MATI!!!
Oleh:
Darwance
Naya kembali resah. Suaminya,
Brama, kembali sakit. Ini merupakan kali ketiga Brama jatuh sakit dibulan ini,
tanpa sebab yang jelas. Dua minggu yang lalu Brama minta dipijat oleh Naya
sepulang dari kantor, lantas malamnya Brama langsung menggigil. Dua hari
kemudian Brama sembuh. Namun satu minggu berikutnya Brama kembali sakit setelah
naik sepeda bersama anak semata wayangnya pagi-pagi sekali. Lalu hari ini,
Brama kembali sakit lagi setelah makan siang di sebuah warung makan Padang tak
jauh dari kantor tempatnya bekerja, lalu Brama pulang kerja lebih awal dari
biasanya. Naya pun harus pulang lebih awal dari sekolahnya tempatnya mengajar
setelah menerima kabar bahwa suaminya kembali sakit oleh Bik Yan, pembantu
rumah tangga mereka. Naya bergegas pulang setelah sempat mengajar beberapa mata
pelajaran. Sepanjang jalan pulang, terpikir olehnya cerita orang-orang kampung halamannya
dulu perihal suaminya yang mempunyai garis keturunan mati usia muda. Takut
bukan main Naya mengingat-ingat celetuk orang-orang itu, apalagi usia
perkawinan mereka seminggu lagi baru akan meginjak usia lima tahun. Naya tak
mau menjadi janda muda.
Dua bulan yang lalu, Naya masih
ingat suaminya yang tiba-tiba ambruk saat hendak berangkat kerja, kepalanya
membentur pot kembang yang berjejer didepan diteras rumah hingga pot itu pecah.
Naya langsung berteriak histeris saat mendapati suaminya yang sudah terkulai
tak berdaya dengan darah yang berceceran dari kepala. Orang-orang disekitar
rumah mereka lantas menghampirinya. Atas bantuan orang-orang tersebut, Brama lalu
dibawa ke puskesmas yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah mereka. Namun pihak
puskesmas mengaku tidak sanggup mengobati luka Brama yang sudah parah, hingga
akhirnya mereka merujuk Brama kerumah sakit. Akan tetapi dokter dirumah sakit
malah mengatakan bahwa benturan yang dialami Brama tidak serius. Darah yang keluar
begitu banyak bukan akibat benturan terlalu keras,melainkan luka lecet yang
melebar dikening Brama akibat tersayat pecahan pot kembang. Naya sempat putus
asa kala itu, ia sudah pasrah akan nasib suaminya yang mungkin akan segera
meninggal dunia.
Selama mereka kawin, tak
terhitung lagi rasanya berapa kali Brama jatuh sakit, dan tak terhitung pula sudah
berapa kali ia keluar masuk puskesmas, rumah sakit, bahkan pengobatan aternatif
sekalipun. Naya pun berlari kesana-sini meminta pertolongan bila suaminya itu
sudah terjerembab dak berdaya. Anehnya, setelah diperiksa oleh ahli medis,
Brama hanya masuk angin biasa saja, tak ada penyakit lain yang serius. Sakit
jantung misalnya yang selama ini dirasakan Brama. Namun dokter penyakit dalam
bahkan telah memeriksa Brama dengan sinar rontgen,
namun jantungnya masih baik-baik saja. Detaknya masih teratur, begitu pula
ukurannya yang masih normal. Selain jantung, organ vitalnya yang lain juga
masih normal, seperti paru-paru, hati, dan lain sebagainya itu. Naya semakin
bingung. Sebetulnya bukan masalah penyakit Brama yang tak jelas itu yang
ditakutkan Naya, namun cerita orang-orang itu. Ia bergidik bila mengingat-ingat
itu.
Saat mendengar cerita
orang-orang kampung itu, kontan saja kala itu Naya jadi tak karuan pikirnya. Ia
jadi lemas manakala mengingat-ingat celoteh orang-orang kampung yang begitu
menakutkan. Naya tentu tak mau jika itu benar-benar terjadi dengan suaminya
nanti. Ia tentu tak mau pula menyandang gelar janda muda yang oleh banyak orang
disebut-sebut hanya akan menganggu rumah tangga orang nantinya. Ia juga lebih
lagi tak mau melihat suatu saat nanti anaknya memanggil-manggil ayahnya,
bertanya macam-macam perihal ayahnya yang telah tiada, bila ia sudah besar
nantinya. Namun kala itu ia sudah bulat, ia akan tetap melangsungkan
pernikahannya dengan Brama, laki-laki yang sudah sembilan tahun lamanya
menjalin kasih dengannya. Naya tetap yakin dengan pilihan hatinya itu. Ia
bersikukuh dengan keyakinannya, bahwa kematian itu telah sepenuhnya diatur oleh
Tuhan. Jadi tak perlulah manusia yang seolah mengatur itu semua, apalagi hendak
menahan kematian. Itu tak akan ada faedahnya, pikir Naya.
Akan tetapi, Naya tetap saja
terngiang bila mengingat-ingat celoteh orang-orang dikampung dulu. Semua orang
dikampung itu mengatakan demikian. Mereka selalu bilang kalau orang yang
menikah dengan keluarga besar Pak Halim, mendiang kakek Brama, pastilah akan
menjadi duda atau janda di usia muda. Usia pernikahan mereka tak lebih dari
lima tahun. Setelah itu, pastilah istri atau suami dari anggota keluarga tersebut
meninggal dunia dengan sebab yang beragam.
Atas dasar itu, setelah menikah
Naya mengajak Brama pindah ke kota, dan mencari pekerjaan tetap disana. Apalagi
mereka punya modal latar belakang pendidikan yang mungkin saja bisa membantu
mereka mencari kerja. Suaminya adalah seorang sarjana komputer lulusan perguruan
tinggi di Yogyakarta. Sementara ia sendiri adalah salah seorang sarjana
pendidikan lulusan sekolah tinggi di Bandung. Setelah pindah, Brama diterima
disebuah bank konvensonal dan sekarang telah duduk sebagai manager, sebuah
posisi yang dengan cepat ia raih karena kinerjanya yang dinilai baik oleh
perusahaan. Sementara itu Naya sendiri mengajar di sebuah sekolah setelah lulus
tes pegawai negeri sipil tiga tahun silam. Hidup mereka tak ada yang kurang,
termasuk materi. Namun perihal Brama yang diramal juga akan mati muda seperti kerabatnya
yang lain, membuat hidup Naya seolah selalu diliputi rasa takut.
“Lihatlah Oom Imran, yang harus
ditinggal Tante Fera saat hendak melahirkan anak pertama mereka. Anak mereka
selamat, namun Tante Fera meninggal dunia akibat pendarahan yag hebat saat melahirkan
anaknya itu. Lalu Ina, istri kakak tiri Brama yang juga harus kehilangan
suaminya dua hari menjelang ulang tahun yang kedua anak mereka akibat yang sampai
sekarang tidak diketahui. Herdi, suami Indri meninggal setelah sebelumnya terlihat
bugar menonton pertandinagn sepakbola dilapangan. Dan masih banyak lagi anggota
keluarga besar beliau yang meninggal diusia muda. Apa kamu tidak takut?” tanya
Bik Baya, pemilik warung mi ikan yang hampir setiap sore ramai di kerubuti
orang-orang kampung untuk menikmati mi ikan buatannya yang kata orang rasanya
sangat khas itu.
“Bik Baya betul, Nay,” sambung
Tante Ima. “Dulu anak Tante juga sempat akan menikah dengan Fadli, anak bungsu
Pak Halim itu. Namun Tante tak merestuinya, takut anak tante nanti menjadi
janda pula. Tante tak mau itu terjadi dengan anak tante. Maka pernikahan itu
akhirnya dibatalkan, anak tante juga tampaknya juga mengerti. Ia lalu memilih
melanjutkan kuliah di Jakarta. Fadli pun menikah dengan perempuan lain, dan ia
meninggal saat kandungan istrinya menginjak usia tujuh bulan, hanya karena
tergelincir saat hendak memapah istrinya kekamar mandi. Istrinya tak apa-apa, bahkan
ia sudah menikah lagi sekarang dengan laki-laki lain.”
“Ah, kalian usah menakut-nakuti
Naya, biarkan saja ia memilih pasangan hidupnya,” sela yang lainnya lagi.
“Tapikan memang sepeti itu,
keturunan Pak Halim banyak yang mati
muda.”
“Mungkin tidak semuanya,
mudah-mudahan saja, biar Naya bahagia nantinya.”
Naya sempat galau oleh
cerita-cerita orang kampung kala itu. Ia sempat mengulangi beberapa kali sholat
malam, memohon pertolongan kepada Tuhan akan masalah yang saat itu ia hadapi.
Naya tak ingin salah langkah. Ia juga selalu berdoa agar apa yang ramai dibicarakan
orang-orang itu tak terjadi dengan Brama nanti, dan ia berharap Brama bisa
hidup dengannya sampai tua. Sekali lagi ia tak ingin kalau sampai-sampai
suaminya nanti mati muda. Naya tak mau menjadi janda muda!
“Sudahlah, tak usahlah kau
terlau risau akan masalah itu,” ujar
nenek Naya suatu ketika. “Jodoh, rejeki, dan juga kematian itu sepenuhnya di tangan
Allah, kita tak boleh mendahuluinya. Toh kalau memang Brama jodohmu, nenek
yakin pernikahanmu pasti akan berjalan sebagaimana mestinya, pun itu masalah
kematian Brama yang disebut-sebut juga bakal mati muda seperti saudara-saudaranya
yang lain. Semua itu sepenuhnya ditangan Allah.”
***
“Sudah menelpon dokter, Bik?”
tanya Naya saat tiba dirumah, dan segera menghampiri suaminya yang terbaring di
diatas sofa depan televisi.
“Belum, Nyonya, kata Tuan tidak
usah menelpon dokter.”
“Kenapa?”
“Tidak tahu, Nyonya, tuan cuma
bilang kalau ia cuma masuk angin biasa. Tuan menunggu Nyonya saja katanya, biar
bisa dipijat sama Nyonya.”
Naya langsung mengusap kening
sang suami yang sedikit berkeringat, kemudian menyibak rambutnya yang mulai
panjang. Ia mebalikkan telapak tangannya, dan menyentuk kening dengan tangannya
bagian belakang yang masih tersisa bekas coretan spidol. Sekali lagi rasa takut
itu terus mengahntui pikiran Naya, apalagi ketika jemari tangannya merasakan
rasa panas yang teramat sangat dari tubuh Brama. Dari tadi Brama juga terpejam
tanpa terjaga. Bik Yan bilang, Brama langsung terbaring diatas sofa itu saat
hendak masuk kedalam kamar, lantas tak sadarkan diri meskipun berulang kali Bik
Yan berusaha menyadarkannya dengan beragam cara. Asataga!Aku tak mau jadi janda
muda, pikir Naya berkali-kali.
Sebentar lagi, kira-kira dua
minggu lagi, usia pernikahan mereka akan menginjak angka lima tahun. Naya
gemetar mengingat itu, ia ingat beragam komentar orang-orang dikampungnya dulu
perhial usia pernikahan keturunan mendiang Pak Halim yang tak pernah sampai
usia lima tahun. Sementara sebentar lagi usia pernikahan mereka menginjak usia
lima tahun. Naya jadi serba salah. Ia bingung harus melakukan apa agar cerita
orang kampung itu tak terjadi dengan suaminya. Lantas ia menyuruh Bik Yan untuk
menghubungi dokter, meskipun suaminya
tak mengizinkan sebetulnya. Maklum, Brama paling takut dengan jarum suntik.
Namun Naya bersikeras melawan kehendak suaminya itu, ia akan melakukan apa saja
asal suaminya tak mati muda. Ia tak mau menjadi janda muda!
“Bagaimana? Dokternya ada?”
“Ada, Nyonya, lima belas menit
lagi dokter akan kesini.”
“Baguslah.”
***
Setelah sempat kembali dirawat
dirumah sakit selama dua hari, Brama kembali sehat seperti semula. Brama pun
sekarang sudah kembali masuk kantor seperti biasa. Begitupula dengan Naya, ia
kembali mengajar disekolah setelah tiga hari minta izin kepala sekolah untuk
merawat suaminya yang jatuh sakit. Naya senang bukan main, apalagi dokter yang
merawat suaminya bilang kalau tak ada penyakit serius yang diderita suaminya
itu. Suaminya sehat-sehat saja. Ia hanya sakit biasa, penyebabnya tak lain
karena kurang istirahat. Naya memaklumi kondisi ini. Suaminya terlalu lelap
dalam pekerjaan hingga terkadang lupa istirahat barang sejenak. Apalagi diakhir
bulan, satu mingggu akhir bulan biasanya ia pulang selalu larut malam.
Naya duduk santai dibalik meja kerjanya
saat jam istirahat tiba. Ia senyum-senyum sendiri karena senang suaminya yang
sudah sehat kembali. Namun jauh di dalam hati sebetulnya Naya masih takut kalau-kalau
suaminya kembail ambruk entah akibat apa. Celoteh orang-orang kampung
halamannya dulu seolah tak mau berangkat dari pikirannya saat ini, terus
gentayangan bagai hantu. Ia ingat betul celoteh salah seorang yang ia sendiri
tak tahu siapa, bila usia perkawinan keturunan Pak Halim sudah melewati angka
lima tahun, maka dapat dipastikan pasangan tersebut sudah melewati tahap aman.
Artinya kemungkinan suaminya meninggal dalam usia muda sudah kecil, bahkan
sudah tidak ada sama sekali. Akan tetapi masalahnya, usia pekawinan Naya dengan
Brama belum menginjak angka lima tahun, kurang beberapa jam lagi karena besok
adalah usia perkawinan mereka yang kelima. Ah, bagaimana kalau suaminya
tiba-tiba kembali jatuh sakit sebelum usia perkawinan mereka lima tahun, dan
kemudian suaminya itu meninggal? Naya berkeringat dingin saat membayangkan itu.
“Hallo?”
“Hallo, dengan Ibu Naya?”
“Saya sendiri. Ada yang bisa
saya bantu?”
“Ini Ayu, Bu, sekretaris Pak
Brama. Saya ingin memberitahu ibu,kalau Pak Brama sekarang berada di rumah
sakit, Bu. Bapak kembali jatuh saat hendak menuju ruang meeting, kepalanya berdarah setelah membentur anak tangga
berkali-kali.”
Suara Ayu, sekretaris suaminya
itu serupa suara Izrail saat memasuki kedalam ketilanga Naya, meminta izin
darinya untuk segera membawa suaminya pulang. Sementara jantungnya bagai beduk
yag ditabuh habis-habisan kala malam takbir menjelma, namun dengan irama yang
tak beraturan semestinya mengiringi suara takbir. Naya lantas bergegas, dan
membiarkan makanan yang baru saja hendak dilumatnya, beberapa potong roti dan
sosis yang semalam ia minta tolong Bik Yan singgah di sebuah supermarket
sepulang dari rumah sakit. Ia seolah membiarkan perutnya melompong setelah
hampir tiga hari tak menelan nasi. Ah, mungkin sifat pelupa ini akibat pil KB
yang selalu ia konsumsi untuk mengatur jarak kelahirannya, atau Naya sendiri
yang terlampau memikirkan nyawa suaminya sebelum usia pernikahannya mencapai
lima tahun, agar ia tak jadi janda muda.
Dengan cucuran keringat dingin
yang kian melumuri tubuhnya, dan membasahi seragam gurunya hingga tampak lusuh,
Naya meraih sepeda motornya yang terpakir disamping kantor guru. Ia lantas
memutar gas motor matik-nya itu kuat-kuat hingga terdengar surupa suara erangan
kesakitan yang ditahan, dan melesat keluar komplek sekolah. Sepanjang jalan,
Naya membayangkan kondisi kepala suaminya yang dilumuri darah segar, dalam kondisi
yang tak sadar pula. Dan, yang selalu senantiasa membayangi Naya adalah seorang
dokter yang keluar dari ruangan, dan kemudian memberi kabar kalau suaminya
tidak bisa diselamatkan. Aku akan jadi janda muda, batin Naya galau.
“Bapak ada di ruangan mana?” Naya
langsung bertanya kepada sekretaris suaminya dikantor saat tiba dirumah sakit.
“Diruang VVIP kamar nomor dua,
Bu.”
Setengah berlari, Naya langsung
melangkahkan kakinya menuju anak tangga yang menghubungkan lobi rumah sakit
yang terletak dilantai dasar dengan ruanan VVIP yang ada dilantai atas. Sementara
orang-orang yang ada dirumah sakit itu hanya bisa menatap perempuan berambut
sebahu itu dengan tatapan yang beragam, namun semuanya bermuara pada
kekhawatiran. Namun Naya tak peduli, yang ada dalam hatinya saat ini ada dua. Pertama,
ia tidak mau ditinggal suaminya mati muda. Dan yang kedua adalah akibat bila
yang pertama betul-betul terjadi, Naya tak mau menjadi janda muda.
***
Sebuah keranda diluarkan dari
ruangan jenazah, hendak dimasukan kedalam modil ambulance untuk kemudian dibawa
kerumah duka, tempat kediaman orang yang ada dalam keranda tersebut.
Segerombolan orang yang entah siapa dan hubungan apa dengan jenzah, terlihat
sesunggukan saat melihat jenazah didorong menggunakan bangsal beroda. Mereka
menangisi kepergian kerabatnya yang tak disangka-sangka, sebab beberapa hari
ini ia kelihatan bugar dan tampak sehat. Sementara itu Brama, setelah siuman
dari pingsannya kemarin, tampak mengiringi jenazah yang baru saja dimandikan
oleh pihak rumah sakit. Ia masih tak percaya jika istrinya akan meninggalkan ia
dan anak semata wayang mereka untuk
selamanya, setelah terpeleset saat hendak menuju lantai dua rumah sakit
kemarin. Naya terjatuh dari ketinggian lima meter karena kehilangan keseimbangan,
dan meninggal dunia akibat terbentur anak tangga berkali-kali hingga
menyebabkan kepalanya pecah, tepat diusia perkawinan mereka yang kelima (*)
Pangkalpinang, 24-25 April 2011