Rabu, 18 Desember 2013

PERKARA HURUF "i"

Ilustrasi (Sumber: http://dhaychee.files.wordpress.com)
Sebagai laki-laki Muslim yang baik, saya senantiasa menunaikan kewajiban menjalankan ibadah sholat Jum’at yang satu kali dalam seminggu itu. Ah, berat sebetulnya saya menyelesaikan kalimat ini, apalagi harus menyelipkan kata “senantiasa’ dalam kalimat itu. Biarlah tapi, tak mengapa. Orang sering berkata bila apa yang kita utarakan adalah do’a. Semoga pula ini adalah do’a biar kelak saya pun benar-benar senantiasa menjalankan kewajiban menyembah Tuhan. Saya senantiasa berusaha, barangkali itu kalimat yang paling mengena. Ibarat orang-orang di Senayan, nurani saya terbagi menjadi dua poros kepentingan saat hendak merampungkan kalimat itu, termasuk perlu atau tidaknya memasukkan kata “senantiasa”. Namun setelah melakukan kompromi, akhirnya disetujui untuk memasang kata paling kontrovesial itu. Sekali lagi, anggap saja itu do’a.

Dulu, sebelum rela membawa dua lembar koran untuk sholat Jumat di sebuah masjid di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, saya sholat Jum’at di sebuah masjid di Pogung Lor, Sinduadi, Mlati, Sleman, tak jauh dari tempat tinggal saya. Semenjak melanjutkan kuliah di Yogyakarta, secara tidak sengaja saya menemukan sebuah kos yang hingga kini membuat saya tetap betah tinggal di dalamnya. Padahal, kamar kos yang saya tempati itu selalu mengeluarkan debu. Apa penyebabnya, hingga kini saya pun tak tahu dan memang tak hendak mencari tahu. Saya hanya menduga-duga malas, barangkali karena memang ini daerah berdebu. Apalagi, pemukiman dimana saya tinggal itu memang berada di bawah Gunung Merapi di bagian utara.

Penyebab mengapa saya betah tinggal disitu saya kita tak perlulah untuk ditanya. Pertama, saya tipe orang yang malas repot, apalagi bila harus mengangkut barang untuk pindah sana pindah sini. Sudahlah, akhirnya saya memutuskan untuk tetap tinggal disitu sampai mengatakan selamat tinggal kepada Yogyakarta. Alasan kedua, dan saya kira ini yang paling mengena, tak lain karena biaya sewa kamar kos itu murah sekali. Ah, saya harap pahamlah mengapa saya meganggap ini sebagai alasan utama sekalipun saya tempatkan di posisi kedua. Sebagai mahasiswa apa adanya, saya berusaha untuk berhemat semaksilmal mungkin. Ah, lumayan berat juga menyelesaikan kalimat terakhir ini. Lupakan saja perihal harga kamar kos, kembali ke soal sholat Jum’at yang meneguhkan posisi saya sebagai laki-laki Muslim baik tadi.

Pada sebuah Jum’at, setelah berhasil melawan rasa kantuk dan terutama rasa malas yang seolah bagai mengikat badan saya dalam kamar kos, pergilah saya ke masjid tak jauh dari kos saya itu untuk menunaikan sholat Jum’at. Apa saya bilang, laki-laki Muslim yang baik bukan? Ah, sudahlah, soal itu biar opini yang berbicara. Intinya, hari itu saya sholat Jum’at, itu yang lebih penting. Laki-laki Muslim yang katanya baik tapi tak sholat Jum’at juga percuma. Saya lebih memilih menjadi laki-laki Muslim yan tak baik tapi sholat Jum’at. Ah, apa pula ini, sama saja tampaknya. Sudahlah, singkat cerita hari itu saya sholat Jumat. Bagaimana, pusing bukan? Sama, saya juga.

Setelah  berlari-lari kecil menuju masjid, akhirnya saya mendapati orang-orang yang berdiri. Masjid itu memang selalu tak mampu  menampung para jamaah yang hendak bersujud menghadap Tuhan-nya saban Jum’at. Bahkan ada yang sampai sholat di teras rumah warga di sekitar masjid itu. Saya sebetulnya tidak nyaman dengan suasana macam itu. Apalagi bagi saya yang selalu hampir khotib menyudahi khotbahnya baru sampai di masjid. Itu artinya saya harus tulus iklhas sholat diluar masjid seraya menyingkir sandal para jamaah barang sedikit untuk menggelar sajadah. Oh, Tuhan, apakah keadaan semacam ini sudah berlangsung lama?

Pada sebuah Jum’at, alhamdulillah saya datang ke masjid manakala khotib baru saja naik ke atas mimbar untuk menyampaikan khotbahnya dihadapan para jamaah. Saya pun mendengar isi khotbah dengan saksama. Intinya, sang khotib siang itu menyampaikan perihal karakter Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikenal sebagai daerah pelajar yang tetap memegang teguh nilai-nilai agama. Oleh sebab itu, kata sang khotib, kita harus tetap menjaga marwah tersebut dengan menjalankan syariat Islam sebagaimana yang telah dianjurkan. Saya sepakat dengan sang khotib itu, yang pula menyinggung perihal pemisahan laki-laki dan perempuan yang datang belajar ke Yogyakarta oleh pengelola kamar kos disini. Beberapa kali saya mengangguk-ngangguk kepala, entah karena apa. Saya juga bingung mengapa saya mengangguk-ngangguk tanpa alasan macam itu.

Isi khotbah sang khotib yang disampaikan secara berapi-api telah berhasil menyihir sejumlah jamaah siang itu, dikurangi sejumlah jamaah lain yang asyik bercakap-capap, lalu dikurangi lagi dengan jumlah anak-anak yang lari-lari diiringi tawa yang sontak mengundang nafsu saya untuk melempar sandal kearah mereka. Beruntung mereka, sebab saya tiba-tiba ingat bila dulu saya tak ubah seperti mereka. Namun bagaimana pun, khotbah hari ini disampaikan dengan gaya yang lumayan menarik, tidak macam khotib lain yang hanya bisa menambah kadar mengantuk menjadi tinggi menjulang. Sayang, terlampau berapi-apinya beliau, atau entah karena saya yang terlampau jeli, ada kalimat yang membuat saya lantas melongo macam hilang akal. Beginilah kira-kira bunyi kalimat itu.

“Salah satu hal membuktikan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah daerah iman, bisa dilihat dari motto setiap daerah yang ada disini, seperti Yogyakarta Berhati Nyaman, Sleman Sembada, Kulon Progo Binangun, Bantul Projo Tamansari, dan Gunung Kidul Handayani,” kata sang khotib berapi-api. Saya penasaran menunggu penjelasan lanjut apa korelasinya iman dengan semua motto daerah yang telah dia sebutkan diatas. Akhirnya, sang khotib pun melanjutkan,” semuanya ada huruf “i” yang artinya adalah iman,” begitu kata sang khotib.

Mulanya, saya hanya sekadar mengangguk-ngangguk saja, masih tak tahu alasannya apa. Namun akhirnya saya terperanjat juga. Saya bukan tak paham, apalagi sampai tak sependapat dengan isi khotbah sang khotib yang ilmu agamanya jauh melampaui saya yang masih buta barangkali. Ah, sekalipun buta, saya tetap laki-laki Muslim yang baik pokoknya. Hanya saja saya merasa ada yang aneh dari isi khotbah yang disampaikan siang itu, utamanya saat sang khotib mengaitkan iman dengan semua motto kabupaten dan kota dilingkungan provinsi pimpinan sultan ini. Maka, saya pun mengingat-ingat isi khotbah itu.

Yogyakarta Berhati Nyaman betul ada huruf i, begitupula dengan Kulon Progo Binangun, Bantul Projo Tamansari, dan Gunung Kidul Handayani, semuanya ada huruf i yang oleh sang khotib dianggap sebagai akronim dari iman. Lha, masalahnya sekarang terletak di Sleman Sembada, dimanakah menyelipnya huruf i dalam dua kata itu? Beruntung, itu adalah khotbah. Seandainya itu seminar atau kuliah, saya yakin sang khotib sudah di interupsi oleh beberapa orang jamaah. Sampai sekarang, setiap bertemu tulisan Sleman Sembada disetiap persimpangan jalan di Sleman, saya selalu berusaha mencari dimana letak huruf i. Sayang, usaha saya selalu gagal. Ingin sekali rasanya saya mencari alamat khotib siang itu, ingin bertanya perihal huruf i itu. Saya yakin, dia juga pasti pusing. Ah, semoga saja saya salah dengar siang itu. Atau kalau ternyata benar itu yang saya dengar, saya hanya ingin menyampaikan saran kepada sang khotib.

“Pak, kalau memang semua ingin ada huruf ini, seharusnya benginilah kalimat bapak,’salah satu hal membuktikan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah daerah iman, bisa dilihat dari motto setiap daerah yang ada disini, seperti Yogyakarta Berhati Nyaman, Kulon Progo Binangun, Bantul Projo Tamansari, Gunung Kidul Handayani, dan “Sembada di Sleman” ‘. Dengan demikian, selesailah perkara huruf i itu.

Ah, pak khotib…

Yogyakarta, 19 Desember 2013

Selasa, 10 Desember 2013

11 + 12 + 13 = 50

"Selamat ulang tahun untuk Ayah tercinta, semoga sehat selalu. Amin."
(Darwin, anak sulung Ayah dan Umak)

"Gelik ati (geli hati - lucu), ada tawa, ada lucu, ada sedih. Teringat kembali."
(Fera Armina, keponakan Ayah, cucu ke-4 Abuk dan Nenek)

Keluarga saya, dalam sembarang corat-coret :D

Hari itu, hari Rabu tanggal 11 Desember 1963. Pulau Pongok tak macam sekarang. Orang-orangnya pun belum seramai kini barangkali. Sekarang, sepanjang yang saya tahu, Pulau Pongok sudah padat penduduk. Pulau kecil itu sudah dijejal oleh penduduk yang kian waktu semakin bertambah saja jumlahnya, macam setiap hari orang melahirkan disana, tanpa ada yang berpulang. Namun satu hal yang tak berubah dari pulau paling terpencil di Bangka Selatan itu, yakni pemandangan lautnya yang bening bagai kaca. Itu pun menurut cerita.

                Hari itu, Maznun mulai merasakan bayi dalam kandungannya hendak melihat dunia. Ini adalah kehamilannya untuk yang kedua kali. Jadi, dia tahu benar bila hari itu sudah saatnya anak keduanya itu meledakkan tangisnya dalam gendongan seorang ayah. Ia memanggil Abdul Hamid, suaminya yang pun sudah siap  menyambut anak kedua mereka. Pak Amid, begitu beliau disapa, pun langsung memanggil bidan desa. Ia beritahu pada bidan desa itu perihal istrinya yang hendak melahirkan lagi. Sempat pula Pak Amid gelisah, sebagaimana suami lain yang menghadapi sang istri mau beranak macam istrinya kala itu. Namun semuanya sirna oleh terlampau gembiranya dia menyambut anak kedua.

                Langit Pulau Pongok yang cantik itu tampak cerah. Semoga saja ini petanda baik, begitu barangkali yang ada dalam pikiran Pak Amid. Dia, sebagaimana ayah-ayah yang lain, berharap anaknya kelak menjadi orang yang berhasil menjalani hidupnya, terutama akhirat, tak terkecuali pula di dunia. Maznun, istrinya itu terus menahan terjangan anak kedua mereka yang mulai meronta, tak sabar hendak menengok kedua orangtuanya, serta sang kakak yang pula sudah mengharapkan dia sebagai teman bermain. Pak Amid menemani istrinya itu dengan penuh rasa sayang, berharap semoga semuanya berjalan dengan apa yang menjadi harapan mereka. Suara bayi menangis pun pecah, tak lama kemudian.

                Alhamdulillah, Pak Amid, laki-laki, lengkap sekarang, yang pertama perempuan, sekarang jagoan,” bidan desa turut bahagia pula tampaknya.

                Maznun tersenyum. Bulir-bulir keringat membasahi keningnya. Nafasnya turun naik. Namun dia bahagia sekali. Laki-laki. Oh, Alhamdulillah. Mereka memang berharap anak mereka yang kedua ini berjenis kelamin laki-laki, sebab anak pertama mereka adalah perempuan. Namun sekalipun Tuhan memberikan mereka kembali seorang perempuan, mereka pun tetap beryukur, yang penting lahir dengan selamat. Itu saja.

                Pelan-pelan, bidan desa menjalani proses persalinan keluarga kecil itu. Ia menjadi orang yang pula ikut bahagia, tak henti-hentinya ia menimang-nimang bayi laki-laki tampan sekali itu. Pak Amid juga bahagia tak tanggung-tanggung. Sejumlah nama berkelabat dalam kepalanya, hendak ia sematkan pada jagoan baru mereka. Setelah mengumandangkan adzan ditelinga sang anak, ia pun mendekati istrinya itu. Laki-laki kecil itu, selanjutnya diberi nama Suharto oleh Pak Amid dan Maznun. Laki-laki bernama Suharto itulah yang kelak akan menjadi ayah terbaik sepanjang masa. Dia adalah ayahku, ayak kami anak-anak yang mencintai beliau, serta suami dari Umak (Ibu) yang pula terbaik sepanjang masa.

***
Ayah kecil  akhirnya tumbuh dewasa. Ia menjalani hidup sebagaimana anak lain di Pulau Pongok kala itu, sekolah dan belajar mengaji. Mengenai mengapa ia diberi nama Suharto, saya tak terlalu paham. Hanya saja, yang saya tahu, abuk (kakek atau atok) saya itu penggemar tokoh-tokoh tertentu. Suatu ketika, saat berada dirumahnya, saya pernah mendengar beliau yang menyanjung-nyanjung Soekrano yang tak lain adalah ayah dari Megawati, salah seorang tohoh reformasi, sampai akhirnya beliau mengganti bendera partai depan rumah yang semula berwarna kuning menjadi merah padam. Saat itu, Orde Baru baru tumbang. Ayah hanya diam mendengar orang yang namanya sama dengan namanya sedang dihujat-hujat orang menjelang reformasi. Mengenai nama ayah, saya menduga karena saat itu bangsa ini sedang terpesona akan sosok Jendral Soeharto, yang kemudian menjadi presiden menggantikan Soekarno.

Menurut cerita Mak Wo Asmuni, ayuk (kakak perempuan) ayah, dulu abuk lebih mengutamakan anaknya belajar membaca Al-Qur’an daripada sekolah formal. Alasannya sederhana sekali, agar semua anaknya bisa membaca kitab suci itu dengan baik, sebab itulah modal utama untuk menuntun kita setelah berpulang kelak. Intinya, orang-orang di Pulau Pongok kala itu, serta orang-orang lain di penjuru Pulau Bangka, memang lebih mementingkan anaknya belajar mengaji. Itulah sebabnya mengapa kemudian ketika Mak Wo berhenti tak kembali ke sekolah karena takut dengan gurunya yang memukul penggaris kayu yang panjang itu ke papan tulis hingga patah, abuk tak marah. Abuk hanya berkata, yang penting jangan berhenti mengaji.

Cerita perihal ayah remaja, pun tak jauh berbeda dengan yang lain. Hanya saja, menurut cerita dari Mak Wo dulu, ayah adalah tipe anak yang rajin serta menyayangi saudara-saudaranya. Cerita yang sama pun saya dengar dari Nek Mok Rofia, adik nenek, yang dulu suatu waktu sempat bercerita bahwa ayah tipe anak pekerja keras. Ayah tak malu berjualan kue keliling kampung, sekalipun kawan-kawannya kala itu asyik bermain selepas jam sekolah usai. Mengenai sifat ayah yang satu ini, saya percaya, sebab sampai sekarang saya masih bisa melihat dengan mata kepala sendiri ayah bekerja dengan begitu giat.

Hidup keluarga kecil ayah di Pulau Pongok ternyata tidaklah mudah. Orang-orang disana hanya mengandalkan hasil laut sebagai mata pencaharian. Itupun harus pula menggantung pada angin. Bila angin bertiup kencang, maka terkadang orang-orang di Pulau Pongok tak turun menangkap ikan. Sebaliknya, bila cuaca bagus, mereka turun, sekalipun hasil tangkapannya pun tak menjamin kehidupan mereka esok pagi. Padahal, Pulau Pongok sampai sekarang terkenal akan hasil ikannya yang  melimpah. Mungkin, penyebab terpuruknya ekonomi masyarakat Pulau Pongok kala itu adalah kehidupan ekonomi bangsa ini yang masih kacau balau, baru merdeka dari Belanda.

Menjelang remaja, keluarga ayah pindah ke Pulau Belitung. Mereka tinggal disebuah daerah di Tanjung Pandan, kota utama di pulau itu. Disana, kehidupan keluarga ayah pun tak banyak berubah, bahkan  semakin parah barangkali. Situasi ekonomi di pulau itu pun tak ada bedanya dengan Pulau Pongok. Namun ayah tetap bekerja keras seraya tetap sekolah. Ayah berhasil lulus SD. Seraya sekolah itu, saya sempat mendengar cerita perihal ayah yang sempat jual kue tiada henti hanya untuk mebeli susu Mok Tin, adik perempuan ayah yang masih kecil. Saya terharu bila mendengar cerita ini. Saya selalu memandangi wajah ayah saat beliau tidur pulas, membayangkan beliau kecil yang keliling kota Tanjung Pandan menjaja kue demi sang adik biar tak lagi menangis saat tengah malam.

Situasi di Pulau Belitung kian tak menentu. Ayah akhirnya meninggalkan bangku SMP. Ayah tak tamat, sekalipun sampai kini, setiap kali bercerita, ayah selalu bilang setidaknya dia pernah SMP. Ayah akhirnya merantau ke Pulau Bangka, mengikuti Buk Mamang Mahmud, adik nenek yang tinggal di Desa Tiram. Sedang Mak Wo Asmuni, pun ikut merantau. Hanya saja, Mak Wo ikut Nek Mok yang tinggal di Sungailiat, kota terbesar kedua di Pulau Bangka setelah Pangkalpinang. Mulanya, kata Nek Mok, ayah diajaknya ikut tinggal bersamanya di Sungailiat, hanya saja ayah lebih memilih tinggal bersama Buk Mamang, berkebun lada disana. Ayah berpisah dengan Mak Wo, pun berpisah dengan abuk dan nenek, serta adiknya yang tetap memlilih tinggal di Pulau Belitung, sebelum akhinya pun ikut menyusul ayah di Pulau Bangka.

Cerita perihal ayah remaja banyak dihabiskan disini, di Desa Tiram di selatan Pulau Bangka. Disini, ayah berkebun. Saya pun sempat melihat hutan belukar yang dulu merupakan kebun ayah saat ayah remaja. Bahkan, bersama abang kala itu yang sama-sama masih kecil, kami sering diajak ayah memetik buah rambutan yang dulu ditanam ayah. Pohonnya banyak, buahnya lebat sekali. Sayang, kini hutan itu sudah dijual oleh Buk Mamang, paman ayah sendiri.

Sebagaimana remaja yang lain, ayah pun sering bepergian ke desa sebelah. Singkat cerita, akhirnya ayah bertemu dengan Zanila, Umak kami tercinta. Mereka akhirnya menikah. Umak merupakan anak ketiga dari lima bersaudara, semuanya perempuan, anak dari almarhum H. Hakap dan Hj. Rahma. Buk Hakap, ayah Umak, menurut cerita Busu Yung, adik Umak yang paling bungsu, terkenal galak kala itu. Apalagi nenek. Bagaimana ceritanya sampai akhirnya ayah bisa merebut hati salah satu putrinya itu, tak tahulah saya. Mungkin karena ketampanan ayah barangkali. Sayang, ketampanan ayah muda hanya mengalir pada abang, sedikit pun tak sudi berhendi di wajahku. Oh, ayah. Tapi, syukurlah, hidung saya menyerupai hidung ayah.Hehe…Kasihan 3 orang saudara saya yang lain yang hidungnya mirip hidung Umak.

Saat kecil, saya bersama abang sering diajak ayah pergi ke Desa Tiram, menjenguk abuk dan nenek yang akhirnya tinggal disana. Ayah sendiri setelah menikah dengan Umak hingga sekarang, tinggal di Desa Pasirputih, kampung halaman umak di paling selatan Pulau Bangka. Situasi ekonomi abuk dan nenek, menurut cerita umak suatu hari, sedikit lebih baik saat pindah ke Pulau Bangka. Suatu waktu, abuk dan nenek sempat panen sahang (lada) dalam jumlah lumayan. Sekarang, abuk telah tiada. Beliau berpulang di Desa Tiram, makamnya pun disana. Beberapa tahun kemudian, nenek menyusul abuk berpulang. Nenek meninggal di Sungailiat, dirumah Mak Wo, anak pertamanya. Nenek pun dimakam disana.

Ayah begitu sayang dengan kedua orangtuanya itu. Saat abuk sakit-sakitan, ayah selalu mengunjungi abuk di Desa Tiram, beberapa kilometer dari kampung halaman kami. Begitu pula saat nenek sakit hingga akhirnya dibawa Mak Wo kerumahnya di Sungailiat, beratus-ratus kilometer dari rumah nenek di Desa Tiram. Ayah harus bolak-balik ke Sungailiat kala itu. Apalagi setiap kali datang surat dari Mak Wo Muni yang mengabarkan perihal nenek yang sakitnya kian parah. Saat itu, sarana komunikasi belum secanggih sekarang. Ayah sering ke wartel menelpon Mak Wo, memanfaatkan uang seadanya saat itu.

Sebelum nenek meninggal, saat ayah hendak pulang ke kampung dan saya pulang ke Pangkalpinang karena sekolah, sempat saya melihat ayah yang memeluk dan mencium nenek yang terbaring tak berdaya seraya menangis. Ayah sempat mengatakan sesuatu kepada nenek, janji ayah terhadap nenek kalau kelak nenek berpulang. Sampai kini, apa yang dikatakan ayah itu masih tersimpan dengan baik dalam pikiran saya. Apabila ayah belum diberi kesempatan untuk menunaikan janji itu, saya berjanji akan menunaikannya untuk almarhummah nenek tercinta. Saat berada di kampung, ayah mendapat kabar nenek sakit keras. Ayah segera ke rumah Mak Wo, berjam-jam lamnya. Nenek akhirnya menghembusakan nafas terakhirnya tak lama setelah ayah berada disampingnya. Saya pun menyusul ayah ke Sungailit, sekalipun tak sempat meilhat nenek dimakamkan.

***
Hari ini, hari Rabu, hari yang sama saat ayah dilahirkan, 50 tahun yang lalu. Laki-laki bernama Suharto itu tetap seperti dulu, tetap seperti dalam cerita-cerita yang sering saya dengar. Ia tetap seorang yang tekun bekerja. Ia tetap sayang terhadap kedua orangtuanya. Ayah adalah potret orang Melayu tulen. Datuk H.A. Hudarni Rani, gubernur Kepulauan Bangka Belitung pertama yang sangat saya kagumi karena orangnya yang Melayu sekali, mengatakan kalau orang Melayu selalu marah dengan diam. Ayah pun begitu. Bila ayah sudah diam tak hendak bicara, itu artinya ayah sedang marah. Pokoknya, ia adalah ayah terbaik sepanjang masa, ayah saya, ayah kami anak-anaknya, serta suami dari Umak kami yang pula terbaik sepanjang masa. Saya ingin seperti ayah, saya ingin menyayangi orangtua saya sebagaimana ayah menyayngai orangtuanya. Selamat ulang tahun emas, Ayah, semoga selalu diberi kesehatan oleh Allah. Salam dari jauh, peluk dan cium pun dari jauh.

Yogyakarta, 11-12-13
Anak ayah, yang ingin seperti ayah

Senin, 09 Desember 2013

MENGHADAPI PERKARA HUKUM DI YOGYAKARTA (BAGIAN 2: MENGHINDARI CONTEMP OF COURT - HABIS)

Pengantar:

Akhirnya, diantara kesibukan saya yang sengaja menyibukkan diri dengan travelling sana-sini, saya masih punya waktu untuk melanjutkan tulisan tak berkualitas ini. Sebelumnya, saya senang tulisan yang saya posting di blog saya ini, MENGHADAPI PERKARA HUKUM DI YOGYAKARTA (BAGIAN 2: DITILANG POLISI - BERSAMBUNG), mendapat sejumlah komentar positif. Sekalipun begitu, saya tetap menerima kritikan lain yang bersifat konstruktif. Selamat membaca, selamat bertravelling ria di blog saya. Salam.

"Yogyakarta. Sungguh. Nama kota satu ini perlambang perjalanan panjang evolusi sejarah bangsa kita. Menyimpan janji kota yang tua, romantis, namun tak terabaikan. Begitu banyak lagu ditulis tentangnya. Pertanda ia menyimpan seribu kisah. Kini kau berada di sana, abang seperguruanku. Maka kuucapkan selamat menimba ilmu. Tulislah segala pengalaman dan kisahmu di sana. Entah itu ditilang, seluk beluk kota, kawan baru, makanan, peristiwa enak dan tak enak, bahkan sekedar rindu untuk tanah seberang. Bahkan, siapa tahu tambatan hati pun kan kau temukan. Hidupkanlah petualanganmu, resapi dalam napasmu. Pinjamlah udara Yogyakarta. Hiruplah bersama bangunan - bangunan tua nan megah, senyum ramah manusia - manusia Jawa dan cerita - cerita lain yang menanti untuk dikuak. Pintallah menjad kenangan, padukanlah dengan ilmumu. Hingga suatu hari, kau bisa berbangga diri, gelarmu buka semantik, kau meretas jalan menjadi cendekia."
(Uke Agustin, Alumni Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, tinggal di Jakarta)

"Tulisannya kadang konyol dan membuat saya sebagai salah satu pembacanya tertawa saat membacanya, tapi di sisi yang lain tulisan saudara Darwance ini sangat insipratif, terus buat tulisan yang terus dapat menginspirasi orang lain teman"
(Mohammad Ghoza Farghani, Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)


Ilustrasi (Sumber: romokoko.com)




Sebetulnya, asrama Ikatan Mahasiswa Bangka (ISBA) yang hendak kami datangi tinggal beberapa meter lagi dari pos polisi di titik O KM Yogyakarta. Lurus melewati Jalan Trikora arah selatan menuju kraton, belok kiri, lalu berbelok di persimpangan pertama menuju Jalan Ibu Ruswo. Nah, beberapa meter kemudian, sebelah kiri agak masuk, berdiri beberapa bangunan. Itulah asrama ISBA yang melegenda itu, asrama yang membuat kami kena tilang. Namun, tanpa banyak bicara, akhirnya kami putar arah menuju Pogung Lor di Sleman, pulang dengan pikiran penuh tanya, dimana Jalan Kapas? Ah, tinggal berselancar di dunia maya, cari peta Yogyakarta, maka pasti muncullah nama jalan itu. Sederhana bukan?

Sampailah kami di kosa-kosan teman kami pemilik motor malang itu. Saya langsung membuka surat tilang yang saya selipkan dalam dompet, diantara sejumlah kartu yang lebih dari separuhnya tak ada fungsi sama sekali. ATM pun saldo minimal semua. Padahal saya punya dua ATM. Satu warna merah, satunya lagi berwarna biru. Satu warna merah itu saya dapatkan saat bekerja di bank warna merah itu, sebagai rekening gaji. Sedang yang biru, untuk gagah-gahan saja. Bagaimana tidak coba, orang isinya cuma numpang lewat saja. Ibarat negara, ATM saya yang berwarna biru itu macam Singapura, tempat persinggahan sejumlah  maskapai penerbangan. Sialnya lagi, harus bayar mahal pula.

Pelan-pelan, saya meneliti dengan detil setiap coretan pada sulit tilang itu. Subhanallah, ada nama saya tertera disitu, sebagai orang yang telah melanggar peraturan perundang-undangan lalu lintas. Tuhan, ampuni hamba-Mu yang bernasib malang ini. Sudahlah tapi, Tuhan juga pasti tak terlalu suka dengan makhluk-Nya yang hanya bisa merengek-rengek minta dikasihani, apalagi dalam perkara tilang-menilang macam ini. Salah siapa coba naik motor keliling kota macam Yogyakarta tak melihat dulu kondisi motor, sudah memenuhi kriteria undang-undang belum? Ah, tetap saja teman saya yang saat kejadian sedang berada di kampung halaman kami di Pulau Bangka itu yang salah. Titik.

Selanjutnya, saya memperhatikan pasal yang tertera. Siapa tahu pak polisi tadi memasukkan semua pasal yang ada dalam undang-undang lalu lintas, hukuman apa yang bakal saya terima coba? Disuruh mengecilkan ban buldozer barangkali, biar mereka juga ikut ditilang. Alhamdulillah, untung hanya satu pasal. Saya mulai menghitung-hitung berapa kira-kira denda yang harus saya bayar kelak akibat pelanggaran malam itu. Seingat saya, setiap kali mendengar orang yang ditilang, angkanya selalu ratusan ribu. Alamak, lumayan besar juga itu. Namun ada pula cerita lain. Cerita itu mengatakan bahwa bila kita ditilang terus menyelesaikannya di pengadilan, maka dendanya akan jauh lebih kecil. Intinya, yang ratusan ribu itu untuk damai ditempat, biar perkara selesai saat itu pula. Mbuh, begitu kata orang Jawa. Sampai saat ini, saya tetap apriori yang namanya polisi. Maafkan saya wahai teman-teman saya yang berprofesi sebagai polisi. Begitulah pokoknya.

Ah, saya masih penasaran dengan Jalan Kapas. Maka saya pun cepat-cepat memperhatikan alamat Pengadilan Negeri Yogyakarta itu. Oh, masih di Jalan Kapas, tidak berubah ternyata. Padahal, saya berharap tulisan Jalan Kapas itu berubah menjadi nama Jalan Malioboro, atau Jalan Kaliurang, biar saya yang baru tinggal di Yogyakarta kala itu mudah menemuinya. Lha, bukankah tadi katanya mudah saja mencarinya, tinggal berselancar di dunia maya? Oh, iya, saya lupa. Namun kapan hari sidangnya? Saya kembali membuka lipatan surat itu, mencari kolom tanggal akan digelarnya sidang.

Celaka tujuh turunan. Lha, mana ini hari, tanggal, bulan, dan tahun sidangnya? Kolomnya kosong, bagaimana bisa ini wahai, pak polisi? Maka bertambahlah kadar apriori saya terhadap polisi kala itu. Jadi, kapan saya harus mengikuti persidangan ini? Ah, saya mulai bingung, saya letakkan begitu saja surat tilang itu diatas tempat tidur yang dingin. Saya menghadapi beberapa masalah kala itu. Pertama, masih bingung dimana itu Jalan Kapas, sekalipun mudah ditemui melalui perselancaran di dunia maya. Permasalahan kedua, kapan saya harus sidang tilang? Ah, pak polisi, macam-macam saja saya dibuatnya. Saya ingat tadi pak polisi berkata, “sidangnya hari Jumat, di Pengadilan Negeri Yogyakarta di Jalan Kapas”. Permasalahannya, bapak, Jumat kapan maksudnya?  Memangnya hari Jumat itu hanya ada satu kali dalam seumur hidup? Saya mulai curiga, jangan-jangan pak polisi yang menilang saya itu tak pernah sholat Jumat, sehingga menulis hari Jumat tanggal sekian bulan sekian tahun sekian saja jadi malas. Lha, apa hubungannya coba? Tetap saja ada hubungannya, apalagi saat saya sedang kesal, semuanya bisa dihubung-hubungkan.

Sedang kesal dengan pak polisi malam itu, saya melipat kembali surat tilang yang saya benci itu dalam dompet yang saya sayangi. Sekalipun saya benci, namun saya tetap memperlakukan surat tilang itu dengan baik, menyelipnya pada tempat paling tersembunyi. Biar tak ada orang yang tahu bila saya sedang ditilang, itu saja sebenarnya maksudnya. Sebab, menurut saya, ditilang polisi itu bisa menurunkan kadar harga diri, apalagi bagi orang hukum macam saya. Itulah sebabnya, saya menyelipkan surat tilang itu sedalam mungkin.

Sejak ditilang, sejak itu pula saya mulai berhati-hati saat mengendarai sepeda motor pembawa sial itu menelusuri jalan-jalan di Yogyakarta. Bila tak ada hal-hal yang terlampau penting, menengok motor itu pun rasanya saya tak sudi. Suatu hari setelahnya, Bambang yang dulu menjadi biang penyebab mengapa akhirnya kami sampai ditilang, kembali meminta saya untuk mengantarnya ke kampus UTY di Jalan Ring Road Utara? Apa kau bilang, mengantarmu lagi, lalu kita ditilang lagi, namaku tertera lagi di surat tilang? Ingin rasanya saya mengungkapkan kata-kata itu saat dia meminta pertolongan itu, namun tak sampai hati. Bagaimana pun, dia juga orang satu kampung halaman yang baru saja ingin merasakan dunia kuliah, di kota macam Yogyakarta pula. Apalagi saat itu dia mau kuliah perdana. Maka jadilah saya mengantar Bambang, masih dengan sepeda motor yang sama. Bedanya, hari itu Bambang yang di depan, sekalipun saat dia sampai di kampus, saya pula yang membawa motor itu pulang. Ah, Bambang, apa bedanya kalau begini ceritanya? Mudah-mudahan sekarang polisi sedang sibuk semua, pikirku kala itu.

Siangnya, Bambang kembali minta dijemput. Ah, Bambaaaaang, ingin rasanya saya berteriak biar orang se-Daerah Istimewa Yogyakarta tahu kalau saya kapok ditilang polisi. Sumpah, saya trauma, apalagi di surat tilang yang saya terima tak pula muncul tulisan tanggal kapan saya akan dihadapkan pada hakim. Dari Pogung Lor, saya pun berusaha mencapai kampus UTY di Jalan Ring Road Utara itu melewati jalan-jalan kecil yang Allahuakbar sulit minta ampun ditemui disini, tak macam jalan di Pangkalpinang yang semuanya tembus, tak terkecuali tembus ke kamar mandi rumah orang. Namun tidak dengan jalan-jalan di Yogyakarta ini. Alhasil, saat pulang dari UTY dengan Bambang yang ternyata tak kalah trauma dengan saya barangkali, sampai menempuh persawahan, beberapa kali masuk pemukiman warga yang ternyata buntu, sebelum akhirnya sampai di pertigaan Jalan  Monjali menuju kampus Universitas Gadjah Mada. Oh, Tuha, kalau Cuma tembusanya kesini, mengapa kamiharus keliling sejauh itu?

Akhirnya, hari Jumpat tiba. Saya tak tahu, apakah itu hari Jumat yang dimaksudkan polisi yang telah menilang saya atau bukan. Namun yang pasti, saya harus datang ke Pengadilan Negeri Yogyakarta hari itu. Alamatnya tak berubah, masih di Jalan Kapas, tak berpindah ke Jalan Malioboro atau Jalan Kaliurang sebagaimana yang saya harapkan. Saya sampaikan hal itu kepada Bambang, dia cuma titip do’a. Semoga urusan kamu selesai hari ini, begitu kira-kira isinya.

Hari itu, adalah hari dimana Bambang pun harus pergi ke kampus UTY lain yang ada di daerah Jalan Kusumanegara, entah karena urusan apa. Saya mulai bingung. Motor cuma satu, tak lain adalah motor pembawa sial itu. Apabila motor dibawa Bambang, saya naik apa mencari Jalan Kapas? Apalagi angkutan umun di Yogyakarta susah, tak macam di Pangkalpinang yang kalau kita berdiri di depan rumah saja mobil angkot pasti berhenti, mengira kita mau kemana-mana. Padahal waktu itu saya cuma mau lihat kucing lagi berniat menambah keturunan saja, yang tadi berlari dari rumah karena merasa proyek mereka tertanggu oleh tatapan saya. Ah, kucing, enak sekali kalian jadi binatang, tak ada surat-menyurat yang harus dimiliki terlebih dahulu baru bisa menjalankan proyek penambahan jumlah keturunan itu.

Setelah berembuk dengan Bambang, akhirnya tercapailah kesepakatan. Intinya, saya harus memgantarkan Bambang terlebih dahulu ke kampus UTY itu, lalu motornya saya bawa mencari Jalan Kapas. Lalu sorenya saya kembali  menjemputnya. Ah, Bambang, pahit sebenarnya keputusan ini, mengapa tidak kamu saja yang  mengantarku, biar saya tak lagi bertemu dengan polisi? Barangkali, memang tak ada jalan lain saat itu, saya harus mengantar Bambang ke UTY, barulah setelahnya saya mencari Jalan Kapas.

Hari masih pagi, cuaca di utara Yogyakarta masih dingin. Saya masih ingat, saat itu saya belum mandi. Sepanjang jalan, seolah orang yang lewat dihadapan kami adalah polisi. Gedung-gedung, rumah-rumah, warung-warung, berubah semuanya menjadi kantor dan pos polisi. Ya Tuhan, sampai sejauh inikah implikasi ditilang polisi? Malang betul tampaknya nasib kami. Setiap motor yang menyalib kami rasanya seperti polisi. Bahkan,, bunyi suara penjual koran di perempatan pun serupa pluit polisi. Oh Tuhan, penyakit apa lagi ini?

Setelah menelusuri jalan di Yogyakarta, beberapa perempatan, beberapa pos polisi yang menyeramkan, termasuk beberapa orang polisi yang mengatur lalu lintas pagi itu yang mukanya tiba-tiba berubah bagai monster dalam film Ultraman, sampailah kami di kampus UTY. Saya langsung menuju Jalan Kapas. Setelah mencarinya di dunia maya, akhirnya sedikit banyak saya mengetahui dimana jalan itu berada. Menurut informasi di dunia maya itu, Jalan Kapas adalah jalan dimana salah satu kampus Universitas Ahmad Dahlan berada. Seingat saya, saya pernah melihat kampus itu, saat berbelok pada sebuah tikungann di Jalann Kusumanegara. Maka, saya pun menuju jalan itu.

Sebelum putar balik menuju Jalan Kapas, tiba-tiba saya teringat bahwa saya tidak menggunakan sepatu. Saya bukan tak punya sepatu, tapi dari dulu memang malas mengenakan sepatu. Padahal saya penyuka sepatu. Saya hanya merasa lebih nyaman bila mengenakan sandal, itu pun sandal jepit, bukan sandar yang saat mengenakannya harus dililit-lilit terlebih dahulu. Ah, ribet sekali tampaknya sandal semacam itu. Lebih baik pakai sandal jepit saja, tinggal masuk langsung jalan. Dari dulu saya memang saya suka pakai sandal jepit. Saat masih bekerja di sebuah bank dulu, saya pun sering melepaskan sepatu dibawah kolong  meja kerja. Saya baru mengenakannya manakala pimpinan datang, itu pun cuma sebentar sebelum sepautu itu kembali saya tendang.

Lha, bagaimana jika nanti hakim marah pada saya karena saya tak mengenakan sepatu? Salah-salah, saya bisa dituduh telah melakukan contempt of court. Contempt of court yang saya pahami sampai sekarang adalah setiap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan. Adapun perbuatan-perbuatan yang masuk kategori contempt of court adalah berperilaku tercela dan tidak pantas di pengadilan (Misbehaving in Court), tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (Disobeying Court Orders), menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (Scandalising the Court), menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan (Obstructing Justice), dan perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan dilakukan dengan cara pemberitahuan/publikasi (Sub-Judice Rule). Itu saja sebenarnya. Namun masalahnya sekarang, hakim itu diberi keleluasaan untuk menafsirkan hukum. Bagaimana kalau dia memasukkan perilaku saya yang tak menggunakan sepatu saat siding ke dalam perilaku tercela dan tidak pantas di pengadilan (Misbehaving in Court)? Maka, saya pun hendak cari aman.

Setahu saya, hakim itu suka marah kalau lagi sidang. Saya dulu sempat lihat sebentar persidangan di Pengadilan Negeri Pangkalpinang, hakim marah pada salah seorang saksi karena keterangan saksi itu yang menurutnya susah dimengerti. Bingung barangkali dia. Saya takut juga melihat seorang hakim sudah marah, apalagi di hadapnya teronggok sebuah palu yang seketika bisa saja berubah fungsi. Bagaimana kalau palu itu melayang? Ah, jangan sampai saya jadi korbannya. Maka, otak sinting saya pun kembali bermain.

Saya berencana pura-pura kaki saya sedang terluka. Hakim itu pasti memakluminya. Orang yang kakinya luka kan memang tak bisa  mengenakan sepatu. Namun saya malah berpikir buruk, seandainya hakim tak memakluminya lantas terus bertanya ini-itu. Saya pun sudah merancag sejumlah jawaban. Paling-paling pertanyaan hakim selanjutnya adalah,”masih kuliah?” Tentu saja saya harus jawab tidak. Paling hakim bertanya lagi,”kerja?” Baru saya jawab ya. “Dimana?” Saya sudah mempersiapkan jawaban jitu, “jualan lotek di Jalan Kaliurang”. Beres bukan? “Berapa seporsi?” Saya selanjutnya akan menjawab,”bapak/ibu hakim, saya datang kesini mau siding, bukan berjualan lotek.”

Sebelum sampai di Pengadilan Negeri Yogyakarta, maka saya harus mencari apotek terlebih dahulu. Saya berharap semoga bertemu dengan apotek yang buka 24 jam, sehingga pagi-pagi apotek itu pun tetap buka. Sekalipun tak ada apotek 24 jam, apotek lain tak jadi soal. Asalkan apotek itu sudah buka. Lagipula, apa faedahnya berharap pada apotek yang buka 24 jam tapi nyatanya pagi-pagi tak buka. Ah, bodoh, sebelum masuk pengadilan pokoknya saya harus menemukan apotek. Saya tak mau menjadi orang hukum pertama yang melakukan contempt of court di dunia, sekalipun predikat itu sudah ada yang punya barangkali.

Alhamdulillah, akhirnya ada apotek yang sudah buka. Saya membaca papan nama apotek itu. Apotek 24 jam. Itu artinya, apotek ini selalu buka. Itu yang saya pahami dari setiap usaha yang ada tulisan 24 jam. Saya langsung memasuki apotek itu.

“Ada yang bisa dibantu, Mas?” sapa seorang dalam apotek dengan sapaan baku khas toko-toko dimana pun berada di negara ini.

“Ada perban, Mbak?”

“Ada. Butuh berapa?”

“Satu saja, Mbak,” seraya mengeluarkan sejumlah harga yang tadi disebutkan penjaga apotek itu.

Setelah meraih perban, menyerahkan sejumlah uang dan berterimakasih dengan sejumput senyuman semanis mungkin akibat belum mandi pagi itu, saya keluar apotek dengan perasaan gembira. Syukurlah, semoga ini bisa dijadikan alasan saat hakim yang menegurku tiba-tina. Saya langsung membuka kain putih itu, lalu melilitkannya pada telapak kaki sebelah kanan. Baiklah, sudah siap. Saya mecoba memperagakan gaya berjalan. Mantap. Perjalanan pun dilanjutkan.

Jalan Kapas, dimanakah kamu? Oh, mudah ternyata. Akhirnya saya bertemu dengan Jalan Kapas. Namun dimana Pengadilan Negeri Yogyakarta? Setahu saya,saya sudah menelusuri Jalan Kapas dari selatan hingga utara. Saya membaca nama jalan setelahnya, bukan lagi Jalan Kapas. Saya mengingat-ingat lagi perselancaran saya di dunia maya sebelumnya. Betul, itu kampus Universitas Ahmad Dahlan. Ah, pak polisi itu tampaknya memang mau bermain-main. Dia tak tahu apa saya sudah singgah di apotek pagi ini, beli perban hanya untuk mengadapi hakim. Saya putar arah lagi. Seorang bapak-bapak yang sedang berjulan saya hampiri.

“Permisi, Pak, mau nanya, pengadilan mana ya?”

“Oh, itu, Mas, deket,” katanya seraya menunjukkan sebuah gedung.

Oh, Tuhan, jadi itu tadi Pengadilan Negeri Yogyakarta? Mengapa saya jadi melewatinya begitu saja? Setelah berterimakasih, saya langsung memasuki perkarangan gedung itu. Ampun, saya heran mengapa tadi bisa tak membaca papan nama gedung itu; Pengadilan Negeri Yogyakarta. Seorang tukang parkir langsung meniupkan senjatanya. Ah, parkir lagi. Inilah istimewanya Yogyakarta, tukang parkir ada dimana-mana. Heran saya.

“Ditilang ya, Mas?”

Naik darah rasanya saya mendengar pertanyaan tukang parkir itu. Ingin saya makan hidup-hidup rasanya dia. Beruntung. Mulanya, saya heran mengapa tukang parkir itu tahu kalau saya habis ditilang. Apa dia ada dilokasi saat saya ditilang? Ah, selanjutnya saya paham. Saat itu hari Jum’at. Sidang tilang itu katanya selalu digelar di hari Jum’at. Sebagai wujud pernghormatan saya terhadap tukang parkir itu, saya pun menjawab “ya” dengan senyum paling pahit yang pernah saya miliki.

“Sidangnya dimana ya, Pak?” saya balik bertanya.

“Oh, disitu, Mas, tunggu saja…”

Saya memasuki gedung pengadilan. Pada sebuah bagian tak berdinding, tepat dibagian depan, tersusun sejumlah bangku kayu. Beberapa orang duduk-duduk disana. Saya memperhatikan orang-orang itu. Secarik kertas digenggam dengan erat, bagai benda yang sangat mereka sayangi. Saya sepetii kenal dekat dengan kertas itu. Itu surat tilang! Berarti benar, ini tempatnya.

Saya menunggu. Orang-orang mulai berdatangan. Secarik kertas itu hampir sebagian besar dari mereka memilikinya. Ingin sekali rasanya saya berkata pada orang-orang itu, makanya pakai helm, makanya buat SIM, makanya jangan menerobos lampu lalu lintas, dan masih banyak makanya-makanya yang lain. Tapi, apa daya, orang saya juga ditilang. Makanya punya ban motor itu direndam dalam minyak tanah dulu, baru jalan. Begitu barangkali kata mereka.

Semakin lama, orang semakin sesak, bahkan ada yang berdiri tak dapat tempat duduk. Kasihan sekali mereka, makanya…Ah, tak jadi, orang saya juga ditilang. Intinya, orang-orang kaum yang ditilang semakin banyak yang datang, sedang para pegawai di pengadilan masih saja saling bercakap-cakap, belum hendak melayani. Barangkali belum jamnya, itu yang ada di dalam pikiran mereka. Itulah pola pikir para pegawai pemerintahan di negara ini. Belum masuk waktunya, belum mau bekerja. Saya tiba-tiba sakit perut terlampau lama menunggu.

Akhirnya, proses persidangan pun di mulai. Orang-orang kamu kena tilang ini berebut mengumpulkan surat penilangan pada sebuah tempat yang sudah disediakan diatas sebuah meja. Saya santai-santai saja, tak perlulah saling berebut macam itu. Padahal dalam hati juga gelisah, kalau saya tak hendak mengumpulkan surat tilang, berarti saya akan disidang belakangan dong? Ampun, Tuhan, cepat-cepat saya mengumpulkan surat tilang dengan kaki tertatih-tatih macam kaki saya itu sakit bukan main.

Beberapa menit kemudian, sejumlah nama dipanggil. Anehnya, mereka tidak menghadap hakim, tapi malah disuruh pulang. Ternyata, mereka belum saatnya sidang hari itu, tapi Jum’at minggu depannya lagi. Ah, itulah akibatnya dulu disuruh sekolah tapi malah menangkap burung dihutan, tinggal baca saja tak bisa. Seperti biasa, saya mulai mengumpat orang-orang itu. Nama berikutnya dipanggil. Sama, mereka juga disuruh pulang. Alasannya, berkas mereka belum diserahkan kepolisan ke pengadilan, sehingga belum bisa mengikuti sidang. Selanjutnya, dipanggil lagi, disuruh pulang lagi. Selanjutnya…Alamak, bukankah itu nama saya yang aneh itu yang dipanggil? Alhamdulillah, saya girang bukan main, karena merasa mendapat sidang kloter pertama. Saya pun memasuki ruangan dengan kaki yang aduhai, tertatih-tatih seolah menahan rasa sakit. Semoga hakim memaklumi saya yang tak mengenakan sepatu.

“Saya, Pak,”sahutku sebelum bapak itu  menyebut  namaku berulang-ulang, nanti jadi terkenal pula nama itu seantero Pengadilan Negeri Yogyakarta.

“Oh, begini, Mas, kami sudah mencari berkas atas nama Mas, tapi belum ketemu. Setelah kami periksa, ternyata di surat tilang Mas nggak ada tanggal sidangnya,”kata seorang bapak dengan logat Jawa yang kentara.

“Lha, terus ini bagaimana, pak?”

“Coba Mas tanya ke pos polisi, dari Tugu Jogja, terus ke barat, Mas…”

Apa, Bapak? Pos polisi? Ah, bapak, mendengar nama itu saja saya sudah bergetar rasanya. Saya tak mau ditilang lagi, sekalipun saya tahu itu tidak mungkin. Bukankah dalam ilmu hukum dikenal asaa nebis in idem? Artinya, tentu saja saya tak boleh ditilang dua kali sedang yang pertama pun belum ada keputusan dari pengadilan. Ah, bapak, ada-ada saja.

“Oh, ya,” lanjut bapak itu lagi. “Memangnya kapan Mas ditilang?”

“Minggu lalu, pak.”

“Oh, begitu, berarti jadwal sidangnya memang bukan hari ini, Mas, biasanya dua minggu setelah ditilang.”

Alamak, jadi apa gunanya saya bela-bela singgah di apotek beli perban lalu berpura-pura kaki sedang terluka? Sekarang, malah hati saya yang terluka. Sirna sudah rencana hendak mengelabui hakim pagi itu. Bila begini ceitanya, saya benar-benar akan jualan lotek di Jalan Kaliurang. Saya pun pulang dengan tangan hampa, surat tilang masih ditangan, SIM yang ditahan belum juga pulang. Baru beberapa menit sampai, tiba-tiba Bambang menelpon minta dijemput. Sial tujuh turunan, saya harus balik lagi? Ah, semoga saja kamu tak membuat saya kembali ditilang, Bambang…(*)

Yogyakarta, 10 Desember 2013