Jumat, 28 Desember 2012


MATI!!!

Oleh: Darwance

                Naya kembali resah. Suaminya, Brama, kembali sakit. Ini merupakan kali ketiga Brama jatuh sakit dibulan ini, tanpa sebab yang jelas. Dua minggu yang lalu Brama minta dipijat oleh Naya sepulang dari kantor, lantas malamnya Brama langsung menggigil. Dua hari kemudian Brama sembuh. Namun satu minggu berikutnya Brama kembali sakit setelah naik sepeda bersama anak semata wayangnya pagi-pagi sekali. Lalu hari ini, Brama kembali sakit lagi setelah makan siang di sebuah warung makan Padang tak jauh dari kantor tempatnya bekerja, lalu Brama pulang kerja lebih awal dari biasanya. Naya pun harus pulang lebih awal dari sekolahnya tempatnya mengajar setelah menerima kabar bahwa suaminya kembali sakit oleh Bik Yan, pembantu rumah tangga mereka. Naya bergegas pulang setelah sempat mengajar beberapa mata pelajaran. Sepanjang jalan pulang, terpikir olehnya cerita orang-orang kampung halamannya dulu perihal suaminya yang mempunyai garis keturunan mati usia muda. Takut bukan main Naya mengingat-ingat celetuk orang-orang itu, apalagi usia perkawinan mereka seminggu lagi baru akan meginjak usia lima tahun. Naya tak mau menjadi janda muda.
                Dua bulan yang lalu, Naya masih ingat suaminya yang tiba-tiba ambruk saat hendak berangkat kerja, kepalanya membentur pot kembang yang berjejer didepan diteras rumah hingga pot itu pecah. Naya langsung berteriak histeris saat mendapati suaminya yang sudah terkulai tak berdaya dengan darah yang berceceran dari kepala. Orang-orang disekitar rumah mereka lantas menghampirinya. Atas bantuan orang-orang tersebut, Brama lalu dibawa ke puskesmas yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah mereka. Namun pihak puskesmas mengaku tidak sanggup mengobati luka Brama yang sudah parah, hingga akhirnya mereka merujuk Brama kerumah sakit. Akan tetapi dokter dirumah sakit malah mengatakan bahwa benturan yang dialami Brama tidak serius. Darah yang keluar begitu banyak bukan akibat benturan terlalu keras,melainkan luka lecet yang melebar dikening Brama akibat tersayat pecahan pot kembang. Naya sempat putus asa kala itu, ia sudah pasrah akan nasib suaminya yang mungkin akan segera meninggal dunia.
                Selama mereka kawin, tak terhitung lagi rasanya berapa kali Brama jatuh sakit, dan tak terhitung pula sudah berapa kali ia keluar masuk puskesmas, rumah sakit, bahkan pengobatan aternatif sekalipun. Naya pun berlari kesana-sini meminta pertolongan bila suaminya itu sudah terjerembab dak berdaya. Anehnya, setelah diperiksa oleh ahli medis, Brama hanya masuk angin biasa saja, tak ada penyakit lain yang serius. Sakit jantung misalnya yang selama ini dirasakan Brama. Namun dokter penyakit dalam bahkan telah memeriksa Brama dengan sinar rontgen, namun jantungnya masih baik-baik saja. Detaknya masih teratur, begitu pula ukurannya yang masih normal. Selain jantung, organ vitalnya yang lain juga masih normal, seperti paru-paru, hati, dan lain sebagainya itu. Naya semakin bingung. Sebetulnya bukan masalah penyakit Brama yang tak jelas itu yang ditakutkan Naya, namun cerita orang-orang itu. Ia bergidik bila mengingat-ingat itu.
                Saat mendengar cerita orang-orang kampung itu, kontan saja kala itu Naya jadi tak karuan pikirnya. Ia jadi lemas manakala mengingat-ingat celoteh orang-orang kampung yang begitu menakutkan. Naya tentu tak mau jika itu benar-benar terjadi dengan suaminya nanti. Ia tentu tak mau pula menyandang gelar janda muda yang oleh banyak orang disebut-sebut hanya akan menganggu rumah tangga orang nantinya. Ia juga lebih lagi tak mau melihat suatu saat nanti anaknya memanggil-manggil ayahnya, bertanya macam-macam perihal ayahnya yang telah tiada, bila ia sudah besar nantinya. Namun kala itu ia sudah bulat, ia akan tetap melangsungkan pernikahannya dengan Brama, laki-laki yang sudah sembilan tahun lamanya menjalin kasih dengannya. Naya tetap yakin dengan pilihan hatinya itu. Ia bersikukuh dengan keyakinannya, bahwa kematian itu telah sepenuhnya diatur oleh Tuhan. Jadi tak perlulah manusia yang seolah mengatur itu semua, apalagi hendak menahan kematian. Itu tak akan ada faedahnya, pikir Naya.
                Akan tetapi, Naya tetap saja terngiang bila mengingat-ingat celoteh orang-orang dikampung dulu. Semua orang dikampung itu mengatakan demikian. Mereka selalu bilang kalau orang yang menikah dengan keluarga besar Pak Halim, mendiang kakek Brama, pastilah akan menjadi duda atau janda di usia muda. Usia pernikahan mereka tak lebih dari lima tahun. Setelah itu, pastilah istri atau suami dari anggota keluarga tersebut meninggal dunia dengan sebab yang beragam.
                Atas dasar itu, setelah menikah Naya mengajak Brama pindah ke kota, dan mencari pekerjaan tetap disana. Apalagi mereka punya modal latar belakang pendidikan yang mungkin saja bisa membantu mereka mencari kerja. Suaminya adalah seorang sarjana komputer lulusan perguruan tinggi di Yogyakarta. Sementara ia sendiri adalah salah seorang sarjana pendidikan lulusan sekolah tinggi di Bandung. Setelah pindah, Brama diterima disebuah bank konvensonal dan sekarang telah duduk sebagai manager, sebuah posisi yang dengan cepat ia raih karena kinerjanya yang dinilai baik oleh perusahaan. Sementara itu Naya sendiri mengajar di sebuah sekolah setelah lulus tes pegawai negeri sipil tiga tahun silam. Hidup mereka tak ada yang kurang, termasuk materi. Namun perihal Brama yang diramal juga akan mati muda seperti kerabatnya yang lain, membuat hidup Naya seolah selalu diliputi rasa takut.
                “Lihatlah Oom Imran, yang harus ditinggal Tante Fera saat hendak melahirkan anak pertama mereka. Anak mereka selamat, namun Tante Fera meninggal dunia akibat pendarahan yag hebat saat melahirkan anaknya itu. Lalu Ina, istri kakak tiri Brama yang juga harus kehilangan suaminya dua hari menjelang ulang tahun yang kedua anak mereka akibat yang sampai sekarang tidak diketahui. Herdi, suami Indri meninggal setelah sebelumnya terlihat bugar menonton pertandinagn sepakbola dilapangan. Dan masih banyak lagi anggota keluarga besar beliau yang meninggal diusia muda. Apa kamu tidak takut?” tanya Bik Baya, pemilik warung mi ikan yang hampir setiap sore ramai di kerubuti orang-orang kampung untuk menikmati mi ikan buatannya yang kata orang rasanya sangat khas itu.
                “Bik Baya betul, Nay,” sambung Tante Ima. “Dulu anak Tante juga sempat akan menikah dengan Fadli, anak bungsu Pak Halim itu. Namun Tante tak merestuinya, takut anak tante nanti menjadi janda pula. Tante tak mau itu terjadi dengan anak tante. Maka pernikahan itu akhirnya dibatalkan, anak tante juga tampaknya juga mengerti. Ia lalu memilih melanjutkan kuliah di Jakarta. Fadli pun menikah dengan perempuan lain, dan ia meninggal saat kandungan istrinya menginjak usia tujuh bulan, hanya karena tergelincir saat hendak memapah istrinya kekamar mandi. Istrinya tak apa-apa, bahkan ia sudah menikah lagi sekarang dengan laki-laki lain.”
                “Ah, kalian usah menakut-nakuti Naya, biarkan saja ia memilih pasangan hidupnya,” sela yang lainnya lagi.
                “Tapikan memang sepeti itu, keturunan Pak Halim banyak yang mati  muda.”
                “Mungkin tidak semuanya, mudah-mudahan saja, biar Naya bahagia nantinya.”
                Naya sempat galau oleh cerita-cerita orang kampung kala itu. Ia sempat mengulangi beberapa kali sholat malam, memohon pertolongan kepada Tuhan akan masalah yang saat itu ia hadapi. Naya tak ingin salah langkah. Ia juga selalu berdoa agar apa yang ramai dibicarakan orang-orang itu tak terjadi dengan Brama nanti, dan ia berharap Brama bisa hidup dengannya sampai tua. Sekali lagi ia tak ingin kalau sampai-sampai suaminya nanti mati muda. Naya tak mau menjadi janda muda!
                “Sudahlah, tak usahlah kau terlau risau  akan masalah itu,” ujar nenek Naya suatu ketika. “Jodoh, rejeki, dan juga kematian itu sepenuhnya di tangan Allah, kita tak boleh mendahuluinya. Toh kalau memang Brama jodohmu, nenek yakin pernikahanmu pasti akan berjalan sebagaimana mestinya, pun itu masalah kematian Brama yang disebut-sebut juga bakal mati muda seperti saudara-saudaranya yang lain. Semua itu sepenuhnya ditangan Allah.”
***
                “Sudah menelpon dokter, Bik?” tanya Naya saat tiba dirumah, dan segera menghampiri suaminya yang terbaring di diatas sofa depan televisi.
                “Belum, Nyonya, kata Tuan tidak usah menelpon dokter.”
                “Kenapa?”
                “Tidak tahu, Nyonya, tuan cuma bilang kalau ia cuma masuk angin biasa. Tuan menunggu Nyonya saja katanya, biar bisa dipijat sama Nyonya.”
                Naya langsung mengusap kening sang suami yang sedikit berkeringat, kemudian menyibak rambutnya yang mulai panjang. Ia mebalikkan telapak tangannya, dan menyentuk kening dengan tangannya bagian belakang yang masih tersisa bekas coretan spidol. Sekali lagi rasa takut itu terus mengahntui pikiran Naya, apalagi ketika jemari tangannya merasakan rasa panas yang teramat sangat dari tubuh Brama. Dari tadi Brama juga terpejam tanpa terjaga. Bik Yan bilang, Brama langsung terbaring diatas sofa itu saat hendak masuk kedalam kamar, lantas tak sadarkan diri meskipun berulang kali Bik Yan berusaha menyadarkannya dengan beragam cara. Asataga!Aku tak mau jadi janda muda, pikir Naya berkali-kali.
                Sebentar lagi, kira-kira dua minggu lagi, usia pernikahan mereka akan menginjak angka lima tahun. Naya gemetar mengingat itu, ia ingat beragam komentar orang-orang dikampungnya dulu perhial usia pernikahan keturunan mendiang Pak Halim yang tak pernah sampai usia lima tahun. Sementara sebentar lagi usia pernikahan mereka menginjak usia lima tahun. Naya jadi serba salah. Ia bingung harus melakukan apa agar cerita orang kampung itu tak terjadi dengan suaminya. Lantas ia menyuruh Bik Yan untuk menghubungi dokter,  meskipun suaminya tak mengizinkan sebetulnya. Maklum, Brama paling takut dengan jarum suntik. Namun Naya bersikeras melawan kehendak suaminya itu, ia akan melakukan apa saja asal suaminya tak mati muda. Ia tak mau menjadi janda muda!
                “Bagaimana? Dokternya ada?”
                “Ada, Nyonya, lima belas menit lagi dokter akan kesini.”
                “Baguslah.”
***
                Setelah sempat kembali dirawat dirumah sakit selama dua hari, Brama kembali sehat seperti semula. Brama pun sekarang sudah kembali masuk kantor seperti biasa. Begitupula dengan Naya, ia kembali mengajar disekolah setelah tiga hari minta izin kepala sekolah untuk merawat suaminya yang jatuh sakit. Naya senang bukan main, apalagi dokter yang merawat suaminya bilang kalau tak ada penyakit serius yang diderita suaminya itu. Suaminya sehat-sehat saja. Ia hanya sakit biasa, penyebabnya tak lain karena kurang istirahat. Naya memaklumi kondisi ini. Suaminya terlalu lelap dalam pekerjaan hingga terkadang lupa istirahat barang sejenak. Apalagi diakhir bulan, satu mingggu akhir bulan biasanya ia pulang selalu larut malam.
                Naya duduk santai dibalik meja kerjanya saat jam istirahat tiba. Ia senyum-senyum sendiri karena senang suaminya yang sudah sehat kembali. Namun jauh di dalam hati sebetulnya Naya masih takut kalau-kalau suaminya kembail ambruk entah akibat apa. Celoteh orang-orang kampung halamannya dulu seolah tak mau berangkat dari pikirannya saat ini, terus gentayangan bagai hantu. Ia ingat betul celoteh salah seorang yang ia sendiri tak tahu siapa, bila usia perkawinan keturunan Pak Halim sudah melewati angka lima tahun, maka dapat dipastikan pasangan tersebut sudah melewati tahap aman. Artinya kemungkinan suaminya meninggal dalam usia muda sudah kecil, bahkan sudah tidak ada sama sekali. Akan tetapi masalahnya, usia pekawinan Naya dengan Brama belum menginjak angka lima tahun, kurang beberapa jam lagi karena besok adalah usia perkawinan mereka yang kelima. Ah, bagaimana kalau suaminya tiba-tiba kembali jatuh sakit sebelum usia perkawinan mereka lima tahun, dan kemudian suaminya itu meninggal? Naya berkeringat dingin saat membayangkan itu.
                “Hallo?”
                “Hallo, dengan Ibu Naya?”
                “Saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?”
                “Ini Ayu, Bu, sekretaris Pak Brama. Saya ingin memberitahu ibu,kalau Pak Brama sekarang berada di rumah sakit, Bu. Bapak kembali jatuh saat hendak menuju ruang meeting, kepalanya berdarah setelah membentur anak tangga berkali-kali.”
                Suara Ayu, sekretaris suaminya itu serupa suara Izrail saat memasuki kedalam ketilanga Naya, meminta izin darinya untuk segera membawa suaminya pulang. Sementara jantungnya bagai beduk yag ditabuh habis-habisan kala malam takbir menjelma, namun dengan irama yang tak beraturan semestinya mengiringi suara takbir. Naya lantas bergegas, dan membiarkan makanan yang baru saja hendak dilumatnya, beberapa potong roti dan sosis yang semalam ia minta tolong Bik Yan singgah di sebuah supermarket sepulang dari rumah sakit. Ia seolah membiarkan perutnya melompong setelah hampir tiga hari tak menelan nasi. Ah, mungkin sifat pelupa ini akibat pil KB yang selalu ia konsumsi untuk mengatur jarak kelahirannya, atau Naya sendiri yang terlampau memikirkan nyawa suaminya sebelum usia pernikahannya mencapai lima tahun, agar ia tak jadi janda muda.
                Dengan cucuran keringat dingin yang kian melumuri tubuhnya, dan membasahi seragam gurunya hingga tampak lusuh, Naya meraih sepeda motornya yang terpakir disamping kantor guru. Ia lantas memutar gas motor matik-nya itu kuat-kuat hingga terdengar surupa suara erangan kesakitan yang ditahan, dan melesat keluar komplek sekolah. Sepanjang jalan, Naya membayangkan kondisi kepala suaminya yang dilumuri darah segar, dalam kondisi yang tak sadar pula. Dan, yang selalu senantiasa membayangi Naya adalah seorang dokter yang keluar dari ruangan, dan kemudian memberi kabar kalau suaminya tidak bisa diselamatkan. Aku akan jadi janda muda, batin Naya galau.
                “Bapak ada di ruangan mana?” Naya langsung bertanya kepada sekretaris suaminya dikantor saat tiba dirumah sakit.
                “Diruang VVIP kamar nomor dua, Bu.”
                Setengah berlari, Naya langsung melangkahkan kakinya menuju anak tangga yang menghubungkan lobi rumah sakit yang terletak dilantai dasar dengan ruanan VVIP yang ada dilantai atas. Sementara orang-orang yang ada dirumah sakit itu hanya bisa menatap perempuan berambut sebahu itu dengan tatapan yang beragam, namun semuanya bermuara pada kekhawatiran. Namun Naya tak peduli, yang ada dalam hatinya saat ini ada dua. Pertama, ia tidak mau ditinggal suaminya mati muda. Dan yang kedua adalah akibat bila yang pertama betul-betul terjadi, Naya tak mau menjadi janda muda.
***
                Sebuah keranda diluarkan dari ruangan jenazah, hendak dimasukan kedalam modil ambulance untuk kemudian dibawa kerumah duka, tempat kediaman orang yang ada dalam keranda tersebut. Segerombolan orang yang entah siapa dan hubungan apa dengan jenzah, terlihat sesunggukan saat melihat jenazah didorong menggunakan bangsal beroda. Mereka menangisi kepergian kerabatnya yang tak disangka-sangka, sebab beberapa hari ini ia kelihatan bugar dan tampak sehat. Sementara itu Brama, setelah siuman dari pingsannya kemarin, tampak mengiringi jenazah yang baru saja dimandikan oleh pihak rumah sakit. Ia masih tak percaya jika istrinya akan meninggalkan ia dan anak semata wayang  mereka untuk selamanya, setelah terpeleset saat hendak menuju lantai dua rumah sakit kemarin. Naya terjatuh dari ketinggian lima meter karena kehilangan keseimbangan, dan meninggal dunia akibat terbentur anak tangga berkali-kali hingga menyebabkan kepalanya pecah, tepat diusia perkawinan mereka yang kelima (*)
Pangkalpinang, 24-25 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar