Rabu, 02 Oktober 2013

SENSASI MEMPERINGATI G 30 S DI MUSEUM PAK HARTO























Sebetulnya sudah lama saya berkeinginan untuk datang dan menyaksikan secara langsung serupa apa Memorial Jendral Besar H.M. Soeharto atau yang lebih dikenal dengan sebutan Museum Pak Harto saja. Namun keinginan tersebut akhirnya terwujud bertepatan dengan peringatan 38 Tahun Gerakan 30 September 1965 (G 30 S). Nah, ada hal unik disini, saya datang ke museum ini bertepatan dengan peringatan G30 S bukan karena sudah direncanakan, tapi karena kebetulan semata!

Ceritanya begini, sejak mendengar berita diresmikannya Museum Pak Harto oleh anak-anak beliau, saudara, dan juga beberapa orang menteri pada tanggal 8 Juni 2013 yang lalu, saat itu pula saya ingin menyambangi Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta, tempat kelahiran Presiden RI ke-2 itu sekaligus tempat dimana museum itu sekarang berdiri dengan gagahnya. Namun rencana itu selalu gagal dengan berupa-rupa alasan, hingga keinginan itu terwujud akhirnya.

Bersama salah seorang yang sangat dekat sekali dengan saya, Anisa Rahardini namanya, dan berbekal insting melihat peta lokasi museum ini dari situs di internet, maka meluncurlah kami ke lokasi menggunakan sepeda motor dari Kampus FH UGM di Bulaksumur, Sleman. Berdasarkan informasi yang saya dapat, museum itu berlokasi di Jalan Wates KM 10, lalu berbelok ke arah utara perempatan sebelum kampus Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Selain itu lokasi ini juga bisa ditempuh melalui Jalan Godean di Sleman. Untuk mempermudah, akhirnya saya memutuskan untuk melewati Jalan Wates, lagipula melalui jalan ini sepertinya jauh lebih dekat daripada melalui Jalan Godean.

Dari kampus FH UGM, kami memilih melewati Jalan Malioboro, lalu belok ke arah barat saat tiba di kawasan O KM Yogyakarta. Nah, saat melewati Jalan Malioboro inilah kami bertanya-tanya, kenapa disepanjang Jalan Malioboro bendera merah putih berkibar setengah tiang. Siapa yang meninggal dunia? Kami saling bertanya-tanya, sambil memikirkan jawaban ada apa gerangan. Saya malah berpikir karena kemarin ada ahli forensik terkemuka di negeri ini yang meninggal dunia. Anisa juga berpikir, dia tambah bingung karena sepengetahuannya tak ada yang meningal dunia, di media sosial pun tak ramai dibicarakan. Namun akhirnya dia pun menemukan jawaban, "Ooooooo...hari inikan tanggal 30 September, peringatan G 30 S!!!"



 
Maka, pergilah kami meneruskan perjalanan ke Museum Pak Harto tepat pada peringatan peristiwa yang mengangkat nama beliau itu. Ternyata tak sulit menemukan lokasi museum. Dari arah timur (Kota Yogyakarta), belok ke utara perempatan sebelum Universitas Mercu Buana, lurus melewati rel kereta api, ada pertigaan, belok ke arah barat atau kanan, maka beberapa meter dari pertigaan itu sudah tampak megahnya kompleks Museum Pak Harto sebelah utara (kiri). Pagar dan gerbangnya yang didominasi cat warna putih, berdiri tinggi, menambah kesan gagahnya seorang Jendral Besar H.M. Soeharto.

Sebelum masuk ke deodrama museum ini, pengunjung wajib mengisi buku daftar pengunjung. Satu rombongan pengunjung cukup satu orang yang absen sebagai perwakilan, karena dalam buku itu ditulis jumlah rombongan yang datang bersama.

Saat memasuki area museum, maka kita akan disambut oleh patung besar Pak Harto, tepat di depan gerbang masuk. Lalu ada patung-patung Pak Harto lain, seperti patung yang menghadap masjid di komplek museum, patung Pak Harto di pendopo, serta patung Pak Harto yang sedang sholat di sisi utara gedung deodrama.

Museum ini didesaign dengan sentuhan modern. Pintu masuk terbuka secara otmatis, menyajikan rekaman masa kepemimpinan Pak Harto selama 32 tahun di negeri ini. Semakin dalam dan berkelok memasuki museum, maka nuansa kepemimpinan Pak Harto kental terasa. Foto-foto Pak Harto maupun rekaman sejarah beliau yang disajikan secara digital diseiap sudut ruangan pun ikut membawa kita pada zaman beliau.

Dibagian tengah-tengah gedung deodrama, kita akan disajikan dengan cerita seputar Gerakan 30 September yang menewaskan beberapa orang jendral di negeri ini tahun 1965, termasuk pula Ade Irma Suryani Nasution, anak seorang jendral yang ikut terbunuh, meskipun beliau selamat dari peristiwa itu. Inilah sensasi yang kami rasakan di museum ini, sensasi memperingati G 30 S di Museum Pak Harto.

Sensasi tak lekas sampai di sini. Semakin kita menelusuri museum, maka semakin terbawa pula kita pada kharisma seorang Pak Harto. Pengunjung seolah kembali dibawa pada masa dimana saat-saat beliau masih menjabat sebagai presiden, program-program pembanguan yang beliau laksanakan, sampai saat-saat beliau mengundurkan diri hingga beliau wafat dan dimakamkan di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah. Suara instrumen lagu Gugur Bunga yang diputar kala itu menambah kerinduan akan sosok Pak Harto.

Sebetulnya masih banyak sensasi lain yang dapat anda rasakan bila berkunjung ke museum ini, termasuk pula melihat sumur tempat dimana Pak Harto pertama kali mandi saat dilahirkan. Nah, bila anda berlibur di Yogyakarta, jangan lupa datang ke museum ini. Selamat membangun kembali, Indonesia!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar