Oleh:
Darwance
(Cerpen ini pernah di muat di Harian Pagi Bangka Pos - Kelompok Kompas Gramedia, Minggu, tanggal 08 Mei 2011, dengan format full page, pertama kali dalam sejarah Bangka Pos, TQ, Bangka Pos)
Hingga kini, aku tak paham apa yang sebetulnya membuat ayah begitu
membenci ibu. Ayah begitu murka begitu aku bertanya-tanya perihal ibu
kepadanya. Apalagi kalau sampai aku bercerita tentang ibu, sepulang aku
menjumpai ibu yang sekarang hidup seorang diri di sebuah kontrakan sederhana di
tepi sungai tengah kota ini. Ayah akan marah bila ia tahu aku baru saja menemui
ibu, saat ayah tak ada dirumah. Ayah sangat melarang aku menemui ibu. Ayah
bahkan mengancam akan memasungku bila aku tetap akan menemui ibu kelak. Sungguh
aku tak mengerti dengan apa yang di perlihatkan ayah terhadapku selama ini.
Padahal ayah sangat baik sepengetahuanku selama ini, ayah sering membawa
makanan sepulang ia bekerja sore hari. Ayah juga tak lupa menitipkan bekal
kepadaku saat aku ke sekolah, juga saat jam istirahat tiba ayah akan
mengantarkan makanan kepadaku yang ia titipkan pada satpam sekolah. Namun,
kenapa ayah begitu benci dengan ibu?
“Ayah benci ibumu!!!” kata ayah suatu saat, setelah aku hendak
memulai ceritaku tentang keadaan ibu yang sangat memprihatinkan. Namun ayah
tidak pernah melanjutkan kenapa ia bisa benci dengan ibu. Ayah selalu
mengulangi kalimat itu, berkali-kali. Ayah tidak pernah mau melanjutkan kalimat
itu, mengemukakan apa yang menjadi penyebab sehingga ia sangat benci ibu. Aku
juga tak mau bertanya lebih jauh. Aku takut ayah akan tambah marah, hingga
akhirnya aku tak diizinkannya lagi pergi kerumah Laura, teman sebayaku untuk
bermain boneka. Lalu minta tolong Tante Lia, ibu Laura untuk mengantarkan aku
kerumah ibu. Itulah jalan satu-satu yang bisa aku tempuh agar bisa bertemu
dengan ibu. Ayah tidak pernah tahu akan hal ini. Ayah percaya kalau aku hanya
bermain boneka dengan Laura.
“Ayah sehat?” tanya ibu suatu ketika kepadaku.
“Sehat, Bu, ayah baik-baik saja.”
“Baguslah kalau begitu.”
Hanya itulah yang ibu tanya tentang ayah, tak pernah lebih.
Sebetulnya aku ingin tahu lebih jauh perihal ibu yang sekarang tidak serumah
lagi dengan ayah, perihal ibu yang hanya bertanya tentang kondisi ayah. Tapi
aku takut, aku takut ibu akan tersinggung, atau barang kali ibu akan malu sebab
aku masih terlalu kecil untuk tahu masalah orang dewasa. Sama halnya seperti
ayah, ibu juga tak terlalu mau mendengar cerita aku tentang ayah, meskipun ibu
tidak pernah marah-marah seperti ayah. Ia hanya mengangguk pelan mendengar
ceritaku tentang ayah, mengiyakan dan tak pernah bertanya macam-macam. Lalu
biasanya ibu selalu mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan tentang
sekolahku, tentang Tante Lia yang dulu menjadi teman akrab ibu saat masih
sama-sama dengan ayah. Padahal Tante Lia juga ikut aku kerumah ibu, meskipun ia
hanya berada diteras rumah sampai aku keluar dari dalam kontrakan ibu, sambil
mengamati aku dengan muka cemas. Ia juga akan pulang saat aku pulang, dan hanya
tersenyum membalas senyum ibu dari balik jendela kontrakan berdidinng setengah
papan itu.
“Tante, Aliyah boleh tanya sesuatu tidak dengan Tante?”
“Aliyah mau tanya apa?”
“Tapi Tante janji ya tidak bilang-bilang sama ibu, apalagi kalau
sama ayah. Tante janji, ya?” pintaku kepada Tante Lia saat ia menemaniku pulang
dari rumah ibu. Tante Lia hanya bisa mendengus biasanya bila aku bertanya
semacam ini. Ia tak hendak menjawab, namun tak hendak pula menolak
permintaanku. Tante Lia biasanya langsung menanyakan balik apa yang hendak aku
tanyakan kepadanya. Namun dari mimik wajah yang aku lihat, aku tahu sebetulnya
Tante Lia agak keberatan menuruti permintaanku itu. Aku tak tahu pula apa yang
membuat Tante Lia begitu seperti orang yang menghindar bila aku menyodorkan pertanyaan ini berulang-ulang
kepadanya.
“Memangnya Aliyah mau tanya apa sampai-sampai ibu dan ayah Aliyah
sendiri tidak boleh tahu? Masih kecil kok sudah main rahasia,” jawab Tante Lai
sambil tersenyum yang dibuat-buat. Dengan cekatan ia memapahku menyeberangi
jembatan kayu yang menghubungkan daratan sebelah dengan daratan sebelahnya
lagi, daratan kontrakan ibu. Laura biasanya langsung menyambut kami dengan
sepasang boneka Popeye dan Olive, lalu memberikan salah satu kepadaku untuk
selanjutkan kami main besama-sama. Laura pulalah biasanya yang memberi isyarat
perihal ayah. Ia akan melambai-lambaikan tangannya biala ayah belum pulang bekerja,
dan meletakkan jemari telunjuknya diujung bibirnya yang agak ia sunggingkan bila
ayah sudah tiba, dan duduk didepan rumah.
“Oom Arman sudah pulang belum?” tanya Tante Lia kepada Laura seraya
melepaskan pegangan ditanganku.
“Sudah, Bu, tapi tadi langsung keluar lagi. Mungkin ke toko
seberang.”
“Ia menanyakan Aliyah?”
“Tidak, Bu. Oom Arman cuma senyum-senyum, dan berlalu begitu saja.”
“Baguslah” lanjut Tante Lia kemudian berlalu, membiarkan aku bermain
boneka dengan Laura, anaknya. Hanya itu yang Tante Lia katakan. Ia tak pernah
mau bertanya-tanya lagi pertanyaan apa yang hendak aku tanyakan dengannya.
Sepertinya ia sudah tahu hal apa yang akan aku tanyakan, maka ia lebih baik
menghindar dari pertanyaan itu. Sebetulnya aku maklum dengan Tante Lia yang
tampak serba salah saat aku ingin bertanya dengannya, mungkin saja ia tak mau
dibilang terlalu ikut campur urusan rumah tangga ayah dan ibu. Namun aku menyimpan
sedikit curiga kenapa Tante Lia seperti orang yang ketakutan. Ia langsung
cepat-cepat masuk kerumah, dan sesekali
melihat-lihat kami dari celah jendela yang masih terbuka. Terkadang
Tante Lia menoleh kami sebelum masuk kerumah, membalikkan tubuhnya sejenak
sambil melemparkan sedikit senyuman, lalu berlalu. Mungkin saja Tante Lia tak
tahu menahu akar persoalan ayah yang berpisah dengan ibu. Namun kenapa ia
menghindar? Apa payahnya menjawab ia tak tahu perihal ayah yang berpisah dengan
ibu?
Setelah itu, biasanya aku tak banyak bertanya-tanya lagi. Aku hanya
sibuk bermain dengan Laura, sebelum akhirnya pulang kerumah setelah mendengar
suara parau ayah memanggil-manggil namaku berkali-kali. Laura pun mengerti akan
hal itu, ia mengerti keadaanku saat ini. Maka dengan segera Laura langsung
menyuruhku pulang, sebelum suara ayah kembali terdengar, lebih keras dari
semula. Sikap Laura yang demikian kadang membuatku heran. Ia masih kecil
sebetulnya, umurnya belum menginjak angka sepuluh, sama seperti umurku. Hanya
bertaut beberapa bulan saja lebih tua dariku. Namun Laura tampak jauh lebih dewasa
umurnya. Ia mengerti persoalan orang dewasa, tidak seperti aku yang seolah
masih berada dalam lingkaran siluet yang tak terang memandang alam sekitar.
“Ayahmu sudah memanggil, sebaiknya kamu pulang saja sebelum ayahmu
memanggil namamu untuk yang kesekian kalinya. Besok kita main lagi,” rayu Laura
dipenghujung pertemuan kami sore ini. Aku tersenyum membalas permintaan Laura,
dan ia menyaksikan langkahku yang bergegas menuju rumah menemui ayah.
Sebelum beranjak pulang, biasanya aku meminta Laura untuk merapikan
letak rambutku dengan sebilah sisir yang sengaja aku bawa dari rumah, dan
membersihkan dekil tubuhku akibat percikan pasir bercampur debu yang melekat.
Dengan tulus Laura langsung menuruti permintaanku. Ia merapikan rambutku dengan
lembut, dan mengusap-usap kulit wajahku dengan kedua telapak tangannya yang
mungil. Semua ini aku lakukan agar ayah tak marah melihatku yang seolah tak
terawat, kusam tak karuan. Ayah akan marah bila aku pulang dengan rambut yang
acak-acak bercampur tumpukan debu, dan daki yang hampir melekat rata disekujur
tubuhku. Ayah tak mau nanti ia dibilang orang-orang tak bisa merawatnya. Lalu
orang-orang akan bilang lebih baik menyerahkan aku kepada ibu saja, biar aku
diurus sebagaimana anak-anak yang lain.
“Aliyah sudah belajar belum?” tanya ayah sebelum aku mandi.
“Belum, ayah, nanti habis maghrib aku akan belajar. Aku janji,
Ayah,” sahutku sedikit agak gemetar, takut ayah akan marah. Namun aku tak
melihat ayah akan marah, ayah hanya tersenyum melihatku yang seolah seperti
tawanan perang yang akan diinterogasi dalam tahanan. Aku senang kalau melihat
ayah tersenyum. Hatiku terasa sejuk bila senyum ayah mengembang dari wajahnya
yang tampan, hingga lesung pipitnya tercipta seketika. Ayah laki-laki yang
tampan menurutku. Hidungnya sangat mancung untuk ukuran laki-laki Indonesia
kebanyakan. Matanya juga agak sipit, namun tak sesipit orang-orang yang setiap
hari minggu aku lihat keluar masuk kelenteng saat aku diajak kepasar oleh Tante
Lia. Kulit ayah tidak terlalu putih, namun bersih. Rambut ayah juga rapi, dan
kumisnya selalu ia cukur setiap minggu, sebelum sholat Jum’at. Aku kadang
menyesal kenapa aku tidak memiliki apa yang dimiliki ayah, hidung yang mancung
misalkan.
“Ya sudah, Aliyah mandi daja dulu. Jangan lupa sholat, mengaji, setelah
itu belajar.”
“Baiklah, ayah.”
Saat seperti inilah, saat aku melihat ayah begitu baiknya, ingin
rasanya aku menanyakan perihal ayah dan ibu kembali. Namun aku takut ayah
kembali marah, lantas mencak-mencak tak karuan seperti malam-malam sebelumnya.
Aku tak mau menyakiti ayah. Aku tak mau senyum ayah menghilang, berganti dengan
kerutan keras dikening dan rahangnya yang membatu akibat menahan marah. Aku
sayang dengan ayah. Namun aku juga sangat menyayangi ibu. Ibu juga baik. Ibu
selalu membelai rambutku saat aku menemuinya, dan ibu akan menyuapiku makan
bila ada makanan yang hendak ia berikan. Ibu juga tak lupa berpesan agar aku
menjaga ayah. Aku menyayangi mereka. Aku ingin melihat mereka berdua ada
dirumah ini. Aku ingin ayah dan ibu selalu berbagi setiap hari, dan menikmati
kebahagiaan itu bersama-saam dibawah atap rumah ayah.
Selesai mandi, aku langsung menunaikan perintah ayah, sholat
maghrib, mengaji dan kemudian belajar. Terkadang aku juga ingat ibu saat ayah
mengajariku membaca Al-Quran, dan mengajari aku berhitung. Aku ingat ibu karena
aku kasihan melihat ayah yang mengerjakan ini semua seorang diri. Dari pagi
ayah harus mengantarkan aku ke sekolah, lalu balik lagi kerumah menyiapkan
makan siang untukku bila aku pulang sekolah, baru kemudian ayah pergi bekerja
menjadi sopir di toko bangunan Abah Aliong di pasar. Siangnya lagi ayah harus
menjemputku pulang sekolah, atau kalau ayah tidak sempat maka Tante Lia yang
menjadi pengganti ayah. Pulang berkeja, ayah harus kembali memasak untuk makan
malam, lalu mengajariku membaca al-Quran dan belajar berhitung. Jika ada ibu,
mungkin ayah tidak akan seletih ini. Ayah bisa langsung istirahat sepulang
kerja. Semuanya sudah dikerjakan oleh ibu, termasuk menyediakan makanan dan
mengajariku membaca al-Quran dan belajar berhitung.
“Aliyah ingin berhenti sekolah saja, ayah,” kataku pada ayah saat
melihat ayah terbaring letih diatas kasur tipis kamar rumah. Ayah langsung
menolehku seketika dengan matanya yang tajam. Aku langsung menunduk melihat
ayah demikian. Aku takut ayah akan marah, dan ayah pasti memang akan marah.
“Mengapa Aliyah mau berhenti sekolah?” tanya ayah setengah tak
percaya.
“Aliyah ingin membantu ayah, Aliyah ingin menjadi ibu. Aliyah ingin
menyiapkan makanan untuk ayah bila ayah pulang berkerja.”
Sempat aku melihat raut muka ayah yang seketika berubah, seolah
mendengar warta buruk yang hendak menghujam jantungya perlahan. Ayah seolah
tak menyangka jika aku akan mengatakan
hal demikian padanya, sebab selama ini ayah tahu jika aku tak pernah bertanya
macam-macam lagi. Ayah tahu jika aku tak pernah lagi berkehendak berbagai rupa
terkecuali menemani ayah dirumah ini. Aku menunduk mendengar dengusan nafas
Ayah yang semakin mengencang. Aku takut bertatap dengan ayah. Aku takut melihat
muka ayah yang tiba-tiba kejang serupa batu yang dijilat matahari siang, terasa
panas dan begitu mengerikan. Aku mendengar helaan nafas ayah yang berpacu
dengan detak jantung yang sulit ia kendalikan, dan ayah berusaha untuk
meredamnya.
“Maksudnya, Aliyah ingin menjadi seorang pembunuh?”
Aku terperangah mendengar jawaban dari ayah. Sungguh aku tak paham
apa yang baru saja ayah haturkan kepadaku. Lamat-lamat aku memberanikan diri
menatap muka ayah yang menatap jauh keluar rumah melalui pintu yang masih
terbuka. Ayah tampak salah tingkah. Ia mencoba menyembunyikan kegundahan hati
yang sekejab menyeruap masuk kedalam hati ayah. Sebulir keringat dingin ayah
menetes diatas lantai yang berbalut tikar plastik bermotif kembang-kembang
warna merah yang sudah mulai robek, bercampur dengan butiran pasir yang pagi
ini belum sempat aku sapu. Jantungku berdegup tak menentu lantaran mendengar
kata-kata ayah yang masih sulit aku terjemahkan artinya.
“Maksud ayah?” desakku menagih jawab ayah.
Muka ayah terlihat masam saat aku mengajukan pertanyakan itu
berkali-kali, akan tetapi berkali-kali itu pula ayah hanya diam melempam. Aku
terus mendesak ayah. Aku tak takut lagi
jika ayah akan marah atas tindakku yang mungkin terkesan tidak sopan
berlaku terhadap seorang ayah. Namun aku adalah anak ayah, yang bukan hanya
hidup sekenanya bak air yang mengalir mengikuti lekuk bumi. Aku ingin mengalir
seperti air, namun aku juga punya hak untuk tahu kemana hendak aku dibawa. Hal
apa yang yang telah aku lewati selama ini, maka aku pun berhak untuk mengetahui
perihal itu semua. Namun sekali lagi, ayah masih diam. Aku kecewa dengan sikap ayah.
Maka dengan lantas aku langsung berlari keluar rumah, bermaksud menemui Tante Lia
yang selama ini selalu menjadi sandaran saat sedang sedih. Saat aku membutuhkan
belai kasih seorang ibu. Tante Lia selalu setia mendengar saat aku mulai bercerita,
kecuali tentang ayah dan ibu.
Aku terus berlari seraya menahan kecewa yang membumbung karena ayah,
serta membawa perkataan ayah yang masih saja berkelebat hebat dalam pikiranku.
Sambil sedikit menunduk, pelan-pelan aku menginjakkan kedua kaki diteras rumah
Tante Lia yang hanya berjarak satu rumah dari rumah kami. Namun langkah kakiku
berhenti saat samar-samar aku mendengar celoteh Laura yang sedang mendera
ibunya dengan sederet pertanyaan yang membuat aku terperangah. Aku mendengarnya
melalui pintu tengah yang memang terbuka, sementara Tante Lia ada diruang tengah
bersama Laura yang sesekali terdengar mengisak karena sesak nafas beberapa hari
ini. Melalui gorden yang sedikit tersibak, aku melihat Laura yang berbaring
diatas pangkuan Tante Lia, sambil memegang sepasang boneka yang selalu
diberikan kepadaku saat kami bermain ditepi sungai.
“Ibu juga tak terlalu paham
sebetulnya akan masalah ini. Saat itu ibu akan mengantarkan kolak labu kerumah
orangtua Aliyah, sepulang kita dari hajatan dirumah nenek waktu itu. Laura
masih kecil saat itu, Aliyah juga. Saat itu Laura baru bisa merangkak,
sementara Aliyah masih digendong oleh ibunya. Umurnya kurang lebih tiga atau
empat bulan. Ia anak yang lucu saat itu,hidungnya yang mancung meskipun tak terlalu
mancung seperti hidung ayahnya, membuat orang-orang disini suka dengan Aliyah,
ditambah kulitnya yang putih mulus seperti sang ibu. Ibu juga sangat suka
dengan Aliyah kala itu, hingga hampir setiap hari ibu menyambangi Aliyah dan
membiarkan kalian bermain berdua saat kalian sudah bisa bermain sendiri. Namun
entah apa musababnya, tiba-tiba ibu
mendengar suara Tante Sulis meraung-raung tak jelas, dan suara parau Oom Arman
yang berusaha menenangkan Tante Sulis. Ibu penasaran, lantas bergegas ibu
masuk. Alangkah terkejutnya ketika ibu melihat Tante Sulis yang akan
melemparkan tubuh mungil Aliyah kedalam sungai yang dalam melaui jendela. Ibu
sangat ketakutan sekali. Ibu berusaha membantu Oom Arman yang sudah seperti
orang kehilangan akal melihat Tante Sulis yang sudah seperti orang gila. Oom
Arman marah sekali dengan Tante Sulis. Lalu ibu berusaha menenangkan Tante
Sulis yang sudah tak terkontrol lagi kondisinya. Tante Sulis masih belum bisa
menerima kehadiran Aliyah yang tak dikehendakinya.”
Jantungku berdegup kencang mendengar penjelasan Tante Lia, ingin aku
menjerit sekencang-kencangnya saat itu pula. Namun aku berusaha kuat, dan
berjanji tidak akan menjadi anak yang lemah. Mungkin ini adalah saat-saat aku
harus tahu apa yang sebetulnya terjadi selama ini. Sesungggukan aku masih
berusaha mendengar perbincangan Tante Lia denga Laura saksama, tanpa mau
beranjak barang sedikitpun.
“Maksud ibu?”
“Aliyah sebetulnya bukanlah anak Oom Arman. Ia adalah anak laki-laki
yang sekarang tidak tahu dimana keberadaannya. Laki-laki itu hilang begitu saja
saat tahu Tante Lia mengandung anak hasil perbuatannya. Ia kabur. Ia meninggalkan
Tante Sulis begitu saja tanpa daya. Orang-orang berusaha mencari dimana
laki-laki itu, namun usaha itu tak membuahkan hasil. Orangtua Tante Sulis yang
tak lain tokoh agama terkemuka didaerah
kampung itu merasa namanya telah tercoreng. Mereka kehabisan akal untuk
mengatasi masalah ini, kecuali membiarkan kandungan Tante Sulis yang mulai
membesar. Maka Oom Arman datang kerumah orangtua Tante Sulis pada suatu malam,
tanpa sepengetahuan siapapun. Oom Arman bersedia mengaku kalau itu adalah hasil
perbuatannya. Ia mau bertanggung jawab meskipun orang-oang tahu kalau Oom Arman
bukanlah laki-laki yang mereka maksud selama ini. Oom Arman ikhlas melakukan
ini untuk menyelamatkan reputasi keluarga Tante Sulis.”
“Lantas kenapa Aliyah tak boleh tahu masalah ini, Bu?” tanya Laura
lagi.
“Mungkin Aliyah masih terlampau kecil untuk tahu masalah ini. Lagipula
ini adalah syarat yang dulu Oom Arman minta kepada keluarga Tante Sulis, yakni
agar suatu saat nanti, bila anak yang dikandung Tante Sulis lahir, tak seorang
pun yang akan memberitahu anak itu perihal kalau ia bukanlah anak Oom Arman.
Oom Arman ingin anak itu hidup sebagaimana anak-anak lain semestinya. Namun
keadaan rupanya tidak demikian. Tante Sulis tetap nekad akan membunuh Aliyah
jika ia nanti lahir. Bukan main marahnya Oom Arman. Ia bersumpah tidak akan
memberikan Aliyah kepada ibunya lagi, meskipun ia tahu Aliyah bukanlah darah
dagingnya. Oom Arman sangat menyayangi Aliyah. Itu sebabnya ia tidak mengizinkan
Aliyah bertemu Tante Sulis, Oom Arman takut kalau-kalau Tane Sulis akan kembali
membunuh Aliyah lagi. Namun ibu tidak sampai hati melihat Aliyah bertanya-taya
tentang ibunya, maka dengan pengawasan yang selalu ibu lakukan, ibu selalu
mengantar Aliyah untuk bertemu ibunya. Ibu juga takut tiba-tiba Tante Sulis kembali
seperti dulu, ingin membunuh Aliyah.”
Aku langsung bertekuk bersandar didinding rumah Tante Lia yang
semerbak oleh wangi bunga melati. Tak terasa, bulir air mata meleleh dikedua
sisi mataku yang sedari tadi berusaha aku tahan. Namun aku luluh juga rupanya.
Air mata itu terlalu kuat untuk aku lawan. Ia sudah sewajarnya tumpah,
mengiringi kesedihan hati yang tak kusangka-sangka bisa mengampiri hidupku,
setelah bertahun-tahun lamanya. Sekejap pula aku teringat wajah ibu yang selama
ini selalu aku jumpai dirumah kontrakannya yangs sederhana. Orang yang selama
ini selalu aku bela dihadapan ayah yang sedang marah. Namun wajah itu tiba-tiba
berubah serupa lanun yang siap membajak sebentuk bahtera yang melintas
dihadapnya. Ibu sangat menakutkan bagiku sekarang. Aku ingat ayah. Aku ingat
wajah ayah yang sempat aku umpat sebelum aku melangkah kerumah Tante Lia
beberapa jam yang lalu. Aku merindukan
ayah, aku menyayangi ayah. Namun, aku juga menyayangi ibu.
Desa Pasirputih, 21-22
April 2011
wow..!! baguuuussss kak... :) teruslah berkarya.. I Love U..
BalasHapusBagus wance,,, masukan aja buat pnulisan yg di-[lokasi] di tulis terpisah. Di rumah, (bkn) dirumah. Disayang (bkn) di sayang. Redaksional sih. Tp isinya jempol :D ayo ce.. Kajian bkin majalaaaaahhh
BalasHapus