Minggu, 29 November 2015

TITIS DAN LAKI-LAKI MIRIP LIMBAD

Titis dan laki-laki yang bukan mirip Limbad
                Sore itu, aku langsung menuju Stasiun Lempuyangan, meninggalkan kampus lebih dulu dari kawan-kawan yang lain. Padahal, di kampus sedang berlangsung Musyawarah Besar Keluarga Mahasiswa Magister Hukum (KMMH). Sudahlah, tak jadi soal pikirku. Paling-paling, aku kehilangan hak suara untuk menentukan pilihan pada siapa yang kelak akan memimpin organisasi dengan nafas kekeluargaan itu untuk satu periode mendatang. Siapapun yang terpilih, aku berharap dia itu bisa membawa organisasi ini menjadi lebih maju dari sebelumnya.

                Seorang kawan dekat mengantarkanku hingga aku masuk ke dalam gerbong kereta. Dia melambai tangannya seraya tersenyum, aku membalasnya. Langit Yogyakarta yang berpendar begitu orange menjelang adzan maghrib, turut menyaksikan kereta yang pelan-pelan meninggalkan stasiun. Hari itu, aku sengaja pulang atas permintaan adik bungsuku yang esok lusa akan khataman Al-Quran di kampung halaman kami di Pulau Bangka. Akhir tahun, menjelang pergantian tahun, harga tiket pesawat sungguhlah tinggi nilainya. Demi sang adik yang tak putus-putus memintaku untuk pulang, aku pun berinisiasi untuk naik kereta api dari Yogyakarta hingga Jakarta. Dari ibukota negara, barulah aku naik pesawat menuju Pulau Bangka.

                Sekitar satu jam perjalanan, ponsel di saku celanaku bergetar, petanda ada pesan singkat yang masuk. Aku tahu itu pesan singkat dari siapa, yakni orang yang tadi mengantarkanku ke stasiun. Sejak kereta pelan-pelan menjauh dari Stasiun Lempuyangan, dia memang tak lepas berkomunikasi denganku, termasuk aku yang sesekali bertanya perihal perkembangan acara di kampus yang ternyata belum juga selesai. Padahal, hari sudah begitu malam. Pikirku, itu pesan singkat biasa. Betapa kemudian pesan singkat itu berhasil membuatku tersenyum-senyum sendiri.

                “Kak, Titis diterima kerja di PT. Pupuk Kaltim. Baru saja dia dihubungi. Beberapa hari kemudian dia harus segera berangkat ke Bontang,” beginilah kira-kira bunyi pesan singkat itu.

                “Hah? Serius? Alhamdulillah bila begitu. Sudah selayaknya dia diterima bekerja, setelah begitu banyak perusahaan dan serangkaian seleksi yang dia ikuti,” balasku setengah berguyon. Maklum, setahu kami, kala itu Titis memang sedang sakau ingin bekerja. Alhasil, setiap ada lowongan pekerjaan yang menarik baginya, dikirimlah surat lamaran beraneka rupa. Bukan hanya satu kali dia gagal dalam usaha itu, tapi berkali-kali. Terlampau banyak surat lamaran yang dia kirim, terlampau sering serangkaian proses seleksi yang dia ikuti, setiap kali bertemu kawan di kampus, pertanyaan pertama yang diajukan adalah, “Bagaimana seleksi yang kemarin, Tis, lulus tidak?” Sering ditanya sepeti itu, suatu hari Titis pun berseloroh, “Mukaku sekarang sudah identik dengan tes kerja ya? Haha…”

Biar salah satu kawanku itu tak terpaku pada kegagalan itu lantas putus asa, seringlah aku menyindirnya dengan bumbu humor perihal kegagalan-kegagalan itu. Berderailah tawa kami. Salah satunya adalah ketika dia gagal di seleksi administrasi untuk menjadi pegawai salah satu lembaga pengawas jasa keuangan di negeri ini, sedangkan kawan-kawan yang lain lulus tanpa terkecuali. Lalu, seringlah aku menyinggungnya soal dia yang dengan volume suara sekecil mungkin memberi kabar kepada ibunya melalui telepon, bahwa dia kembali gagal di sebuah lembaga negara yang lain. Duh, malang sekali nasibmu kawan. Beruntung, setelah itu aku mendengar kabar baik perihal nasib dia.

                “Kamu tak menghubungi Titis?”

                “Nantilah,”balasku lagi. “Sepulangnya aku dari Bangka.”

                “Lusa mungkin dia berangkat. Itu artinya kamu tak akan bisa bertemu dengan dia lagi.”

                Hah? Pikiranku tiba-tiba melayang kala itu. Aku baru ingat, bahwa aku pulang ke Pulau Bangka selama satu minggu. Sementara Titis beberapa hari lagi katanya akan langsung berangkat ke Bontang, salah satu kota di Borneo yang menjadi tempat berdirinya kantor pusat PT. Pupuk Kaltim. Dengan segera, aku langsung mengirim ucapan selamat kepada Titis, pun lewat pesang singkat. Tak lama setelahnya, Titis membalasnya. Jauh di sana, aku tahu Titis pasti sedang senang. Betapa tidak, siapa yang tidak senang diterima bekerja di sebuah perusahaan milik negara? Namun, aku juga sadar bahwa kemarin ternyata hari terakhir aku bertemu dan bercerita banyak hal dengan Titis, setidaknya sampai Titis balik ke Pulau Jawa entah itu kapan. Malam itu juga, pikiranku melayang lantas jatuh pada saat-saat dimana kali pertama aku bejumpa dengan gadis Duri yang murni berdarah Jawa itu. Begitu cepat waktu berlalu.

***
                Setelah dinyatakan lulus tes Bahasa Inggris dan potensi akademik, ada satu tes lagi yang harus kami lewati untuk bisa menimba ilmu di kampus yang sering menduduki peringkat nomor wahid sebagai kampus terbaik di negara ini, yakni tes wawancara. Sebagaimana informasi yang aku terima, jadwal tes wawancara akan ditentukan kemudian hari. Peserta tes akan dihubungi melalui telepon satu demi satu. Bingung hendak melakukan apa selama menunggu di Yogyakarta, aku pun memutuskan pulang terlebih dahulu ke Pulau Bangka. Di sana, aku bisa membantu kedua orangtuaku yang sedang panen lada. Saat itu, para petani lada di kampung halaman kami itu sedang bergembira menyambut musim petik lada yang kembali tiba.

Saban hari, aku membantu mereka membawa beberapa orang pekerja yang diminta Ayah dan Umak membantu mereka memetik buah lada tangkai demi tangkai. Tak hanya antar-jemput pekerja, aku pun ikut turun ke area perkebunan lada yang menghijau untuk meraih tangkai demi tangkai lada yang sudah merona. Begitulah setiap hari. Panen lada itu sungguh menggembirakan.

Suatu hari, entah kenapa, aku memutuskan untuk tidak berangkat ke kebun sebagaimana biasa. Hari itu, aku pun bangun tidur agak siang. Menjelang siang, ponselku pun berdering. Sebuah nomor yang tak aku kenal terpampang di layar handphone yang aku miliki. Sebagaimana nomor depan dari deretan angka-angka itu, aku tahu itu nomor telepon untuk wilaya Yogyakarta. Aku dihubungi kampus untuk datang esok lusa ke kampus dengan agenda wawancara. Duh, cepat-cepat aku langsung ke ibukota kabupaten dengan maksud membeli tiket pesawat untuk keberangkatan besok pagi. Esoknya, aku tiba kembali di Yogyakarta, sebelum akhirnya terlelap akibat lelah yang belum semuanya hilang.

                Pagi-pagi, aku sudah mandi. Seperti biasa, aku selalu berwudhu sebelum menjalani serangkaian ujian untuk tujuan apapun, termasuk pula saat hendak mengikuti wawancara hari itu. Bedanya, ini bukan wawancara untuk meraih pekerjaan seperti yang dulu sering aku ikuti tak lama setelah mengenakan toga sarjana. Hari itu adalah hari tes wawancara agar aku bisa diterima menjadi mahasiswa strata dua di sebuah kampus ternama di Yogyakarta. Setelahnya, aku langsung meraih baju yang sudah aku siapkan dari semalam, lalu mengenakannya serapi mungkin. Lalu, tak lupa aku memandang wajah dengan senyum termanis itu pada sebuah cermin almari. Ah, gagah nian rupanya anak bujang Umak yang satu ini. Sudah tak sabar pula rasanya ingin menghadapi sang pewawancara. Mau bertanya apa dia gerangan? Asal beliau, siapa pun itu, tak bertanya perihal namaku yang katanya aneh ini, aku siap menjawabnya.

                Meminjam sepeda motor salah seorang kawan satu kampung halaman yang sudah lama di Yogyakarta, aku pun berangkat menuju kampus sebagaimana yang aku ketahui, lantas memasuki salah satu gedung dan naik ke lantai dua. Suasana masih sepi. Hanya ada beberapa orang yang entah itu siapa. Aku duduk pada sebuah kursi berbusa yang ada di salah satu sudut gedung seraya mempersiapkan jawaban atas kemungkinan pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Suasana yang semula sepi, berubah menjadi riuh oleh kedatangan orang-orang yang sebagian bermuka bingung, laki-laki dan perempuan. Diantara mereka, ada seorang laki-laki yang menarik perhatianku untuk terus melihat gerak-geriknya. Bukan karena dia mencurigakan, tetapi karena penampilannya yang tak lazim menurutku. Perawakannya agak mengerikan, pakaiannya yang dia kenakan agak terkesan lusuh, ditambah dengan tas yang diasangkut dikedua bahunya yang bidang. Ya, dia mirip Limbab dengan rambutnya yang terurai panjang!

                Laki-laki itu menatapku.

                Aku tersenyum.

                Dia membalas dengan rasa malas.

                “Ikut wawancara juga, Mas?” tanyaku basa-basi.

                “Iya,” hanya itu jawabannya. Ya sudah. Dasar Limbad.

                Laki-laki mirip Limbad ini kemudian kembali menarik perhatianku manakala memasuki sebuah ruangan, beberapa saat setelahg kuliah perdana. Rupanya, dia ikut diterima di satu program studi yang sama denganku. Hanya saja, kami berbeda jurusan. Sekarang, laki-laki mirip Limbad yang penuh misteri itu bekerja sebagai pegawai negeri sipil di salah satu lembaga negara di Jakarta. Sekarang, dia sudah rapi. Dia tak lagi serupa Limbad yang iriit bicara itu. Tak lama setelah dinyatakan diterima bekerja sebagai abdi rakyat (karena aku tahu dia tak mau disebut sebagai abdi negara), dia membabat habis rambutnya yang terburai itu.

                Hari itu, aku lumayan jengkel dengan Si Limbad. Betapa tidak, niat baik mengajaknya berkelakar barang sepatah da patah kata pun susahnya laksana meminta kambing berkokok. Akhirnya, aku mencari-cari apa yang hendak aku lakukan dalam menunggu itu biar tak jenuh. Pucuk dicinta ulam pun tiba, begitu kata orang-orang. Seorang gadis mungil berbalut hijab tiba-tiba duduk di sampingku. Duh, manis sekali ciptaan Tuhan yang satu ini, tak macam makhluk ciptaan Tuhan dihadapnku yang suaranya sudah dikunci mati dalam sebuah peti ini. Sudah laki-laki, pelit bicara pula. Mau jadi apa kau anak muda?

                Gadis itu menoleh ke arahku.

                Aku membalasnya, ditambah sedikit senyum paling manis yang dengan mati-matian aku sunggingkan.

                Dia membalasnya dengan senyuman tak kalah dari rasa madu. Duh!

                “Hai,” katanya.

                “Hai,” balasku seraya meraih tangannya yang ia acungkan kepadaku. 

                “Titis," katanya memperknalkan diri.

                Aku membalas dengan menyebut namaku samar-samar, sengaja begitu biar dia tak jelas mendengarnya.

                “Siapa?” katanya.

                “Ikut wawancara juga?” kataku tak peduli.

                “Iya. Asli mana, Mas?’

                “Bangka. Kamu?’

                “Aku dari Duri di Riau,” katanya dengan ramah. “Tapi tinggal Di Solo.”

                Siapa yang bertanya kamu tinggal dimana? Barangkali seperti itulah pertanyaan yang ada dipikiranku kemudian. Pada setiap kesempatan, Titis memang selalu mengatakan bahwa dia lahir di Duri, sebuah kota kecil di provinsi kaya sumber daya alam bernama Riau. Setelahnya, cepat-cepat dia mengatakan bahwa dia orang Jawa tulen yang tinggal di Solo. Aku pun sering dibuat jengkel tak terperi oleh sikapnya yang satu ini, sekalipun dalam hati aku tahu betul bahwa dia memang asli berdarah Jawa. Orangtuanya, dua-duanya merupakan orang Jawa yang kemudian bekerja pada perusahaan yang mengharuskannya untuk pindah ke daratan Sumatera. Akibat rasa jengkel itu, pernah suatu hari aku langsung membongkar rahasianya di hadapan salah seorang dosen di kelas, kalau dia orang Duri. Saat itu, Pak Paripurna, salah seorang dosen idolaku bertanya asal-usul Titis.

                “Orang Solo, Pak,” katanya percaya diri.

                “Bohong!!!” kataku tanpa tedeng aling-aling.

                “Heh, ndak bohong ya!!!” katanya membela diri.

                “Lihat saja KTP-nya, Pak. Dia orang Duri,” kataku. Dia pun langsung senyum-senyum, lalu terdiam.

***

                Setelah dikabarkan diterima di PT. Pupuk Kaltim dengan kantor pusat nun jauh di sudut Pulau Kalimantan, lama aku tak berjumpa dengan Titis. Sampai suatu hari tersiar kabar bahwa Titis akan pulang ke Solo, ke rumah neneknya. Hanya saja, dia akan singgah di Yogyakarta terlebih dahulu barang sejenak. Jadilah aku bertemu dengan Titis lagi. Sampai akhirnya aku diwisuda, tak lekas aku bertemu dengan gadis dengan senyum paling manis (paling tidak karena mulanya aku berinteraksi dengan manusia dengan ekspresi muka paling seram) yang aku kenal saat sedang menunggu untuk dipanggil memasuki sebuah ruangan, berhadapan dengan salah seorang yang akan mewawancara kami. Aku kembali bertemu dengan Titis saat mencoba peruntungan bekerja di Jakarta. Itupun hanya dua kali, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk kembali pulang, mengabdi pada kampung halaman di Pulau Bangka. Saat berada di Jakarta yang hanya beberapa bulan saja itulah aku mendengar kabar perihal Titis yang akan segera menikah. Ya, setelah menjalani kisah cintanya yang lumayan pelik, kawanku itu akhirnya dipersunting oleh salah seorang laki-laki yang dikenalnya selama di Bontang. Duh, cinta!
***
                Sebagaimana undangan berformat digital yang kami terima, Titis akan melangsungkan akad nikah pada tanggal 28 November 2015, bertempat di Masjid Agung Ushuluddin. Sementara resepsinya dilaksakan hari berikutnya, yakni pada tanggal 29 November 2015 di Gedung Lancang Kuning (Ex. Sanggar Karyawan). Dua tempat itu berada Camp PT. Chevron Pacifik Indonesia di Duri, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Sayang, dengan berupa-rupa alasan, aku tak bisa datang di pernikahan salah satu kawan terbaik selama di Yogyakarta itu. Hanya saja, tak lupa aku kirimkan do’a untuknya. Semoga hal-hal baik selalu menghampirinya. Semoga dia selalu ada untuk suaminya. Semoga mereka akan selalu saling mencintai, dia mencintai suaminya, demikian pula suaminya terus mencintainya tanpa putus-putus. Oh ya, Tis, bukankah kamu menikah di Riau? Jadi, kamu orang mana sebetulnya? Haha (*)


Diselesaikan di Pangkalpinang, 30 November 2015