Senin, 29 September 2014

WOMEN'S ROOM



(Sumber: www.cartoonstock.com)


Apakah kalian termasuk golongan orang sial yang pernah salah menyapa orang? Coba bayangkan bagaimana rasanya coba? Jangankan merasakan, membayangkannya pun rasanya….Alamaaaaak…Malu tak tertahankan!!! Seorang teman pernah mengalami hal seperti ini. Nama teman saya itu...Ah, sebut saja Bunga. Sesekali tak apalah si Bunga tak jadi nama korban pencabulan, korban pemerkosaan, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan tindakan asusila yang menempatkan perempuan sebagai korban.

Singkat cerita, suatu malam berjalan-jalanlah kami (saya, si Bunga, dua orang teman lain) di Alun-Alum Taman Merdeka di Pangkalpinang. Orang-orang seolah tumpah ruah malam itu di lapangan yang dulu bernama Lapangan Merdeka itu, tanah lapang di tengah Pangkalpinang yang menurut sejarah dibangun oleh Belanda manakala masih menjajah Indonesia. Perubahan wajah salah salah sudut kota yang semula adalah lapangan seukuran lapangan bola pada umumnya, karena sehari-sehari memang sering digunakan sebagai arena sepakbola, menjadi sebuah taman yang ditata sedemikian rupa, menjadikan salah satu faktor penyebab mengapa kawasan ini begitu ramai hampir setiap malam. Setelah berjalan-jalan kecil mengitari taman, sampailah kami pada sebuah sudut dimana beberapa muda-mudi duduk. Siapa mengira, Si Bunga tiba-tiba teriak dengan ringannya.

“Ocoooool…!!!”

Dan, kemudian hening. Krik krik. Krik krik.

“Hah, bukan Ocooool….Huaaaaa….” kemudian dia lari terbirit-birit, menghilang entah kemana. Malukah dia? Saya yakin jawabannya 1000 persen “ya iya laaaah…”. Saya dan dua orang teman lain sebagai teman Si Bunga malam itu pun rasanya tak kuasa menebalkan muka melihat orang-orang seantero alun-alun taman yang menatap kami dengan beragam rupa. Ada yanbg tertawa lebar barangkali, ada yang cuma cekikikan, ada yang menatap dengan penuh tanya. Apalagi Si Bunga sudah menghilang malamm itu. Ibarat seekor trenggiling, sudah mengggulungkan diri barangkali dia. Ah, pokoknya semua mata tertuju padamu, eh, pada kami maksudnya. Kalau “padamu” milik yayasan istrinya Harry Tanoesudibjo.

Perihal salah memanggil orang, barangkali Si Bunga teman kami yang malang itu bukan satu-satunya orang. Saya sendiri pun pernah mengalaminya. Dulu, waktu masih kecil, untungnya masih kecil, saya pernah salah memeluk seorang ibu-ibu yang ternyata bukan ibu saya. Oalah, sudah dengan penuh mesra dan rasa manja tiada tara ditambah merengek-rengek yang tingkat kelebayannya hanya Tuhan yang tahu, si ibu-ibu tiba-tiba berkata,”eh, salah, saya bukan ibu kamu. Ibu kami itu, di belakangmu…” Horeeee, saya salah oraaaaang…Hahahaha…!!!

Lebih dari sepuluh tahun kemudian, dihitung dari saat saya salah memeluk ibu-ibu, peristiwa berbeda tetap mengandung rasa yang sama kembali terjadi. Saat itu, saya sedang berada di Yogyakarta, kota paling istimewa yang kelak saat saya meninggalkannya seolah-olah menarik-narik badan saya untuk segera kembali ke sana. Lebay? Coba tanya dengan orang yang sudah pernah tinggal di sana, kecuali sama si…ah, janganlah sebut-sebut nama itu, bagaimana pun dia teman satu fakultas dengan saya, sudah minta maaf berkali-kali pula dia. Pokoknya, begitulah yang saya rasakan. Saya yakin teman-teman saya yang lain pun mengalami hal yang sama. Apalagi si Hendri, teman saya orang Bengkulu yang entabh karena alasan apa sampai sekarang (setidaknya samapai saya menulis cerita ini) masih berada di Yogyakarta. Sudah hamper sepauh abad rasanya usia teman saya yang satu itu, hampirseparuh hidupnya pula dia habiskan di Yogyakarta. Dari Hendri pula saya mendengar cerita perihal Yogyakarta yang menariknya untuk kembali bila di sudahberada di Bengkulu.

Nah, kembali ke cerita mula-mula. Saat itu, saya dan seorang perempuan, pokoknya perempuan yang menambah kadar istimewa Yogyakarta menjadi semakin istimewa, hendak menontot sebuah film produksi Hollywood di XXI di Jalan…Ah, lupa namanya. Sambungannya ke Jalan Solo arah Bandara Adi Sutjipto. Injury time, menjelang film segera diputar, kami langsung membeli tiket. Pintu teater sekian sudah dibuka. Orang-orang pun segera masuk. Itu tandanya film akan segera dimulai. Ya, sebagaimana jam yang tertera di tiket yang kami beli, tinggal beberapa menit lagi film akan diputar. Tak mau ketinggalan setiap adegan (kalau tidak salah ingat film The Host yang diangkat dari novel karya Stephenie Meyer, si eyang Twilight), kami pun terlihat buru-buru. Si perempuan yang tadi saya sebutkan sebelum cerita sampai ke sini, langsung menyerahkan salah satu tiket ke saya. Saya tak mendengar jelas apa yang dia ucapkan saat menyerahkan tiket itu. Dia langsung berjalan lagi, setengah berlari. Saya pun segera menyusul, mengikutinya memasuki sebuh ruangan dalam bioskop.

Aneh, tidak ada Mbak-Mbak cantik yang biasanya memeriksa tiket. Ah, mungkin  karena filmnya sudah lama mulai, jadinya Mbak-Mbak sudah tak di pintu itu lagi, sudah di dalam. Aneh untuk yang kedua kalinya. Seingat saya, jalan menuju teater itu datar-datar saja, dan semakin ke dalam semakin gelap. Sebaliknya, jalan yang saya tempuh saat itu malah semakin menurun dan semakin terang. Ada apa ini? Cepat-cepat saya mengejar si perempuan yang sudah tak tampak lagi belakangnya. Saat itu saya berjalan sedikit agak menunduk, melihat-lihat nomor seat yang kelak akan saya tempati. Setelah saya mengangkat muka….Astaga!!! Saya langsung berbalik arah, ingin menghilang rasanya saat itu. Saya melihat puluhan perempuann sedang mencuci muka, mengecangkan ikat pinggang, merapikan ini itu, termasuk merapikan letak…Ternyata saya masuk toilet perempuan!!! This is Women’s Room, saudara-saudara!!! Pantas saja si perempuan tadi buru-buru, lalu member salah satu tiket ke saya sambil mengucapkabn sesuatu yang entah apa, ternyata dia mau ke toilet, dan member tiket biar saya bisa masuk lebih dulu…Alamaaak!!!
Sebetulnya, ini bukan satu-satunya kejadian memalukan yangsaya alami. Masih ada kejadian lain yang sama-sama memalukan. Saat itu, saya dan beberapa orang teman lain menemani teman lain juga, sebut saja Adam ke kantor Telkomsel Yogyakarta yang ada di Jalan Sudirman, pertigaan Jalan C. Simanjuntak. Niatnya baik, yakni menemani Adam mengurusi iPad sang ibunda tersayangnya yang walaupun setiap kali bertelpon ria pasti selalu diakhiri dengan pertengkaran dengan hasil akhir muka Adam yang masam. Ibunya Adam mengandalkan salah satu produk perusahaan anak BUMN itu untuk mengoperasikan gadgetnya. Sementara Adam ber-entah-berkeluh-kesah-entah-bertengkar dengan pegawainya, kami duduk di sebuah kursi panjang. Tiba-tiba saya mendapat panggilan alam, menunaikan salah satu kewajiban akibat terlampau banyak minum. Maka, bertanyalah saya pada seorang pegawai.

“Mas, toilet dimana ya?”

“Oh, di belakang, tinggal lurus, dibelakang tembok…”

Sebetulnya ingin rasanya saya mengatakan sesuatu kepada Mas-Mas itu,”Lha iya lah, Mas, masak toilet di depan, memangnya saya mau nyiram rumput…” Ah, sudahlah tapi. Saya sudah tak tahan lagi. Setengah berlari, saya langsung masuk sebuah ruangan dan mengarahkan salah satu asset kesayangan sekaligus kebanggaan saya pada tempat yang telah disediakan. Hmmmh…Lega!!! Setelah mengemasnya kembali, cuci sana cuci sini, saya langsung keluar. Saya merasa ada yang aneh ketika kaki ini berayun selangkah demi selangkah. Sekali lagi, semua mata tertuju pada…Dan, yang menatap itu semuanya perempuan. Hmmmh, saya mulai menduga-duga seraya senyum-senyum sendiri, seraya pula mempercepat langkah sebelum banyak mata lagi yang datang. Setelah melewati pintu masuk, saya langsung menoleh ke belakang, mencari sesuatu…Jenggot Merlin, sebuah gambar manusia sedang menggunakan rok berbentuk segi tiga tersenyum padaku. Ini toilet perempuan!!!

Pangkalpinang, 30 September 2014