(Sumber: www.cartoonstock.com) |
Apakah kalian termasuk
golongan orang sial yang pernah salah menyapa orang? Coba bayangkan bagaimana
rasanya coba? Jangankan merasakan, membayangkannya pun rasanya….Alamaaaaak…Malu
tak tertahankan!!! Seorang teman pernah mengalami hal seperti ini. Nama teman
saya itu...Ah, sebut saja Bunga. Sesekali tak apalah si Bunga tak jadi nama
korban pencabulan, korban pemerkosaan, dan lain sebagainya yang berkaitan
dengan tindakan asusila yang menempatkan perempuan sebagai korban.
Singkat cerita, suatu
malam berjalan-jalanlah kami (saya, si Bunga, dua orang teman lain) di
Alun-Alum Taman Merdeka di Pangkalpinang. Orang-orang seolah tumpah ruah malam
itu di lapangan yang dulu bernama Lapangan Merdeka itu, tanah lapang di tengah
Pangkalpinang yang menurut sejarah dibangun oleh Belanda manakala masih
menjajah Indonesia. Perubahan wajah salah salah sudut kota yang semula adalah
lapangan seukuran lapangan bola pada umumnya, karena sehari-sehari memang
sering digunakan sebagai arena sepakbola, menjadi sebuah taman yang ditata
sedemikian rupa, menjadikan salah satu faktor penyebab mengapa kawasan ini
begitu ramai hampir setiap malam. Setelah berjalan-jalan kecil mengitari taman,
sampailah kami pada sebuah sudut dimana beberapa muda-mudi duduk. Siapa
mengira, Si Bunga tiba-tiba teriak dengan ringannya.
“Ocoooool…!!!”
Dan, kemudian hening.
Krik krik. Krik krik.
“Hah, bukan Ocooool….Huaaaaa….”
kemudian dia lari terbirit-birit, menghilang entah kemana. Malukah dia? Saya
yakin jawabannya 1000 persen “ya iya laaaah…”. Saya dan dua orang teman lain sebagai
teman Si Bunga malam itu pun rasanya tak kuasa menebalkan muka melihat
orang-orang seantero alun-alun taman yang menatap kami dengan beragam rupa. Ada
yanbg tertawa lebar barangkali, ada yang cuma cekikikan, ada yang menatap
dengan penuh tanya. Apalagi Si Bunga sudah menghilang malamm itu. Ibarat seekor
trenggiling, sudah mengggulungkan diri barangkali dia. Ah, pokoknya semua mata
tertuju padamu, eh, pada kami maksudnya. Kalau “padamu” milik yayasan istrinya
Harry Tanoesudibjo.
Perihal salah memanggil
orang, barangkali Si Bunga teman kami yang malang itu bukan satu-satunya orang.
Saya sendiri pun pernah mengalaminya. Dulu, waktu masih kecil, untungnya masih
kecil, saya pernah salah memeluk seorang ibu-ibu yang ternyata bukan ibu saya.
Oalah, sudah dengan penuh mesra dan rasa manja tiada tara ditambah
merengek-rengek yang tingkat kelebayannya hanya Tuhan yang tahu, si ibu-ibu
tiba-tiba berkata,”eh, salah, saya bukan ibu kamu. Ibu kami itu, di belakangmu…”
Horeeee, saya salah oraaaaang…Hahahaha…!!!
Lebih dari sepuluh
tahun kemudian, dihitung dari saat saya salah memeluk ibu-ibu, peristiwa berbeda
tetap mengandung rasa yang sama kembali terjadi. Saat itu, saya sedang berada
di Yogyakarta, kota paling istimewa yang kelak saat saya meninggalkannya
seolah-olah menarik-narik badan saya untuk segera kembali ke sana. Lebay? Coba
tanya dengan orang yang sudah pernah tinggal di sana, kecuali sama si…ah,
janganlah sebut-sebut nama itu, bagaimana pun dia teman satu fakultas dengan
saya, sudah minta maaf berkali-kali pula dia. Pokoknya, begitulah yang saya
rasakan. Saya yakin teman-teman saya yang lain pun mengalami hal yang sama.
Apalagi si Hendri, teman saya orang Bengkulu yang entabh karena alasan apa
sampai sekarang (setidaknya samapai saya menulis cerita ini) masih berada di
Yogyakarta. Sudah hamper sepauh abad rasanya usia teman saya yang satu itu,
hampirseparuh hidupnya pula dia habiskan di Yogyakarta. Dari Hendri pula saya
mendengar cerita perihal Yogyakarta yang menariknya untuk kembali bila di
sudahberada di Bengkulu.
Nah, kembali ke cerita
mula-mula. Saat itu, saya dan seorang perempuan, pokoknya perempuan yang
menambah kadar istimewa Yogyakarta menjadi semakin istimewa, hendak menontot
sebuah film produksi Hollywood di XXI di Jalan…Ah, lupa namanya. Sambungannya
ke Jalan Solo arah Bandara Adi Sutjipto. Injury time, menjelang film segera
diputar, kami langsung membeli tiket. Pintu teater sekian sudah dibuka.
Orang-orang pun segera masuk. Itu tandanya film akan segera dimulai. Ya,
sebagaimana jam yang tertera di tiket yang kami beli, tinggal beberapa menit
lagi film akan diputar. Tak mau ketinggalan setiap adegan (kalau tidak salah
ingat film The Host yang diangkat dari novel karya Stephenie Meyer, si eyang
Twilight), kami pun terlihat buru-buru. Si perempuan yang tadi saya sebutkan
sebelum cerita sampai ke sini, langsung menyerahkan salah satu tiket ke saya.
Saya tak mendengar jelas apa yang dia ucapkan saat menyerahkan tiket itu. Dia
langsung berjalan lagi, setengah berlari. Saya pun segera menyusul,
mengikutinya memasuki sebuh ruangan dalam bioskop.
Aneh, tidak ada
Mbak-Mbak cantik yang biasanya memeriksa tiket. Ah, mungkin karena filmnya sudah lama mulai, jadinya
Mbak-Mbak sudah tak di pintu itu lagi, sudah di dalam. Aneh untuk yang kedua
kalinya. Seingat saya, jalan menuju teater itu datar-datar saja, dan semakin ke
dalam semakin gelap. Sebaliknya, jalan yang saya tempuh saat itu malah semakin
menurun dan semakin terang. Ada apa ini? Cepat-cepat saya mengejar si perempuan
yang sudah tak tampak lagi belakangnya. Saat itu saya berjalan sedikit agak
menunduk, melihat-lihat nomor seat yang kelak akan saya tempati. Setelah saya
mengangkat muka….Astaga!!! Saya langsung berbalik arah, ingin menghilang rasanya
saat itu. Saya melihat puluhan perempuann sedang mencuci muka, mengecangkan
ikat pinggang, merapikan ini itu, termasuk merapikan letak…Ternyata saya masuk
toilet perempuan!!! This is Women’s Room, saudara-saudara!!! Pantas saja si
perempuan tadi buru-buru, lalu member salah satu tiket ke saya sambil
mengucapkabn sesuatu yang entah apa, ternyata dia mau ke toilet, dan member tiket
biar saya bisa masuk lebih dulu…Alamaaak!!!
Sebetulnya, ini bukan
satu-satunya kejadian memalukan yangsaya alami. Masih ada kejadian lain yang
sama-sama memalukan. Saat itu, saya dan beberapa orang teman lain menemani
teman lain juga, sebut saja Adam ke kantor Telkomsel Yogyakarta yang ada di
Jalan Sudirman, pertigaan Jalan C. Simanjuntak. Niatnya baik, yakni menemani
Adam mengurusi iPad sang ibunda tersayangnya yang walaupun setiap kali
bertelpon ria pasti selalu diakhiri dengan pertengkaran dengan hasil akhir muka
Adam yang masam. Ibunya Adam mengandalkan salah satu produk perusahaan anak
BUMN itu untuk mengoperasikan gadgetnya. Sementara Adam
ber-entah-berkeluh-kesah-entah-bertengkar dengan pegawainya, kami duduk di
sebuah kursi panjang. Tiba-tiba saya mendapat panggilan alam, menunaikan salah
satu kewajiban akibat terlampau banyak minum. Maka, bertanyalah saya pada
seorang pegawai.
“Mas, toilet dimana ya?”
“Oh, di belakang,
tinggal lurus, dibelakang tembok…”
Sebetulnya ingin
rasanya saya mengatakan sesuatu kepada Mas-Mas itu,”Lha iya lah, Mas, masak
toilet di depan, memangnya saya mau nyiram rumput…” Ah, sudahlah tapi. Saya
sudah tak tahan lagi. Setengah berlari, saya langsung masuk sebuah ruangan dan
mengarahkan salah satu asset kesayangan sekaligus kebanggaan saya pada tempat
yang telah disediakan. Hmmmh…Lega!!! Setelah mengemasnya kembali, cuci sana
cuci sini, saya langsung keluar. Saya merasa ada yang aneh ketika kaki ini
berayun selangkah demi selangkah. Sekali lagi, semua mata tertuju pada…Dan,
yang menatap itu semuanya perempuan. Hmmmh, saya mulai menduga-duga seraya
senyum-senyum sendiri, seraya pula mempercepat langkah sebelum banyak mata lagi
yang datang. Setelah melewati pintu masuk, saya langsung menoleh ke belakang,
mencari sesuatu…Jenggot Merlin, sebuah gambar manusia sedang menggunakan rok
berbentuk segi tiga tersenyum padaku. Ini toilet perempuan!!!
Pangkalpinang, 30
September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar