Museum Timah Indonesia di Pangkalpinang tampak depan |
Sedari dulu, Pulau Bangka dikenal sebagai daerah tambang,
utamanya timah yang memang sudah menjadi sumber daya alam identitas daerah ini.
Sekalipun berlatar belakang Pulau Belitung, saudara Pulau Bangka, Laskar
Pelangi adalah gambaran kondisi sejarah pertambangan timah di daerah ini. Untuk
mengetahui sejarah pertambangan timah di Pulau Bangka, didirikanlah dua museum
yang khusus menyimpan benda dan manuskrip yang berkisah tentang sejarah timah,
salah satunya adalah Museum Timah Indonesia yang terletak di Pangkalpinang,
ibukota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Selain soal sejarah timah, museum
ini juga berkisah tentang perjuangan para pendiri bangsa mempertahankan
kemerdekaan Indonesia semasa diasingkan di Pulau Bangka.
Akhmad Elvian, dalam buku yang berjudul
"Toponim Kota Pangkalpinang" mengemukakan bahwa sejarah berdirinya
Museum Timah Indonesia bermula dari penguasaan Belanda atas Yogyakarta. Pada
saat itu, Yogyakarta adalah ibukota Republik Indonesia, yang kemudian dikuasai
oleh Belanda melalui agresi militer pada tanggal 19 Desember 1948. Istana
presiden di Yogyakarta dikepung oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kolonel
Van Langen. Mengingat kecilnya jumlah pasukan presiden kala itu, Presiden
Soekarno pun memutuskan untuk menyerah, sehingga pemimpin republik berserta 150
orang menjadi tahanan rumah selama tiga hari dalam istana kepresidenan di
Yogyakarta.
Atas perintah Kolonel Van Langen, para pemimpin
republik yang telah ditahan untuk berangkat menuju pelabuhan udara di
Yogyakarta, pada tanggal 22 Desember 1948. Selanjutnya mereka diterbangkan
tanpa tujuan yang pasti, bahkan pilot yang ditugaskan pun baru mengetahui
tujuan mereka setelah membuka surat perntah dalam pesawat terbang. Sementara
itu, para pemimpin baru mengetahui keberadaan mereka setelah pesawat mendarat
di Pelabuhan Udara Kampung Dul di Pulau Bangka (sekarang Bandar Udara Depati
Amir yang dikelola PT. Angkasa Pura II). Hanya saja, Presiden Soekarno, Sultan
Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan menuju
Medan, Sumatera Utara, untuk diasingkan di Brastagi dan Parapat. Sedangkan
Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta, Kepala Staf Angkatan Udara RS. Soerjadarma,
ketua KNIP MR. Assaat, dan Sekretaris Negara MR. AG. Pringgodidgo diturunkan di
Kampung Dul, Pulau Bangka, untuk selanjutnya dibawa ke Gunung Menumbing di
Muntok, Bangka Barat, dengan pengawalan truk bermuatan tentara Belanda.
Pada tanggal 5 Februari 1949, Presiden Pertama RI
dan Menteri Luar Negeri kala itu Haji Agus Salim tiba di pelabuhan
Pangkalbalam, Pangkalpinang, dari pengasingan di Parapat dengan pesawat
Catalina untuk bergabung dengan pemimpin-pemimpin republik lainnya yang telah
diasingkan terlebih dahulu di Gunung Menumbing. Fakta historis menunjukkan
bahwa pusat pemerintahan Republik Indonesia saat itu berada di Pulau Bangka,
karena hampir separuh dari pemimpin-pemimpin republik berada di Pulau Bangka.
Perundingan dilakukan yang dilakukan oleh Belanda
dan pemimpin republic yang semula dilakukan di Gunung Menumbing, dpindahkan ke Pangkalpnang,
karena pesertanya bertambah dengan kehadiran pejabat dari Komisi Tiga Negara (KTN).
Lokasi perundingan ini adalah sebuah rumah yang sekarang menjadi Museum Timah Indonesia.
Sebagi konsekuensi dari Konferensi Roem-Royen atau Roem-Royen Statement pada tanggal
7 Mei 1949, pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan rombongan kembali
ke Yogyakarta, seraya mengatakan,"dari Pangkalpinang pangkal kemenangan
bagi perjuangan" yang sekerang dijadikan motto Pemerintah Kota Pangkalpinang,
pangkal kemenangan.
Replika salah satu alat penambangan timah yang dipajang di halaman depan Museum Timah Indonesia di Pangkalpinang |
Setelah masa kemerdekaan, pemerintah daerah
bekerja sama dengan perusahaan tambang timah, pesangrahan timah tersebut
diperbaiki untuk dijadikan museum dengan nama "Museum Wisma Budaya",
satu-satunya museum yang ada di Pulau Bangka saat itu. Pada tanggal 2 Agustus
1997, PT. Timah (Persero) Tbk, menjadikan bangunan ini sebagai Museum Timah
Indonesia. Sebetulnya, museum teknologi pertimahan yang saat ini dikelola oleh
PT. Tambang Timah (Persero) Tbk ini sudah berdiri sejak tahun 1958, bertujuan
mencatat sejarah pertimahan di Kepulauan Bangka Belitung sekaligus
memperkenalkannya kepada masyarakat perihal pertambangan timah. Museum ini
menempati sebuah gedung bersejarah yang awalnya adalah rumah dinas Hoofdt
Administrateur Banka Tin Winning (BTW). Dalam museum ini, ada banyak hal yang
bisa kita pelajari, utamanya perihal sejarah pertambangan timah di Indonesia,
terlebih pertambang timah di Pulau Bangka dan Pulau Belitung.
Sekalipun tugu prasasti yang asli sekarang
tersimpan di Museum Pusat di Jakarta, namun dalam museum ini kita juga bisa
mempelajari lebih jauh tentang prasasti Kota Kapur yang didirikan pada masa
Kerajaan Sriwijaya di Kota Kapur, Pulau Bangka, merupakan prasasti persumpahan,
berisi ancaman bagi mereka yang menentang raja Sriwijaya.
Selanjutnya, kita bisa mempelajari sejarah
eksplorasi bijih timah dengan pemboran yang mulanya dilakukan dengan alat bor
tusuk, diperkenalkan oleh pendatang China di awal abad 18. Orang China
menamakannya dengan sebutan Ciam yang berarti ujung runcing, sedangkan orang
Belanda menamakannya dengan sebutan Chinese Stick. Ciam adalah sebuah tongkat
yang terbuat dari tembaga, diujungnya terdapat takuk untuk mengambil contoh
lapisan tana. Contoh bagaimana alat bernama Ciam ini bisa kita lihat di Museum
Timah Indonesia.
Pengukuran sebagai bagian tidak terpisahkan dalam
kegiatan ekplorasi dan penambangan timah pun bisa kita pelajari di museum ini.
Pengukuran dengan menggunakan sistem optik telah dikenal sejak 1942, sedangkan
pengukuran dengan sinyal radio mulai diterapkan pada tahun 1966 dalam
eksplorasi di laut. Pengukuran mutakhir dengan menggunakan GPS (Global
Positioning System) mulai digunakan sejak 1990.
Sementara itu, penambangan dan eksplorasi timah
dilaut diawali pada tahun 1952, yakni sejak diciptakannya ponton bor Kontiki
dan Tahiti. Pada tahun 1966, di buat kapal bor Pelatuk yang dilengkapi dengan
alat bor yang sanggup mengebor hingga kedalaman 78 meter dan dilengkapi dengan
alat geofisik laut Sparker. Beberapa jenis ponton bor yang dikenal kemudian diantaranta
adalah elevated drilling rig KB Bintang, drilling barge Belibis dan drilling
barge yang dilengkapi dengan seismic Geomin.
Salah satu miniatur kapal keruk, alat penambangan timah dasar laut yang tersaji dengan apik di Museum Timah Indonesia di Pangkalpinang |
Penambangan timah pada awalnya sangat bergantung
pada tenaga manusia dengan peralatan sederhana. Penambangan modern diawali
sejak digunakannya mesin uap pada pertengahan abad ke-19. Penggalian timah
dengan cara sederhana diperkirakan telah dimulai oleh penduduk pribumi Bangka
sekitar abad ke-5, dengan menggunakan linggis sebagai alat untuk menggali
sumuran, yang dikenal dengan sebutan Sumur Palembang. Sementara itu pencucian
pasir timah dilakukan dengan batok kelapa dan dulang kayu.
Memasuki era modern, yakni di awal tahun 1850-an, penambang mencoba menggunakan alat mesin gali untuk mengganti tenaga kuli sebagai penggali tanah. Mulanya dicoba menggunakan eskavator seperti pada penambangan batubara di Sumatera, namun gagal. Di sungai pada awalnya dicobakan Edax. Pada pertengahan abad 19, penambangan mulai menggunakan mesin tenaga uap. Sedangkan kuda dan kereta dorong pun mulai digantikan oleh kereta api pada tahun 1885 dan mobil pada tahun 1910. Peralatan cuci (ore dressing) yang semula menggunakan batok kelapa, yang kemudian digantikan oleh dulang, pun diganti dengan mesin pencuci. Mesin pencuci pertama adalah JIG yang diperkenalkan di awal abad 20. Untuk pencucian yang lebih bersih lagi, dicitakan meja goyang, diikuti metode-metode lain pada kurun waktu berikutnya.
Pada penambangan modern, tambang primer (yakni
tambang pada deposit timah primer), dilakukan dengan dua pilihan tergantung
pada kondisi batuannya, yaitu sistem Underground (Tambang Dalam) dan Open Pit
(Tambang Terbuka). Selain kedua sistem tersebut, ada monitor atau juga dinamai
Meriam Air atau Water Gun, adalah alat penting dalam memisahkan butir-butir
timah dari unsur pengikatnya, seperti tanah liat, kaolin dan unsur lain yang menyertainya.
Penambangan timah di lepas pantai Indonesia
dengan menggunakan kapal keruk di mulai pada tahun 1910 di Pantai Dabo Singkep,
dengan menggunakan kapal keruk Dabo sebagai kapal pertama. Sepanjang abad
ke-20, sebanyak 42 kapal keruk penggali timah dengan berbagai ukuran telah beroperasi
di daerah ini.
Selanjutnya, masih di museum yang sama, kita pun
bisa mempelajari tata cara proses peleburan timah (smelter). Teknologi
peleburan timah sudah dikenal manusia sejak zaman Mesir Kuno dan Yunani Kuno.
Peleburan timah di Eropa sudah dikembangkan pada abad ke-14 Masehi oleh
Georgius Agricola yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Pertambangan dan Metalurgi
Dunia. Sementara itu, peleburan timah Era Industri di Indonesia di pelopori
oleh Dr. C.R. Vlandereen dengan memodernisasi peleburan sistem China.
Mulanya, peralatan penambangan timah terbuat dari
kayu, semasa belum ditemukannya besi di Pulau Bangka pada sekitar awal abad
ke-18, ditemukan di tambang kuno di daerah penagan, dekat Kota Kapur, Pulau
Bangka.Eksplorasi pencarian cadangan timah berlangsung di daratan dan perairan
Pulau Bangka, Belitung, Singkep, dan Karimun-Kundur. Mineral timah (SnO2),
diketemukan bersama mineral ikutan (associated minerals) antara lain Monazite,
Ilmeniter, Zircon dan Kwarsa.
Selama 100 tahun pertama berlangsungnya
penambangan timah di Pulau Bangka dan Belitung, para ahli percaya bahwa timah
alluvial di Pulau Bangka berasal dari sumber primernya di Semenanjung Malaya.
Pada tahun 1872, seorang ahli geologi BTW menemukan bukti di Bukit Sambunggiri
bahwa timah alluvial di Pulau Bangka berasal dari granit di pulau itu sendiri.
Mengenai granit, ada berbagai jenis batu granit, tetapi batu granit pembawa timah
adalah jenis Biotit Granit.
Apakah cuma sebatas itu isi museum ini? Masih ada
lagi ternyata, yakni perihal manuskrip awal penulisan sejarah Bangka. Sejarah
Bangka ditulis pertama kali oleh Haji Idris, seorang guru di Muntok, Bangka
Barat, pada tahun 1861 silam. Catatan sejarah ini dimutakhirkan oleh Abang
Arifin Tumenggung Kertanegara I pada tahun 1879 dan Abang Muhammad Ali
Tumenggung Kertanegara II pada tahun 1879, dilanjutkan oleh Raden Achmad dan
Abang Abdul Jajal pada tahun 1925.
Nah, sungguh banyak bukan hal yang dapat kita
pelajari di Museum Timah Indonesia di Pulau Bangka ini? Seraya mempelajarinya,
tentu saja secara langsung kita bisa melihat-lihat benda yang dijelaskan
tersebut diatas. Semuanya dikoleksi di Museum Timah Indonesia yang terletak di
Jalan Ahmad Yani, Nomor 179, Pangkalpinang, Bangka. Semua itu bisa kita pejari
gratis, sebab pengelola museum tidak memungut biaya sepersen pun dari
pengunjung yang datang. Museum ini buka Senin-Minggu, pukul 08.00 sampai dengan
16.00 WIB, sedangkan khusus hari Jumat museum ini ditutup untuk umum. Salam #pesonapangkalpinang !!!