(Sumber: photobucket.com) |
Saat
pulang ke kampung halaman, aku bertemu dengan seorang kawan lama. Padanyalah
sering aku bercerita banyak hal, begitu pula sebaliknya. Dia, kawanku itu,
sering pula berkeluh kesah perihal hidup yang sudah lebih dari seperempat abad
dia lakoni. Banyak hal yang dia ceritakan. Aku pun setia mendengar, seraya
sesekali memberikan semacam nasihat biar dia kuat, manakala dia bercerita
tentang hal-hal yang membuat hati terasa pilu. Sebaliknya, tentu kami akan
tertawa terbahak-bahak, membahana seisi kampung, bila ada hal menggelikan yang
saling kami utarakan. Sesekali, tak lupa pula kami menertawai diri kami
sendiri. Orang lain yang entah itu siapa, pun tak luput dari bahan gurauan
kami. Begitulah cara kami menikmati hidup.
Malam
itu, pada sebuah bangku panjang di depan rumah sebuah keluarga, duduklah aku
dan kawanku itu. Di antara gulita yang berteman dengan cahaya bulan dan taburan
bintang, dia bercerita perihal nasib cintanya yang kembali karam. Duh, cinta lagi.
Sungguh luar biasa kekuatan hal yang satu ini. Soal ini, kawanku bercerita bila
entah yang untuk keberapa kalinya, dia gagal menjaga cintanya. Sebagai kawan
dekat, tahulah aku sepak terjang dia dalam menjalin cinta, termasuk dengan
siapa-siapa dia pernah merajut tali asmara itu. Mukanya mungkin biasa, tapi
entah kenapa begitu banyak perempuan yang terpesona, lalu jatuh cinta, lalu
jadilah mereka sepasang kekasih yang lupa bahwa di muka bumi ini penghuninya
bukan hanya mereka berdua. Heran aku sebetulnya dengan hal yang satu ini.
Namanya juga manusia, punya hal lain yang barangkali menjadi kelebihannya,
sehingga perempuan mana pun senewen bila gagal merampok hatinya. Sayangnya,
malam itu dia bersedih, gagal lagi dia memadu kasih untuk naik pelaminan.
“Apa
lagi persoalannya?” tanyaku.
“Memang
kami bukanlah jodoh,” selalu itu jawaban semula yang ia berikan. Setelahnya,
barulah dia berpanjanglebar menceritakan dari A sampai Z cerita cintanya dengan
perempuan yang sedang jadi objek pembicaraan kami malam itu,bagaimana dulu
mereka bisa saling mencintai, hal-hal yang telah mereka jalani dalam kurun
waktu mereka berstatus sebagai sepasang kekasih yang lupa bahwa penghuni dunia
ini bukan hanya mereka berdua tadi, sampai akhirnya kandas menyisakan sakit
hati yang tak terperi. Duh, kawan, pilu sekali rasanya.
“Sudahlah,”
kataku kemudian, macam biasa pula. “Sebagaimana yang kamu utarakan, mungkin
kalian bukanlah jodoh yan harus bersama selamanya. Bila memang jodoh,
percayalah bahwa kelak kalian pasti akan kembali menjadi satu.” Duh, sedap
sekali terdengar oleh telinga susunan kata yang aku sampaikan itu. Padahal, aku
pun punya cerita yang tak jauh berbeda dengan dia.
Sebagai
kawan dekat, tentu aku begitu paham akan perasaan yang sedang ditanggung oleh
kawanku itu. Bagaimanapun perasaannya manakala mengenal perempuan itu sejak
semula, lalu perasaannya kemudian, sampai perasaannya yang sekarang, tetaplah
bahwa perempuan itu pernah menjadi bagian dari hidupnya yang sudah mengisi
hari-harinya menjadi lebih bermakna dan berwarna. Soal ragu yang terus
menghantuinya, yang dia sendiri pun bingung oleh karena apa, aku pikir hal itu
memang lazim terjadi. Membuat keputusan besar yang menentukan jalan hidup
seseorang di masa yang akan datang dalam situasi seperti itu, pun bukanlah
tindakan yang bijaksana.
Begitulah
kira-kira. Ceritanya lagi, dia bukan sakit lantaran harus berpisah dengan
perempuan itu, melainkan sulit menerima sebab perempuan itu lebih memilih
laki-laki lain. Seperti biasa, aku senantiasa membesarkan hatinya. Sebagai
kawan, tentu aku tak ingin dia terus membenamkan dirinya dalam sakit hati yang
terlalu dalam. Kuceritakan sesekali bahwa aku pun pernah merasakan hal yang
sama, bahkan barangkali jauh lebih menyakitkan. Sungguh tak mudah memang
melupakan hal yang menyakitkan dalam hitungan satu kedipan mata. Semua butuh
waktu, sampai kita bisa menerima itu semua sebagai bagian dari hidup yang mau
tak mau harus kita tempuh, demi hidup
yang lebih baik di kemudian hari. Duh, mulailah aku jadi orang sok bijak malam
itu.
Seperti
itulah cerita kawanku. Setiap kali berjumpa, selalulah dia bercerita banyak hal
kepadaku, tak terkecuali soal asmara yang membuatnya sampai takut gagal di masa
yang akan datang. Dia trauma kadang-kadang. Aku pun selalu siap menjadi
pendengar setia. Sampai sebuah sore, dia datang ke rumahku seraya
berteriak-teriak dari depan rumah. Langsunglah aku diajaknya menuju sebuah
pantai. Pantai itu dulu pernah kami sambangi bersama. Seringlah kami
bercakap-cakap di sana, di atas batu granit legam nan raksasa. Sayang, belum
ada jalan berlapis aspal menuju ke pantai jelita itu. Sore itu pun, kami
langsung melompat pada salah satu batu granit paling raksasa. Dengan demikian,
leluasalah kami memandangi keindahan alam di penghujung barat Laut Jawa itu.
Dari
raut mukanya, aku tahu ada hal yang hendak dia sampaikan. Ia begitu riang sore
itu. Apa kataku, manakala aku menanya perihal niatnya untuk melamar seseorang
yang sudah ia sampaikan pada seseorang itu, pun pada orang tua dia sendiri,
dengan sumringah dia berkata bahwa ada seseorang yang tiba-tiba berhasil
membuat hatinya tentram. Duh, bingung aku jadinya. Bagaimana tidak, setahuku,
sebagaimana cerita dia, sudah mantap niatnya untuk menyunting seseorang yang
dulu memang sempat dekat dengannya. Perempuan itu sungguh jelita. Bila dia mau denganku, barangkali belum selesai dia bertanya sudah aku jawab
"ya". Sayangnya, menatapku pun dia tak sudi barangkali. Beruntunglah
kalau dia sampai menikah dengannya. Sayangnya, cerita sore itu merubah
segalanya.
“Jadi,
mana yang akan kamu jalani, kawan?” tak tahan aku tak bertanya.
“Entahlah.
Hanya saja, aku merasa nyaman dengan perempuan yang tiba-tiba datang itu,”
paparnya dengan senyum tak berhenti mengembang, Setelahnya, seperti yang telah
aku duga, tak berhenti pula dia memuji perempuan itu. Sesungguhnya, aku pun
tahu siapa gerangan perempuan itu. Dia memang perempuan baik. Jadi,
beruntunglah laki-laki yang bisa mendapatkan cintanya. Hanya saja, persoalan
sekarang bukanlah soal baiknya perempuan itu, melainkan soal pilihan yang harus
kawanku itu tetapkan. Jujur, aku tak mau dia menyakiti siapapun.
“Jadi?”
“Aku
ingin dengan dia yang sekarang,” jawabnya tanpa menatapku. Dasar gila. Sebagai
kawan, aku pun mendukung setiap keputusannya, selama itu baik baginya. Semoga
dia menjadi yang terakhir untukmu, begitu kira-kira kataku setelahnya. Oleh
entak karena apa, muka kawanku itu tiba-tiba berubah muram. Jadilah aku tak
enak hati. Ada apa ini? Dia menatapku. Aku mengangkat kedua alisku, member
isyarat ada hal apa lagi gerangan yang terjadi.
“Ada
apalagi? Bingung?”
“Bukan.
Aku tak bingung. Aku sudah mantap. Dia adalah sosok perempuan yang selama ini
aku idam-idamkan. Tuhan memang baik rupanya, kawan.”
“Lalu,
apa masalahmu?”
Dia
menarik nafas panjang seraya mebenarkan letak duduknya.
“Kadang-kadang,
aku berpikir, mengapa aku bisa selalu gagal soal cinta? Lebih-lebih pada
kegagalan yang terakhir, dengan dipilihnya laki-laki lain selain aku, aku
merasa bukanlah laki-laki terbaik baginya. Pilu rasanya membayangkan itu semua.
Mengapa aku tak bisa menjadi yang terbaik bagi dia?”
“Bukankah
kamu begitu bahagia dengan perempuan yang mencintaimu sekarang, dan kamu pun begitu
mencintainya?”
“Iya,
aku bahagia,” katanya.
“Lalu,
mengapa kamu terus bersedih hati?”
“Tiada
apa-apa. Hanya saja, aku sedih tidak bisa menjadi yang terbaik bagi kekasihku
dulu, hingga dia memilih laki-laki lain. Itu artinya, aku bukan yang terbaik baginya,
kawan.”
Aku
tersenyum, pahamlah aku maksudnya.
“Sekarang,
aku ingin bertanya sesuatu hal padamu,” kataku kemudian.
“Apa
itu?”
“Apakah
kamu merasakan bahwa kekasihmu sekarang adalah yang terbaik untukmu?”
“Tentu.
Dia adalah doaku yang dikabulkan oleh Tuhan. Dia adalah sosok perempuan yang
selama ini, sejak dulu, selalu aku pinta dalam setiap doaku itu.”
“Teranglah
sekarang. Benar barangkali katamu tadi. Kamu memang bukan yang terbaik bagi
kekasihmu yang dulu, barangkali laki-laki itulah yang terbaik. Tapi, tak usah
risau. Dengan begitu bahagianya kamu dengan perempuanmu yang sekarang,
perempuan yang katamu sosoknya selalu kamu pinta dalam setiap doa, perempuan
terbaik, itu artinya kekasihmu dulu pun bukan yang terbaik untukmu. Perempuan
kekasihmu yang sekaranglah yang terbaik untukmu, kawan. Seperti katamu tadi,
Tuhan itu baik. Itu barangkali sebabnya mengapa Dia tak menyatukan kamu dengan
kekasihmu dulu, sebab Dia sudah pasti tahu bahwa itu bukan yang terbaik untuk
kalian. Mungkin, akan ada hal terburuk yang akan terjadi bila kalian dulu tetap
terus bersama.”
Lama
sekali, kawanku itu masih terdiam. Dia menatap ombak sore itu yang saling
berkejaran, berlomba siapa cepat mencumbu pantai. Setelahnya, dia berpaling,
menatapku penuh misteri. Mudah-mudahan tak ada hantu pantai yang sedang tak
punya kerjaan sore itu, lalu masuk merasuki kawanku yang sedang tertimpa
gulana. Langsung dia tersenyum lebar, lebih lebar dari bibir seorang badut di
pesta ulang tahun, lalu merangkulku dengan erat. Eh, aku melihat-lihat
sekeliling. Beruntung, tak ada makhluk Tuhan bernama manusia yang melihat
adegan menggiurkan sore itu. Selamatlah reputasiku.
Bangka, 20 Agustus 2015