Selasa, 06 September 2016

#PESONAPANGKALPINANG DAN SEJARAH BANGSA INDONESIA DI MUSEUM TIMAH TERBESAR DI INDONESIA

Museum Timah Indonesia di Pangkalpinang tampak depan
Sedari dulu, Pulau Bangka dikenal sebagai daerah tambang, utamanya timah yang memang sudah menjadi sumber daya alam identitas daerah ini. Sekalipun berlatar belakang Pulau Belitung, saudara Pulau Bangka, Laskar Pelangi adalah gambaran kondisi sejarah pertambangan timah di daerah ini. Untuk mengetahui sejarah pertambangan timah di Pulau Bangka, didirikanlah dua museum yang khusus menyimpan benda dan manuskrip yang berkisah tentang sejarah timah, salah satunya adalah Museum Timah Indonesia yang terletak di Pangkalpinang, ibukota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Selain soal sejarah timah, museum ini juga berkisah tentang perjuangan para pendiri bangsa mempertahankan kemerdekaan Indonesia semasa diasingkan di Pulau Bangka.

Akhmad Elvian, dalam buku yang berjudul "Toponim Kota Pangkalpinang" mengemukakan bahwa sejarah berdirinya Museum Timah Indonesia bermula dari penguasaan Belanda atas Yogyakarta. Pada saat itu, Yogyakarta adalah ibukota Republik Indonesia, yang kemudian dikuasai oleh Belanda melalui agresi militer pada tanggal 19 Desember 1948. Istana presiden di Yogyakarta dikepung oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kolonel Van Langen. Mengingat kecilnya jumlah pasukan presiden kala itu, Presiden Soekarno pun memutuskan untuk menyerah, sehingga pemimpin republik berserta 150 orang menjadi tahanan rumah selama tiga hari dalam istana kepresidenan di Yogyakarta.

Atas perintah Kolonel Van Langen, para pemimpin republik yang telah ditahan untuk berangkat menuju pelabuhan udara di Yogyakarta, pada tanggal 22 Desember 1948. Selanjutnya mereka diterbangkan tanpa tujuan yang pasti, bahkan pilot yang ditugaskan pun baru mengetahui tujuan mereka setelah membuka surat perntah dalam pesawat terbang. Sementara itu, para pemimpin baru mengetahui keberadaan mereka setelah pesawat mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul di Pulau Bangka (sekarang Bandar Udara Depati Amir yang dikelola PT. Angkasa Pura II). Hanya saja, Presiden Soekarno, Sultan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan menuju Medan, Sumatera Utara, untuk diasingkan di Brastagi dan Parapat. Sedangkan Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta, Kepala Staf Angkatan Udara RS. Soerjadarma, ketua KNIP MR. Assaat, dan Sekretaris Negara MR. AG. Pringgodidgo diturunkan di Kampung Dul, Pulau Bangka, untuk selanjutnya dibawa ke Gunung Menumbing di Muntok, Bangka Barat, dengan pengawalan truk bermuatan tentara Belanda.
Salah satu sudut Museum Timah Indonesia
Pada tanggal 5 Februari 1949, Presiden Pertama RI dan Menteri Luar Negeri kala itu Haji Agus Salim tiba di pelabuhan Pangkalbalam, Pangkalpinang, dari pengasingan di Parapat dengan pesawat Catalina untuk bergabung dengan pemimpin-pemimpin republik lainnya yang telah diasingkan terlebih dahulu di Gunung Menumbing. Fakta historis menunjukkan bahwa pusat pemerintahan Republik Indonesia saat itu berada di Pulau Bangka, karena hampir separuh dari pemimpin-pemimpin republik berada di Pulau Bangka.

Perundingan dilakukan yang dilakukan oleh Belanda dan pemimpin republic yang semula dilakukan di Gunung Menumbing, dpindahkan ke Pangkalpnang, karena pesertanya bertambah dengan kehadiran pejabat dari Komisi Tiga Negara (KTN). Lokasi perundingan ini adalah sebuah rumah yang sekarang menjadi Museum Timah Indonesia. Sebagi konsekuensi dari Konferensi Roem-Royen atau Roem-Royen Statement pada tanggal 7 Mei 1949, pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan rombongan kembali ke Yogyakarta, seraya mengatakan,"dari Pangkalpinang pangkal kemenangan bagi perjuangan" yang sekerang dijadikan motto Pemerintah Kota Pangkalpinang, pangkal kemenangan.
Replika salah satu alat penambangan timah yang dipajang di halaman depan Museum Timah Indonesia di Pangkalpinang
Setelah masa kemerdekaan, pemerintah daerah bekerja sama dengan perusahaan tambang timah, pesangrahan timah tersebut diperbaiki untuk dijadikan museum dengan nama "Museum Wisma Budaya", satu-satunya museum yang ada di Pulau Bangka saat itu. Pada tanggal 2 Agustus 1997, PT. Timah (Persero) Tbk, menjadikan bangunan ini sebagai Museum Timah Indonesia. Sebetulnya, museum teknologi pertimahan yang saat ini dikelola oleh PT. Tambang Timah (Persero) Tbk ini sudah berdiri sejak tahun 1958, bertujuan mencatat sejarah pertimahan di Kepulauan Bangka Belitung sekaligus memperkenalkannya kepada masyarakat perihal pertambangan timah. Museum ini menempati sebuah gedung bersejarah yang awalnya adalah rumah dinas Hoofdt Administrateur Banka Tin Winning (BTW). Dalam museum ini, ada banyak hal yang bisa kita pelajari, utamanya perihal sejarah pertambangan timah di Indonesia, terlebih pertambang timah di Pulau Bangka dan Pulau Belitung.

Sekalipun tugu prasasti yang asli sekarang tersimpan di Museum Pusat di Jakarta, namun dalam museum ini kita juga bisa mempelajari lebih jauh tentang prasasti Kota Kapur yang didirikan pada masa Kerajaan Sriwijaya di Kota Kapur, Pulau Bangka, merupakan prasasti persumpahan, berisi ancaman bagi mereka yang menentang raja Sriwijaya.
Replika Prasasti Kota Kapur di Museum Timah Indonesia
Selanjutnya, kita bisa mempelajari sejarah eksplorasi bijih timah dengan pemboran yang mulanya dilakukan dengan alat bor tusuk, diperkenalkan oleh pendatang China di awal abad 18. Orang China menamakannya dengan sebutan Ciam yang berarti ujung runcing, sedangkan orang Belanda menamakannya dengan sebutan Chinese Stick. Ciam adalah sebuah tongkat yang terbuat dari tembaga, diujungnya terdapat takuk untuk mengambil contoh lapisan tana. Contoh bagaimana alat bernama Ciam ini bisa kita lihat di Museum Timah Indonesia.

Pengukuran sebagai bagian tidak terpisahkan dalam kegiatan ekplorasi dan penambangan timah pun bisa kita pelajari di museum ini. Pengukuran dengan menggunakan sistem optik telah dikenal sejak 1942, sedangkan pengukuran dengan sinyal radio mulai diterapkan pada tahun 1966 dalam eksplorasi di laut. Pengukuran mutakhir dengan menggunakan GPS (Global Positioning System) mulai digunakan sejak 1990.

Sementara itu, penambangan dan eksplorasi timah dilaut diawali pada tahun 1952, yakni sejak diciptakannya ponton bor Kontiki dan Tahiti. Pada tahun 1966, di buat kapal bor Pelatuk yang dilengkapi dengan alat bor yang sanggup mengebor hingga kedalaman 78 meter dan dilengkapi dengan alat geofisik laut Sparker. Beberapa jenis ponton bor yang dikenal kemudian diantaranta adalah elevated drilling rig KB Bintang, drilling barge Belibis dan drilling barge yang dilengkapi dengan seismic Geomin.
Salah satu miniatur kapal keruk, alat penambangan timah dasar laut yang tersaji dengan apik di Museum Timah Indonesia di Pangkalpinang
Penambangan timah pada awalnya sangat bergantung pada tenaga manusia dengan peralatan sederhana. Penambangan modern diawali sejak digunakannya mesin uap pada pertengahan abad ke-19. Penggalian timah dengan cara sederhana diperkirakan telah dimulai oleh penduduk pribumi Bangka sekitar abad ke-5, dengan menggunakan linggis sebagai alat untuk menggali sumuran, yang dikenal dengan sebutan Sumur Palembang. Sementara itu pencucian pasir timah dilakukan dengan batok kelapa dan dulang kayu.

Memasuki era modern, yakni di awal tahun 1850-an, penambang mencoba menggunakan alat mesin gali untuk mengganti tenaga kuli sebagai penggali tanah. Mulanya dicoba menggunakan eskavator seperti pada penambangan batubara di Sumatera, namun gagal. Di sungai pada awalnya dicobakan Edax. Pada pertengahan abad 19, penambangan mulai menggunakan mesin tenaga uap. Sedangkan kuda dan kereta dorong pun mulai digantikan oleh kereta api pada tahun 1885 dan mobil pada tahun 1910. Peralatan cuci (ore dressing) yang semula menggunakan batok kelapa, yang kemudian digantikan oleh dulang, pun diganti dengan mesin pencuci. Mesin pencuci pertama adalah JIG yang diperkenalkan di awal abad 20. Untuk pencucian yang lebih bersih lagi, dicitakan meja goyang, diikuti metode-metode lain pada kurun waktu berikutnya.

Pada penambangan modern, tambang primer (yakni tambang pada deposit timah primer), dilakukan dengan dua pilihan tergantung pada kondisi batuannya, yaitu sistem Underground (Tambang Dalam) dan Open Pit (Tambang Terbuka). Selain kedua sistem tersebut, ada monitor atau juga dinamai Meriam Air atau Water Gun, adalah alat penting dalam memisahkan butir-butir timah dari unsur pengikatnya, seperti tanah liat, kaolin dan unsur lain yang menyertainya.

Penambangan timah di lepas pantai Indonesia dengan menggunakan kapal keruk di mulai pada tahun 1910 di Pantai Dabo Singkep, dengan menggunakan kapal keruk Dabo sebagai kapal pertama. Sepanjang abad ke-20, sebanyak 42 kapal keruk penggali timah dengan berbagai ukuran telah beroperasi di daerah ini.

Selanjutnya, masih di museum yang sama, kita pun bisa mempelajari tata cara proses peleburan timah (smelter). Teknologi peleburan timah sudah dikenal manusia sejak zaman Mesir Kuno dan Yunani Kuno. Peleburan timah di Eropa sudah dikembangkan pada abad ke-14 Masehi oleh Georgius Agricola yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Pertambangan dan Metalurgi Dunia. Sementara itu, peleburan timah Era Industri di Indonesia di pelopori oleh Dr. C.R. Vlandereen dengan memodernisasi peleburan sistem China.

Mulanya, peralatan penambangan timah terbuat dari kayu, semasa belum ditemukannya besi di Pulau Bangka pada sekitar awal abad ke-18, ditemukan di tambang kuno di daerah penagan, dekat Kota Kapur, Pulau Bangka.Eksplorasi pencarian cadangan timah berlangsung di daratan dan perairan Pulau Bangka, Belitung, Singkep, dan Karimun-Kundur. Mineral timah (SnO2), diketemukan bersama mineral ikutan (associated minerals) antara lain Monazite, Ilmeniter, Zircon dan Kwarsa.

Selama 100 tahun pertama berlangsungnya penambangan timah di Pulau Bangka dan Belitung, para ahli percaya bahwa timah alluvial di Pulau Bangka berasal dari sumber primernya di Semenanjung Malaya. Pada tahun 1872, seorang ahli geologi BTW menemukan bukti di Bukit Sambunggiri bahwa timah alluvial di Pulau Bangka berasal dari granit di pulau itu sendiri. Mengenai granit, ada berbagai jenis batu granit, tetapi batu granit pembawa timah adalah jenis Biotit Granit.

Apakah cuma sebatas itu isi museum ini? Masih ada lagi ternyata, yakni perihal manuskrip awal penulisan sejarah Bangka. Sejarah Bangka ditulis pertama kali oleh Haji Idris, seorang guru di Muntok, Bangka Barat, pada tahun 1861 silam. Catatan sejarah ini dimutakhirkan oleh Abang Arifin Tumenggung Kertanegara I pada tahun 1879 dan Abang Muhammad Ali Tumenggung Kertanegara II pada tahun 1879, dilanjutkan oleh Raden Achmad dan Abang Abdul Jajal pada tahun 1925.

Nah, sungguh banyak bukan hal yang dapat kita pelajari di Museum Timah Indonesia di Pulau Bangka ini? Seraya mempelajarinya, tentu saja secara langsung kita bisa melihat-lihat benda yang dijelaskan tersebut diatas. Semuanya dikoleksi di Museum Timah Indonesia yang terletak di Jalan Ahmad Yani, Nomor 179, Pangkalpinang, Bangka. Semua itu bisa kita pejari gratis, sebab pengelola museum tidak memungut biaya sepersen pun dari pengunjung yang datang. Museum ini buka Senin-Minggu, pukul 08.00 sampai dengan 16.00 WIB, sedangkan khusus hari Jumat museum ini ditutup untuk umum. Salam #pesonapangkalpinang !!!