|
Ilustrasi (Sumber: romokoko.com) |
Sebetulnya, asrama Ikatan Mahasiswa
Bangka (ISBA) yang hendak kami datangi tinggal beberapa meter lagi dari pos
polisi di titik O KM Yogyakarta. Lurus melewati Jalan Trikora arah selatan
menuju kraton, belok kiri, lalu berbelok di persimpangan pertama menuju Jalan
Ibu Ruswo. Nah, beberapa meter kemudian, sebelah kiri agak masuk, berdiri
beberapa bangunan. Itulah asrama ISBA yang melegenda itu, asrama yang membuat
kami kena tilang. Namun, tanpa banyak bicara, akhirnya kami putar arah menuju
Pogung Lor di Sleman, pulang dengan pikiran penuh tanya, dimana Jalan Kapas?
Ah, tinggal berselancar di dunia maya, cari peta Yogyakarta, maka pasti
muncullah nama jalan itu. Sederhana bukan?
Sampailah kami di kosa-kosan teman kami pemilik motor malang itu. Saya langsung
membuka surat tilang yang saya selipkan dalam dompet, diantara sejumlah kartu
yang lebih dari separuhnya tak ada fungsi sama sekali. ATM pun saldo minimal
semua. Padahal saya punya dua ATM. Satu warna merah, satunya lagi berwarna
biru. Satu warna merah itu saya dapatkan saat bekerja di bank warna merah itu,
sebagai rekening gaji. Sedang yang biru, untuk gagah-gahan saja. Bagaimana
tidak coba, orang isinya cuma numpang lewat saja. Ibarat negara, ATM saya yang
berwarna biru itu macam Singapura, tempat persinggahan sejumlah maskapai
penerbangan. Sialnya lagi, harus bayar mahal pula.
Pelan-pelan, saya meneliti dengan detil setiap coretan pada sulit tilang itu.
Subhanallah, ada nama saya tertera disitu, sebagai orang yang telah melanggar
peraturan perundang-undangan lalu lintas. Tuhan, ampuni hamba-Mu yang bernasib
malang ini. Sudahlah tapi, Tuhan juga pasti tak terlalu suka dengan makhluk-Nya
yang hanya bisa merengek-rengek minta dikasihani, apalagi dalam perkara
tilang-menilang macam ini. Salah siapa coba naik motor keliling kota macam
Yogyakarta tak melihat dulu kondisi motor, sudah memenuhi kriteria
undang-undang belum? Ah, tetap saja teman saya yang saat kejadian sedang berada
di kampung halaman kami di Pulau Bangka itu yang salah. Titik.
Selanjutnya, saya memperhatikan pasal yang tertera. Siapa tahu pak polisi tadi
memasukkan semua pasal yang ada dalam undang-undang lalu lintas, hukuman apa
yang bakal saya terima coba? Disuruh mengecilkan ban buldozer barangkali, biar
mereka juga ikut ditilang. Alhamdulillah, untung hanya satu pasal. Saya mulai
menghitung-hitung berapa kira-kira denda yang harus saya bayar kelak akibat
pelanggaran malam itu. Seingat saya, setiap kali mendengar orang yang ditilang,
angkanya selalu ratusan ribu. Alamak, lumayan besar juga itu. Namun ada pula
cerita lain. Cerita itu mengatakan bahwa bila kita ditilang terus
menyelesaikannya di pengadilan, maka dendanya akan jauh lebih kecil. Intinya,
yang ratusan ribu itu untuk damai ditempat, biar perkara selesai saat itu pula.
Mbuh, begitu kata orang Jawa. Sampai saat ini, saya tetap apriori yang namanya
polisi. Maafkan saya wahai teman-teman saya yang berprofesi sebagai polisi.
Begitulah pokoknya.
Ah, saya masih penasaran dengan Jalan Kapas. Maka saya pun cepat-cepat
memperhatikan alamat Pengadilan Negeri Yogyakarta itu. Oh, masih di Jalan
Kapas, tidak berubah ternyata. Padahal, saya berharap tulisan Jalan Kapas itu
berubah menjadi nama Jalan Malioboro, atau Jalan Kaliurang, biar saya yang baru
tinggal di Yogyakarta kala itu mudah menemuinya. Lha, bukankah tadi katanya
mudah saja mencarinya, tinggal berselancar di dunia maya? Oh, iya, saya lupa.
Namun kapan hari sidangnya? Saya kembali membuka lipatan surat itu, mencari
kolom tanggal akan digelarnya sidang.
Celaka tujuh turunan. Lha, mana ini hari, tanggal, bulan, dan tahun sidangnya?
Kolomnya kosong, bagaimana bisa ini wahai, pak polisi? Maka bertambahlah kadar
apriori saya terhadap polisi kala itu. Jadi, kapan saya harus mengikuti
persidangan ini? Ah, saya mulai bingung, saya letakkan begitu saja surat tilang
itu diatas tempat tidur yang dingin. Saya menghadapi beberapa masalah kala itu.
Pertama, masih bingung dimana itu Jalan Kapas, sekalipun mudah ditemui melalui
perselancaran di dunia maya. Permasalahan kedua, kapan saya harus sidang tilang?
Ah, pak polisi, macam-macam saja saya dibuatnya. Saya ingat tadi pak polisi
berkata, “sidangnya hari Jumat, di Pengadilan Negeri Yogyakarta di Jalan
Kapas”. Permasalahannya, bapak, Jumat kapan maksudnya? Memangnya hari
Jumat itu hanya ada satu kali dalam seumur hidup? Saya mulai curiga,
jangan-jangan pak polisi yang menilang saya itu tak pernah sholat Jumat,
sehingga menulis hari Jumat tanggal sekian bulan sekian tahun sekian saja jadi
malas. Lha, apa hubungannya coba? Tetap saja ada hubungannya, apalagi saat saya
sedang kesal, semuanya bisa dihubung-hubungkan.
Sedang kesal dengan pak polisi malam itu, saya melipat kembali surat tilang
yang saya benci itu dalam dompet yang saya sayangi. Sekalipun saya benci, namun
saya tetap memperlakukan surat tilang itu dengan baik, menyelipnya pada tempat
paling tersembunyi. Biar tak ada orang yang tahu bila saya sedang ditilang, itu
saja sebenarnya maksudnya. Sebab, menurut saya, ditilang polisi itu bisa
menurunkan kadar harga diri, apalagi bagi orang hukum macam saya. Itulah
sebabnya, saya menyelipkan surat tilang itu sedalam mungkin.
Sejak ditilang, sejak itu pula saya mulai berhati-hati saat mengendarai sepeda
motor pembawa sial itu menelusuri jalan-jalan di Yogyakarta. Bila tak ada
hal-hal yang terlampau penting, menengok motor itu pun rasanya saya tak sudi.
Suatu hari setelahnya, Bambang yang dulu menjadi biang penyebab mengapa
akhirnya kami sampai ditilang, kembali meminta saya untuk mengantarnya ke
kampus UTY di Jalan Ring Road Utara? Apa kau bilang, mengantarmu lagi, lalu
kita ditilang lagi, namaku tertera lagi di surat tilang? Ingin rasanya saya
mengungkapkan kata-kata itu saat dia meminta pertolongan itu, namun tak sampai
hati. Bagaimana pun, dia juga orang satu kampung halaman yang baru saja ingin
merasakan dunia kuliah, di kota macam Yogyakarta pula. Apalagi saat itu dia mau
kuliah perdana. Maka jadilah saya mengantar Bambang, masih dengan sepeda motor
yang sama. Bedanya, hari itu Bambang yang di depan, sekalipun saat dia sampai
di kampus, saya pula yang membawa motor itu pulang. Ah, Bambang, apa bedanya
kalau begini ceritanya? Mudah-mudahan sekarang polisi sedang sibuk semua,
pikirku kala itu.
Siangnya, Bambang kembali minta dijemput. Ah, Bambaaaaang, ingin rasanya saya
berteriak biar orang se-Daerah Istimewa Yogyakarta tahu kalau saya kapok
ditilang polisi. Sumpah, saya trauma, apalagi di surat tilang yang saya terima
tak pula muncul tulisan tanggal kapan saya akan dihadapkan pada hakim. Dari
Pogung Lor, saya pun berusaha mencapai kampus UTY di Jalan Ring Road Utara itu
melewati jalan-jalan kecil yang Allahuakbar sulit minta ampun ditemui disini,
tak macam jalan di Pangkalpinang yang semuanya tembus, tak terkecuali tembus ke
kamar mandi rumah orang. Namun tidak dengan jalan-jalan di Yogyakarta ini.
Alhasil, saat pulang dari UTY dengan Bambang yang ternyata tak kalah trauma
dengan saya barangkali, sampai menempuh persawahan, beberapa kali masuk
pemukiman warga yang ternyata buntu, sebelum akhirnya sampai di pertigaan
Jalan Monjali menuju kampus Universitas Gadjah Mada. Oh, Tuha, kalau Cuma
tembusanya kesini, mengapa kamiharus keliling sejauh itu?
Akhirnya, hari Jumpat tiba. Saya tak tahu, apakah itu hari Jumat yang
dimaksudkan polisi yang telah menilang saya atau bukan. Namun yang pasti, saya
harus datang ke Pengadilan Negeri Yogyakarta hari itu. Alamatnya tak berubah,
masih di Jalan Kapas, tak berpindah ke Jalan Malioboro atau Jalan Kaliurang
sebagaimana yang saya harapkan. Saya sampaikan hal itu kepada Bambang, dia cuma
titip do’a. Semoga urusan kamu selesai hari ini, begitu kira-kira isinya.
Hari itu, adalah hari dimana Bambang pun harus pergi ke kampus UTY lain yang
ada di daerah Jalan Kusumanegara, entah karena urusan apa. Saya mulai bingung.
Motor cuma satu, tak lain adalah motor pembawa sial itu. Apabila motor dibawa
Bambang, saya naik apa mencari Jalan Kapas? Apalagi angkutan umun di Yogyakarta
susah, tak macam di Pangkalpinang yang kalau kita berdiri di depan rumah saja
mobil angkot pasti berhenti, mengira kita mau kemana-mana. Padahal waktu itu
saya cuma mau lihat kucing lagi berniat menambah keturunan saja, yang tadi
berlari dari rumah karena merasa proyek mereka tertanggu oleh tatapan saya. Ah,
kucing, enak sekali kalian jadi binatang, tak ada surat-menyurat yang harus
dimiliki terlebih dahulu baru bisa menjalankan proyek penambahan jumlah
keturunan itu.
Setelah berembuk dengan Bambang, akhirnya tercapailah kesepakatan. Intinya,
saya harus memgantarkan Bambang terlebih dahulu ke kampus UTY itu, lalu
motornya saya bawa mencari Jalan Kapas. Lalu sorenya saya kembali
menjemputnya. Ah, Bambang, pahit sebenarnya keputusan ini, mengapa tidak kamu
saja yang mengantarku, biar saya tak lagi bertemu dengan polisi?
Barangkali, memang tak ada jalan lain saat itu, saya harus mengantar Bambang ke
UTY, barulah setelahnya saya mencari Jalan Kapas.
Hari masih pagi, cuaca di utara Yogyakarta masih dingin. Saya masih ingat, saat
itu saya belum mandi. Sepanjang jalan, seolah orang yang lewat dihadapan kami
adalah polisi. Gedung-gedung, rumah-rumah, warung-warung, berubah semuanya
menjadi kantor dan pos polisi. Ya Tuhan, sampai sejauh inikah implikasi
ditilang polisi? Malang betul tampaknya nasib kami. Setiap motor yang menyalib
kami rasanya seperti polisi. Bahkan,, bunyi suara penjual koran di perempatan
pun serupa pluit polisi. Oh Tuhan, penyakit apa lagi ini?
Setelah menelusuri jalan di Yogyakarta, beberapa perempatan, beberapa pos
polisi yang menyeramkan, termasuk beberapa orang polisi yang mengatur lalu
lintas pagi itu yang mukanya tiba-tiba berubah bagai monster dalam film
Ultraman, sampailah kami di kampus UTY. Saya langsung menuju Jalan Kapas.
Setelah mencarinya di dunia maya, akhirnya sedikit banyak saya mengetahui
dimana jalan itu berada. Menurut informasi di dunia maya itu, Jalan Kapas
adalah jalan dimana salah satu kampus Universitas Ahmad Dahlan berada. Seingat
saya, saya pernah melihat kampus itu, saat berbelok pada sebuah tikungann di
Jalann Kusumanegara. Maka, saya pun menuju jalan itu.
Sebelum putar balik menuju Jalan Kapas, tiba-tiba saya teringat bahwa saya
tidak menggunakan sepatu. Saya bukan tak punya sepatu, tapi dari dulu memang
malas mengenakan sepatu. Padahal saya penyuka sepatu. Saya hanya merasa lebih
nyaman bila mengenakan sandal, itu pun sandal jepit, bukan sandar yang saat
mengenakannya harus dililit-lilit terlebih dahulu. Ah, ribet sekali tampaknya
sandal semacam itu. Lebih baik pakai sandal jepit saja, tinggal masuk langsung
jalan. Dari dulu saya memang saya suka pakai sandal jepit. Saat masih bekerja
di sebuah bank dulu, saya pun sering melepaskan sepatu dibawah kolong
meja kerja. Saya baru mengenakannya manakala pimpinan datang, itu pun cuma
sebentar sebelum sepautu itu kembali saya tendang.
Lha, bagaimana jika nanti hakim marah pada saya karena saya tak mengenakan
sepatu? Salah-salah, saya bisa dituduh telah melakukan contempt of court.
Contempt of court yang saya pahami sampai sekarang adalah setiap perbuatan,
tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong
kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan. Adapun
perbuatan-perbuatan yang masuk kategori contempt of court adalah berperilaku
tercela dan tidak pantas di pengadilan (Misbehaving in Court), tidak mentaati
perintah-perintah pengadilan (Disobeying Court Orders), menyerang integritas
dan impartialitas pengadilan (Scandalising the Court), menghalangi jalannya
penyelenggaraan peradilan (Obstructing Justice), dan perbuatan-perbuatan
penghinaan terhadap pengadilan dilakukan dengan cara pemberitahuan/publikasi
(Sub-Judice Rule). Itu saja sebenarnya. Namun masalahnya sekarang, hakim itu
diberi keleluasaan untuk menafsirkan hukum. Bagaimana kalau dia memasukkan
perilaku saya yang tak menggunakan sepatu saat siding ke dalam perilaku tercela
dan tidak pantas di pengadilan (Misbehaving in Court)? Maka, saya pun hendak
cari aman.
Setahu saya, hakim itu suka marah kalau lagi sidang. Saya dulu sempat lihat
sebentar persidangan di Pengadilan Negeri Pangkalpinang, hakim marah pada salah
seorang saksi karena keterangan saksi itu yang menurutnya susah dimengerti.
Bingung barangkali dia. Saya takut juga melihat seorang hakim sudah marah,
apalagi di hadapnya teronggok sebuah palu yang seketika bisa saja berubah
fungsi. Bagaimana kalau palu itu melayang? Ah, jangan sampai saya jadi
korbannya. Maka, otak sinting saya pun kembali bermain.
Saya berencana pura-pura kaki saya sedang terluka. Hakim itu pasti
memakluminya. Orang yang kakinya luka kan memang tak bisa mengenakan
sepatu. Namun saya malah berpikir buruk, seandainya hakim tak memakluminya
lantas terus bertanya ini-itu. Saya pun sudah merancag sejumlah jawaban.
Paling-paling pertanyaan hakim selanjutnya adalah,”masih kuliah?” Tentu saja
saya harus jawab tidak. Paling hakim bertanya lagi,”kerja?” Baru saya jawab ya.
“Dimana?” Saya sudah mempersiapkan jawaban jitu, “jualan lotek di Jalan
Kaliurang”. Beres bukan? “Berapa seporsi?” Saya selanjutnya akan
menjawab,”bapak/ibu hakim, saya datang kesini mau siding, bukan berjualan
lotek.”
Sebelum sampai di Pengadilan Negeri Yogyakarta, maka saya harus mencari apotek
terlebih dahulu. Saya berharap semoga bertemu dengan apotek yang buka 24 jam,
sehingga pagi-pagi apotek itu pun tetap buka. Sekalipun tak ada apotek 24 jam,
apotek lain tak jadi soal. Asalkan apotek itu sudah buka. Lagipula, apa
faedahnya berharap pada apotek yang buka 24 jam tapi nyatanya pagi-pagi tak
buka. Ah, bodoh, sebelum masuk pengadilan pokoknya saya harus menemukan apotek.
Saya tak mau menjadi orang hukum pertama yang melakukan contempt of court di
dunia, sekalipun predikat itu sudah ada yang punya barangkali.
Alhamdulillah, akhirnya ada apotek yang sudah buka. Saya membaca papan nama
apotek itu. Apotek 24 jam. Itu artinya, apotek ini selalu buka. Itu yang saya
pahami dari setiap usaha yang ada tulisan 24 jam. Saya langsung memasuki apotek
itu.
“Ada yang bisa dibantu, Mas?” sapa seorang dalam apotek dengan sapaan baku khas
toko-toko dimana pun berada di negara ini.
“Ada perban, Mbak?”
“Ada. Butuh berapa?”
“Satu saja, Mbak,” seraya mengeluarkan sejumlah harga yang tadi disebutkan
penjaga apotek itu.
Setelah meraih perban, menyerahkan sejumlah uang dan berterimakasih dengan
sejumput senyuman semanis mungkin akibat belum mandi pagi itu, saya keluar
apotek dengan perasaan gembira. Syukurlah, semoga ini bisa dijadikan alasan
saat hakim yang menegurku tiba-tina. Saya langsung membuka kain putih itu, lalu
melilitkannya pada telapak kaki sebelah kanan. Baiklah, sudah siap. Saya mecoba
memperagakan gaya berjalan. Mantap. Perjalanan pun dilanjutkan.
Jalan Kapas, dimanakah kamu? Oh, mudah ternyata. Akhirnya saya bertemu dengan
Jalan Kapas. Namun dimana Pengadilan Negeri Yogyakarta? Setahu saya,saya sudah
menelusuri Jalan Kapas dari selatan hingga utara. Saya membaca nama jalan
setelahnya, bukan lagi Jalan Kapas. Saya mengingat-ingat lagi perselancaran
saya di dunia maya sebelumnya. Betul, itu kampus Universitas Ahmad Dahlan. Ah,
pak polisi itu tampaknya memang mau bermain-main. Dia tak tahu apa saya sudah
singgah di apotek pagi ini, beli perban hanya untuk mengadapi hakim. Saya putar
arah lagi. Seorang bapak-bapak yang sedang berjulan saya hampiri.
“Permisi, Pak, mau nanya, pengadilan mana ya?”
“Oh, itu, Mas, deket,” katanya seraya menunjukkan sebuah gedung.
Oh, Tuhan, jadi itu tadi Pengadilan Negeri Yogyakarta? Mengapa saya jadi
melewatinya begitu saja? Setelah berterimakasih, saya langsung memasuki
perkarangan gedung itu. Ampun, saya heran mengapa tadi bisa tak membaca papan
nama gedung itu; Pengadilan Negeri Yogyakarta. Seorang tukang parkir langsung
meniupkan senjatanya. Ah, parkir lagi. Inilah istimewanya Yogyakarta, tukang
parkir ada dimana-mana. Heran saya.
“Ditilang ya, Mas?”
Naik darah rasanya saya mendengar pertanyaan tukang parkir itu. Ingin saya
makan hidup-hidup rasanya dia. Beruntung. Mulanya, saya heran mengapa tukang
parkir itu tahu kalau saya habis ditilang. Apa dia ada dilokasi saat saya
ditilang? Ah, selanjutnya saya paham. Saat itu hari Jum’at. Sidang tilang itu
katanya selalu digelar di hari Jum’at. Sebagai wujud pernghormatan saya
terhadap tukang parkir itu, saya pun menjawab “ya” dengan senyum paling pahit
yang pernah saya miliki.
“Sidangnya dimana ya, Pak?” saya balik bertanya.
“Oh, disitu, Mas, tunggu saja…”
Saya memasuki gedung pengadilan. Pada sebuah bagian tak berdinding, tepat
dibagian depan, tersusun sejumlah bangku kayu. Beberapa orang duduk-duduk
disana. Saya memperhatikan orang-orang itu. Secarik kertas digenggam dengan
erat, bagai benda yang sangat mereka sayangi. Saya sepetii kenal dekat dengan
kertas itu. Itu surat tilang! Berarti benar, ini tempatnya.
Saya menunggu. Orang-orang mulai berdatangan. Secarik kertas itu hampir
sebagian besar dari mereka memilikinya. Ingin sekali rasanya saya berkata pada
orang-orang itu, makanya pakai helm, makanya buat SIM, makanya jangan menerobos
lampu lalu lintas, dan masih banyak makanya-makanya yang lain. Tapi, apa daya,
orang saya juga ditilang. Makanya punya ban motor itu direndam dalam minyak
tanah dulu, baru jalan. Begitu barangkali kata mereka.
Semakin lama, orang semakin sesak, bahkan ada yang berdiri tak dapat tempat
duduk. Kasihan sekali mereka, makanya…Ah, tak jadi, orang saya juga ditilang.
Intinya, orang-orang kaum yang ditilang semakin banyak yang datang, sedang para
pegawai di pengadilan masih saja saling bercakap-cakap, belum hendak melayani.
Barangkali belum jamnya, itu yang ada di dalam pikiran mereka. Itulah pola
pikir para pegawai pemerintahan di negara ini. Belum masuk waktunya, belum mau
bekerja. Saya tiba-tiba sakit perut terlampau lama menunggu.
Akhirnya, proses persidangan pun di mulai. Orang-orang kamu kena tilang ini
berebut mengumpulkan surat penilangan pada sebuah tempat yang sudah disediakan
diatas sebuah meja. Saya santai-santai saja, tak perlulah saling berebut macam
itu. Padahal dalam hati juga gelisah, kalau saya tak hendak mengumpulkan surat
tilang, berarti saya akan disidang belakangan dong? Ampun, Tuhan, cepat-cepat
saya mengumpulkan surat tilang dengan kaki tertatih-tatih macam kaki saya itu
sakit bukan main.
Beberapa menit kemudian, sejumlah nama dipanggil. Anehnya, mereka tidak
menghadap hakim, tapi malah disuruh pulang. Ternyata, mereka belum saatnya
sidang hari itu, tapi Jum’at minggu depannya lagi. Ah, itulah akibatnya dulu
disuruh sekolah tapi malah menangkap burung dihutan, tinggal baca saja tak
bisa. Seperti biasa, saya mulai mengumpat orang-orang itu. Nama berikutnya
dipanggil. Sama, mereka juga disuruh pulang. Alasannya, berkas mereka belum
diserahkan kepolisan ke pengadilan, sehingga belum bisa mengikuti sidang.
Selanjutnya, dipanggil lagi, disuruh pulang lagi. Selanjutnya…Alamak, bukankah
itu nama saya yang aneh itu yang dipanggil? Alhamdulillah, saya girang bukan
main, karena merasa mendapat sidang kloter pertama. Saya pun memasuki ruangan
dengan kaki yang aduhai, tertatih-tatih seolah menahan rasa sakit. Semoga hakim
memaklumi saya yang tak mengenakan sepatu.
“Saya, Pak,”sahutku sebelum bapak itu menyebut namaku
berulang-ulang, nanti jadi terkenal pula nama itu seantero Pengadilan Negeri
Yogyakarta.
“Oh, begini, Mas, kami sudah mencari berkas atas nama Mas, tapi belum ketemu.
Setelah kami periksa, ternyata di surat tilang Mas nggak ada tanggal
sidangnya,”kata seorang bapak dengan logat Jawa yang kentara.
“Lha, terus ini bagaimana, pak?”
“Coba Mas tanya ke pos polisi, dari Tugu Jogja, terus ke barat, Mas…”
Apa, Bapak? Pos polisi? Ah, bapak, mendengar nama itu saja saya sudah bergetar
rasanya. Saya tak mau ditilang lagi, sekalipun saya tahu itu tidak mungkin.
Bukankah dalam ilmu hukum dikenal asaa nebis in idem? Artinya, tentu saja saya
tak boleh ditilang dua kali sedang yang pertama pun belum ada keputusan dari
pengadilan. Ah, bapak, ada-ada saja.
“Oh, ya,” lanjut bapak itu lagi. “Memangnya kapan Mas ditilang?”
“Minggu lalu, pak.”
“Oh, begitu, berarti jadwal sidangnya memang bukan hari ini, Mas, biasanya dua
minggu setelah ditilang.”
Alamak, jadi apa gunanya saya bela-bela singgah di apotek beli perban lalu
berpura-pura kaki sedang terluka? Sekarang, malah hati saya yang terluka. Sirna
sudah rencana hendak mengelabui hakim pagi itu. Bila begini ceitanya, saya
benar-benar akan jualan lotek di Jalan Kaliurang. Saya pun pulang dengan tangan
hampa, surat tilang masih ditangan, SIM yang ditahan belum juga pulang. Baru
beberapa menit sampai, tiba-tiba Bambang menelpon minta dijemput. Sial tujuh
turunan, saya harus balik lagi? Ah, semoga saja kamu tak membuat saya kembali
ditilang, Bambang…(*)
Yogyakarta,
10 Desember 2013