Jumat, 18 Desember 2015

IYOPO (PERSEMBAHAN UNTUK ADAM)

"Apabila boleh mengatakan hal yang sesungguhnya, kukatakan bahwa tulisan sederhana ini adalah salah satu tulisan yang paling sulit kuselesaikan. Suadah lebih dari sebulan yang lalu kusiapkan. Setengah selesai, kuhapus karena merasa ada yang tidak pas. Sempat beberapa kali berubah tata urutannya, lalu malam ini sekuat tenaga tulisan ini harus aku selesaikan sebelum tahun berganti menjadi 2016. Mungkin, terlampau banyaknya cerita yang kami alami, sehingga sulit mengabadikannya hanya pada satu halaman blog yang sederhana ini."

Terakhir kali bertemu Adam adalah saat dia diwisuda menjadi M.H.

Seorang ibu, yang aku yakin dengan penuh rasa bangga, menulis di akun jejaring sosial dengan ciri khas warna biru yang ia miliki. Pada tulisan itu, ia sertai pula beberapa buah foto. Adapun isi tulisannya kurang lebih begini,”Mengantar anak mbarep untuk memenuhi penempatan pertama sebagai PNS (auditor) pada kantor BPK Ambon. Selamat jalan, Nak. Do’a Mama selalu menemanimu.Jadilah auditor yang amanah dan professional, jaga kesehatan, jaga shalat, jaga persahabatan dengan kawan-kawan.” Pada kolom komentar, tak lupa aku menulis,”See you ASAP (maksudnya as soon as possible) Adam Wijaya Medantara, sukses selalu  anak Bu Endang.” Beberapa menit berlalu,komentar yang aku kirim itu kemudian disukai oleh sang ibu yang tulisannya aku komentari. Aku cukup mengenal ibu itu, pun (mungkin) beliau terhadapku. Bagaimana aku tak mengenalnya, orang dulu anaknya tak berhenti menyebut-nyebut nama ibunya itu saban kami bercerita apa dan entah dimana.

Satu hari kemudian, komentarku itu rupanya ditanggapi oleh sang ibu,”Terimakasih, Mas Darwance. Tetap bersahabat baik dengan Adam Wijaya Medantara ya. Main-mainlah ke Purwokerto, kami tunggu.” Entah kenapa, aku terharu membaca komentar itu. Setelahnya, terurailah dalam kepalaku saat kali pertama menginjakkan kaki di Yogyakarta, berjuang mengikuti serangkaian seleksi untuk bisa kuliah di salah satu universitas ternama di sana, lalu bertemu dengan seorang kawan yang bagaimanapun telah memberi warna yang berbeda selama aku di tanah Sri Sultan Hamengku Buwono itu.

***
                Hari itu, aku begitu gembira. Betapa tidak, setelah sempat tertunda selama satu tahun, jadilah akhirnya aku menginjakkan kaki di Yogyakarta. Ya, aku kuliah lagi. Pagi-pagi, sebagaimana undangan yang aku terima, aku sudah meninggalkan kos salah seorang kawan tak jauh dari Ring Road Utara. Semangat sekali aku pagi itu. Sungguh tak sabar rasanya berjumpa dengan dosen-dosen hebat yang konon banyak mengajar di sini. Sesampainya, tak lepas mataku memandang setiap orang yang aku jumpai. Harapannya, siapa tahu satu atau dua orang dari mereka adalah orang yang mukanya sering aku lihat di layar televisi. Maklum, sebagai kampus kelas kakap, aku yakin begitu banyak orang terkenal di sini. Dugaanku benar rupanya. Pada sebuah sisi, kulihat salah seorang laki-laki rapi dengan setelan jas hitamnya yang gagah, sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang dihadapannya, yang pun tak kalah terkenal. Mereka adalah ahli-ahli hukum hebat negara ini.

                Hari itu agendanya adalah kuliah perdana. Usai acara, digiringlah kami menuju sebuah ruangan sesuai dengan program studi yang kami pilih saat mendaftar dulu. Ceritanya, setelah disatukan pada satu ruangan pada kuliah perdana yang materinya disampaikan oleh salah seorang akademisi hebat dar Jakarta, rector pula, dibagilah kami menjadi lima, sesuai jumlah jurusan yang ada di kampus itu. Cepat-cepat, terlampau semangatnya,masuklah aku pada sebuah ruangan sebagaimana instruksi. Sembari menunggu yang lain masuk, aku duduk pada sebuah kursi empuk lengkap dengan meja yang memanjang. Melihat itu, pikiranku langsung terbang ke Senayan. Ya, tempat duduknya mirip dengan yang dimiliki oleh wakil rakyat yang terhormat di gedung kura-kura sana. Bedanya, di sini kami diawasi oleh potret orang hebat yang sudah menyandang gelar guru besar, terpatri dengan rapi di sisi kanan dan kiri ruangan.

                “Hai,” salah seorang gadis mungil tiba-tiba melambaikan tangannya saat berjalan di hadapanku, menuju sebuah kursi bersama seorang temannya yang sempat menarik perhatianku saat kuliah perdana berlangsung. Siapa pula gadis ini? Sok kenal betul tampaknya. Lama aku mengingatnya, sebab tiba-tiba aku merasa pernah bertemu dengan gadis ini. Selang beberapa menit, belum pula aku membalas senyuman gadis itu. “Hai,” kataku akhirnya seraya tak lupa tersenyum.” Aku baru ingat, dialah gadis berhijab yang aku kenal saat hendak mengikutu tes wawancara tempo hari.

                Setelah berpaling dari gadis itu, kudapati ruangan mulai terisi oleh orang-orang yang datang. Kutatap mereka satu demi satu. Beberapa orang dari mereka sudah kukenal mukanya. Salah satunya adalah laki-laki mirip Limbad yang dulu sempat membuat darahku mendidih saat seleksi wawancara. Diterima pula rupanya dia. Hari itu, laki-laki  mirip Limbad bukanlah orang pertama yang membuatku terhenyak. Di hari yang sama, aku mendapati beberapa orang aneh (dalam tanda kutip), yang kelak ternyata menjadi kawan-kawanku selama hampir 2 tahun aku di sini. Pertama, aku terhenyak oleh seorang perempuan berpenampilan tak ada beda dengan laki-laki. Setelahnya,kembali  aku terpukau oleh perempuan pengibas rambut manakala kuliah perdana sedang berlangsung dengan khidmatnya. Heran betul aku dengan perempuan itu. Dengan penuh rasa percaya diri, ia kibas-kibaskan rambutnya yang terburai itu tanpa henti.

Acara kuliah perdana usai, kembali aku dibuat terhenyak oleh seorang bapak-bapak, yang pun mahasiswa baru. Saat itu, kami sudah dibagi berdasarkan program studi. Bapak-bapak itu datang manakala acara sudah dimulai. Penampilannya sangatlah rapi, khas bapak-bapak kantoran dengan sepatu yang menyilaukan mata. Hanya saja, bukan itu yang membuatku geleng-geleng kepala. Apalagi bila bukan berlusin-lusin handphone yang ia miliki. Saat beliau duduk, disusunlah aneka rupa jenis handphone itu di atas meja. Sesekali salah satu diantanya bordering. Siapa pula manusia ini?

Hal menjengkelkan kembali menimpaku hari itu. Penyebabnya adalah tingkah seorang mahasiswa baru yang sering betul berteriak-teriak tak jelas tak tentu arah. Dia duduk di barisan kursi paling belakang. Soal manusia terakhir ini, rupanya memang tak begitu jelas orangnya. Sering lenyap tanpa berita. Seiring berputar waktu, dia justru menjadi ketua organisasi di program studi kami! Setelahnya, tersiar kabar bahwa dia diterima oleh korps Adhiyaksa untuk mewakili negara pada setiap pelanggaran pidana yang terjadi. Setelahnyanya lagi, terkirim undangan bahwa dia akan menikah. Duh, mengapa manusia tak jelas macam ini bisa mujur sekali nasibnya? Begitulah. Bila memang sudah jalan dari-Nya, mau dikatakan apalagi?

Dalam rasa jengkel itu, kudapati sepotong wajah dengan ekpresi tak menentu. Apalagi saat sesekali namanya disebut-sebut sebagai kandidat ketua kelas oleh orang yang suka teriak-teriak dengan logat Sunda yang kental itu. Melihatnya, sebuah pertanyaan klasik tiba-tiba muncul,”Mengapa setiap jenjang pendidikan yang aku tempuh, aku selalu bertemu dengan kawan bertubuh makmur?” Seingatku, hanya semasa SD aku tak berkawan dengan orang dengan ukuran badan laksana setumpuk jerami. Boleh dibilang, teman SD-ku malah kurus-kurus. Nah, saat masuk MTs, mulailah aku bersahat baik dengan orang berbadan tambun. Di MTs, aku berteman baik dengan Ramayanti, manusia pengikut Albert Einstein yang diberikan soal Matermatika dalam bentuk apa pun, pasti dilahapnya dengan tandas. Sekarang, kawanku itu memang mengabdi sebagai guru Matematika. PNS pula.

                Saat SMA, lagi-lagi aku bertemu dengan kawan baik bertubuh tambun. Laki-laki kali ini. Namanya Sepriyandi. Cukup lama aku berkawan dengan dia, sampai akhirnya kami berpisah saat tamat SMA. Dia, setahuku, melanjutkan sekolahnya di sebuah univesitas di kota kembang Bandung, sedang aku harus ikhlas kuliah di kampung halaman kami di Pulau Bangka. Setelahnya, aku dengar dia berhasil lolos sebagai seorang PNS di lingkungan Pemerintah Kota Pangkalpinang. Sekarang, kawanku yang satu ini sedang menempuh pendidikan S2-nya, lagi-lagi di Parijs van Java.

                Manakala aku memutuskan untuk kuliah di Fakultas Hukum, kembali aku dipertemukan dengan seorang kawan berbadan syarat lemak. Alamak, kali ini betul-betul tambun dalam segala hal, termasuk suaranya yang cetar membahana (meminjam istilah Princess Syahrini). Namanya Renilda. Lulus kuliah, bersama Leo Erika, sahabatku yang lain, dia memilih untuk menjadi notaris dengan melanjutkan kuliah di Magister Kenotariatan FH Unpad di Bandung. Sementara aku memilih untuk ikut seleksi di sebuah kampus negeri di Semarang. Merasa kurang nyaman di ibukota Jawa Tengah itu, akhirnya aku nekad ikut seleksi di kampus negeri ternama di Yogyakarta. Sebab terlampau pesimis tak akan lulus, aku pun mendaftarkan diri untuk ikut seleksi di salah satu kampus swasta di kota itu yang setahuku kualitas Fakultas Hukum-nya tak kalah baik dengan kampus negeri itu. Alhamdulillah, tanpa diduga, aku dinyatakan lulus dikampus negeri. Alhasil, aku meninggalkan kampus di Semarang yang beberapa hari sebelumnya pun menyatakan menerimaku sebagai mahasiswa mereka, sekaligus urung melanjutkan proses seleksi di kampus swasta sekalipun berulang-ulang kali aku dihubungi.

                Maka, hari itu, kembalilah aku dipertemukan dengan orang bertubuh sejahtera. Bila tak salah mengingat, hari itu dia mengenakan pakaian formal dengan sebuah rompi yang membalut badannya yang sesak berisi. Laki-laki yang satu ini pasti sedang sulit bernafas, pikirku kala itu manakala melihat perutnya yang seolah meronta hendak merobek bajunya yang dikancing nyaris tanpa celah. Dari kacamata yang dia kenakan, kusimpulkan dia pasti memiliki otak yang brilian. Dugaanku rupanya tak meleset sekalipun hanya satu senti. Dia lulusan Internatiaonal Undergraduate Progaram (IUP) di sebuah fakultas hukum terkenal di Yogyakarta. Dia pun menguasai beberapa bahasa asing, diantaranya Bahasa Arab dan Bahasa Perancis. Soal Bahasa Inggris, tak usah lagi ditanya. Demi meraih gelar akademisnya yang kedua, dia pun menggunakan Bahasa Inggris di tesisnya. Dialah Adam Wijaya Medantara, yang fotonya terpajang gagah di akun sosial milik sang bunda. Itulah kali pertama aku melihat Adam. Hanya saja,saat itu aku belum langsung akrab dengan dia. Ya, aku masih malu. Aku belum percaya diri untuk bergaul dengan mereka.

***
                “Iyopooo?” begitu reaksi Adam bila mendengar hal-hal yang sulit ia percayai. Suatu hari, pernah kuutarakan suatu hal padanya. Dengan santai, kukatakan kepadanya, “Beb, ternyata Mbak Dhuma itu sudah janda!” Dengan ekpresi muka macam baru saja melihat seekor hantu, keluarlah satu kata itu,”Iyopooo?” Padahal, aku sedang berbohong.

                Soal kapan aku akbrab berkawan dengan Adam, aku tak begitu mengingatnya. Seusai acara minggu keakraban di salah satu desa di lereng Gunung Merapi, mulailah aku sering bersama-sama dengannya. Hari itu, selesai kuliah, kami dan beberapa kawan lain tak langsung pulang. Melalui komputer kelas yang terkoneksi langsung dengan sebuah proyektor,  ditampillah oleh Adam foto-foto pada acara minggu keakraban itu. Dengan seksama, kami lihat foto itu satu demi satu. Apabila ada foto yang aneh, berderailah tawa kami seantero kelas. Mulai saat itu, baru aku tahu bila sudah tertawa, Adam bisa terpingkal-pingkal laksana traktor sedang membajak sawah. Pernah suatu kali, seringkali tepatnya, Adam tertawa hingga harus menutup mulutnya dengan apa pun sebab tak kuasa dia menahan tawanya untuk berhenti. Seiring berjalannya waktu, aku dan Adam semacam sudah ada kemistri, begitu orang zaman sekarang menyebutnya. Bila aku sudah memanggilnya untuk mendekatiku, belum sempat aku mengatakan hal apa pun, Adam pasti sudah tertawa terlebih dahulu. Begitu pula sebaliknya. Itulah sebabnya mengapa kemudian, setiap kali masuk kelas hendak mengikuti kuliah, aku selalu menghindari duduk dekat dengan Adam, apalagi bila sudah harus duduk berdampingan. Duduk saling berjauhan saja bila ia sudah menoleh ke arahku, langsung terdengarlah suara cekikikan dia tertawa. Padahal, kami hanya saling tatap. Duh, benar-benar gila!

                Manakala liburan kuliah tiba, kadang aku tak pulang ke Pulau Bangka. Maka, beramai-ramailah kami berpetualang, termasuk Adam. Banyak tempat yang terlah kami kunjungi, dari ujung Pulau Jawa yang satu ke ujung Pulau Jawa yang satunya lagi. Suatu hari, sempatlah Adam mengajak kami mengunjungi Dieng, salah satu surga di Pulau Jawa yang terletak di antara Wonosobo dan Banjarnegara, dua-duanya disebut Adam sebagai kampung halamannya. Dua kali Adam mengajak kami ke sana. Sesungguhnya aku bingung mana kampung halaman kawanku yang satu ini. Saat orang memuja-muji Wonosobo, dia mengaku sebagai orang Wonosobo. Saat sedang hangat-hangatnya orang membicarakan Chris John atau Ebiet G. Ade, dengan bangga dia bilang kalau dia orang Banjarnegara. Sekarepmu, Dam, begitu kata orang Jawa.

                Bingung hendak mau kemana, biasanya kami hanya mengitari Yogyakarta, seraya tertawa terbahak-bahak tak tentu rimba. Siapa yang kami tertawakan, pun tak tahu pula kami. Yang jelas, kami menertawakan diri kami sendiri. Begitulah cara kami menikmati hidup di tanah orang. Saat mengitari kota itulah, suatu ketika Adam bertanya, “Siapa sih, Beb, yang sering bilang iyopo-iyopo itu? Sering betul kamu meniruinya?” Duh, rupanya Adam tak sadar bila dialah orang yang sering mengucapkan kata itu. Maka, kujawablah dengan ringan dengan bahasa Jawa yang aku kuasai, “Yo kowe…”

                “Iyopooo?” begitu reaksi Adam, seraya menutup mulutnya menahan tawa.

                “Haha…Apa aku bilang?”

***

                Sore itu, Adam menjemputku di kantor pos di Jalan Mataram Yogyakarta. Sengaja aku menghubungi dia, sebab dia adalah salah seorang kawan yang menemaniku hari-hari terakhirku di sana. Lagipula, kos Adam yang ia bangga-banggakan karena katanya sempat pula ditempati Prof.Mahfud MD itu, letaknya tak jauh dari kantor pos itu. Setelah urusanku mengirim kembali sepeda motor yang menemaniku dari SMA itu ke Pulau Bangka, aku duduk seorang diri. Lama aku menunggu Adam yang katanya masih ada sedikit pekerjaan, entah itu apa. Sempat menghabiskan beberapa potong es krim yang aku beli dari seorang bapak-bapak yang dengan semangatnya meraih rezeki di antara Yogayakarta yang kian sesak, Adam pun tiba dengan jaket hitamnya yang khas.

                “Setelah ini, apa rencanamu, Beb?” tanya Adam setelah Hondra Supra Fit yang membawa kami terseok-seok melewati jalan sempit, tembus ke Stasiun Lempuyangan. “Tetap ingin menjadi seorang dosen?”

                “Iya, sepertinya begitu, Beb. Ingin sekali aku menjadi seorang pengajar macam Pak Parip,” kataku seraya memegang punggung Adam takut kalau-kalau sepeda motor ini akan terpental akibat terlalu  beratnya beban yang ia bawa. “Kamu sendiri bagaimana?”

                “Soal itu, belum tahulah aku, Beb. Kamu tahu sendirilah bagaimana tesisku sekarang. Setelah berbulan-bulan lamanya, tak kunjung ada kabar dari pembimbingku. Sibuk betul dia akhir-akhir ini,” jawab Adam panjang lebar. Ia begitu murung tampaknya.

                “Bagaimana bila kamu datangi terus dia di ruangannya?” kataku sok-sok memberi solusi. “Pokoknya, kamu harus wisuda di bulan Januari. InsyaAllah, bila ada rezeki, aku akan datang!”

                “Harus datanglah, Beb. Bukankah dulu kamu pernah berjanji kepada kami, bahwa kamu akan kembali ke sini bila kami sudah mengenakan toga bersayap? Haha…”

                Lepaslah tawa kami berdua yang sudah macam angka 10 sedang diarak keliling kota itu. Canda Adam soal toga bersayap membuatku terkenang  akan hari-hari pertamaku tinggal di Yogyakarta. Saat itu, belum satu bulan rasanya kami kuliah. Persahabatan antara kami pun sedang terjalin dengan hangatnya. Ibarat manusia, persahabatan kami adalah seorang balita yang selalu mengundang gelak tawa bila sudah berkumpul sama-sama. Pandai betul kawanku yang satu itu membuat kami tertawa terpingkal-pingkal sepanjang jalan macam orang gila. Alhasil, tak sadar kami sudah tiba di depan sebuah toko buku. Pada Adam, aku memang meminta cukup diantar pada salah satu toko buku langgananku selama menimba ilmu di tanah istimewa itu.

                “Sampai jumpa lagi, Beb. Hati-hati besok lagi, kuusahakan besok untuk datang ke bandara,” begitu kata Adam sebelum memacu sepeda motor dengan sebuah logo paling ia banggakan yang tertempel di bagian belakang. Aku iyakan saja niat baiknya itu, sekalipun dalam hati aku tak yakin besok pagi dia bakal datang ke bandara. Bagaimana mau datang ke bandara hanya untuk menganatar seorang kawan yang akan pulang, dia sendiri saja pernah gagal terbang sebab mimpinya yang terlampau panjang. Durasi tidurnya lama! Apalagi ketika aku beritahu kepadanya soal jam keberangkatanku besok pagi, matanya langsung terbelalak seraya mengatakan,”Hah? Pagi betul?!!!” Ah, Sudahlah. Besok pagi, lagi-lagi dugaanku terbukti. Batang hidung Adam yang memang tak punya batang itu tak tampak kehadirannya di Bandar Udara Internasional Adi Sutjipto.

                “Beeeeeb, kamu sudah di bandara? Ma’aaaaf, aku ketiduraaaaan…”

                “Hehe…Gapapa-gapapa,” jawabku meniru gaya bicara seorang kawan. Soal kawanku yang satu ini, kelak akan kuceritakan di lain waktu.

***
                Itulah percakapan singkat aku dengan kawanku Adam, di hari-hari terakhirku di Yogyakarta. Beberapa minggu setelah diwisuda, aku memutuskan untuk kembali ke kampung halamanku di Pulau Bangka. Setelahnya, lama aku tak berjumpa dengan Adam. Sampai akhirnya aku mendengar kabar baik tentang Adam, tak pula aku bertemu dengan dia. Saat itu, Adam dikabarkan diterima menjadi PNS di salah satu lembaga yang bertugas memeriksa penggunaan keuangan negara. Sebagai seorang kawan, aku ikut senang. Setahuku, Adam orang yang optimistis, sekalipun dia terkadang kurang siap akan kemungkinan gagal. Suatu hari, terlampau optimisnya, pernah dia dikabarkan sampai menangis tersedu-sedu setelah diketahui olehnya, dia gagal ke tahapan seleksi berikutnya pada seleksi sebuah lembaga negara yang lain. Padahal, dia yakin betul. Soal itu, tak mengapa, apabila sudah masanya, akan selalu ada jalan. Adam adalah salah satu bukti akan hal itu semua. Setelah berjuang tak kenal lelah, jadilah dia pegawai di salah satu lembaga paling prestisius di negara ini.

                Setelah mendengar kabar itu, kupikir aku tak akan bisa lagi bertemu dengan Adam. Apalagi, dengar-dengar dia akan bertugas di Ambon. Untuk kali ini, dugaanku salah. Saat Adam dan beberapa orang kawan lain diwisuda, aku datang. Itulah terakhir kali aku bertemu dengan Adam, sekaligus untuk pertama dan terakhir kalinya bertemu dengan orangtua Adam dan seorang adiknya yang berwajah lucu itu. Setelahnya, aku sempat kembali ke Yogyakarta, namun hingga aku harus kembali meninggalkan kota budaya itu, tak kunjung kami saling bertemu. Berbulan-bulan lamanya aku tak bertemu dengan Adam, hingga kudapati berita kalau Adam akan terbang ke Maluku. Di sana, Adam akan memulai karirnya sebagai abdi negara.

                Pada Adam, kudo’akan semoga kamu bisa menjadi pemeriksa yang amanah, sebagaimana harapan ibumu yang ia tulis itu. Suatu hari, bila ada rezeki, inginlah aku menemuimu di Maluku. Dengar-dengar, itu provinsi elok. Alamnya cantik tak terperi. Semoga suatu saat kita bisa bertemu lagi. Pada Adam, aku ingin kita terus berkawan baik, sebagaimana kita semasa masih sama-sama di Yoagayakarta. Apapun yang terjadi setelahnya, tak mau tahulah aku. Yang aku tahu, aku pernah dan mudah-mudahan akan selalu berkawan baik dengan seorang kawan berkarakter sangatlah unik bernama Adam. Pada Adam ingin kusampaikan, kumohon agar kamu mau berdo’a untukku, agar aku bisa menggapai cita-citaku. Datanglah ketika aku sudah dipertemukan Tuhan dengan tulang rusukku kelak. Datanglah ketiga aku kembali mengenakan toga seraya mempertahankan desertasiku di hadapan begitu banyak penguji. Datanglah ketika aku dilantik menjadi seorang dekan. Datanglah ketika aku menyampaikan pidato ilmiahku menjadi seorang guru besar. Datanglah ketika aku dilantik menjadi seorang pejabat negara di Jakarta. Apabila kamu tak bisa datang pada acara yang kini masih berupa angan-angan itu, bila aku lebih dulu pulang daripada kamu, kumohon engkau untuk datang ketika tubuhku dimasukkan pelan-pelan ke dalam sebuah liang.

Diselesaikan di Pangkalpinang, 18 Desember 2015

Rabu, 16 Desember 2015

3 LAKI-LAKI (PART 1)

"Kupersembahkan tulisan sederhana ini kepada tiga orang kawan yang pernah datang ke rumah kami yang pula sederhana."


               Pelan-pelan, mobil yang dikendarai oleh Hendry memasuki pekarangan terminal Bandar Udara Depati Amir Pulau Bangka. Sore itu, aku lebih banyak diam. Sore itu pula, tak tahulah aku sedang dilanda rasa bernama apa. Senyap, hanya itu yang aku rasakan sejak pagi datang menjelma. Pagi itu adalah pagi terakhir tiga orang kawanku berada di kampung halaman kami yang jauh dari hiruk pikuk ini. Pagi itu, ingin rasanya aku meraih matahari, menggodanya biar tak lekas beranjak menuju siang. Masih di pagi yang sama, ingin aku menodong matahari dengan sebilah pisau biar dia mau mengikuti kehendakku; terlelap dalam waktu yang lama. “Nanti, apabila sudah waktunya tiba, barulah kau akan aku bangunkan dari lelapmu,” begitulah rencanaku. Sayangnya, matahari tak bisa dirayu. Dia tak akan meninggalkan tugas mulianya itu barang sedetik pun, tak terkecuali bila gelap menutupinya dengan gumpalan awan.

                “Terimakasih banyak, kawan. Sampai jumpa lagi. Main-mainlah ke Jakarta. Salam sama semua,” begitulah kira-kira kata demi kata yang diucapkan oleh tiga kawanku itu bila disatukan dalam beberapa kalimat sederhana. Seraya mendo’akan mereka untuk berhati-hati dan selamat sampai tujuan, disertai seutas senyuman yang sangatlah tipis, aku langsung meninggalkan mereka yang sedang mengantri pada pintu masuk terminal bandara. Setiap kali mengantarkan orang ke bandara, selalu aku berdiri di balik pagar pembatas sampai orang yang aku antar menghilang di balik kaca. Sore itu, aku tak melakukan itu. Cepat-cepat aku meninggalkan mereka, lalu segera masuk ke dalam mobil yang kursi-kursinya sudah melompong.

                Dalam mobil, lama aku terdiam. Dalam kepala, terbayang olehku tiga orang kawanku yang melewati security check dengan sebongkah oleh-oleh dalam kardus khas orang yang hendak meninggalkan Pulau Bangka, menuju counter check in maskapai yang akan mereka tumpangi, lalu duduk pada kursi menghadap landasan pacu bandara dari balik jendela kaca. Duh! Kuhidupkan mesin mobil, lalu pelan-pelan aku giring dia keluar area bandara, berbelok ke kiri, menuju komplek perkantoran gubernur provinsi kami yang masih remaja ini. Sesekali, aku menoleh ke kiri, melihat kalau-kalau ada satu atau dua pesawat terbang yang lepas landas. Lalu, aku berhenti pada sisi jalan, sebelum akhirnya putar balik menuju jalan yang tadi aku lewati dari bandara. Pada sebuah ruas jalan, kembali aku berhenti. Lama berdiam, aku memutuskan untuk keluar lalu duduk pada trotoar yang sepi.

                “Mereka terbang jam berapa?’ tanya Umak manakala kami datang dari sebuah toko oleh-oleh di Jalan Sudirman Pangkalpinang, sebelum menuju bandara. Pagi itu, Umak datang ke Pangkalpinang dari kampung halaman kami yang jauh bersemayam di paling selatan pulau ini. Niatnya, ingin menengok seraya menjaga cucu pertamanya, anak dari Abang, sementara Abang dan istrinya harus bekerja.

                “Sore, Mak, kira-kira jam setengah empat,” jawabku lantas duduk pada kursi yang mengahap ke televisi.

                “Sepi mendadak rasanya rumah kita. Malam hari setelah kalian berangkat ke sini, rumah begitu senyap. Ayah bilang, biasanya saban malam kita selalu mendengar mereka tertawa terbahak-bahak di kamar anak kita yang sempit itu.”

                Mungkin, apa yang dirasakan oleh Ayah dan Umak, serupa itulah aku. Rasanya, baru kemarin sore antara percaya dan tidak sebab takut mereka, terutama Hendry, menipuku dengan telak bahwa mereka betul akan terbang ke Pulau Bangka. Pagi-pagi sekali di hari yang sama dengan sore itu, salah seorang dari mereka mengirimkan sebuah foto kepadaku yang berisi sosok mereka bertiga dengan penampilan bagai orang yang hendak bepergian jauh. Sayangnya, tak lekas aku percaya. Setelahnya, pada sebuah akun media sosial, diunggahlah salah satu foto yang menggambarkan bahwa mereka sedang berada di Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta di Cengkareng. Belum pula aku percaya. Barulah aku percaya kalau mereka betul-betul datang ke Pulau Bangka manakala aku mendapati mereka berjalan dengan gagahnya memasuki terminal bandara, melalui sebuah layar yang dipasang di pintu kedatangan Bandar Udara Depati Amir. Sudah macam orang gila aku sore itu. Senyum-senyum sendiri terlampau senangnya.

                Sekarang, mereka kembali ke Jakarta. Sepi, begitulah jadinya.

***
                Dari dulu, aku memang gemar mengajak kawan untuk datang bertandang ke kampung halaman kami yang katanya begitu jauh dari pusat kota. Bagaimana tidak, kampung kami letaknya paling selatan Pulau Bangka. Setelahnya, tak ada lagi perkampungan, kecuali tepian selatan Pulau Bangka dengan berderet-deret pantai aneka rupa. Mereka, pantai-pantai itu, eloknya bukan main. Itu artinya, kampung kami letaknya paling ujung. Orang-orang sering mengatakan, bahwa kampung macam kampung kami masuk kategori kampung mati, yakni kampung yang tak ada lagi kampung setelahnya. Sering pula aku mendengar orang berkata perihal kampung mati itu. Katanya, kampung mati itu biasanya sepi, sebab tak banyak orang yang lalu lalang dengan berupa-rupa jenis kendaraan. Sayangnya, hipotesa itu tak terbukti pada kampung kami. Saban hari, apalagi hari Minggu, tak terhitung rasanya orang lalu lalang melintasi kampung kami yang katanya mati ini. Penyebabnya adalah penghujung kampung kami yang elok. Di sana, bersemayam begitu banyak pantai. Pantai-pantai itulah yang didatangi oleh orang-orang entah darimana asalnya. Itulah mengapa kemudian kampung kami tak sesepi kampung mati yang lain.

                Soal mengajak kawan untuk datang, sempatlah aku ragu. Bukan apa-apa, aku takut kawan-kawanku yang datang kelak kecewa akan rumahku yang ternyata sangatlah sederhana. Lama-lama, pola pikirku berubah. Bila menunggu rumah keluargaku mewah macam rumah kawan-kawanku itu, kapan aku bisa mengajak mereka untuk datang? Bukannya aku tak bersyukur menjadi bagian dari keluarga petani macam Ayah dan Umak, sebaliknya aku bangga. Serupa apa pun rumah yang kami tempati, itulah hasil kerja keras kami. Mulai dari itu, kuajaklah kawan-kawanku untuk datang.

                “Mereka akan datang ke sini?” begitu Umak menanggapinya manakala aku mengabarinya bahwa sebentar lagi, beberapa orang kawan kuliahku akan datang dari Pangkalpinang.

                “Iya, Mak. Mengapa Umak begitu terkejut rupanya?” kataku menggoda Umak dengan mukanya laksana orang cemas. Dalam lubuk hatinya, aku tahu Umak gundah. Ia gulana lantaran takut kalau-kalau kawan-kawanku itu merasa tak enak hatinya setelah menginjakkan kaki di rumah kami yang sederhana ini.

                “Nak, tidakkah kau sadari kondisi rumah kita?” Sudah kuduga bukan? Aku tahu apa yang sedang mendera hati Umak.

                “Sudahlah, Mak. Biarlah tak mengapa. Sudah kusampaikan kepada mereka perihal rumah kita. Mereka tetap mau datang, mau bilang apa? Lagipula dulu kawan kuliahku sering datang ke rumah manakala mereka Kuliah Kerja Nyata di kampung kita yang pelosok ini.”

                Itulah kali pertama aku mengajak kawan-kawanku datang ke kampung halaman kami. Setelahnya, tak terhitung lagi rasanya seberapa sering aku mengajak kawanku untuk datang. Setelah bekerja seusai jadi sarjana, sempat pula aku mengajak rekan-rekan kerjaku, tak terkecuali orang nomor wahid di kantorku itu untuk datang. Pokoknya, tak terhitung lagi berapa kali kawanku datang dari kota, pun tak tersebut lagi nama-nama mereka yang datang. Setelahnya,Ayah dan Umak pun senang bila ada kawanku yang datang. Di teras rumah, samar-samar kudengar Ayah dengan gembira bercerita kepada siapa saja yang bertanya perihal tamu darimana gerangan yang datang. Setelah mereka pulang, senyum-senyum aku langsung menhampiri Umak.

                “Ada apa kiranya?”

                “Mak, tahu tidak kawan-kawanku itu mengatakan apa?”

                “Apa kata mereka?”

                “Mereka bilang, masakan Umak enak-enak! Bukan main enaknya, Mak!”

                “Oya? Iyalah, inikan Umakmu, sudah barang tentu masakannya juara!” Maka, sombonglah Umakku.

                Begitulah caraku menghibur Umak manakala kawan-kawanku sudah pulang. Aku tak sedang bersenda. Apa yang aku utarakan ke Umak adalah apa yang disampaikan kawan-kawanku perihal masakan Umak yang konon memang selalu enak rasanya. Soal itu, aku tak meragukan lagi. Hanya saja, aku tak menduga rupanya cita rasa masakan Umak begitu diminati. Acing, kawanku orang Tionghoa itu sempat jatuh cinta dengan Masek Parik hasil kepiawaian Umak dalam mengolah masakan khas Pulau Bangka. Rere, kawanku yang sering betul tak akur dengaku itu, cinta mati dengan Gangan Kulat Bekelapak (Lempah Jamur Santan), pun hasil tangan dingin Umak. Terlampau cinta matinya, sampai-sampai bila ia menikah kelak, ia mau Umak yang memasak lauk itu untuk disajikan kepada tamu undangan. Ah, pokoknya banyak sekali kawan-kawanku jatuh cinta pada masakan Umak. Alhasil, senyum-seyum malu Umak setiap kali aku memberitahunya perihal puja-puji itu. Lalu, bersombong-rialah dia di hadapanku, anaknya ini.

                Soal mengajak kawan-kawan untuk datang, Ayah dan Umak pernah terbahak-bahak mendengar ceritaku perihal tanggapan Abang manakala aku memberitahunya bahwa baru saja aku mengundang kawan-kawan untuk datang ke rumah. Itu tak lama setelah kawan-kawanku datang untuk kali pertama. Pada Abang yang kala itu sedang berada di tempatnya bekerja, kuceritakanlah perihal kedatangan kawanku itu. Betapa terkejutnya dia mendengar ceritaku itu, lebih ketika aku ceritakan kepadaku bahwa dari kawan-kawanku itu ada seseorang yang bukan hanya sekadar kawan biasa. Ya,dia sang pujaan hati, sekaligus pujaan hati pertama yang aku ajak datang ke rumah sejak pertama kali aku berkenalan dengan cinta.

                “Apa katamu, Dik? Kau ajak dia datang ke rumah kita yang sederhana itu?” katanya seolah tak percaya.

                “Iya, kuajak dia bertemu Ayah dan Umak,” jawabku santai.

                “Bukan itu soalnya, Dik. Tak takutkah kamu setelahnya, setelah dia melihat kondisi rumah kita yang sederhana itu, dia akan meninggalkan kamu?”

                “Haha…” lepaslah tawaku. “Biarlah,” kataku setelahnya.”Apabila benar kemudian dia meninggalkanku, berarti dia tidak mencintaiku dengan setulus hati.”

                Mendengar itu, Abang hanya tersenyum. “Dasar gila!” begitu barangkali dalam hati Abang. Beda denganku, Abang memang tak pernah mengajak pujaan hatinya bertemu Ayah dan Umak di kampung. Setengah tahun menjelang mereka menikah, barulah Abang mengenalkan perempuan yang sekarang sudah memberinya satu orang anak itu pada Ayah dan Umak. Sementara aku, sudah mengajak pujaan hati kala itu bertemu Ayah dan Umak jauh sebelum Abang, sekalipun kusisipi dia diantara kawan-kawanku yang lain. Salah satu diantara kawan-kawanku itu adalah kakaknya sendiri, kawan kuliahku. Itulah mengapa kemudian Ayah menggodaku dengan membanding-bandingkanku dengan seorang haji juragan lada di kampung sebelah.

                “Punya ilmu licik juga rupanya kamu, Nak. Kakaknya kamu ajak berkawan baik, sementara adiknya kamu rayu sebagai kekasihmu. Sudah macam pak haji itu saja tampaknya,” katanya seraya menyebutkan nama pak haji yang anaknya berkawan akrab pula denganku itu. Menurut cerita Ayah, pak haji yang dia maksud dulu bisa memperistri perempuan yang sekarang menjadi ibu dari anak-anaknya itu, adalah dengan cara menjadikan kakaknya sebagai kawan yang akrab. Ah, Ayah, macamlah aku ini tak tahu bagaimana perjuangan Ayah mendapatkan istri paling jelita yang konon punya sepasang orangtua lumayan keras menjaga lima anak gadisnya pada masa itu. Umak adalah salah satu dari lima orang gadis itu.

***
                Seringnya aku mengajak kawan-kawan untuk datang ke kampung halaman kami, rupanya berlanjut sampai aku kuliah lagi di tanah Jawa. Pada kawan-kawan yang aku kenal di sana kemudian, sering kutawari mereka untuk datang ke Pulau Bangka. Pada mereka pula kuceritakan perihal eloknya pulau kami dengan pantai-pantai dan pulau-pulau kecilnya yang rupawan. Banyak dari mereka yang tertarik untuk datang. Apalagi, sedikit banyak mereka sudah tahu akan keindahan kepulauan kami sebagaimana yang dilukiskan dalam film Laskar Pelangi. Sekalipun film itu menampilkan sisi cantik Pulau Belitung, karakter pantai yang sama membuatku tak susah-susah menjelaskan lebih lanjut kepada mereka perihal rupa Pulau Bangka. “Pokoknya, mirip-mirip seperti itulah,” kataku mengakhiri promosi.

                Maksudku mengajak mereka untuk datang sesungguhnya sangatlah sederhana. Aku hanya ingin mereka tahu bahwa tak jauh dari ibukota negara, ada kepulauan cantik yang bisa dijadikan sebagai pilihan tujuan wisata selain Pulau Lombok, lebih-lebih bagi mereka yang mulai jenuh dengan Pulau Bali. Setelahnya, aku berharap mereka bisa menceritakan perihal keelokan kepulauan kami itu pada kawan yang lain. Mereka lalu pun datang, bercerita lagi pada kawan lain, begitulah seterusnya. Maka, ramailah kepulauan kami yang sedang giat ingin mengalahkan duet Bali dan Lombok ini. Selain itu,tentu aku ingin memperkenalkan mereka dengan keluargaku di kampung halaman.

                Manakala dengan berapi-api aku mengajak kawan-kawanku untuk datang, dalam kepala terpikir olehku reaksi Umak bila hal ini kusampaikan padanya. Kurasa, sudah tahulah bagaimana raut muka perempuan hebat itu. Apalagi, kali ini yang kuajak bukanlah kawan yang sama-sama tinggal di Pulau Bangka. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia, yang oleh Umak dianggapnya mereka semua sebagai orang kaya dengan rumah mewah. Umak mungkin tak salah. Sebab, seingatku, di kelas aku kuliah, rasanya hanya aku mahasiswa dengan latar pekerjaan orangtua sebagai petani. Selebihnya adalah mereka dengan latar belakang pekerjaan orangtua sebagai PNS, hakim, bahkan pengusaha, dan jenis profesi tak memegang peralatan tani macam Ayah dan Umah. Hanya saja, aku tetap percaya diri bergaul dengan mereka. Aku tetap bangga, bahkan semakin bangga dengan Ayah dan Umak nun jauh di kampung halaman sana.

                “Dia mau ke sini?” terbelalak mata Umak manakala kusampaikan padanya bahwa salah seorang kawan dekat akan datang.

                “Iya. Dia sudah beli tiket pesawat terbang. Penghujung minggu ini dia akan terbang ke sini,” kataku ringan seraya melirik muka Umak yang seolah menganggapku bersenda. Senyum-senyum aku melihatnya. “Tenang, Mak, masakan Umak itu enaknya tiada tanding!”

                Senyum Umak akhirnya.

***
                “Berarti mereka Lebaran Idul Adha di sini?” kembali Umak terbelalak oleh kabar yang aku sampaikan padanya. Pagi itu, kusampaikan padanya bahwa Hendry, Adri, dan Ridho akan datang dari Jakarta ke kampung halaman kami tepat pada perayaan Idul Adha. Sebagaimana biasanya, selalu kuhibur Umak dengan berupa puja-puji perihal masakannya yang selalu membuat lidah enggan berhenti bergoyang bila sudah melahapnya. “Mereka tak berlebaran dengan orangtua mereka?” lanjut Umak.

                “Mak, tak macam di Bangka, di luar sana lebaran hanya ada satu kali dalam satu tahun, yakni Idul Fitri. Itu pun tak semeriah di kampung kita. Beda dengan di kampung kita yang selalu merayakan hari besar agama Islam serupa Lebaran Idul Fitri, ditambah Ruwahan yang konon hanya dirayakan di sini. Jadi, biarlah mereka terbelalak sendiri, menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa meriahnya Idul Adha di sini.”

                “Begitukah?”

                “Iya, Mak.”

                “Baiklah. Mau dimasakkan apa untuk mereka?”

                Senyum aku dibuat pertanyaan Umak yang terakhir ini. Sekalipun dibuka dengan raut mukanya yang menyiratkan rasa cemas, dalam hati aku tahu Ayah dan Umak senang bila ada kawanku yang datang. Suatu hari, pernah kami bercerita ringan pada sebuah meja makan kami yang panjang. Saat itu, Umak berceloteh seraya menatap langit-langit rumah yang menjulang, “Sekalipun rumah kita sederhana, tak terhitung lagi rasanya orang yang datang. Orang-orang jauh pula. Mulai dari kawan sesama mahasiswa, dosen yang kamu jadikan kawan terlampau karibnya kalian, kepala bank, salah seorang pengacara terkenal di pulai ini, dan masih banyak lagi.”

                Saat itu, aku langsung menunduk seraya mengunyah dengan pelan makanan yang dibuat Umak pagi-pagi sekali. Setetes air jatuh ke lantai. Sekali lagi, tak tahulah rasa apa yang sedang menderaku pagi itu. Pagi itu, aku tahu Ayak dan Umak bukan tak mampu membangun rumah mewah macam tetangga-tetangga yang lain. Sekalipun dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) Ayah terteta kata “tani” di kolom pekerjaan, dan “Ibu Rumah Tangga” di kolom pekerjaan KTP milik Umak, mereka bukan petani biasa. Berkat ketekunan, rasa sabar menanam lada sekalipun harganya sempat anjlok akibat badai krisis ekonomi tahun 1998, keluarga kami tetap bisa bertahan hingga kini.

                “Mengapa Pak Cik dan Mak Cik tak lekas membangun rumah mewah macam orang-orang?’ sering kudengar orang-orang bertanya macam ini pada Ayah dan Umak. “Bukankah hasil panen saban tahun selalu melimpah? Paling tidak, cukuplah untuk membangun rumah.”

                “Soal itu, tak akan kami membeli apa pun, membangun apa pun, sebelum anak-anak kami tuntas bersekolah,” itulah jawaban pamungkas Ayah dan Umak. Mendengar itu, tak kuasa aku menahan air mata ini biar tak mengalir di pipi. Pada diriku sendiri, kusampaikan bahwa aku tak punya alasan untuk tidak sekolah dengan baik. Pada dua adikku, sering pula aku sampaikan agar mereka membuat Ayah dan Umak kecewa. Sampai pagi itu, teringat kembali olehku jawaban sederhana yang selalu diberikan oleh Ayah dan Umak pada orang yang bertanya hal semacam itu. Dalam hati, aku berjanji untuk berusaha sebaik mungkin agar bisa membuat Ayah dan Umak tetap tersenyum di hari tua mereka.

                ***
                Menjelang petang, aku mendatangi Abang di rumahnya di ujung barat Pangkalpinang. Pada Abang, kusampaikan pula perihal tiga orang kawanku yang akan datang ke kampung kami. Bedanya, reaksi Abang kali ini tergolong biasa saja. Dia sudah paham betul barangkali. Dia pun berjanji akan menemaniku ke bandara, menjemput tiga orang kawanku yang kata mereka akan segera mendarat itu. Berangkatlah kami bersama anak laki-lakinya yang masih balita menuju bandara, mengendarai mobil sedan yang Abang beli hasil jerih payahnya bekerja di perusahaan tambang milik pemerintah di pulau kami.

                Sesampai di Bandar Udara Depati Amir, cepat-cepat aku berjalan menuju pintu kedatangan. Kulihat jadwal penerbangan pada sebuah layar yang terpajang pada sebuah sisi dinding. Sebagaimana jadwal yang tertera, maskapai yang mereka tumpangi seharusnya sudah mencumbu landasan pacu. Lagipula, dalam perjalanan menuju bandara, sempat kami melihat sebuah pesawat dengan logo maskapai sebagaimana yang mereka sampaikan kepadaku, terlihat menukik pelan. Pesawai itu aku yakini sebagai pesawat yang mereka tumpangi. Tapi, mengapa mereka tak kunjung terlihat batang hidungnya? Duh, jangan-jangan betul mereka sudah “menipuku” dengan kejam. Sayangnya, sebagai orang yang pun sering “menipu” mereka, tak ada alasanku untuk marah sore menjelang petang itu.Jangan-jangan betul mereka memang terbang dari Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta di Cengkarang, tapi bukan ke Pulau Bangka, melainkan ke tempat lain. Lama aku menatap layar televisi di samping pintu kedatangan, tak kunjung aku mendapati wajah mereka tampak di sana.

                Apa pesawat yang mereka tumpangi belum tiba? Sekali lagi, entah yang untuk keberapa kalinya, aku memeriksa ulang tiket dalam format digital yang dikirimakan oleh Hendry. Melihat itu, tak mungkin rasanya mereka berbohong-ria. Itu tiket asli, resmi dibelinya dari salah satu situs jual beli tiket online terbesar di negara ini. Dulu, aku pun sering berburu tiket di situs itu. Itu sebabnya, aku tahu betul kalau tiket itu asli, pun sudah dibeli setelah melewati serangkaian proses sampai akhirnya tiket bisa dicetak oleh pembeli. Tapi, mengapa mereka tak kunjung terlihat mukanya? Dengan seksama, tak lepas aku memantau orang-orang yang masuk ke terminal bandara satu demi satu. Lama sekali, sebelum akhirnya tiga orang berbadan sangat makmur, lumayan makmur, dan setengah makmur serupa badanku sendiri, berjalan dengan gagahnya. Itu mereka! Sungguh sulit dipercaya rasanya bisa melihat wajah-wajah tak asing itu di sini.

                “Itu mereka sudah datang,” kataku pada Abang yang jalan sana jalan sini mengikuti polah anaknya yang tak mau diam.

BERSAMBUNG...

City of Victory, 16 Desember 2015