Jumat, 28 Desember 2012


MATI!!!

Oleh: Darwance

                Naya kembali resah. Suaminya, Brama, kembali sakit. Ini merupakan kali ketiga Brama jatuh sakit dibulan ini, tanpa sebab yang jelas. Dua minggu yang lalu Brama minta dipijat oleh Naya sepulang dari kantor, lantas malamnya Brama langsung menggigil. Dua hari kemudian Brama sembuh. Namun satu minggu berikutnya Brama kembali sakit setelah naik sepeda bersama anak semata wayangnya pagi-pagi sekali. Lalu hari ini, Brama kembali sakit lagi setelah makan siang di sebuah warung makan Padang tak jauh dari kantor tempatnya bekerja, lalu Brama pulang kerja lebih awal dari biasanya. Naya pun harus pulang lebih awal dari sekolahnya tempatnya mengajar setelah menerima kabar bahwa suaminya kembali sakit oleh Bik Yan, pembantu rumah tangga mereka. Naya bergegas pulang setelah sempat mengajar beberapa mata pelajaran. Sepanjang jalan pulang, terpikir olehnya cerita orang-orang kampung halamannya dulu perihal suaminya yang mempunyai garis keturunan mati usia muda. Takut bukan main Naya mengingat-ingat celetuk orang-orang itu, apalagi usia perkawinan mereka seminggu lagi baru akan meginjak usia lima tahun. Naya tak mau menjadi janda muda.
                Dua bulan yang lalu, Naya masih ingat suaminya yang tiba-tiba ambruk saat hendak berangkat kerja, kepalanya membentur pot kembang yang berjejer didepan diteras rumah hingga pot itu pecah. Naya langsung berteriak histeris saat mendapati suaminya yang sudah terkulai tak berdaya dengan darah yang berceceran dari kepala. Orang-orang disekitar rumah mereka lantas menghampirinya. Atas bantuan orang-orang tersebut, Brama lalu dibawa ke puskesmas yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah mereka. Namun pihak puskesmas mengaku tidak sanggup mengobati luka Brama yang sudah parah, hingga akhirnya mereka merujuk Brama kerumah sakit. Akan tetapi dokter dirumah sakit malah mengatakan bahwa benturan yang dialami Brama tidak serius. Darah yang keluar begitu banyak bukan akibat benturan terlalu keras,melainkan luka lecet yang melebar dikening Brama akibat tersayat pecahan pot kembang. Naya sempat putus asa kala itu, ia sudah pasrah akan nasib suaminya yang mungkin akan segera meninggal dunia.
                Selama mereka kawin, tak terhitung lagi rasanya berapa kali Brama jatuh sakit, dan tak terhitung pula sudah berapa kali ia keluar masuk puskesmas, rumah sakit, bahkan pengobatan aternatif sekalipun. Naya pun berlari kesana-sini meminta pertolongan bila suaminya itu sudah terjerembab dak berdaya. Anehnya, setelah diperiksa oleh ahli medis, Brama hanya masuk angin biasa saja, tak ada penyakit lain yang serius. Sakit jantung misalnya yang selama ini dirasakan Brama. Namun dokter penyakit dalam bahkan telah memeriksa Brama dengan sinar rontgen, namun jantungnya masih baik-baik saja. Detaknya masih teratur, begitu pula ukurannya yang masih normal. Selain jantung, organ vitalnya yang lain juga masih normal, seperti paru-paru, hati, dan lain sebagainya itu. Naya semakin bingung. Sebetulnya bukan masalah penyakit Brama yang tak jelas itu yang ditakutkan Naya, namun cerita orang-orang itu. Ia bergidik bila mengingat-ingat itu.
                Saat mendengar cerita orang-orang kampung itu, kontan saja kala itu Naya jadi tak karuan pikirnya. Ia jadi lemas manakala mengingat-ingat celoteh orang-orang kampung yang begitu menakutkan. Naya tentu tak mau jika itu benar-benar terjadi dengan suaminya nanti. Ia tentu tak mau pula menyandang gelar janda muda yang oleh banyak orang disebut-sebut hanya akan menganggu rumah tangga orang nantinya. Ia juga lebih lagi tak mau melihat suatu saat nanti anaknya memanggil-manggil ayahnya, bertanya macam-macam perihal ayahnya yang telah tiada, bila ia sudah besar nantinya. Namun kala itu ia sudah bulat, ia akan tetap melangsungkan pernikahannya dengan Brama, laki-laki yang sudah sembilan tahun lamanya menjalin kasih dengannya. Naya tetap yakin dengan pilihan hatinya itu. Ia bersikukuh dengan keyakinannya, bahwa kematian itu telah sepenuhnya diatur oleh Tuhan. Jadi tak perlulah manusia yang seolah mengatur itu semua, apalagi hendak menahan kematian. Itu tak akan ada faedahnya, pikir Naya.
                Akan tetapi, Naya tetap saja terngiang bila mengingat-ingat celoteh orang-orang dikampung dulu. Semua orang dikampung itu mengatakan demikian. Mereka selalu bilang kalau orang yang menikah dengan keluarga besar Pak Halim, mendiang kakek Brama, pastilah akan menjadi duda atau janda di usia muda. Usia pernikahan mereka tak lebih dari lima tahun. Setelah itu, pastilah istri atau suami dari anggota keluarga tersebut meninggal dunia dengan sebab yang beragam.
                Atas dasar itu, setelah menikah Naya mengajak Brama pindah ke kota, dan mencari pekerjaan tetap disana. Apalagi mereka punya modal latar belakang pendidikan yang mungkin saja bisa membantu mereka mencari kerja. Suaminya adalah seorang sarjana komputer lulusan perguruan tinggi di Yogyakarta. Sementara ia sendiri adalah salah seorang sarjana pendidikan lulusan sekolah tinggi di Bandung. Setelah pindah, Brama diterima disebuah bank konvensonal dan sekarang telah duduk sebagai manager, sebuah posisi yang dengan cepat ia raih karena kinerjanya yang dinilai baik oleh perusahaan. Sementara itu Naya sendiri mengajar di sebuah sekolah setelah lulus tes pegawai negeri sipil tiga tahun silam. Hidup mereka tak ada yang kurang, termasuk materi. Namun perihal Brama yang diramal juga akan mati muda seperti kerabatnya yang lain, membuat hidup Naya seolah selalu diliputi rasa takut.
                “Lihatlah Oom Imran, yang harus ditinggal Tante Fera saat hendak melahirkan anak pertama mereka. Anak mereka selamat, namun Tante Fera meninggal dunia akibat pendarahan yag hebat saat melahirkan anaknya itu. Lalu Ina, istri kakak tiri Brama yang juga harus kehilangan suaminya dua hari menjelang ulang tahun yang kedua anak mereka akibat yang sampai sekarang tidak diketahui. Herdi, suami Indri meninggal setelah sebelumnya terlihat bugar menonton pertandinagn sepakbola dilapangan. Dan masih banyak lagi anggota keluarga besar beliau yang meninggal diusia muda. Apa kamu tidak takut?” tanya Bik Baya, pemilik warung mi ikan yang hampir setiap sore ramai di kerubuti orang-orang kampung untuk menikmati mi ikan buatannya yang kata orang rasanya sangat khas itu.
                “Bik Baya betul, Nay,” sambung Tante Ima. “Dulu anak Tante juga sempat akan menikah dengan Fadli, anak bungsu Pak Halim itu. Namun Tante tak merestuinya, takut anak tante nanti menjadi janda pula. Tante tak mau itu terjadi dengan anak tante. Maka pernikahan itu akhirnya dibatalkan, anak tante juga tampaknya juga mengerti. Ia lalu memilih melanjutkan kuliah di Jakarta. Fadli pun menikah dengan perempuan lain, dan ia meninggal saat kandungan istrinya menginjak usia tujuh bulan, hanya karena tergelincir saat hendak memapah istrinya kekamar mandi. Istrinya tak apa-apa, bahkan ia sudah menikah lagi sekarang dengan laki-laki lain.”
                “Ah, kalian usah menakut-nakuti Naya, biarkan saja ia memilih pasangan hidupnya,” sela yang lainnya lagi.
                “Tapikan memang sepeti itu, keturunan Pak Halim banyak yang mati  muda.”
                “Mungkin tidak semuanya, mudah-mudahan saja, biar Naya bahagia nantinya.”
                Naya sempat galau oleh cerita-cerita orang kampung kala itu. Ia sempat mengulangi beberapa kali sholat malam, memohon pertolongan kepada Tuhan akan masalah yang saat itu ia hadapi. Naya tak ingin salah langkah. Ia juga selalu berdoa agar apa yang ramai dibicarakan orang-orang itu tak terjadi dengan Brama nanti, dan ia berharap Brama bisa hidup dengannya sampai tua. Sekali lagi ia tak ingin kalau sampai-sampai suaminya nanti mati muda. Naya tak mau menjadi janda muda!
                “Sudahlah, tak usahlah kau terlau risau  akan masalah itu,” ujar nenek Naya suatu ketika. “Jodoh, rejeki, dan juga kematian itu sepenuhnya di tangan Allah, kita tak boleh mendahuluinya. Toh kalau memang Brama jodohmu, nenek yakin pernikahanmu pasti akan berjalan sebagaimana mestinya, pun itu masalah kematian Brama yang disebut-sebut juga bakal mati muda seperti saudara-saudaranya yang lain. Semua itu sepenuhnya ditangan Allah.”
***
                “Sudah menelpon dokter, Bik?” tanya Naya saat tiba dirumah, dan segera menghampiri suaminya yang terbaring di diatas sofa depan televisi.
                “Belum, Nyonya, kata Tuan tidak usah menelpon dokter.”
                “Kenapa?”
                “Tidak tahu, Nyonya, tuan cuma bilang kalau ia cuma masuk angin biasa. Tuan menunggu Nyonya saja katanya, biar bisa dipijat sama Nyonya.”
                Naya langsung mengusap kening sang suami yang sedikit berkeringat, kemudian menyibak rambutnya yang mulai panjang. Ia mebalikkan telapak tangannya, dan menyentuk kening dengan tangannya bagian belakang yang masih tersisa bekas coretan spidol. Sekali lagi rasa takut itu terus mengahntui pikiran Naya, apalagi ketika jemari tangannya merasakan rasa panas yang teramat sangat dari tubuh Brama. Dari tadi Brama juga terpejam tanpa terjaga. Bik Yan bilang, Brama langsung terbaring diatas sofa itu saat hendak masuk kedalam kamar, lantas tak sadarkan diri meskipun berulang kali Bik Yan berusaha menyadarkannya dengan beragam cara. Asataga!Aku tak mau jadi janda muda, pikir Naya berkali-kali.
                Sebentar lagi, kira-kira dua minggu lagi, usia pernikahan mereka akan menginjak angka lima tahun. Naya gemetar mengingat itu, ia ingat beragam komentar orang-orang dikampungnya dulu perhial usia pernikahan keturunan mendiang Pak Halim yang tak pernah sampai usia lima tahun. Sementara sebentar lagi usia pernikahan mereka menginjak usia lima tahun. Naya jadi serba salah. Ia bingung harus melakukan apa agar cerita orang kampung itu tak terjadi dengan suaminya. Lantas ia menyuruh Bik Yan untuk menghubungi dokter,  meskipun suaminya tak mengizinkan sebetulnya. Maklum, Brama paling takut dengan jarum suntik. Namun Naya bersikeras melawan kehendak suaminya itu, ia akan melakukan apa saja asal suaminya tak mati muda. Ia tak mau menjadi janda muda!
                “Bagaimana? Dokternya ada?”
                “Ada, Nyonya, lima belas menit lagi dokter akan kesini.”
                “Baguslah.”
***
                Setelah sempat kembali dirawat dirumah sakit selama dua hari, Brama kembali sehat seperti semula. Brama pun sekarang sudah kembali masuk kantor seperti biasa. Begitupula dengan Naya, ia kembali mengajar disekolah setelah tiga hari minta izin kepala sekolah untuk merawat suaminya yang jatuh sakit. Naya senang bukan main, apalagi dokter yang merawat suaminya bilang kalau tak ada penyakit serius yang diderita suaminya itu. Suaminya sehat-sehat saja. Ia hanya sakit biasa, penyebabnya tak lain karena kurang istirahat. Naya memaklumi kondisi ini. Suaminya terlalu lelap dalam pekerjaan hingga terkadang lupa istirahat barang sejenak. Apalagi diakhir bulan, satu mingggu akhir bulan biasanya ia pulang selalu larut malam.
                Naya duduk santai dibalik meja kerjanya saat jam istirahat tiba. Ia senyum-senyum sendiri karena senang suaminya yang sudah sehat kembali. Namun jauh di dalam hati sebetulnya Naya masih takut kalau-kalau suaminya kembail ambruk entah akibat apa. Celoteh orang-orang kampung halamannya dulu seolah tak mau berangkat dari pikirannya saat ini, terus gentayangan bagai hantu. Ia ingat betul celoteh salah seorang yang ia sendiri tak tahu siapa, bila usia perkawinan keturunan Pak Halim sudah melewati angka lima tahun, maka dapat dipastikan pasangan tersebut sudah melewati tahap aman. Artinya kemungkinan suaminya meninggal dalam usia muda sudah kecil, bahkan sudah tidak ada sama sekali. Akan tetapi masalahnya, usia pekawinan Naya dengan Brama belum menginjak angka lima tahun, kurang beberapa jam lagi karena besok adalah usia perkawinan mereka yang kelima. Ah, bagaimana kalau suaminya tiba-tiba kembali jatuh sakit sebelum usia perkawinan mereka lima tahun, dan kemudian suaminya itu meninggal? Naya berkeringat dingin saat membayangkan itu.
                “Hallo?”
                “Hallo, dengan Ibu Naya?”
                “Saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?”
                “Ini Ayu, Bu, sekretaris Pak Brama. Saya ingin memberitahu ibu,kalau Pak Brama sekarang berada di rumah sakit, Bu. Bapak kembali jatuh saat hendak menuju ruang meeting, kepalanya berdarah setelah membentur anak tangga berkali-kali.”
                Suara Ayu, sekretaris suaminya itu serupa suara Izrail saat memasuki kedalam ketilanga Naya, meminta izin darinya untuk segera membawa suaminya pulang. Sementara jantungnya bagai beduk yag ditabuh habis-habisan kala malam takbir menjelma, namun dengan irama yang tak beraturan semestinya mengiringi suara takbir. Naya lantas bergegas, dan membiarkan makanan yang baru saja hendak dilumatnya, beberapa potong roti dan sosis yang semalam ia minta tolong Bik Yan singgah di sebuah supermarket sepulang dari rumah sakit. Ia seolah membiarkan perutnya melompong setelah hampir tiga hari tak menelan nasi. Ah, mungkin sifat pelupa ini akibat pil KB yang selalu ia konsumsi untuk mengatur jarak kelahirannya, atau Naya sendiri yang terlampau memikirkan nyawa suaminya sebelum usia pernikahannya mencapai lima tahun, agar ia tak jadi janda muda.
                Dengan cucuran keringat dingin yang kian melumuri tubuhnya, dan membasahi seragam gurunya hingga tampak lusuh, Naya meraih sepeda motornya yang terpakir disamping kantor guru. Ia lantas memutar gas motor matik-nya itu kuat-kuat hingga terdengar surupa suara erangan kesakitan yang ditahan, dan melesat keluar komplek sekolah. Sepanjang jalan, Naya membayangkan kondisi kepala suaminya yang dilumuri darah segar, dalam kondisi yang tak sadar pula. Dan, yang selalu senantiasa membayangi Naya adalah seorang dokter yang keluar dari ruangan, dan kemudian memberi kabar kalau suaminya tidak bisa diselamatkan. Aku akan jadi janda muda, batin Naya galau.
                “Bapak ada di ruangan mana?” Naya langsung bertanya kepada sekretaris suaminya dikantor saat tiba dirumah sakit.
                “Diruang VVIP kamar nomor dua, Bu.”
                Setengah berlari, Naya langsung melangkahkan kakinya menuju anak tangga yang menghubungkan lobi rumah sakit yang terletak dilantai dasar dengan ruanan VVIP yang ada dilantai atas. Sementara orang-orang yang ada dirumah sakit itu hanya bisa menatap perempuan berambut sebahu itu dengan tatapan yang beragam, namun semuanya bermuara pada kekhawatiran. Namun Naya tak peduli, yang ada dalam hatinya saat ini ada dua. Pertama, ia tidak mau ditinggal suaminya mati muda. Dan yang kedua adalah akibat bila yang pertama betul-betul terjadi, Naya tak mau menjadi janda muda.
***
                Sebuah keranda diluarkan dari ruangan jenazah, hendak dimasukan kedalam modil ambulance untuk kemudian dibawa kerumah duka, tempat kediaman orang yang ada dalam keranda tersebut. Segerombolan orang yang entah siapa dan hubungan apa dengan jenzah, terlihat sesunggukan saat melihat jenazah didorong menggunakan bangsal beroda. Mereka menangisi kepergian kerabatnya yang tak disangka-sangka, sebab beberapa hari ini ia kelihatan bugar dan tampak sehat. Sementara itu Brama, setelah siuman dari pingsannya kemarin, tampak mengiringi jenazah yang baru saja dimandikan oleh pihak rumah sakit. Ia masih tak percaya jika istrinya akan meninggalkan ia dan anak semata wayang  mereka untuk selamanya, setelah terpeleset saat hendak menuju lantai dua rumah sakit kemarin. Naya terjatuh dari ketinggian lima meter karena kehilangan keseimbangan, dan meninggal dunia akibat terbentur anak tangga berkali-kali hingga menyebabkan kepalanya pecah, tepat diusia perkawinan mereka yang kelima (*)
Pangkalpinang, 24-25 April 2011

Kamis, 27 Desember 2012

ALIYAH


ALIYAH
Oleh: Darwance
(Cerpen ini pernah di muat di Harian Pagi Bangka Pos - Kelompok Kompas Gramedia, Minggu, tanggal 08 Mei 2011, dengan format full page, pertama kali dalam sejarah Bangka Pos, TQ, Bangka Pos)

Hingga kini, aku tak paham apa yang sebetulnya membuat ayah begitu membenci ibu. Ayah begitu murka begitu aku bertanya-tanya perihal ibu kepadanya. Apalagi kalau sampai aku bercerita tentang ibu, sepulang aku menjumpai ibu yang sekarang hidup seorang diri di sebuah kontrakan sederhana di tepi sungai tengah kota ini. Ayah akan marah bila ia tahu aku baru saja menemui ibu, saat ayah tak ada dirumah. Ayah sangat melarang aku menemui ibu. Ayah bahkan mengancam akan memasungku bila aku tetap akan menemui ibu kelak. Sungguh aku tak mengerti dengan apa yang di perlihatkan ayah terhadapku selama ini. Padahal ayah sangat baik sepengetahuanku selama ini, ayah sering membawa makanan sepulang ia bekerja sore hari. Ayah juga tak lupa menitipkan bekal kepadaku saat aku ke sekolah, juga saat jam istirahat tiba ayah akan mengantarkan makanan kepadaku yang ia titipkan pada satpam sekolah. Namun, kenapa ayah begitu benci dengan ibu?
“Ayah benci ibumu!!!” kata ayah suatu saat, setelah aku hendak memulai ceritaku tentang keadaan ibu yang sangat memprihatinkan. Namun ayah tidak pernah melanjutkan kenapa ia bisa benci dengan ibu. Ayah selalu mengulangi kalimat itu, berkali-kali. Ayah tidak pernah mau melanjutkan kalimat itu, mengemukakan apa yang menjadi penyebab sehingga ia sangat benci ibu. Aku juga tak mau bertanya lebih jauh. Aku takut ayah akan tambah marah, hingga akhirnya aku tak diizinkannya lagi pergi kerumah Laura, teman sebayaku untuk bermain boneka. Lalu minta tolong Tante Lia, ibu Laura untuk mengantarkan aku kerumah ibu. Itulah jalan satu-satu yang bisa aku tempuh agar bisa bertemu dengan ibu. Ayah tidak pernah tahu akan hal ini. Ayah percaya kalau aku hanya bermain boneka dengan Laura.
“Ayah sehat?” tanya ibu suatu ketika kepadaku.
“Sehat, Bu, ayah baik-baik saja.”
“Baguslah kalau begitu.”
Hanya itulah yang ibu tanya tentang ayah, tak pernah lebih. Sebetulnya aku ingin tahu lebih jauh perihal ibu yang sekarang tidak serumah lagi dengan ayah, perihal ibu yang hanya bertanya tentang kondisi ayah. Tapi aku takut, aku takut ibu akan tersinggung, atau barang kali ibu akan malu sebab aku masih terlalu kecil untuk tahu masalah orang dewasa. Sama halnya seperti ayah, ibu juga tak terlalu mau mendengar cerita aku tentang ayah, meskipun ibu tidak pernah marah-marah seperti ayah. Ia hanya mengangguk pelan mendengar ceritaku tentang ayah, mengiyakan dan tak pernah bertanya macam-macam. Lalu biasanya ibu selalu mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan tentang sekolahku, tentang Tante Lia yang dulu menjadi teman akrab ibu saat masih sama-sama dengan ayah. Padahal Tante Lia juga ikut aku kerumah ibu, meskipun ia hanya berada diteras rumah sampai aku keluar dari dalam kontrakan ibu, sambil mengamati aku dengan muka cemas. Ia juga akan pulang saat aku pulang, dan hanya tersenyum membalas senyum ibu dari balik jendela kontrakan berdidinng setengah papan itu.
“Tante, Aliyah boleh tanya sesuatu tidak dengan Tante?”
“Aliyah mau tanya apa?”
“Tapi Tante janji ya tidak bilang-bilang sama ibu, apalagi kalau sama ayah. Tante janji, ya?” pintaku kepada Tante Lia saat ia menemaniku pulang dari rumah ibu. Tante Lia hanya bisa mendengus biasanya bila aku bertanya semacam ini. Ia tak hendak menjawab, namun tak hendak pula menolak permintaanku. Tante Lia biasanya langsung menanyakan balik apa yang hendak aku tanyakan kepadanya. Namun dari mimik wajah yang aku lihat, aku tahu sebetulnya Tante Lia agak keberatan menuruti permintaanku itu. Aku tak tahu pula apa yang membuat Tante Lia begitu seperti orang yang menghindar bila aku  menyodorkan pertanyaan ini berulang-ulang kepadanya.
“Memangnya Aliyah mau tanya apa sampai-sampai ibu dan ayah Aliyah sendiri tidak boleh tahu? Masih kecil kok sudah main rahasia,” jawab Tante Lai sambil tersenyum yang dibuat-buat. Dengan cekatan ia memapahku menyeberangi jembatan kayu yang menghubungkan daratan sebelah dengan daratan sebelahnya lagi, daratan kontrakan ibu. Laura biasanya langsung menyambut kami dengan sepasang boneka Popeye dan Olive, lalu memberikan salah satu kepadaku untuk selanjutkan kami main besama-sama. Laura pulalah biasanya yang memberi isyarat perihal ayah. Ia akan melambai-lambaikan tangannya biala ayah belum pulang bekerja, dan meletakkan jemari telunjuknya diujung bibirnya yang agak ia sunggingkan bila ayah sudah tiba, dan duduk didepan rumah.
“Oom Arman sudah pulang belum?” tanya Tante Lia kepada Laura seraya melepaskan pegangan ditanganku.
“Sudah, Bu, tapi tadi langsung keluar lagi. Mungkin ke toko seberang.”
“Ia menanyakan Aliyah?”
“Tidak, Bu. Oom Arman cuma senyum-senyum, dan berlalu begitu saja.”
“Baguslah” lanjut Tante Lia kemudian berlalu, membiarkan aku bermain boneka dengan Laura, anaknya. Hanya itu yang Tante Lia katakan. Ia tak pernah mau bertanya-tanya lagi pertanyaan apa yang hendak aku tanyakan dengannya. Sepertinya ia sudah tahu hal apa yang akan aku tanyakan, maka ia lebih baik menghindar dari pertanyaan itu. Sebetulnya aku maklum dengan Tante Lia yang tampak serba salah saat aku ingin bertanya dengannya, mungkin saja ia tak mau dibilang terlalu ikut campur urusan rumah tangga ayah dan ibu. Namun aku menyimpan sedikit curiga kenapa Tante Lia seperti orang yang ketakutan. Ia langsung cepat-cepat masuk kerumah, dan sesekali  melihat-lihat kami dari celah jendela yang masih terbuka. Terkadang Tante Lia menoleh kami sebelum masuk kerumah, membalikkan tubuhnya sejenak sambil melemparkan sedikit senyuman, lalu berlalu. Mungkin saja Tante Lia tak tahu menahu akar persoalan ayah yang berpisah dengan ibu. Namun kenapa ia menghindar? Apa payahnya menjawab ia tak tahu perihal ayah yang berpisah dengan ibu?
Setelah itu, biasanya aku tak banyak bertanya-tanya lagi. Aku hanya sibuk bermain dengan Laura, sebelum akhirnya pulang kerumah setelah mendengar suara parau ayah memanggil-manggil namaku berkali-kali. Laura pun mengerti akan hal itu, ia mengerti keadaanku saat ini. Maka dengan segera Laura langsung menyuruhku pulang, sebelum suara ayah kembali terdengar, lebih keras dari semula. Sikap Laura yang demikian kadang membuatku heran. Ia masih kecil sebetulnya, umurnya belum menginjak angka sepuluh, sama seperti umurku. Hanya bertaut beberapa bulan saja lebih tua dariku. Namun Laura tampak jauh lebih dewasa umurnya. Ia mengerti persoalan orang dewasa, tidak seperti aku yang seolah masih berada dalam lingkaran siluet yang tak terang memandang alam sekitar.
“Ayahmu sudah memanggil, sebaiknya kamu pulang saja sebelum ayahmu memanggil namamu untuk yang kesekian kalinya. Besok kita main lagi,” rayu Laura dipenghujung pertemuan kami sore ini. Aku tersenyum membalas permintaan Laura, dan ia menyaksikan langkahku yang bergegas menuju rumah menemui ayah.
Sebelum beranjak pulang, biasanya aku meminta Laura untuk merapikan letak rambutku dengan sebilah sisir yang sengaja aku bawa dari rumah, dan membersihkan dekil tubuhku akibat percikan pasir bercampur debu yang melekat. Dengan tulus Laura langsung menuruti permintaanku. Ia merapikan rambutku dengan lembut, dan mengusap-usap kulit wajahku dengan kedua telapak tangannya yang mungil. Semua ini aku lakukan agar ayah tak marah melihatku yang seolah tak terawat, kusam tak karuan. Ayah akan marah bila aku pulang dengan rambut yang acak-acak bercampur tumpukan debu, dan daki yang hampir melekat rata disekujur tubuhku. Ayah tak mau nanti ia dibilang orang-orang tak bisa merawatnya. Lalu orang-orang akan bilang lebih baik menyerahkan aku kepada ibu saja, biar aku diurus sebagaimana anak-anak yang lain.
“Aliyah sudah belajar belum?” tanya ayah sebelum aku mandi.
“Belum, ayah, nanti habis maghrib aku akan belajar. Aku janji, Ayah,” sahutku sedikit agak gemetar, takut ayah akan marah. Namun aku tak melihat ayah akan marah, ayah hanya tersenyum melihatku yang seolah seperti tawanan perang yang akan diinterogasi dalam tahanan. Aku senang kalau melihat ayah tersenyum. Hatiku terasa sejuk bila senyum ayah mengembang dari wajahnya yang tampan, hingga lesung pipitnya tercipta seketika. Ayah laki-laki yang tampan menurutku. Hidungnya sangat mancung untuk ukuran laki-laki Indonesia kebanyakan. Matanya juga agak sipit, namun tak sesipit orang-orang yang setiap hari minggu aku lihat keluar masuk kelenteng saat aku diajak kepasar oleh Tante Lia. Kulit ayah tidak terlalu putih, namun bersih. Rambut ayah juga rapi, dan kumisnya selalu ia cukur setiap minggu, sebelum sholat Jum’at. Aku kadang menyesal kenapa aku tidak memiliki apa yang dimiliki ayah, hidung yang mancung misalkan.
“Ya sudah, Aliyah mandi daja dulu. Jangan lupa sholat, mengaji, setelah itu belajar.”
“Baiklah, ayah.”
Saat seperti inilah, saat aku melihat ayah begitu baiknya, ingin rasanya aku menanyakan perihal ayah dan ibu kembali. Namun aku takut ayah kembali marah, lantas mencak-mencak tak karuan seperti malam-malam sebelumnya. Aku tak mau menyakiti ayah. Aku tak mau senyum ayah menghilang, berganti dengan kerutan keras dikening dan rahangnya yang membatu akibat menahan marah. Aku sayang dengan ayah. Namun aku juga sangat menyayangi ibu. Ibu juga baik. Ibu selalu membelai rambutku saat aku menemuinya, dan ibu akan menyuapiku makan bila ada makanan yang hendak ia berikan. Ibu juga tak lupa berpesan agar aku menjaga ayah. Aku menyayangi mereka. Aku ingin melihat mereka berdua ada dirumah ini. Aku ingin ayah dan ibu selalu berbagi setiap hari, dan menikmati kebahagiaan itu bersama-saam dibawah atap rumah ayah.
Selesai mandi, aku langsung menunaikan perintah ayah, sholat maghrib, mengaji dan kemudian belajar. Terkadang aku juga ingat ibu saat ayah mengajariku membaca Al-Quran, dan mengajari aku berhitung. Aku ingat ibu karena aku kasihan melihat ayah yang mengerjakan ini semua seorang diri. Dari pagi ayah harus mengantarkan aku ke sekolah, lalu balik lagi kerumah menyiapkan makan siang untukku bila aku pulang sekolah, baru kemudian ayah pergi bekerja menjadi sopir di toko bangunan Abah Aliong di pasar. Siangnya lagi ayah harus menjemputku pulang sekolah, atau kalau ayah tidak sempat maka Tante Lia yang menjadi pengganti ayah. Pulang berkeja, ayah harus kembali memasak untuk makan malam, lalu mengajariku membaca al-Quran dan belajar berhitung. Jika ada ibu, mungkin ayah tidak akan seletih ini. Ayah bisa langsung istirahat sepulang kerja. Semuanya sudah dikerjakan oleh ibu, termasuk menyediakan makanan dan mengajariku membaca al-Quran dan belajar berhitung.
“Aliyah ingin berhenti sekolah saja, ayah,” kataku pada ayah saat melihat ayah terbaring letih diatas kasur tipis kamar rumah. Ayah langsung menolehku seketika dengan matanya yang tajam. Aku langsung menunduk melihat ayah demikian. Aku takut ayah akan marah, dan ayah pasti memang akan marah.
“Mengapa Aliyah mau berhenti sekolah?” tanya ayah setengah tak percaya.
“Aliyah ingin membantu ayah, Aliyah ingin menjadi ibu. Aliyah ingin menyiapkan makanan untuk ayah bila ayah pulang berkerja.”
Sempat aku melihat raut muka ayah yang seketika berubah, seolah mendengar warta buruk yang hendak menghujam jantungya perlahan. Ayah seolah tak  menyangka jika aku akan mengatakan hal demikian padanya, sebab selama ini ayah tahu jika aku tak pernah bertanya macam-macam lagi. Ayah tahu jika aku tak pernah lagi berkehendak berbagai rupa terkecuali menemani ayah dirumah ini. Aku menunduk mendengar dengusan nafas Ayah yang semakin mengencang. Aku takut bertatap dengan ayah. Aku takut melihat muka ayah yang tiba-tiba kejang serupa batu yang dijilat matahari siang, terasa panas dan begitu mengerikan. Aku mendengar helaan nafas ayah yang berpacu dengan detak jantung yang sulit ia kendalikan, dan ayah berusaha untuk meredamnya.
“Maksudnya, Aliyah ingin menjadi seorang pembunuh?”
Aku terperangah mendengar jawaban dari ayah. Sungguh aku tak paham apa yang baru saja ayah haturkan kepadaku. Lamat-lamat aku memberanikan diri menatap muka ayah yang menatap jauh keluar rumah melalui pintu yang masih terbuka. Ayah tampak salah tingkah. Ia mencoba menyembunyikan kegundahan hati yang sekejab menyeruap masuk kedalam hati ayah. Sebulir keringat dingin ayah menetes diatas lantai yang berbalut tikar plastik bermotif kembang-kembang warna merah yang sudah mulai robek, bercampur dengan butiran pasir yang pagi ini belum sempat aku sapu. Jantungku berdegup tak menentu lantaran mendengar kata-kata ayah yang masih sulit aku terjemahkan artinya.
“Maksud ayah?” desakku menagih jawab ayah.
Muka ayah terlihat masam saat aku mengajukan pertanyakan itu berkali-kali, akan tetapi berkali-kali itu pula ayah hanya diam melempam. Aku terus mendesak ayah. Aku tak takut lagi  jika ayah akan marah atas tindakku yang mungkin terkesan tidak sopan berlaku terhadap seorang ayah. Namun aku adalah anak ayah, yang bukan hanya hidup sekenanya bak air yang mengalir mengikuti lekuk bumi. Aku ingin mengalir seperti air, namun aku juga punya hak untuk tahu kemana hendak aku dibawa. Hal apa yang yang telah aku lewati selama ini, maka aku pun berhak untuk mengetahui perihal itu semua. Namun sekali lagi, ayah masih diam. Aku kecewa dengan sikap ayah. Maka dengan lantas aku langsung berlari keluar rumah, bermaksud menemui Tante Lia yang selama ini selalu menjadi sandaran saat sedang sedih. Saat aku membutuhkan belai kasih seorang ibu. Tante Lia selalu setia mendengar saat aku mulai bercerita, kecuali tentang ayah dan ibu.
Aku terus berlari seraya menahan kecewa yang membumbung karena ayah, serta membawa perkataan ayah yang masih saja berkelebat hebat dalam pikiranku. Sambil sedikit menunduk, pelan-pelan aku menginjakkan kedua kaki diteras rumah Tante Lia yang hanya berjarak satu rumah dari rumah kami. Namun langkah kakiku berhenti saat samar-samar aku mendengar celoteh Laura yang sedang mendera ibunya dengan sederet pertanyaan yang membuat aku terperangah. Aku mendengarnya melalui pintu tengah yang memang terbuka, sementara Tante Lia ada diruang tengah bersama Laura yang sesekali terdengar mengisak karena sesak nafas beberapa hari ini. Melalui gorden yang sedikit tersibak, aku melihat Laura yang berbaring diatas pangkuan Tante Lia, sambil memegang sepasang boneka yang selalu diberikan kepadaku saat kami bermain ditepi sungai.
 “Ibu juga tak terlalu paham sebetulnya akan masalah ini. Saat itu ibu akan mengantarkan kolak labu kerumah orangtua Aliyah, sepulang kita dari hajatan dirumah nenek waktu itu. Laura masih kecil saat itu, Aliyah juga. Saat itu Laura baru bisa merangkak, sementara Aliyah masih digendong oleh ibunya. Umurnya kurang lebih tiga atau empat bulan. Ia anak yang lucu saat itu,hidungnya yang mancung meskipun tak terlalu mancung seperti hidung ayahnya, membuat orang-orang disini suka dengan Aliyah, ditambah kulitnya yang putih mulus seperti sang ibu. Ibu juga sangat suka dengan Aliyah kala itu, hingga hampir setiap hari ibu menyambangi Aliyah dan membiarkan kalian bermain berdua saat kalian sudah bisa bermain sendiri. Namun entah apa  musababnya, tiba-tiba ibu mendengar suara Tante Sulis meraung-raung tak jelas, dan suara parau Oom Arman yang berusaha menenangkan Tante Sulis. Ibu penasaran, lantas bergegas ibu masuk. Alangkah terkejutnya ketika ibu melihat Tante Sulis yang akan melemparkan tubuh mungil Aliyah kedalam sungai yang dalam melaui jendela. Ibu sangat ketakutan sekali. Ibu berusaha membantu Oom Arman yang sudah seperti orang kehilangan akal melihat Tante Sulis yang sudah seperti orang gila. Oom Arman marah sekali dengan Tante Sulis. Lalu ibu berusaha menenangkan Tante Sulis yang sudah tak terkontrol lagi kondisinya. Tante Sulis masih belum bisa menerima kehadiran Aliyah yang tak dikehendakinya.”
Jantungku berdegup kencang mendengar penjelasan Tante Lia, ingin aku menjerit sekencang-kencangnya saat itu pula. Namun aku berusaha kuat, dan berjanji tidak akan menjadi anak yang lemah. Mungkin ini adalah saat-saat aku harus tahu apa yang sebetulnya terjadi selama ini. Sesungggukan aku masih berusaha mendengar perbincangan Tante Lia denga Laura saksama, tanpa mau beranjak barang sedikitpun.
“Maksud ibu?”
“Aliyah sebetulnya bukanlah anak Oom Arman. Ia adalah anak laki-laki yang sekarang tidak tahu dimana keberadaannya. Laki-laki itu hilang begitu saja saat tahu Tante Lia mengandung anak hasil perbuatannya. Ia kabur. Ia meninggalkan Tante Sulis begitu saja tanpa daya. Orang-orang berusaha mencari dimana laki-laki itu, namun usaha itu tak membuahkan hasil. Orangtua Tante Sulis yang tak lain tokoh agama terkemuka didaerah  kampung itu merasa namanya telah tercoreng. Mereka kehabisan akal untuk mengatasi masalah ini, kecuali membiarkan kandungan Tante Sulis yang mulai membesar. Maka Oom Arman datang kerumah orangtua Tante Sulis pada suatu malam, tanpa sepengetahuan siapapun. Oom Arman bersedia mengaku kalau itu adalah hasil perbuatannya. Ia mau bertanggung jawab meskipun orang-oang tahu kalau Oom Arman bukanlah laki-laki yang mereka maksud selama ini. Oom Arman ikhlas melakukan ini untuk menyelamatkan reputasi keluarga Tante Sulis.”
“Lantas kenapa Aliyah tak boleh tahu masalah ini, Bu?” tanya Laura lagi.
“Mungkin Aliyah masih terlampau kecil untuk tahu masalah ini. Lagipula ini adalah syarat yang dulu Oom Arman minta kepada keluarga Tante Sulis, yakni agar suatu saat nanti, bila anak yang dikandung Tante Sulis lahir, tak seorang pun yang akan memberitahu anak itu perihal kalau ia bukanlah anak Oom Arman. Oom Arman ingin anak itu hidup sebagaimana anak-anak lain semestinya. Namun keadaan rupanya tidak demikian. Tante Sulis tetap nekad akan membunuh Aliyah jika ia nanti lahir. Bukan main marahnya Oom Arman. Ia bersumpah tidak akan memberikan Aliyah kepada ibunya lagi, meskipun ia tahu Aliyah bukanlah darah dagingnya. Oom Arman sangat menyayangi Aliyah. Itu sebabnya ia tidak mengizinkan Aliyah bertemu Tante Sulis, Oom Arman takut kalau-kalau Tane Sulis akan kembali membunuh Aliyah lagi. Namun ibu tidak sampai hati melihat Aliyah bertanya-taya tentang ibunya, maka dengan pengawasan yang selalu ibu lakukan, ibu selalu mengantar Aliyah untuk bertemu ibunya. Ibu juga takut tiba-tiba Tante Sulis kembali seperti dulu, ingin membunuh Aliyah.”
Aku langsung bertekuk bersandar didinding rumah Tante Lia yang semerbak oleh wangi bunga melati. Tak terasa, bulir air mata meleleh dikedua sisi mataku yang sedari tadi berusaha aku tahan. Namun aku luluh juga rupanya. Air mata itu terlalu kuat untuk aku lawan. Ia sudah sewajarnya tumpah, mengiringi kesedihan hati yang tak kusangka-sangka bisa mengampiri hidupku, setelah bertahun-tahun lamanya. Sekejap pula aku teringat wajah ibu yang selama ini selalu aku jumpai dirumah kontrakannya yangs sederhana. Orang yang selama ini selalu aku bela dihadapan ayah yang sedang marah. Namun wajah itu tiba-tiba berubah serupa lanun yang siap membajak sebentuk bahtera yang melintas dihadapnya. Ibu sangat menakutkan bagiku sekarang. Aku ingat ayah. Aku ingat wajah ayah yang sempat aku umpat sebelum aku melangkah kerumah Tante Lia beberapa jam yang lalu. Aku  merindukan ayah, aku menyayangi ayah. Namun, aku juga menyayangi ibu.

Desa Pasirputih, 21-22 April 2011

Rabu, 26 Desember 2012

PENTINGNYA PERANAN PEMUDA
Oleh : Darwance
Legal Officer Bank

(dimuat di Harian Pagi Bangka Pos - Kelompok Kompas Gramedia, tanggal 28 Oktober 2011)

DISADARI atau tidak, pemuda sejatinya memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam akselerasi pembangunan termasuk pula dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemuda merupakan aktor dalam pembangunan.

Peran penting pemuda telah tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang dimulai dari pergerakan Budi Utomo tahun 1908, Sumpah Pemuda tahun 1928, proklamasi kemerdekaan tahun 1945, pergerakan pemuda, pelajar, dan mahasiswa tahun 1966, sampai dengan pergerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang meruntuhkan kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun sekaligus membawa bangsa Indonesia memasuki masa reformasi. Fakta historis ini menjadi salah satu bukti bahwa pemuda selama ini mampu berperan aktif sebagai pionir dalam proses perjuangan, pembaruan, dan pembangunan bangsa.

Dalam proses pembangunan bangsa, pemuda merupakan kekuatan moral, kontrol sosial, dan agen perubahan sebagai perwujudan dari fungsi, peran, karakteristik, dan kedudukannya yang strategis dalam pembangunan nasional. Untuk itu, tanggung jawab dan peran strategis pemuda di segala dimensi pembangunan perlu ditingkatkan dalam kerangka hukum nasional sesuai dengan nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan, kebangsaan, kebhinekaan, demokratis, keadilan, partisipatif, kebersamaan, kesetaraan, dan kemandirian.

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Pemuda, disebutkan bahwa pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 sampai 30 tahun. Pembangunan kepemudaan adalah proses memfasilitasi segala hal yang berkaitan dengan kepemudaan yang bertujuan untuk terwujudnya pemuda yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis, bertanggungjawab, berdaya saing, serta memiliki jiwa kepemimpinan, kewirausahaan, kepeloporan, dan kebangsaan berdasarkan Pancasila dan UUD 45 dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemuda berperan aktif sebagai kekuatan moral, kontrol sosial, dan agen perubahan dalam segala aspek pembangunan nasional. Peran aktif pemuda sebagai kekuatan moral diwujudkan dengan menumbuhkembangkan aspek etik dan moralitas dalam bertindak pada setiap dimensi kehidupan kepemudaan, memperkuat iman dan takwa serta ketahanan mental-spiritual, dan meningkatkan kesadaran hukum. Sebagai kontrol sosial diwujudkan dengan memperkuat wawasan kebangsaan, membangkitkan kesadaran atas tanggungjawab, hak, dan kewajiban sebagai warga negara, membangkitkan sikap kritis terhadap lingkungan dan penegakan hukum, meningkatkan partisipasi dalam perumusan kebijakan publik, menjamin transparansi dan akuntabilitas publik, dan memberikan kemudahan akses informasi. 

Sebagai agen perubahan diwujudkan dengan mengembangkan pendidikan politik dan demokratisasi, sumberdaya ekonomi, kepedulian terhadap masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi, olahraga, seni, dan budaya, kepedulian terhadap lingkungan hidup, pendidikan kewirausahaan, serta kepemimpinan dan kepeloporan pemuda.

Problematika Pemuda
Problematika pemuda yang terbentang di hadapan kita sekarang sangatlah kompleks, mulai dari masalah pengangguran, krisis eksistensi, krisis mental hingga masalah dekadensi moral. Budaya permisif dan pragmatisme yang kian merebak membuat sebagian pemuda terjebak dalam kehidupan serba instant, hedonis, dan terlepas dari idealisme sehingga cenderung menjadi manusia yang anti sosial. 

Bila sudah demikian, apakah masih relevan pemuda dikatakan sebagai agen perubahan di masa saat ini? Hanya pemudalah yang mampu menjawab pertanyaan ini, yakni melalui konstribusi positif pemuda yang dibuktikan dengan semangat yang tinggi dalam proses pembangunan di segala dimensi.

Adapun masalah lain yang turut menjadi pemicu terancamnya posisi pemuda adalah lemahnya pengawasan orang tua, keluarga, serta orang terdekat termasuk pula lemahnya pemahaman pemuda terhadap agama, melanggar tatanan hukum yang berlaku, dan lain sebagainya mengakibatkan pemuda banyak terjerumus dalam pusaran pergaulan yang mengantarkan pemuda pada titik kehancuran. Fakta yang ada sekarang menjadi bukti hal tersebut, misalnya dari beberapa hasil penelitian mengemukakan bahwa seks bebas, penyalahgunaan narkoba, justru lebih banyak dilakukan oleh pemuda. Hal ini menjadi tugas bersama berbagai elemen guna menyelamatkan pemuda, sekaligus menyelamatkan bangsa dari krisis kepemudaan yang berprestasi.

Oleh karena itu, masalah kepemudaan telah menjadi isu sekaligus problematika global karena menyentuh tataran nilai sosial dan budaya masyarakat hampir di seluruh belahan bumi ini. Masalah kepemudaan pun telah berkembang sebagai wacana global dalam kurun waktu lebih dari satu dekade terakhir, dibuktikan dengan masalah kepemudaan yang menempati posisi strategis dalam berbagai agenda pertemuan berskala bilateral, regional dan multilateral. 

Negara-negara di dunia seolah benar-benar merasakan bahwa pemuda merupakan komunitas strategis yang apabila tidak dijaga dan dikembangkan potensinya akan mengancam proses regenerasi pembangunan berbangsa dan bernegara.

Pemuda sebagai agen perubahan tidak akan mampu melakukan perubahan yang signifikan bila tidak didukung dengan sebuah sistem atau perangkat-perangkat pendukung. Untuk itu pemerintah pun telah menerbitkan seperangkat aturan yang khusus mengatur masalah kepemudaan, yakni Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan. Undang-undang tersebut berorientasi pada pelayanan kepemudaan untuk mewujudkan pemuda Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki akhlak mulia, sehat, cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis, bertanggungjawab, dan berdaya saing.

Seperangkat aturan saja tidaklah cukup untuk melindungi pemuda dari berbagai kemungkinan terburuk, tanpa didukung oleh peran pemerintah, masyarakat, swasta, dan lain sebagainya dalam implementasi seperangkat regulasi. Untuk itu harus dicari solusi agar proses pengembangan potensi pemuda bukan hanya terbentuk dalam rencana semata, melainkan direalisai melalui mekanisme yang sudah diatur sedemikian rupa. Salah satunya adalah organisai yang memang merupakan salah satu wadah untuk mengembangkan potensi yang dimiliki pemuda, sebab organisasi merupakan sarana paling efektif untuk menginisiasi dan melakukan perubahan tersebut.***

SEJARAH BANGKA SELATAN DAN KOTA TOBOALI


















Mengingat pentingnya arti sejarah,dalam rangka mengenali sejarah Dinas Parawisata Kebudayaan Pemuda Dan Olaraga Kabupaten Bangka Selatan secara umum dan khususnya kota Toboali,setelah menelaah cerita-cerita (kelakaran) turun temurun dan peninggalan-peninggalan sejarah diperkirakan Sejarah Asal Kota Toboali tersebut sebagaimana Naskah yang disusun dan disampaikan pada Dialog Lawatan Budaya Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka Selatan 2011 ,dengan narasumber yang berasal dari Tokoh-Tokoh Masyarakat Bangka Selatan.
Konon menurut cerita,salah satu daerah yang tersisa dan merupakan awal mula berdirinya Kota Toboali,terletak di Kelekak Toboali/Kuburan Keramat (Kelekak Kramat Baher) kurang lebih 5km kearah selatan kota toboali karena disebelah Timur terdapat lokasi perkampungan tua yakni kampong Tegag dan sebelah barat ada Dusun BAHAR (BAGGER-Bahasa Belanda). Yang menjadi pusat keramaian saat itu. Pada kisaran abad 17 pertengahan Wilayah Selatan Pulau Bangka ini merupakan daerah persinggahan para pedagang.
Berdasarkan fakta sejarah diketahui bahwa timah pertama kali ditemukan pertama kali pada tahun 1709 pada penggalian di sungai Olin Kecamatan Toboali. Oleh orang-orang dari johor kemudian pada tahun 2 Juli 1722 Belanda memperoleh hak istimewa untuk menguasai perdagangan dari Kerajaan Palembang Darusallam secara monopoli. (Kristanto Januardi Bengteng Toboali, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi).
Konon menurut cerita masyarakat secara turun temurun sebagai wilayah perdagangan, Wilayah ini merupakan tempat yang ramai dan tak terhindar dari kejahatan. Banyakna para perompak atau di sebut juga dengan “Lanun”, di wilayah ini kemudian dilaporkan ke Kerajaan Sriwijaya, masa Pemerintahan Sultan Baharuddin I pada masa itu. Maka Sultan kemudian memengirimkan pasukan untuk mengamankan daerah laut Pulau Bangka dipimpin oleh Raden Ali. Pasukan ini pun membuat Benteng Pertahanan di Daerah Bahar sebagai Lokasi strategis yang dekat dengan laut. Salah satu pasukan Raden Ali adalah seorang Tukang baju/Pejahit keturunan Tionghoa, Lie Saw Mie yang memiliki keahlian berbahasa daerah, sehingga menjadi intelejen yang munyusup di antara para pedagang untuk mendapatkan informasi. Dan Raden Ali beserta pasukannya pun membuat benteng pertahanan di sekitar Daerah Kelekak Toboali. Pada suatu malam, ketika ada angin kencang yang melanda daerah ini, ada beberapa palaut yang kemudian berteriak kearah daratan dan di dengar oleh Raden Ali.
“Hoiiiiiiiiiii… ini dimana?”
Raden Ali yang saat itu mendengar panggilan tidak memperdulikan dan di karenakan jarak yang jauh dan sayup-sayup yang terdengar “siapa disana”. Tapi karena dilakukan berulang-ulang akhirnya dijawab juga dengan teriakan oleh Raden Ali.
“Tobo Ali” (Tobo Berarti saya dalam dialeg bahasa Palembang)
Jawaban ini pun terdengar menjadi gabungan satu kata yaitu Toboali. Setelah angin reda pada pedagang pun kembali melanjutkan perjalanan. Yang kemudian lambat laut derah yang menjadi singgahnya pada pedagang itu dikenal dengan sebutan Toboali. Demikianlah asal muasal nama kota Toboali di kenal.
Dikelekak Toboali sendiri pada saat ini masih ada tanah yang digali yang di perkirakan sebagai parit sebagai benteng pertahanan, menurut cerita ukurannya adalah sebagai berikut : Panjang 100m x 100m x 1m dan dalamnya 4meter dan di sekitar tempat tersebut masih terdapat Kuburan-kuburan terpelihara baik diantaranya :
1.    Kubur Raden
2.    Kubur Raden Ayu
3.    Dan antara kubur Raden Wahab dan Raden Ayu terdapat dua kuburan yaitu diantaranya kuburan Panglima Ali
Tempat inilah yang merupakan tempat tertua yang merupakan asal muasal Kota Toboali, adapun versi cerita asal usul nama kota Toboali lainnya adalah sebagai berikut :
1.    Sebagian orang mengatakan/menceritakan bahwa pada tempat tersebut terdapat kebun Temu milik Ali dan orang menyebut daerah itu “Tebu Ali”. Tiap kali bila orang bertanya dijawab dengan jawaban yaitu “Tebu Ali”.
2.    Tetapi sebagian mengisahkan bahwa “Tebu” itu dipindakan atau di “ale” (bahasa dialeg Toboali), Dan kemudian menjadi “Tebu Ale”.
3.    Sebagian lagi menceritakan bahwa disana dahulu ada pahlawan yang bernama “Ali”. Pada suatu ketika terjadi pertempuran , sehingga pahlawan ali tertangkap dan dihukum dengan hukuman pancung lehernya dipotong tetapi lehernya kembali menyambung kemudian dipotong lagi sampai tiga kali namun kembali menyambung kembali. Karena keadaan yang demikian rupa, untuk mengatasi agar kepalanya bersambung (hidup kembali) kemudian kelapanya dipisahkan dan di bawa kepulau lepar. Berkemungkinan pulau lepar berasal dari kata “lempar”. Sedangkan bagian tubuhnya (badan) Ali  dikuburkan di tempat kelekak Toboali. Karena itu tubuh Ali dikebumikan ditempat itu maka dikatakanlah tempat itu dengan nama “Tobo Ali”. Dalam dialeg Toboali : Tobo berarti Tubuh (badan) sedangkan Ali nama dari pahlawan tersebut.