Titis dan laki-laki yang bukan mirip Limbad |
Sore
itu, aku langsung menuju Stasiun Lempuyangan, meninggalkan kampus lebih dulu
dari kawan-kawan yang lain. Padahal, di kampus sedang berlangsung Musyawarah
Besar Keluarga Mahasiswa Magister Hukum (KMMH). Sudahlah, tak jadi soal pikirku. Paling-paling, aku kehilangan hak
suara untuk menentukan pilihan pada siapa yang kelak akan memimpin organisasi
dengan nafas kekeluargaan itu untuk satu periode mendatang. Siapapun yang
terpilih, aku berharap dia itu bisa membawa organisasi ini menjadi lebih maju
dari sebelumnya.
Seorang
kawan dekat mengantarkanku hingga aku masuk ke dalam gerbong kereta. Dia
melambai tangannya seraya tersenyum, aku membalasnya. Langit Yogyakarta yang
berpendar begitu orange menjelang adzan maghrib, turut menyaksikan kereta yang
pelan-pelan meninggalkan stasiun. Hari itu, aku sengaja pulang atas permintaan
adik bungsuku yang esok lusa akan khataman Al-Quran di kampung halaman kami di
Pulau Bangka. Akhir tahun, menjelang pergantian tahun, harga tiket pesawat
sungguhlah tinggi nilainya. Demi sang adik yang tak putus-putus memintaku untuk
pulang, aku pun berinisiasi untuk naik kereta api dari Yogyakarta hingga
Jakarta. Dari ibukota negara, barulah aku naik pesawat menuju Pulau Bangka.
Sekitar
satu jam perjalanan, ponsel di saku celanaku bergetar, petanda ada pesan
singkat yang masuk. Aku tahu itu pesan singkat dari siapa, yakni orang yang
tadi mengantarkanku ke stasiun. Sejak kereta pelan-pelan menjauh dari Stasiun
Lempuyangan, dia memang tak lepas berkomunikasi denganku, termasuk aku yang
sesekali bertanya perihal perkembangan acara di kampus yang ternyata belum juga
selesai. Padahal, hari sudah begitu malam. Pikirku, itu pesan singkat biasa.
Betapa kemudian pesan singkat itu berhasil membuatku tersenyum-senyum sendiri.
“Kak,
Titis diterima kerja di PT. Pupuk Kaltim. Baru saja dia dihubungi. Beberapa
hari kemudian dia harus segera berangkat ke Bontang,” beginilah kira-kira bunyi
pesan singkat itu.
“Hah?
Serius? Alhamdulillah bila begitu. Sudah selayaknya dia diterima bekerja,
setelah begitu banyak perusahaan dan serangkaian seleksi yang dia ikuti,”
balasku setengah berguyon. Maklum, setahu kami, kala itu Titis memang sedang
sakau ingin bekerja. Alhasil, setiap ada lowongan pekerjaan yang menarik
baginya, dikirimlah surat lamaran beraneka rupa. Bukan hanya satu kali dia
gagal dalam usaha itu, tapi berkali-kali. Terlampau banyak surat lamaran yang
dia kirim, terlampau sering serangkaian proses seleksi yang dia ikuti, setiap
kali bertemu kawan di kampus, pertanyaan pertama yang diajukan adalah, “Bagaimana
seleksi yang kemarin, Tis, lulus tidak?” Sering ditanya sepeti itu, suatu hari
Titis pun berseloroh, “Mukaku sekarang sudah identik dengan tes kerja ya?
Haha…”
Biar salah satu
kawanku itu tak terpaku pada kegagalan itu lantas putus asa, seringlah aku
menyindirnya dengan bumbu humor perihal kegagalan-kegagalan itu. Berderailah
tawa kami. Salah satunya adalah ketika dia gagal di seleksi administrasi untuk
menjadi pegawai salah satu lembaga pengawas jasa keuangan di negeri ini,
sedangkan kawan-kawan yang lain lulus tanpa terkecuali. Lalu, seringlah aku
menyinggungnya soal dia yang dengan volume suara sekecil mungkin memberi kabar
kepada ibunya melalui telepon, bahwa dia kembali gagal di sebuah lembaga negara
yang lain. Duh, malang sekali nasibmu kawan. Beruntung, setelah itu aku
mendengar kabar baik perihal nasib dia.
“Kamu
tak menghubungi Titis?”
“Nantilah,”balasku
lagi. “Sepulangnya aku dari Bangka.”
“Lusa
mungkin dia berangkat. Itu artinya kamu tak akan bisa bertemu dengan dia lagi.”
Hah?
Pikiranku tiba-tiba melayang kala itu. Aku baru ingat, bahwa aku pulang ke
Pulau Bangka selama satu minggu. Sementara Titis beberapa hari lagi katanya
akan langsung berangkat ke Bontang, salah satu kota di Borneo yang menjadi
tempat berdirinya kantor pusat PT. Pupuk Kaltim. Dengan segera, aku langsung
mengirim ucapan selamat kepada Titis, pun lewat pesang singkat. Tak lama
setelahnya, Titis membalasnya. Jauh di sana, aku tahu Titis pasti sedang
senang. Betapa tidak, siapa yang tidak senang diterima bekerja di sebuah
perusahaan milik negara? Namun, aku juga sadar bahwa kemarin ternyata hari
terakhir aku bertemu dan bercerita banyak hal dengan Titis, setidaknya sampai
Titis balik ke Pulau Jawa entah itu kapan. Malam itu juga, pikiranku melayang
lantas jatuh pada saat-saat dimana kali pertama aku bejumpa dengan gadis Duri
yang murni berdarah Jawa itu. Begitu cepat waktu berlalu.
***
Setelah
dinyatakan lulus tes Bahasa Inggris dan potensi akademik, ada satu tes lagi
yang harus kami lewati untuk bisa menimba ilmu di kampus yang sering menduduki
peringkat nomor wahid sebagai kampus terbaik di negara ini, yakni tes
wawancara. Sebagaimana informasi yang aku terima, jadwal tes wawancara akan
ditentukan kemudian hari. Peserta tes akan dihubungi melalui telepon satu demi
satu. Bingung hendak melakukan apa selama menunggu di Yogyakarta, aku pun
memutuskan pulang terlebih dahulu ke Pulau Bangka. Di sana, aku bisa membantu
kedua orangtuaku yang sedang panen lada. Saat itu, para petani lada di kampung
halaman kami itu sedang bergembira menyambut musim petik lada yang kembali
tiba.
Saban hari,
aku membantu mereka membawa beberapa orang pekerja yang diminta Ayah dan Umak
membantu mereka memetik buah lada tangkai demi tangkai. Tak hanya antar-jemput
pekerja, aku pun ikut turun ke area perkebunan lada yang menghijau untuk meraih
tangkai demi tangkai lada yang sudah merona. Begitulah setiap hari. Panen lada
itu sungguh menggembirakan.
Suatu hari,
entah kenapa, aku memutuskan untuk tidak berangkat ke kebun sebagaimana biasa.
Hari itu, aku pun bangun tidur agak siang. Menjelang siang, ponselku pun berdering.
Sebuah nomor yang tak aku kenal terpampang di layar handphone yang aku miliki. Sebagaimana
nomor depan dari deretan angka-angka itu, aku tahu itu nomor telepon untuk
wilaya Yogyakarta. Aku dihubungi kampus untuk datang esok lusa ke kampus dengan
agenda wawancara. Duh, cepat-cepat aku langsung ke ibukota kabupaten dengan
maksud membeli tiket pesawat untuk keberangkatan besok pagi. Esoknya, aku tiba
kembali di Yogyakarta, sebelum akhirnya terlelap akibat lelah yang belum
semuanya hilang.
Pagi-pagi,
aku sudah mandi. Seperti biasa, aku selalu berwudhu sebelum menjalani
serangkaian ujian untuk tujuan apapun, termasuk pula saat hendak mengikuti
wawancara hari itu. Bedanya, ini bukan wawancara untuk meraih pekerjaan seperti
yang dulu sering aku ikuti tak lama setelah mengenakan toga sarjana. Hari itu
adalah hari tes wawancara agar aku bisa diterima menjadi mahasiswa strata dua
di sebuah kampus ternama di Yogyakarta. Setelahnya, aku langsung meraih baju
yang sudah aku siapkan dari semalam, lalu mengenakannya serapi mungkin. Lalu,
tak lupa aku memandang wajah dengan senyum termanis itu pada sebuah cermin
almari. Ah, gagah nian rupanya anak bujang Umak yang satu ini. Sudah tak sabar
pula rasanya ingin menghadapi sang pewawancara. Mau bertanya apa dia gerangan?
Asal beliau, siapa pun itu, tak bertanya perihal namaku yang katanya aneh ini,
aku siap menjawabnya.
Meminjam
sepeda motor salah seorang kawan satu kampung halaman yang sudah lama di
Yogyakarta, aku pun berangkat menuju kampus sebagaimana yang aku ketahui,
lantas memasuki salah satu gedung dan naik ke lantai dua. Suasana masih sepi.
Hanya ada beberapa orang yang entah itu siapa. Aku duduk pada sebuah kursi
berbusa yang ada di salah satu sudut gedung seraya mempersiapkan jawaban atas
kemungkinan pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Suasana yang semula sepi,
berubah menjadi riuh oleh kedatangan orang-orang yang sebagian bermuka bingung,
laki-laki dan perempuan. Diantara mereka, ada seorang laki-laki yang menarik
perhatianku untuk terus melihat gerak-geriknya. Bukan karena dia mencurigakan,
tetapi karena penampilannya yang tak lazim menurutku. Perawakannya agak
mengerikan, pakaiannya yang dia kenakan agak terkesan lusuh, ditambah dengan
tas yang diasangkut dikedua bahunya yang bidang. Ya, dia mirip Limbab dengan
rambutnya yang terurai panjang!
Laki-laki
itu menatapku.
Aku
tersenyum.
Dia
membalas dengan rasa malas.
“Ikut
wawancara juga, Mas?” tanyaku basa-basi.
“Iya,”
hanya itu jawabannya. Ya sudah. Dasar Limbad.
Laki-laki
mirip Limbad ini kemudian kembali menarik perhatianku manakala memasuki sebuah
ruangan, beberapa saat setelahg kuliah perdana. Rupanya, dia ikut diterima di
satu program studi yang sama denganku. Hanya saja, kami berbeda jurusan.
Sekarang, laki-laki mirip Limbad yang penuh misteri itu bekerja sebagai pegawai
negeri sipil di salah satu lembaga negara di Jakarta. Sekarang, dia sudah rapi.
Dia tak lagi serupa Limbad yang iriit bicara itu. Tak lama setelah dinyatakan
diterima bekerja sebagai abdi rakyat (karena aku tahu dia tak mau disebut sebagai abdi negara), dia membabat habis rambutnya yang terburai itu.
Hari
itu, aku lumayan jengkel dengan Si Limbad. Betapa tidak, niat baik mengajaknya
berkelakar barang sepatah da patah kata pun susahnya laksana meminta kambing
berkokok. Akhirnya, aku mencari-cari apa yang hendak aku lakukan dalam menunggu
itu biar tak jenuh. Pucuk dicinta ulam pun tiba, begitu kata orang-orang.
Seorang gadis mungil berbalut hijab tiba-tiba duduk di sampingku. Duh, manis
sekali ciptaan Tuhan yang satu ini, tak macam makhluk ciptaan Tuhan dihadapnku
yang suaranya sudah dikunci mati dalam sebuah peti ini. Sudah laki-laki, pelit
bicara pula. Mau jadi apa kau anak muda?
Gadis
itu menoleh ke arahku.
Aku
membalasnya, ditambah sedikit senyum paling manis yang dengan mati-matian aku
sunggingkan.
Dia
membalasnya dengan senyuman tak kalah dari rasa madu. Duh!
“Hai,”
katanya.
“Hai,”
balasku seraya meraih tangannya yang ia acungkan kepadaku.
“Titis,"
katanya memperknalkan diri.
Aku
membalas dengan menyebut namaku samar-samar, sengaja begitu biar dia tak
jelas mendengarnya.
“Siapa?”
katanya.
“Ikut
wawancara juga?” kataku tak peduli.
“Iya.
Asli mana, Mas?’
“Bangka.
Kamu?’
“Aku
dari Duri di Riau,” katanya dengan ramah. “Tapi tinggal Di Solo.”
Siapa
yang bertanya kamu tinggal dimana? Barangkali seperti itulah pertanyaan yang
ada dipikiranku kemudian. Pada setiap kesempatan, Titis memang selalu
mengatakan bahwa dia lahir di Duri, sebuah kota kecil di provinsi kaya sumber
daya alam bernama Riau. Setelahnya, cepat-cepat dia mengatakan bahwa dia orang Jawa
tulen yang tinggal di Solo. Aku pun sering dibuat jengkel tak terperi oleh
sikapnya yang satu ini, sekalipun dalam hati aku tahu betul bahwa dia memang
asli berdarah Jawa. Orangtuanya, dua-duanya merupakan orang Jawa yang kemudian
bekerja pada perusahaan yang mengharuskannya untuk pindah ke daratan Sumatera.
Akibat rasa jengkel itu, pernah suatu hari aku langsung membongkar rahasianya
di hadapan salah seorang dosen di kelas, kalau dia orang Duri. Saat itu, Pak
Paripurna, salah seorang dosen idolaku bertanya asal-usul Titis.
“Orang
Solo, Pak,” katanya percaya diri.
“Bohong!!!”
kataku tanpa tedeng aling-aling.
“Heh,
ndak bohong ya!!!” katanya membela diri.
“Lihat
saja KTP-nya, Pak. Dia orang Duri,” kataku. Dia pun langsung senyum-senyum,
lalu terdiam.
***
Setelah
dikabarkan diterima di PT. Pupuk Kaltim dengan kantor pusat nun jauh di sudut
Pulau Kalimantan, lama aku tak berjumpa dengan Titis. Sampai suatu hari tersiar
kabar bahwa Titis akan pulang ke Solo, ke rumah neneknya. Hanya saja, dia akan
singgah di Yogyakarta terlebih dahulu barang sejenak. Jadilah aku bertemu
dengan Titis lagi. Sampai akhirnya aku diwisuda, tak lekas aku bertemu dengan
gadis dengan senyum paling manis (paling tidak karena mulanya aku berinteraksi
dengan manusia dengan ekspresi muka paling seram) yang aku kenal saat sedang menunggu
untuk dipanggil memasuki sebuah ruangan, berhadapan dengan salah seorang yang
akan mewawancara kami. Aku kembali bertemu dengan Titis saat mencoba
peruntungan bekerja di Jakarta. Itupun hanya dua kali, sebelum akhirnya aku
memutuskan untuk kembali pulang, mengabdi pada kampung halaman di Pulau Bangka.
Saat berada di Jakarta yang hanya beberapa bulan saja itulah aku mendengar
kabar perihal Titis yang akan segera menikah. Ya, setelah menjalani kisah
cintanya yang lumayan pelik, kawanku itu akhirnya dipersunting oleh salah
seorang laki-laki yang dikenalnya selama di Bontang. Duh, cinta!
***
Sebagaimana
undangan berformat digital yang kami terima, Titis akan melangsungkan akad
nikah pada tanggal 28 November 2015, bertempat di Masjid Agung Ushuluddin. Sementara
resepsinya dilaksakan hari berikutnya, yakni pada tanggal 29 November 2015 di
Gedung Lancang Kuning (Ex. Sanggar Karyawan). Dua tempat itu berada Camp PT. Chevron
Pacifik Indonesia di Duri, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Sayang, dengan
berupa-rupa alasan, aku tak bisa datang di pernikahan salah satu kawan terbaik
selama di Yogyakarta itu. Hanya saja, tak lupa aku kirimkan do’a untuknya.
Semoga hal-hal baik selalu menghampirinya. Semoga dia selalu ada untuk
suaminya. Semoga mereka akan selalu saling mencintai, dia mencintai suaminya,
demikian pula suaminya terus mencintainya tanpa putus-putus. Oh ya, Tis,
bukankah kamu menikah di Riau? Jadi, kamu orang mana sebetulnya? Haha (*)