, macam setiap hari orang melahirkan disana, tanpa ada yang berpulang. Namun satu hal yang tak berubah dari pulau paling terpencil di Bangka Selatan itu, yakni pemandangan lautnya yang bening bagai kaca. Itu pun menurut cerita.

                Hari itu, Maznun mulai merasakan bayi dalam kandungannya hendak melihat dunia. Ini adalah kehamilannya untuk yang kedua kali. Jadi, dia tahu benar bila hari itu sudah saatnya anak keduanya itu meledakkan tangisnya dalam gendongan seorang ayah. Ia memanggil Abdul Hamid, suaminya yang pun sudah siap  menyambut anak kedua mereka. Pak Amid, begitu beliau disapa, pun langsung memanggil bidan desa. Ia beritahu pada bidan desa itu perihal istrinya yang hendak melahirkan lagi. Sempat pula Pak Amid gelisah, sebagaimana suami lain yang menghadapi sang istri mau beranak macam istrinya kala itu. Namun semuanya sirna oleh terlampau gembiranya dia menyambut anak kedua.

                Langit Pulau Pongok yang cantik itu tampak cerah. Semoga saja ini petanda baik, begitu barangkali yang ada dalam pikiran Pak Amid. Dia, sebagaimana ayah-ayah yang lain, berharap anaknya kelak menjadi orang yang berhasil menjalani hidupnya, terutama akhirat, tak terkecuali pula di dunia. Maznun, istrinya itu terus menahan terjangan anak kedua mereka yang mulai meronta, tak sabar hendak menengok kedua orangtuanya, serta sang kakak yang pula sudah mengharapkan dia sebagai teman bermain. Pak Amid menemani istrinya itu dengan penuh rasa sayang, berharap semoga semuanya berjalan dengan apa yang menjadi harapan mereka. Suara bayi menangis pun pecah, tak lama kemudian.

                Alhamdulillah, Pak Amid, laki-laki, lengkap sekarang, yang pertama perempuan, sekarang jagoan,” bidan desa turut bahagia pula tampaknya.

                Maznun tersenyum. Bulir-bulir keringat membasahi keningnya. Nafasnya turun naik. Namun dia bahagia sekali. Laki-laki. Oh, Alhamdulillah. Mereka memang berharap anak mereka yang kedua ini berjenis kelamin laki-laki, sebab anak pertama mereka adalah perempuan. Namun sekalipun Tuhan memberikan mereka kembali seorang perempuan, mereka pun tetap beryukur, yang penting lahir dengan selamat. Itu saja.

                Pelan-pelan, bidan desa menjalani proses persalinan keluarga kecil itu. Ia menjadi orang yang pula ikut bahagia, tak henti-hentinya ia menimang-nimang bayi laki-laki tampan sekali itu. Pak Amid juga bahagia tak tanggung-tanggung. Sejumlah nama berkelabat dalam kepalanya, hendak ia sematkan pada jagoan baru mereka. Setelah mengumandangkan adzan ditelinga sang anak, ia pun mendekati istrinya itu. Laki-laki kecil itu, selanjutnya diberi nama Suharto oleh Pak Amid dan Maznun. Laki-laki bernama Suharto itulah yang kelak akan menjadi ayah terbaik sepanjang masa. Dia adalah ayahku, ayak kami anak-anak yang mencintai beliau, serta suami dari Umak (Ibu) yang pula terbaik sepanjang masa.

***
Ayah kecil  akhirnya tumbuh dewasa. Ia menjalani hidup sebagaimana anak lain di Pulau Pongok kala itu, sekolah dan belajar mengaji. Mengenai mengapa ia diberi nama Suharto, saya tak terlalu paham. Hanya saja, yang saya tahu, abuk (kakek atau atok) saya itu penggemar tokoh-tokoh tertentu. Suatu ketika, saat berada dirumahnya, saya pernah mendengar beliau yang menyanjung-nyanjung Soekrano yang tak lain adalah ayah dari Megawati, salah seorang tohoh reformasi, sampai akhirnya beliau mengganti bendera partai depan rumah yang semula berwarna kuning menjadi merah padam. Saat itu, Orde Baru baru tumbang. Ayah hanya diam mendengar orang yang namanya sama dengan namanya sedang dihujat-hujat orang menjelang reformasi. Mengenai nama ayah, saya menduga karena saat itu bangsa ini sedang terpesona akan sosok Jendral Soeharto, yang kemudian menjadi presiden menggantikan Soekarno.

Menurut cerita Mak Wo Asmuni, ayuk (kakak perempuan) ayah, dulu abuk lebih mengutamakan anaknya belajar membaca Al-Qur’an daripada sekolah formal. Alasannya sederhana sekali, agar semua anaknya bisa membaca kitab suci itu dengan baik, sebab itulah modal utama untuk menuntun kita setelah berpulang kelak. Intinya, orang-orang di Pulau Pongok kala itu, serta orang-orang lain di penjuru Pulau Bangka, memang lebih mementingkan anaknya belajar mengaji. Itulah sebabnya mengapa kemudian ketika Mak Wo berhenti tak kembali ke sekolah karena takut dengan gurunya yang memukul penggaris kayu yang panjang itu ke papan tulis hingga patah, abuk tak marah. Abuk hanya berkata, yang penting jangan berhenti mengaji.

Cerita perihal ayah remaja, pun tak jauh berbeda dengan yang lain. Hanya saja, menurut cerita dari Mak Wo dulu, ayah adalah tipe anak yang rajin serta menyayangi saudara-saudaranya. Cerita yang sama pun saya dengar dari Nek Mok Rofia, adik nenek, yang dulu suatu waktu sempat bercerita bahwa ayah tipe anak pekerja keras. Ayah tak malu berjualan kue keliling kampung, sekalipun kawan-kawannya kala itu asyik bermain selepas jam sekolah usai. Mengenai sifat ayah yang satu ini, saya percaya, sebab sampai sekarang saya masih bisa melihat dengan mata kepala sendiri ayah bekerja dengan begitu giat.

Hidup keluarga kecil ayah di Pulau Pongok ternyata tidaklah mudah. Orang-orang disana hanya mengandalkan hasil laut sebagai mata pencaharian. Itupun harus pula menggantung pada angin. Bila angin bertiup kencang, maka terkadang orang-orang di Pulau Pongok tak turun menangkap ikan. Sebaliknya, bila cuaca bagus, mereka turun, sekalipun hasil tangkapannya pun tak menjamin kehidupan mereka esok pagi. Padahal, Pulau Pongok sampai sekarang terkenal akan hasil ikannya yang  melimpah. Mungkin, penyebab terpuruknya ekonomi masyarakat Pulau Pongok kala itu adalah kehidupan ekonomi bangsa ini yang masih kacau balau, baru merdeka dari Belanda.

Menjelang remaja, keluarga ayah pindah ke Pulau Belitung. Mereka tinggal disebuah daerah di Tanjung Pandan, kota utama di pulau itu. Disana, kehidupan keluarga ayah pun tak banyak berubah, bahkan  semakin parah barangkali. Situasi ekonomi di pulau itu pun tak ada bedanya dengan Pulau Pongok. Namun ayah tetap bekerja keras seraya tetap sekolah. Ayah berhasil lulus SD. Seraya sekolah itu, saya sempat mendengar cerita perihal ayah yang sempat jual kue tiada henti hanya untuk mebeli susu Mok Tin, adik perempuan ayah yang masih kecil. Saya terharu bila mendengar cerita ini. Saya selalu memandangi wajah ayah saat beliau tidur pulas, membayangkan beliau kecil yang keliling kota Tanjung Pandan menjaja kue demi sang adik biar tak lagi menangis saat tengah malam.

Situasi di Pulau Belitung kian tak menentu. Ayah akhirnya meninggalkan bangku SMP. Ayah tak tamat, sekalipun sampai kini, setiap kali bercerita, ayah selalu bilang setidaknya dia pernah SMP. Ayah akhirnya merantau ke Pulau Bangka, mengikuti Buk Mamang Mahmud, adik nenek yang tinggal di Desa Tiram. Sedang Mak Wo Asmuni, pun ikut merantau. Hanya saja, Mak Wo ikut Nek Mok yang tinggal di Sungailiat, kota terbesar kedua di Pulau Bangka setelah Pangkalpinang. Mulanya, kata Nek Mok, ayah diajaknya ikut tinggal bersamanya di Sungailiat, hanya saja ayah lebih memilih tinggal bersama Buk Mamang, berkebun lada disana. Ayah berpisah dengan Mak Wo, pun berpisah dengan abuk dan nenek, serta adiknya yang tetap memlilih tinggal di Pulau Belitung, sebelum akhinya pun ikut menyusul ayah di Pulau Bangka.

Cerita perihal ayah remaja banyak dihabiskan disini, di Desa Tiram di selatan Pulau Bangka. Disini, ayah berkebun. Saya pun sempat melihat hutan belukar yang dulu merupakan kebun ayah saat ayah remaja. Bahkan, bersama abang kala itu yang sama-sama masih kecil, kami sering diajak ayah memetik buah rambutan yang dulu ditanam ayah. Pohonnya banyak, buahnya lebat sekali. Sayang, kini hutan itu sudah dijual oleh Buk Mamang, paman ayah sendiri.

Sebagaimana remaja yang lain, ayah pun sering bepergian ke desa sebelah. Singkat cerita, akhirnya ayah bertemu dengan Zanila, Umak kami tercinta. Mereka akhirnya menikah. Umak merupakan anak ketiga dari lima bersaudara, semuanya perempuan, anak dari almarhum H. Hakap dan Hj. Rahma. Buk Hakap, ayah Umak, menurut cerita Busu Yung, adik Umak yang paling bungsu, terkenal galak kala itu. Apalagi nenek. Bagaimana ceritanya sampai akhirnya ayah bisa merebut hati salah satu putrinya itu, tak tahulah saya. Mungkin karena ketampanan ayah barangkali. Sayang, ketampanan ayah muda hanya mengalir pada abang, sedikit pun tak sudi berhendi di wajahku. Oh, ayah. Tapi, syukurlah, hidung saya menyerupai hidung ayah.Hehe…Kasihan 3 orang saudara saya yang lain yang hidungnya mirip hidung Umak.

Saat kecil, saya bersama abang sering diajak ayah pergi ke Desa Tiram, menjenguk abuk dan nenek yang akhirnya tinggal disana. Ayah sendiri setelah menikah dengan Umak hingga sekarang, tinggal di Desa Pasirputih, kampung halaman umak di paling selatan Pulau Bangka. Situasi ekonomi abuk dan nenek, menurut cerita umak suatu hari, sedikit lebih baik saat pindah ke Pulau Bangka. Suatu waktu, abuk dan nenek sempat panen sahang (lada) dalam jumlah lumayan. Sekarang, abuk telah tiada. Beliau berpulang di Desa Tiram, makamnya pun disana. Beberapa tahun kemudian, nenek menyusul abuk berpulang. Nenek meninggal di Sungailiat, dirumah Mak Wo, anak pertamanya. Nenek pun dimakam disana.

Ayah begitu sayang dengan kedua orangtuanya itu. Saat abuk sakit-sakitan, ayah selalu mengunjungi abuk di Desa Tiram, beberapa kilometer dari kampung halaman kami. Begitu pula saat nenek sakit hingga akhirnya dibawa Mak Wo kerumahnya di Sungailiat, beratus-ratus kilometer dari rumah nenek di Desa Tiram. Ayah harus bolak-balik ke Sungailiat kala itu. Apalagi setiap kali datang surat dari Mak Wo Muni yang mengabarkan perihal nenek yang sakitnya kian parah. Saat itu, sarana komunikasi belum secanggih sekarang. Ayah sering ke wartel menelpon Mak Wo, memanfaatkan uang seadanya saat itu.

Sebelum nenek meninggal, saat ayah hendak pulang ke kampung dan saya pulang ke Pangkalpinang karena sekolah, sempat saya melihat ayah yang memeluk dan mencium nenek yang terbaring tak berdaya seraya menangis. Ayah sempat mengatakan sesuatu kepada nenek, janji ayah terhadap nenek kalau kelak nenek berpulang. Sampai kini, apa yang dikatakan ayah itu masih tersimpan dengan baik dalam pikiran saya. Apabila ayah belum diberi kesempatan untuk menunaikan janji itu, saya berjanji akan menunaikannya untuk almarhummah nenek tercinta. Saat berada di kampung, ayah mendapat kabar nenek sakit keras. Ayah segera ke rumah Mak Wo, berjam-jam lamnya. Nenek akhirnya menghembusakan nafas terakhirnya tak lama setelah ayah berada disampingnya. Saya pun menyusul ayah ke Sungailit, sekalipun tak sempat meilhat nenek dimakamkan.

***
Hari ini, hari Rabu, hari yang sama saat ayah dilahirkan, 50 tahun yang lalu. Laki-laki bernama Suharto itu tetap seperti dulu, tetap seperti dalam cerita-cerita yang sering saya dengar. Ia tetap seorang yang tekun bekerja. Ia tetap sayang terhadap kedua orangtuanya. Ayah adalah potret orang Melayu tulen. Datuk H.A. Hudarni Rani, gubernur Kepulauan Bangka Belitung pertama yang sangat saya kagumi karena orangnya yang Melayu sekali, mengatakan kalau orang Melayu selalu marah dengan diam. Ayah pun begitu. Bila ayah sudah diam tak hendak bicara, itu artinya ayah sedang marah. Pokoknya, ia adalah ayah terbaik sepanjang masa, ayah saya, ayah kami anak-anaknya, serta suami dari Umak kami yang pula terbaik sepanjang masa. Saya ingin seperti ayah, saya ingin menyayangi orangtua saya sebagaimana ayah menyayngai orangtuanya. Selamat ulang tahun emas, Ayah, semoga selalu diberi kesehatan oleh Allah. Salam dari jauh, peluk dan cium pun dari jauh.

Yogyakarta, 11-12-13
Anak ayah, yang ingin seperti ayah

2 komentar:

  1. Selamat ulang tahun ayah.. Selamat telah menjadi ayah terhebat sepanjangmasa untuk calon suami terhebat sepanjang masa.. (amiiiin)

    "Orang melayu kalo marah diem.." :)) nice statement dear..

    BalasHapus
  2. Amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin...:D

    BalasHapus