Rabu, 19 Agustus 2015

ITU ARTINYA, DIA PUN BUKANLAH YANG TERBAIK UNTUKMU


(Sumber: photobucket.com)

                Saat pulang ke kampung halaman, aku bertemu dengan seorang kawan lama. Padanyalah sering aku bercerita banyak hal, begitu pula sebaliknya. Dia, kawanku itu, sering pula berkeluh kesah perihal hidup yang sudah lebih dari seperempat abad dia lakoni. Banyak hal yang dia ceritakan. Aku pun setia mendengar, seraya sesekali memberikan semacam nasihat biar dia kuat, manakala dia bercerita tentang hal-hal yang membuat hati terasa pilu. Sebaliknya, tentu kami akan tertawa terbahak-bahak, membahana seisi kampung, bila ada hal menggelikan yang saling kami utarakan. Sesekali, tak lupa pula kami menertawai diri kami sendiri. Orang lain yang entah itu siapa, pun tak luput dari bahan gurauan kami. Begitulah cara kami menikmati hidup.

                Malam itu, pada sebuah bangku panjang di depan rumah sebuah keluarga, duduklah aku dan kawanku itu. Di antara gulita yang berteman dengan cahaya bulan dan taburan bintang, dia bercerita perihal nasib cintanya yang kembali karam. Duh, cinta lagi. Sungguh luar biasa kekuatan hal yang satu ini. Soal ini, kawanku bercerita bila entah yang untuk keberapa kalinya, dia gagal menjaga cintanya. Sebagai kawan dekat, tahulah aku sepak terjang dia dalam menjalin cinta, termasuk dengan siapa-siapa dia pernah merajut tali asmara itu. Mukanya mungkin biasa, tapi entah kenapa begitu banyak perempuan yang terpesona, lalu jatuh cinta, lalu jadilah mereka sepasang kekasih yang lupa bahwa di muka bumi ini penghuninya bukan hanya mereka berdua. Heran aku sebetulnya dengan hal yang satu ini. Namanya juga manusia, punya hal lain yang barangkali menjadi kelebihannya, sehingga perempuan mana pun senewen bila gagal merampok hatinya. Sayangnya, malam itu dia bersedih, gagal lagi dia memadu kasih untuk naik pelaminan.

                “Apa lagi persoalannya?” tanyaku.

                “Memang kami bukanlah jodoh,” selalu itu jawaban semula yang ia berikan. Setelahnya, barulah dia berpanjanglebar menceritakan dari A sampai Z cerita cintanya dengan perempuan yang sedang jadi objek pembicaraan kami malam itu,bagaimana dulu mereka bisa saling mencintai, hal-hal yang telah mereka jalani dalam kurun waktu mereka berstatus sebagai sepasang kekasih yang lupa bahwa penghuni dunia ini bukan hanya mereka berdua tadi, sampai akhirnya kandas menyisakan sakit hati yang tak terperi. Duh, kawan, pilu sekali rasanya.

                “Sudahlah,” kataku kemudian, macam biasa pula. “Sebagaimana yang kamu utarakan, mungkin kalian bukanlah jodoh yan harus bersama selamanya. Bila memang jodoh, percayalah bahwa kelak kalian pasti akan kembali menjadi satu.” Duh, sedap sekali terdengar oleh telinga susunan kata yang aku sampaikan itu. Padahal, aku pun punya cerita yang tak jauh berbeda dengan dia.

                Sebagai kawan dekat, tentu aku begitu paham akan perasaan yang sedang ditanggung oleh kawanku itu. Bagaimanapun perasaannya manakala mengenal perempuan itu sejak semula, lalu perasaannya kemudian, sampai perasaannya yang sekarang, tetaplah bahwa perempuan itu pernah menjadi bagian dari hidupnya yang sudah mengisi hari-harinya menjadi lebih bermakna dan berwarna. Soal ragu yang terus menghantuinya, yang dia sendiri pun bingung oleh karena apa, aku pikir hal itu memang lazim terjadi. Membuat keputusan besar yang menentukan jalan hidup seseorang di masa yang akan datang dalam situasi seperti itu, pun bukanlah tindakan yang bijaksana.

                Begitulah kira-kira. Ceritanya lagi, dia bukan sakit lantaran harus berpisah dengan perempuan itu, melainkan sulit menerima sebab perempuan itu lebih memilih laki-laki lain. Seperti biasa, aku senantiasa membesarkan hatinya. Sebagai kawan, tentu aku tak ingin dia terus membenamkan dirinya dalam sakit hati yang terlalu dalam. Kuceritakan sesekali bahwa aku pun pernah merasakan hal yang sama, bahkan barangkali jauh lebih menyakitkan. Sungguh tak mudah memang melupakan hal yang menyakitkan dalam hitungan satu kedipan mata. Semua butuh waktu, sampai kita bisa menerima itu semua sebagai bagian dari hidup yang mau tak  mau harus kita tempuh, demi hidup yang lebih baik di kemudian hari. Duh, mulailah aku jadi orang sok bijak malam itu.

                Seperti itulah cerita kawanku. Setiap kali berjumpa, selalulah dia bercerita banyak hal kepadaku, tak terkecuali soal asmara yang membuatnya sampai takut gagal di masa yang akan datang. Dia trauma kadang-kadang. Aku pun selalu siap menjadi pendengar setia. Sampai sebuah sore, dia datang ke rumahku seraya berteriak-teriak dari depan rumah. Langsunglah aku diajaknya menuju sebuah pantai. Pantai itu dulu pernah kami sambangi bersama. Seringlah kami bercakap-cakap di sana, di atas batu granit legam nan raksasa. Sayang, belum ada jalan berlapis aspal menuju ke pantai jelita itu. Sore itu pun, kami langsung melompat pada salah satu batu granit paling raksasa. Dengan demikian, leluasalah kami memandangi keindahan alam di penghujung barat Laut Jawa itu.

                Dari raut mukanya, aku tahu ada hal yang hendak dia sampaikan. Ia begitu riang sore itu. Apa kataku, manakala aku menanya perihal niatnya untuk melamar seseorang yang sudah ia sampaikan pada seseorang itu, pun pada orang tua dia sendiri, dengan sumringah dia berkata bahwa ada seseorang yang tiba-tiba berhasil membuat hatinya tentram. Duh, bingung aku jadinya. Bagaimana tidak, setahuku, sebagaimana cerita dia, sudah mantap niatnya untuk menyunting seseorang yang dulu memang sempat dekat dengannya. Perempuan itu sungguh jelita. Bila dia mau denganku, barangkali belum selesai dia bertanya sudah aku jawab "ya". Sayangnya, menatapku pun dia tak sudi barangkali. Beruntunglah kalau dia sampai menikah dengannya. Sayangnya, cerita sore itu merubah segalanya.

                “Jadi, mana yang akan kamu jalani, kawan?” tak tahan aku tak bertanya.

                “Entahlah. Hanya saja, aku merasa nyaman dengan perempuan yang tiba-tiba datang itu,” paparnya dengan senyum tak berhenti mengembang, Setelahnya, seperti yang telah aku duga, tak berhenti pula dia memuji perempuan itu. Sesungguhnya, aku pun tahu siapa gerangan perempuan itu. Dia memang perempuan baik. Jadi, beruntunglah laki-laki yang bisa mendapatkan cintanya. Hanya saja, persoalan sekarang bukanlah soal baiknya perempuan itu, melainkan soal pilihan yang harus kawanku itu tetapkan. Jujur, aku tak mau dia menyakiti siapapun.

                “Jadi?”

                “Aku ingin dengan dia yang sekarang,” jawabnya tanpa menatapku. Dasar gila. Sebagai kawan, aku pun mendukung setiap keputusannya, selama itu baik baginya. Semoga dia menjadi yang terakhir untukmu, begitu kira-kira kataku setelahnya. Oleh entak karena apa, muka kawanku itu tiba-tiba berubah muram. Jadilah aku tak enak hati. Ada apa ini? Dia menatapku. Aku mengangkat kedua alisku, member isyarat ada hal apa lagi gerangan yang terjadi.

                “Ada apalagi? Bingung?”

                “Bukan. Aku tak bingung. Aku sudah mantap. Dia adalah sosok perempuan yang selama ini aku idam-idamkan. Tuhan memang baik rupanya, kawan.”

                “Lalu, apa masalahmu?”

                Dia menarik nafas panjang seraya mebenarkan letak duduknya.

                “Kadang-kadang, aku berpikir, mengapa aku bisa selalu gagal soal cinta? Lebih-lebih pada kegagalan yang terakhir, dengan dipilihnya laki-laki lain selain aku, aku merasa bukanlah laki-laki terbaik baginya. Pilu rasanya membayangkan itu semua. Mengapa aku tak bisa menjadi yang terbaik bagi dia?”

                “Bukankah kamu begitu bahagia dengan perempuan yang mencintaimu sekarang, dan kamu pun begitu mencintainya?”

                “Iya, aku bahagia,” katanya.

                “Lalu, mengapa kamu terus bersedih hati?”

                “Tiada apa-apa. Hanya saja, aku sedih tidak bisa menjadi yang terbaik bagi kekasihku dulu, hingga dia memilih laki-laki lain. Itu artinya, aku bukan yang terbaik baginya, kawan.”

                Aku tersenyum, pahamlah aku maksudnya.

                “Sekarang, aku ingin bertanya sesuatu hal padamu,” kataku kemudian.

                “Apa itu?”

                “Apakah kamu merasakan bahwa kekasihmu sekarang adalah yang terbaik untukmu?”

                “Tentu. Dia adalah doaku yang dikabulkan oleh Tuhan. Dia adalah sosok perempuan yang selama ini, sejak dulu, selalu aku pinta dalam setiap doaku itu.”

                “Teranglah sekarang. Benar barangkali katamu tadi. Kamu memang bukan yang terbaik bagi kekasihmu yang dulu, barangkali laki-laki itulah yang terbaik. Tapi, tak usah risau. Dengan begitu bahagianya kamu dengan perempuanmu yang sekarang, perempuan yang katamu sosoknya selalu kamu pinta dalam setiap doa, perempuan terbaik, itu artinya kekasihmu dulu pun bukan yang terbaik untukmu. Perempuan kekasihmu yang sekaranglah yang terbaik untukmu, kawan. Seperti katamu tadi, Tuhan itu baik. Itu barangkali sebabnya mengapa Dia tak menyatukan kamu dengan kekasihmu dulu, sebab Dia sudah pasti tahu bahwa itu bukan yang terbaik untuk kalian. Mungkin, akan ada hal terburuk yang akan terjadi bila kalian dulu tetap terus bersama.”

                Lama sekali, kawanku itu masih terdiam. Dia menatap ombak sore itu yang saling berkejaran, berlomba siapa cepat mencumbu pantai. Setelahnya, dia berpaling, menatapku penuh misteri. Mudah-mudahan tak ada hantu pantai yang sedang tak punya kerjaan sore itu, lalu masuk merasuki kawanku yang sedang tertimpa gulana. Langsung dia tersenyum lebar, lebih lebar dari bibir seorang badut di pesta ulang tahun, lalu merangkulku dengan erat. Eh, aku melihat-lihat sekeliling. Beruntung, tak ada makhluk Tuhan bernama manusia yang melihat adegan menggiurkan sore itu. Selamatlah reputasiku.

Bangka, 20 Agustus 2015

Selasa, 18 Agustus 2015

APAPUN YANG KITA LAKUKAN, AKAN SELALU ADA PENILAIAN SALAH DARI ORANG LAIN

(Sumber: http://ask.fm/radianpandika/best)




                Pada sebuah malam, diajak oleh salah seorang tokoh masyarakat aku mengikuti rapat di balai desa. Sedianya, rapat itu diadakan sebagai sambutan pemerintahan desa terhadap sejumlah mahasiswa dari sebuah universitas yang akan melaksanakan pengabdian pada masyarakat melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kampung halaman kami. Seiring sambutan demi sambutan yang disampaikan, mulai dari tokoh agama, tokoh masyarakat, perkawilan pemuda, ketua Badan Perwakilan Desa (BPS), dan lain sebagainya, rapat itu berubah menjadi ajang pemaparan persoalan yang sedang dihadapi desa. Barangkali merasa selalu disalahkan, bapak kepala desa yang terhormat pun kembali angkat bicara. Olehnya, diuraikanlah sejumlah permasalahan desa yang selama ini sering ia hadapi sebagai seorang kepala desa seorang diri. Apabila apa yang ia utarakan itu benar, sungguh aku kagum pada beliau bisa begitu sengit mempertahankan desa kami dari kepentingan sekelompok orang yang hanya mau mengambil untung. Bila tidak begitu, bisa hilang nama kampung kami dari peta Pulau Bangka. Apabila itu semua salah, biarlah dia seorang yang menanggung.

                Penghujung acara, tersebutkan perihal pemasangan bendera merah putih dan umbul-umbul. Maklum, kala itu menjelang perayaan HUT RI. Sebagaimana biasanya, setiap rumah di kampung halaman kami diwajibkan untuk memasang sejumlah umbul-umbul dan tentunya yak tak boleh tidak dipasang adalah sang saka merah putih. Oleh tokoh agama, disampaikanlah pandangannya soal umbul-umbul. Ia mau semua warga memasang jenis umbul-umbul warna-warna nan panjang, tiada lagi yang memasang umbul-umbul jenis segitiga yang hanya punya satu warna. Alasannya hanyalah soal estetika. Biar tentram mata melihatnya. Sepakatlah seisi balai desa malam itu.

                Pada tanggal yang sudah ditentukan, berkibarlah umbul-umbul disepanjang jalan yang ada di kampung kami. Satu pun tak tampak umbul-umbul berbentuk segitiga itu. Sedap betul rasanya mata ini memandang. Meriah jadinya kampung kami yang letaknya paling ujung itu. Hal yang berbeda justru aku dapati di kampung lain, tetangga kampung kami. Sepanjang jalan manakala aku menemani Umak ke pasar di ibukota kabupaten pada sebuah hari, masih aku lihat umbul-umbul segitiga berkibar di kampung-kampung itu. Soal estetika, tentu ada kesan tak rapi. Mungkin karena bentuk umbul-umbul yang tak seragam. Aih, cerdas benar pemikiran tokoh agama kampung kami yang sudah haji itu. Sungguh aku memujinya.

                Sampailah pada sebuah sore, pada hari yang berbeda. Oleh karena telinga yang aku miliki tak bisa memilih mau mendengar apa, menyaring apa yang seharusnya aku dengar atau tidak, terdengarlah olehku celoteh seorang ibu-ibu warga kampung kami perihal umbul-umbul.

                “Di kampung sebelah, masih terpasang umbul-umbul berbentuk segitiga. Tiada yang melarang? Mengapa di kampung kita tak boleh? Ah, pengurus kampung kita saja yang sekehendak hati membuat aturan sendiri,” begitu katanya kira-kira.

                “Semua biar seragam, biar tampak cantik oleh mata,” kataku mencoba menjelaskan.

                Dari perbincangan singkat sore itu, ada satu hal yang aku dapati. Bahwa tindakan apapun yang kita tempuh, hal apapun yang kita lakukan, tetap ada sisi lemah dipandang orang lain. Lalu, aku mencoba membalikkan situasi, berandai-andai. Seandainya keputusan para petinggi kampung kami tetap mengizinkan memasang umbul-umbul segitiga, lalu dilihatlah oleh warga bahwa di desa lain tak ada lagi yang memasang umbul-umbul macam itu, hampir dapat dipastikan ada celotehan yang kurang lebih isinya begini,”Coba lihat, di kampung sebelah tak ada lagi yang memasang umbul-umbul segitiga. Cantik sekali dipandang. Ah, pengurus kampung kita tampaknya kurang tegas. Mengapa tak dilarang saja memasang umbul-umbul jenis itu?”

                Padahal, menurutku, maksud tokoh agama kampung halaman kami itu baik. Dengan melarang pemasangan umbul-umbul berbentuk segitiga yang sudah ketinggalan zaman itu, beliau ingin kampung kami terlihat rapi. Beliau benar barangkali. Aku bisa membandingkan kampung kami tanpa umbul-umbul segitiga, semuanya umbul-umbul warna-warni bak pelangi dengan warna puncak merah putih, tampak elegan dibandingkan dengan kampung lain yang tetap menyelingi umbul-umbul berbentuk segitiga diantara umbul-umbul laksana pelangi itu. Mengapa masih ada yang tak terima? Ini soal penilaian. Ini soal pengamatan dari orang lain yang selalu menganggap salah tindakan orang lain.

                Jadi, apapun yang akan kita lakukan, kita meyakini itu, lakukanlah. Soal penilaian, sudah pasti ada titik lemah yang akan dinilai orang, atau bahkan sengaja dicari. Aku pun pernah mengalami hal yang sama. Dulu, saat aku berusaha mempertahankan sesuatu, aku dibilang memaksa. Aku pun terhentak, tak terima. Padahal, soal salah di masa silam, aku mengakuinya. Maka, saat itu pula aku melepaskan apa yang aku pertahankan itu dengan segenap rasa ikhlas. Apa yang aku dapatkan? Ya, aku dibilang tak berjuang, mudah menyerah dalam mempertahakan sesuatu. Begitu terus berulang-ulang. Pening minta ampun kepala ini. Maka, aku serahkan semuanya kepada Allah semata. Biarlah Dia yang memutuskan. Apapun yang terjadi setelah itu, aku yakin ada campur tangan Tuhan di sana. Apa pun hasilnya setelah itu, aku terima dengan lapang. Aku yakin, aku pasti bahagia setelah itu. Nyatanya, aku memang bahagia sekarang, dan semoga akan terus bahagia. Selamanya.

Bangka, 17 Agustus 2015.

SAAT JODOH DATANG DENGAN TIDAK DISANGKA-SANGKA


(Sumber: gambaranehunik.files.wordpress.com)

Cerita ini aku sadurkan dari cerita seorang kawan, yang merasakan langsung betapa jodoh itu betul-betul berada di tangan Sang Pemilik Semesta. Apakah aku mempercayai cerita kawanku itu? Tentu saja. Dia, kawan yang namanya tak akan aku sebutkan di sini, begitu bahagia sekarang dengan keluarga kecil mereka. Aku pun turut bahagia, sesekali diselingi rasa iri karena inginlah punya keluarga bahagia macam dia. Aku pun tak mengira, dia yang dulu pernah datang tiba-tiba menangis tersedu-sedan karena persoalan asmaranya yang diakhiri dengan pengkhianatan sang pujaan hati yang dia incar semenjak awal kuliah, beralih pandang pada perempuan lain. Duh, sabarlah, kataku.

Perempuan, itulah jenis kelamin yang tertera di Kartu Tanda Penduduk (KTP) kawanku itu. Dia adalah seorang perempuan, berhijab, dan berkarakter yang bertentangan dengan jenis kelamin yang susah payah diketik oleh petugas catatan sipil itu. Aku kenal dengannya karena takdir yang menyatukan kami pada sebuah kelas yang pengap saat awal kuliah dulu. Pada saat itulah, dia mulai mencari laki-laki. Mungkin dia bosan dengan hidupnya yang selalu sendiri. Ah, tak tahulah aku soal alasan itu. Yang aku tahu, dia seorang pekerja keras, petarung yang ulung, tak terkecuali soal cinta. Sudah macam orang berperang saja rasanya dia berjuang meraih cinta laki-laki itu, jatuh bangun, namun tak jua kehilangan asa. Untuk hal yang satu ini, salutlah aku dengan dia.

Seperti kata orang-orang bijak, tiada perjuangan tanpa hasil, tinggal buruk atau baiknya hasil itu. Alhasil, perjuangan kawanku yang tak kenal malam tak kenal siang itu berbuntut laksana rasa madu. Manis sekali. Dia berhasil, entah bagaimana caranya, meraih cinta laki-laki cuek tingkat tertinggi itu. Berbahagialah dia. Selalulah mereka bedua saban hari datang ke kampus, tak peduli ada jadwal kuliah atau tidak. Yang penting bisa naik motor berdua, kemana-mana berdua, itulah rumus hidupnya setelah itu. Saat itu aku paham, jatuh cinta pada orang yang sangat dicintai memang bikin otak jadi bergoncang. Beruntung tak jadi pasien rumah sakit jiwa.

Dia bahagia, kami kawan-kawannya pun tak lupa untuk bahagia. Bertahun-tahun lamanya dia bersama laki-laki itu, mencurahkan kasih sayangnya dengan ikhlas tanpa berharap balas apa-apa, kecuali cinta laki-laki itu terhadapnya. Sayang, setelah itu aku mendengar kabar tak sedap dari dia. Pada suatu hari, entah siang entah malam, berdentum dadaku mendengar kabar darinya bila laki-laki itu memberikan cintanya pada perempuan lain. Ah, tak mungkin, kataku. Dia memberikan sejumlah bukti yang pada akhirnya aku menyerah untuk tidak percaya. Sudahlah, kataku menenangkan, bila dia memang jodohmu, dia pasti akan kembali.

Sayangnya, laki-laki itu tak kembali. Itu artinya, laki-laki itu, yang tak lain adalah kawanku juga, bukanlah jodoh kawanku yang perempuan ini. Semakin tak mau dilepas barang sejenak saja tampaknya dia dengan perempuan yang secara fisik memang lebih menarik dari kawanku itu. Maafkanlah aku, kawan, ini pendapat dari sudut pandang laki-laki. Bukan lagi soal hubungan perkawanan kita. Maaf kalau kali ini aku terlampau mengatakan apa adanya.

Sebagaimana yang kami kira, perasaan kawanku itu hancur berkeping-keping laksana pesawat jatuh. Saban hari dia menangis tersedu-sedu. Setiap kali dia memeriksa akun jejaring sosial milik laki-laki yang bermandikan darah ia perjuangkan itu, setiap kali itu pula dia histeris. Duh, cinta. Mengapa engkau begitu kejam pada setiap orang yang memeliharamu? Entahlah. Sebagai kawan, lebih-lebih kawan yang menanggung semua perasaannya saat itu, pun dia yang selalu siap menanggung perasaanku setiap kali aku tertimpa hal yang tak jauh berbeda (sebenarnya sama), remuk pulalah rasanya jantungku. Soal cinta, ingin rasanya aku member usul kepada Tuhan, mengapa tak Dia jodohkan saja orang yang pertama kali jatuh cinta, tanpa ada kata berpisah biar tak ada yang saling menyakiti? Aku yakin Tuhan pasti langsung mentertawakanku.

Berputarlah waktu tiada henti. Segala rupa hal dilakukan oleh kawanku yang malang, supaya sakit yang ia derita lekas hengkang. Mendatangi pantai satu ke pantai yang lain, pergi pagi pulang malam. Syukur kami panjatkan kepada Tuhan, barangkali pelan-pelan hatinya mulai tenang. Mencobalah dia mendekati laki-laki lain. Atau kalau nasib baik sedang menghampirinya, satu dua orang laki-laki yang mungkin saja sedang tak normal pikirannya, mencoba mendekati kawanku itu. Nasib mereka, laki-laki yang mencoba mendekati itu, sudah bisa diterka. Ditolaklah mereka mentah-mentah oleh kawanku yang tak tahu diri itu. Hal yang menjadi penyebabnya tentulah macam-macam. Perhitungannya sangatlah sederhana. Orang laki-laki yang ia dekati pun secara sekilas bisa membuat mata gatal-gatal bila menatapnya, apalagi laki-laki itu adalah laki-laki yang mendekatinya? Silakan bagi yang ingin membayangkannya.

Sekarang, semua sudah berlalu. Kawanku itu tak lagi terkurung dalam sedih yang dulu membuatnya sudah macam orang hendak disembelih lehernya setiap kali membayangkan laki-laki itu memegang tangan perempuan lain dengan begitu mesra. Histeris. Sekarang, kawanku sudah bahagia. Apabila ada kata yang lebih menggambarkan perasaannya saat ini diatas kata bahagia, pokoknya seperti itulah warna hatinya sekarang. Pada sebuah malam, ia mengabariku perihal perkenalannya dengan laki-laki itu. Ia dikenalkan dengan laki-laki itu oleh salah seorang kawan kami. Sekalipun mulanya banyak kata “tapi dia” dipenghujung ceritanya perihal laki-laki yang entah beruntung entah malang yang kok bisa-bisanya mau dengan kawanku itu, akhirnya dia mantap dengan laki-laki yang kemudian dia panggil “Abang”.

Beberapa bulan kemudian, aku mendengar kabar darinya bahwa ia akan segera menikah. Mulanya aku tak percaya. Bagaimana mungkin seorang kawan yang sempat mau gila oleh cinta yang kandas akibat pesona perempuan lain yang membuat si laki-laki berpaling, seorang yang mengikrarkan bahwa kelak pasti dialah orang yang paling terakhir menikah diantara kawan-kawan kami, justru menikah dengan nomor urut satu. Secepat itulah dia mengambil keputusan? Ya, namanya juga jodoh, tiada yang bisa memasang kita bakal menikah dengan siapa, atau siapa dengan siapa. Sayangnya, aku tak bisa menghadiri pernikahan salah satu kawan paling karib sejagad raya itu. Bagiku, dia bukan sekadar kawan biasa. Seperti yang sering kami katakan manakala berdua, aku adalah dia, begitupula sebaliknya. Sering aku menceritakan masalahku yang paling pribadi sekalipun, begitu pula dia. Semua itu kami telan, tak akan kami ceritakan pada siapa pun karena label “rahasia” yang selalu kami sematkan pada cerita-cerita itu. Beginilah kawan seharusnya.

Sekarang, dia sungguh bahagia. Dia begitu mencintai keluarga kecilnya, lebih-lebih laki-laki mungil yang selalu membuatnya merindu ingin pulang ke rumah setiap kali dia berada di tempat kerja. Dia pun begitu memuji laki-laki yang sekarang adalah suaminya. Barangkali, bahkan aku yakin, dia amat bersyukur sekarang bisa bertemu dengan laki-laki itu. Laki-laki yang ia kenal hanya beberapa bulan, lalu datang melamarnya. Semoga engkau selalu bahagia, kawan. Bahagia selamanya.

Bangka, 17 Agustus 2015