Senin, 02 Januari 2017

BERMIMPI DI NEGERI JIRAN (MALAYSIA), TERBANGUN DI NEGERI GAJAH PUTIH (THAILAND)


Siapa pun, saya yakin punya keinginan untuk bisa menginjakkan kaki di negara orang, tak terkecuali diri saya sendiri. Hanya saja, terkadang keinginan itu terkendala oleh biaya. Apalagi sebagian besar orang beranggapan  bahwa jalan-jalan ke luar negeri itu membutuhkan biaya yang lumayan tinggi. Semula saya pun beranggapan sama, sekalipun kemudian hari saya tahu  bahwa tidak semua jalan-jalan ke luar negeri itu mahal. Bahkan, ada beberapa negara yang apabila didatangi biayanya jauh lebih murah dibandingkan berlibur di sebuah destinasi di Indonesia.

Sekalipun tahu bahwa liburan di negara orang itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, saya tetap berkeinginan untuk bisa sesekali menginjakkan kaki di tanah orang.  Di kawasan Asia Tengga, salah satu negara yang paling ingin saya datangi adalah Thailand. Dengar-dengar, negara itu punya begitu banyak tempat wisata yang menawarkan pemandangan menarik dan unik. Salah satu tempat di Thailand yang membuat saya jatuh cinta pada negeri yang tidak pernah dijajah itu adalah Phuket. Dari sejumlah gambar yang sering saya dapati saat berselancar di dunia maya, saya mengetahui bahwa pulau itu betul-betul rupawan.

Sebelum menginjakkan kaki di negara orang, dalam hati hati saya pernah berjanji bahwa apabila kelak saya diberi kesempatan untuk menjelajahi negeri orang, maka negara pertama yang harus saya jelajahi adalah satu satu negara yang terletak di Asia Tenggara. Alhamdulillah, janji itu berhasil saya tunaikan manakala pada awal tahun 2014, saya dinobatkan menjadi salah satu pemenang di ajang D'Traveler of The Year 2013 yang diselenggarakan oleh detikTravel, kanal berita khusus pariwisata yang dimiliki oleh DetikCom. Beberapa minggu setelahnya, berangkatlah saya dan beberpa orang pemenang lain menuju Malaysia. Malaysia merupakan negara yang menjadi hadiah bagi para pemenang kala itu.

Jalan-jalan gratis di Malaysia rupanya membuat saya terus berkeinginan untuk bisa jalan-jalan di negara orang. Dari lantai 19 sebuah hotel di pusat Kuala Lumpur, seraya memandangi Petronas Twin Tower yang perkasa pada sebuah pagi, saya berjanji untuk bisa datang lagi ke negeri lain setelah ini. Siapa mengira, tak kurang dari 2 tahun setelah itu, apa yang saya ikrarkan kala itu kembali diwujudkan oleh Tuhan. Setelah dua tahun berturut menyandang gelar D'Traveler of The Year untuk kategori The Most Published Article, pada tahun 1015 saya diniobatkan menjadi pemenang utama D'Traveler of The Year 2015. Hadiahnya adalah jalan-jalan gratis selama 4 hari 3 malam di Thailand bersama seorang teman, uang tunai senilai Rp. 5.000.000, serta merchandise menarik dari detikTravel.



Pada tanggal 7 Mei 2016, pukul 10.15 WIB, saya dan Anggun Saputra yang tak lain adalah adik kandung saya, terbang menuju Bangkok, dari Soekarno Hatta International Airpiort di Cengkareng. Sekitar kurang lebih 4 jam lamanya, pesawat Thai Lion Air dengan nomor penerbangan SL 119 mencium landasan pacu Don Mueang International Airport di sudut Bangkok. Di ruang kedatangan, seorang bapak-bapak dengan selembar kertas bertuliskan "Mr. Darwance & Mr. Anggun Saputra Indonesia" sudah menunggu kami.

"Perkenalkan, nama saya Pacha, panggil saja Oom Pacha," begitu bapak-bapak yang kemudian menjadi tour guide kami dengan bahasa Indonesia berlogat Thai yang ia kuasai. Dimulailah petualangan saya di Thailand, negara yang dulu sangat saya damba-dambkan untuk segera didatangi.

Sepanjang perjalanan dari bandara menuju Baiyoke Boutique Hotel di pusat Bangkok, Oom Pacha mengawali ceritanya perihal Bangkok, sang ibukota negara yang katanya tak jauh beda dengan Jakarta. Seraya menyimak dengan seksama cerita Oom Pacha yang rupanya seorang Muslim, tak lupa saya membidik setiap sudut Bangkok yang kami lewati dengan sebuah kamera sederhana. Sekilas, Bangkok memang mirip dengan wajah Jakarta. Bedanya, cuaca di Bangkok jauh lebih panas kala itu, tetapi jauh lebih teratur dibandingkan dengan Jakarta. Hampir tak terdengar suara klakson di depanjang Jalan.

"Apabila ada bunyi klakson, pengemudinya pasti baru saja tinggal di Bangkok. Buktinya dia tidak sabar," lanjut Oom Pacha.

Setengah perjalanan, kami melewati sebuah gedung tinggi yang hampir seluruh salah satu sisinya ditutupi oleh gambar seorang laki-laki gagah berkacamata. Belum sempat bertanya kepada Oom Pacha perihal laki-laki itu, Oom Pacha langsung menoleh kepada kami dengan sebuah mikropon khas pemandu wisata di tangannya.

"Nah, itu raja kami. Namanya Raja Bhumibol Adulyadej, dia adalah orang yang paling dihormati di Thailand," tutur Oom Pacha dilanjutkan dengan penjelasannya perihal sistem pemerintahan di Thailand. Soal sistem pemerintahan inilah yang membuat saya bangga dengan Indonesia. Proses transisi pemerintahan di Indonesia jauh lebih stabil dibandingkan dengan Thailand. Sampai saat itu, tidak ada orang yang mengisi jabatan perdana menteri secara resmi. Semuanya diambil alih oleh militer setelah kudeta yang menumbangkan Yingluck Sinawatra.

"Di sini yang paling tinggi adalah raja, kalau di Indonesia presiden ya? Presiden Jokowi ya? Jokowi adalah orang Indonesia paling terkenal saat ini di Thailand, sama Ahok juga," lanjut Oom Pacha mengundang tawa kami seketika.

Semakin lama, semakin tinggi rasanya gedung-gedung yang kami lewati. Itu artinya, kami sudah memasuki kawasan pusat kota. Selang tak berapa lama, sampailah kami di depan Baiyoke Boutique Hotel. Hotel ini merupakan salah satu hotel di komplek Baiyoke Sky Building, yang tak lain adalah gedung tertinggi di Thailand. Oom Pacha ikut mengantarkan kami sampai ke lobi. Setelahnya, Oom Pacha dan seorang driver yang menemaninya mohon diri.
"Besok pukul delapan pagi, kami akan kembali ke sini. Sekarang, silakan istirahat terlebih dahulu,"tutup Oom Pacha sore menjelang petang itu.

Setelah menyimpan barang bawaan di dalam kamar hotel tempat kami menginap, saya dan adik mencari makan di Indra Square, tak jauh dari hotel kami menginap. Harga makanan di Thailand tak jauh berbeda dengan di Indonesia, bahkan tergolong murah. Sore itu misalnya, untuk 2 piring nasi ayam, kami hanya membayar 90 Baht atau setara dengan Rp. 35.000.

Pukul delapan pagi, hari kedua kami di Thailand, saya dan adik sudah menunggu Oom Pacha di lobi, sesuai dengan janji kami kemarin petang. Lima belas menit kemudian, Oom Pacha tiba. Oleh Oom Pacha, kami langsung diajak jalan-jalan menggunakan sebuah minibus berkapasitas sampai 12 orang. Hanya saja, kala itu kami hanya 7 orang, ditambah satu keluarga berjumlah 3 orang yang sama-sama berasal dari Indonesia, serta Oom Pacha dan drivernya sendiri. Sebagaimana itnerary yang kami terima, hari itu kami akan menyeberangi Sungai Chao Phraya menuju Wat Arun, ke Reclining Buddha Temple, lalu melanjutkan perjalanan menuju Pattaya. Di Pattaya, masih di hari yang sama, kami akan mengunjungi Honey Bee Farm, Pattaya Floating Market, dan 3D Art In Paradise Museum.

Setengah jam perjalanan, setelah melewati beberapa ruas jalan utama di Bangkok, kawasan China Town yang apik, tibalah kami di tepi Sungai Chao Phraya. Setelah membeli tiket, Oom Pacha langsung mengajak kami masuk ke dalam sebuah dermaga yang terbuat dari papan, lalu melompat ke atas sebuah kapal berukuran lumayan raksasa. Kapal inilah yang kelak akan membawa kami melintasi Sungai Chao Phraya, lalu berlabuh di tepi Wat Arun. Sepanjang perjalanan menuju Wat Arun, tergambar betapa megahnya Bangkok dengan gedung-gedungnya yang menjulang tinggi, serta pemukiman tepi sungai yang tertata dengan rapi. Sebuah perpaduan wajah kota yang sungguh menarik.

Lima menit lamanya, tibalah kami di daratan dimana Wat Arun berdiri dengan gagahnya. at Arun merupakan salah satu candi Buddha, agama yang paling banyak dipeluk oleh penduduk Thailand. Candi dengan bangunan utama yang menjulang ini terletak di distrik Bangkok Yai di Bangkok, Thailand, tepatnya di barat hulu sungai Chao Phraya. Kala itu, Wat Arun sedang direnovasi, ditandai dengan sejumlah peralatan konstruksi yang menopang bagian utama candi. Sekalipun demikian, kami tetap bisa menikmati sisi lain Thailand di sini.


Selain menikmati kecantikan dan keunikan Wat Arun, kami pun berkesempatn untuk berbelanja oleh-oleh di pasar yang ada di komplek Wat Arun. Harga oleh-oleh disini sangatlah murah dibandingkan di tempat lain yang ada di Thailand, apalagi mayoritas pedangangnya pandai berbahasa Indonesia. Tambahan lagi, mereka menerima uang Rupiah!

Selesai menelusuri Wat Arun, kami kembali menyeberangi Sungai Chaophraya dengan kapal yang sama. Destinasi kami selanjutnya adalah Wat Pho, yakni sebuah kuil yang di dalamnya terbaring dengan elegan sebuah patung Buddha berukuran raksasa. Patung ini dibangun oleh Raja Rama III pada tahun 1832 silam. Menurut penuturan pemandu kami, Reclining Buddha ini merupakan salah satu patung Buddha paling terkenal di dunia dengan panjang 46 meter dan tinggi 15 meter. Satu hal lagi yang menarik, patung ini dilapisi emas 18 karat dengan rincian 336 lapisan di seluruh permukaannya

Siang mulai datang. Perlahan, matahari sudah berada di atas kepala. Bangkok semakin panas oleh terik matahari yang sudah jarang berselang dengan hujan. Orang-orang yang keluar kuil selalu meangibas-ngibas wajahnya dengan apa pun yang sedang mereka pegang, seraya memasang muka mengernyit menahan sengatan sang raja siang.

"Sudah foto-fotonya?" ujar Oom Pacha yang tiba-tiba sudah datang menghampiri kami. "Mari ikut Oom, kita makan siang dulu,"lanjut Oom Pacha menggiring kami memasuki mobil yang tak lama setelahnya meluncur di jalan-jalan Bangkok yang cerah. Puncak-puncak pagoda khas Thailand menghiasi setiap sudut kota.

Selepas makan siang di sebuah restaurant yang berada di Nouvo City Hotel, kami langsung berangkat menuju Pattaya. Oom Pacha bilang, perjalanan menuju Pattaya akan memakan waktu kurang lebih 2 jam perjalanan. Itu sebabnya, kami diminta Oom Pacha untuk buang air kecil terlebih dahulu, karena sepanjang perjalanan hampir tidak ada pesinggahan yang akan kami lewati. Setibanya di Bangkok sehari sebelumnya, saya memang langsung memperhatikan lanskap Thailand lantas membandingkan dengan Indonesia. Soal jalan raya, Thailand sepertinya jauh melampaui Indonesia. Sepanjang Bangkok menuju Thailand saja misalnya, jalannya lebar lagi rata. Hampir tidak ada laubang sama sekali sebagaimana jalan tol di Indonesia.

Setengah jam sebelum tiba di pusat Pattaya, kami singgah terlebih dahulu di Honey Bee Farm. Di sana, kami diajak melihat beraneka jenis lebah penghasil madu, sampai ke proses pengolahan madu hingga menjadi obat yang bisa mengobati berbagai macam jenis penyakit. Satu hal yang menarik di sini, yakni pegawai perusahaan yang sekaligus bertindak sebagai pemandunya adalah orang Indonesia asli. Laki-laki mirip Van Diesel itu sudah beberapa tahun bekerja di salah satu perusahaan madu terbaik di dunia ini.

Perjalanan kami lanjutkan menuju Pattaya. Sesampainya di sana, kami langsung diajak Oom Pacha menuju Pattaya Floating Market, pasar apung yang salah satunya adalah tempat para pedagang menjajakan aneka rupa jananan khas Thailand, mulai dari makanan tradisional, seafood, hingga aneka rupa makanan ekstrem, salah satunya adalah kalajengking.Selain sebagian pedagang yang memang menjajakan dagangannya seraya mengapung di atas perahu kecil, di pasar ini juga disajikan aneka kesenian khas Thailand, salah satunya adalah musik tradisonal yang apabila sedang beruntung, dapat kita saksikan mereka memainkannya diatas perahu menelusuri area pasar dari kios yang satu ke kios yang satunya lagi.



Destinasi kami selanjutnya adalah 3D Art In Paradise Museum. Sebagaimana namanya, 3D Art In Pradise Museum merupkan sebuah galeri yang menyajikan beragam lukisan dalam format 3 dimensi. Sekilas, tak ada yang istimewa di tempat ini, selain lukisan yang terpajang di dinding. Hanya saja, keistimewaan itu baru terasa manakala lukisan-lukisan itu dibidik dan dilihat dari kamera. Dari kamera, orang yang berada di depan lukisan itu seolah-olah sedang berada di dalamnya secara nyata. Contohnya adalah lukisan sampul majalah Times, yang apabila seseorang berada di depannya, lalu dibidik dengan kamera, makan hasilnya orang yang dipotret tersebut seolah-olah sedang berada di sampul majalah Times versi nyata. 3D Art In Paradise Museum merupakan destinasi terakhir kami di hari kedua jalan-jalan di Thailand.

Pattaya mulai petang. Malam mulai menampakkan wujudnya yang legam. Seraya menjelaskan perihal kehidupan di Pattaya, terutama kehidupan malam yang identik dengan para ladyboy, Oom Pacha mengajak kami makan di sebuah restoran halal tak jauh dari bibir pantai. Namanya Harbour Restaurant, terletak disebuah hotel tak jauh dari bibir pantai di Pattaya. Sebagaimana namanya, restaurant ini menyajikan menu seafood, lengkap dengan pramusaji bergaya kru kapal.

"Ini restoran khusus wisatawan Muslim," terang Oom Pacha, sebelum akhirnya mengantar menuju All Season Hotel, tempat menginap kami di Pattaya.

Hati ketiga di Thailand, destinasi pertama kami adalah Noong Nooch Village. Di sini, kami menyaksikan pertunjukan keseninan tradisonal khas Thailand yang spektakuler, ratusan orang memperagakan beragam jenis tari diiringi musik dan pencahayaan yang mengagumkan dalam sebuah ruangan yang lebih mirip bioskop ukuran raksasa. Setelahnya, kami kembali disuguhkan pertunjukan yang tidak kalah menarik,yakni elephant show. Pada pertunjukan kali ini, kami menyaksikan puluhan gajah memperagakan beragam jenis pertunjukan, mulai dari menari hingga memperagakan beragam jenis olahraga. Foto-foto bersama gajah-gajah itu merupakan sebuah kenangan tak terlupakan di sini.



Sebelum meninggalkan arena Noong Nooch Village yang asri dengan pemandangannya yang hijau, kami makan siang terlebih dahulu di Noong Nooch Restaurant yang masih berada di arena yang sama. Selesai mengisi energi untuk mengeksplolasi Thailand hari ketiga itu, saya dan sang adik langsung mengelilingi komplek Noong Nooch Village barang sejenak, memanfaatkan waktu yang tersisa dengan menelusuri taman-taman bunganya yang ditumbuhi bunga aneka rupa dan warna, serta patung-patung beragam jenis hewan yang letaknya saling berkelompok. Sungguh suasana yang sangat menyenangkan. Setelahnya, kami langsung menghampiri Oom Pacha yang sudah siap membawa kami ke tempat berikutnya.

"Sudah kenyang?" tanya Oom Pacah seraya tertawa. "Bila sudah, selanjutnya kita akan menuju Laser Buddha," tambahnya seraya menjelaskan sekilas tentang Laser Buddha. Laser Buddha merupakan sebuah bukit berbatu yang salah satu sisinya bersemayam patung Buddha. Patung ini sengaja dibuat oleh pemerintah Thailand menggunakan laser, berbahan emas murni. Itu sebabnya kemudian tempat ini dikenal dengan nama Laser Buddha.

Matahari di Pattaya sangat terik siang itu. Pohon-pohon yang tumbuh di sekitar Laser Buddha seolah tak mampu membendung sengatannya yang seolah masuk hingga dasar tulang. Oom Pacha pun lebih memilih berteduh di bawah sebuah pohon, sebelum akhirnya membawa kami kembali ke Bangkok, sang ibukota negara Thailand. Sebelum tiba di Bangkok, kami singgah di sebuah dried food market yang terletak di antara Bangkok dan Pattaya. Setelah saya perhatikan dengan seksama, toko oleh-oleh yang juga menjual baju dan souvenir khas Thailand ini hari itu dipenuhi oleh wiisatawan yang sebagian besar berasal dari Indonesia.

Setibanya di Bangkok, kami diajak Oom Pacha mengunjungi MBK Mall, salah satu pusat perbelanjaan paling besar dan paling terkenal di pusat kota Bangkok, lalu mendatangi Asiatique Night Market di tepi Sungai Chao Phraya untuk menyaksikan cantiknya matahari tenggelam, sebelum akhirnya kembali ke hotel tempat kami bermalam. Asiatique merupakan sejenis pusat perbelanjaan dengan konsep terbuka yang ada di Bangkok, menghadap langsung ke arah Sungai Chao Phraya. Asiatique menjadi tempat menikmati matahari tenggelam paling romantis di sana.



Hari keempat kami di Thailand, sekaligus merupakan hari terakhir kami di negeri Raja Bhumibol Adulyadej. Sebagaimana jadwal penerbangan di tiket yang kami terima, kami akan terbang kembali ke Jakarta pukul 5 sore. Seraya menunggu Oom Pacha menjemput kami ke bandara, saya mengajak adik mengelili Platunam Market, siapa tahu ada sesuatu yang ingin kami beli untuk di bawa ke Indonesia. Sekita pukul 4 sore kami berangkat menuju Don Mueang International Airport. Pukul 7 malam, pesawat Thai Lion Air dengan  nomor penerbangan SL 118 meninggalkan Bangkok, dan mencium tanah Jakarta seitar 4 jam kemudian. Sebuah perjalanan yang sangat menyenangkan, apalagi bisa mengajak sang adik tersayang. Terimakasih detikTravel. Terimakasih atas segala keunikanmu, Thailand!