(Sumber: http://www.featurepics.com) |
Seorang
kawan, sebut saja Acing (nama panggilannya), pernah berkata kepadaku,”Mencari
pekerjaan itu laksana menunggu bus kosong. Apabila sudah waktunya, bus itu
pasti akan datang. Jadi, bersabarlah, yang penting sudah berusaha.” Begitulah
kalimat sederhana dari seorang kawan yang kelak selalu aku ingat bila sedang
gulana, bukan hanya soal pekerjaan melainkan perihal apa pun yang sedang
kuusahakan untuk digapai. Pada saat itu, aku mulai risau sebab tak kunjung
mendapatkan pekerjaan (yang cocok) setelah mengenakan toga sarjana beberapa
waktu sebelumnya. Alhasil, setelah beberapa kali bekerja lalu berhenti,
terdamparlah aku di sebuah perusahaan terkemuka. Aku menikmati pekerjaanku itu.
Betahlah aku di sana.
Satu
tahun lebih mengabdi, aku pun mengajukan untuk undur diri. Alasannya, aku ingin
melanjutkan kuliah di tanah Jawa. Apa boleh buat, soal itu atasanku tak bisa
berbuat apa-apa. Seraya memasang muka muram, ia berkata bahwa pendidikan memang
hak setiap orang. Maka, selesai sudah kewajibanku di perusahaan itu, berganti
menjadi kewajiban lain, yakni kuliah sungguh-sungguh biar bisa lulus tepat
waktu. Alhamdulillah, tercapailah niatku itu. Pulanglah aku ke kampung halaman
kami beberapa minggu setelah aku diwisuda. Sebagaimana saran dosenku dulu, aku
pun menawarkan diri untuk menjadi tenaga pengajar di almamaterku; Universitas
Bangka Belitung yang tercinta.
Satu
semester aku berbagi ilmu dengan para calon ahli hukum, aku memutuskan untuk
tidak mengajar pada semester berikutnya. Pada pengelola aku sampaikan, aku
ingin mendalami Bahasa Inggris yang sulit aku kuasai itu di Jakarta. Padahal, pada
semester berikutnya aku diberi amanah menyampaikan materi tentang hukum yang
selama ini aku tekuni. Sebuah mata kuliah yang sangat menantang. Padahal, aku
pun menikmati profesiku sebagai seorang pengajar. Senang aku bisa berbagi ilmu
yang belum banyak aku miliki ini. Lebih senang lagi sebab dalam kurun waktu tak
lebih dari enam bulan, puluhan orang langsung mengenaliku. Aih, serasa jadi
artis. Aku artisnya, mahasiswa-mahasiwa itulah penggemarku. Sudahlah, ini hanya
gurauan biar tak jenuh.
Apabila
boleh mengatakan hal yang sesungguhnya, sesungguhnya aku menikmati kegiatanku
itu. Saban kali aku akan berangkat ke kampus, senanglah rasanya hati ini. Sudah
terbayang dalam kepala hal apa yang sebentar lagi akan aku bagikan kepada
mereka, mahasiswa-mahasiswa luar biasa itu. Hanya saja, ada hal lain yang terus
menarikku untuk tetap datang ke Jakarta. Sesampai di sana, pergilah aku menuju
sebuah tempat kursus Bahasa Inggris tak jauh dari Stadion Utama Gelora Bung
Karno (SUGBK). Pada waktu itu pula, sebagaimana saran kawan-kawan, sekalian
pula aku mengirim lamaran pekerjaan pada beberapa perusahaan melalui situs pencari
kerja. Sebulan berikutnya, diterimalah aku bekerja di sebuah perusahaan di
ibukota negara ini.
Setiap
pagi, aku berangkat di tempat kerja. Di tempatku kerja, kulakukan apa yang
seharusnya aku lakukan sebagai seorang karyawan. Satu bulan bekerja, aku mulai
jenuh. Aku tak menikmati apa yang sudah satu bulan itu aku lakoni. Senang yang
dulu aku alami manakala masih bertatap muka dengan para mahasiswa, pun tak
kunjung aku alami. Lantas, dalam hati aku mengatakan bahwa aku tak menikmati
pekerjaan ini, sebaliknya barangkali pekerjaan itulah yang menikmatiku. Dua
bulan kemudian, aku pun memutuskan mengundurkan diri. Lalu, dengan hati mantap,
aku kembali ke kampung halaman kami di Pulau Bangka. Di sana, kelak aku kembali
berbagi ilmu dengan mahasiswa-mahasiswa generasi pembaharu bangsa.
Pada sebuah
siang, seorang kawan kuliah di Yogyakarta dulu tiba-tiba menyapaku melalui
sebuah aplikasi percakapan sebuah jejaring sosial. Mulanya, aku mengira dia
hanya ingin bercakap-cakap biasa, ringan seraya diselingi humor yang selalu aku
lontarkan bila berinteraksi dengan dia. Semakin lama, semakinlah aku merasa ada
hal yang tampaknya sedang dia tanggung. Mulanya, dia bertanya perihal
kegiatanku sekarang. Kujelaskan apa adanya. Lantas, dia bertanya apakah aku
menikmati apa yang aku jalani itu? Ya, kataku, tentu aku menikmatinya. Oleh
karenanya, aku ingin tetap meneruskan kegiatanku itu, tak akan aku berpindah
jalan, kecuali sebagai kegiatan pendukung.
“Dulu, aku
juga ingin seperti itu,” katanya kemudian.
Soal itu, aku
tahu. Dulu, kawan yang pada saat aku mengenalinya ini sudah menyandang gelar
sebagai salah seorang penegak hukum ini, sudah menceritakan ini semua. Siang
itu, kuanggap itu sebagai cerita ulang yang ingin ia tegaskan, bahwa dulu dia
punya cita-cita yang harus dikorbankan karena harus memilih antara yang satu
dengan yang satunya lagi. Pahamlah aku. Bila jadi dia, barangkali aku pun ikut
pening kepala. Bagaimana tidak, semuanya pilihan terbaik. Soal sisi baik dan
sisi buruk, keduanya sama-sama punya. Nah, yang kepalaku berdenyut tiba-tiba
adalah niatnya untuk meninggalkan apa yang sedang ia jalani sekarang, dan ingin
kembali pada pilihan yang dulu tidak dia ambil. Bagaimana tak berdenyut, aku
tahu apa yang sedang dia jalani sekarang begitu sulit diraih. Duh!
Dugaku,
barangkali dia tidak menikmati pekerjaannya yang sekarang. Sebagaimana hasil
pengamatanku dulu, dia memang tak cocok menyandang gelar itu. Cocoknya, ya jadi
pemikir! Sayang, niatnya untuk menjadi seorang pemikir ulung, langsung gagal.
Meminjam istilahnya, dia ditolak mentah-mentah. Sekarang, katanya, pintu
baginya untuk kembali ke cita-citanya semula kembali terbuka. Senanglah aku
mendengarnya, sekalipun masih saja tak habis pikir mengapa dia bisa seberani
itu mempertaruhkan pekerjaannya sekarang yang bila dihitung-hitung dari mula
dia bekerja, sudah pasti upahnya sudah melimpah. Ya, pekerjaan memang bukan
sekadar uang barangkali. Mencari uang
memang tiada penghujungnya. Pahamlah aku maksud kawanku itu. Kudo’akanlah dia
biar mulus jalannya tanpa palang.
Selang
beberapa hari berikutnya, secara tak sengaja aku mendapati berita perihal
persyaratan penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) oleh Kementerian
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, pada sebuah situs berita ternama.
Langsunglah aku bagi berita itu pada ruang percakapan pada sebuah aplikasi
sosial media yang hanya terdiri dari tiga orang kawan. Mengapa aku membagikan
berita itu, bukanlah karena persyaratan yang diubah oleh sang menteri,
melainkan berita pada paragraf ekor yang
berisi perihal bidang-bidang apa saja yang tahun ini, sebagaimana isi berita
itu, sepertinya tetap akan dilakukan penerimaan oleh negara.
Pada ruang
percakapan itu, seorang kawan tiba-tiba bercerita. Katanya, dia sudah melalui
seluruh dari semua proses seleksi sebuah lembaga negara. Hanya saja, kemudian
dia bingung apabila kemudian dia dinyatakan diterima. Dia bingung harus pilih
yang mana, antara menerima pekerjaan yang baru (andaikata diterima), atau tetap
dengan apa yang sekarang sudah dia lakoni. Dia pun minta pencerahan. Mulanya,
kujawablah dengan nada separuh bergurau. Orang aku saja belum cerah, bagaimana
bisa aku memberikan pencerahan terhadapnya? Begitu kataku. Dia, sebagaimana
biasa, pun hanya tertawa. Lalu, kukatakan padanya dengan mantap, “pilihlah
pekerjaan yang sekiranya bisa kamu nikmati, kawan, bukan pekerjaan yang
menikmati kamu”.
Bangka, 24
Agustus 2015