Minggu, 06 September 2015

LAKONILAH PEKERJAAN YANG BISA KAMU NIKMATI, BUKAN PEKERJAAN YANG MENIKMATIMU

(Sumber: http://www.featurepics.com)




                Seorang kawan, sebut saja Acing (nama panggilannya), pernah berkata kepadaku,”Mencari pekerjaan itu laksana menunggu bus kosong. Apabila sudah waktunya, bus itu pasti akan datang. Jadi, bersabarlah, yang penting sudah berusaha.” Begitulah kalimat sederhana dari seorang kawan yang kelak selalu aku ingat bila sedang gulana, bukan hanya soal pekerjaan melainkan perihal apa pun yang sedang kuusahakan untuk digapai. Pada saat itu, aku mulai risau sebab tak kunjung mendapatkan pekerjaan (yang cocok) setelah mengenakan toga sarjana beberapa waktu sebelumnya. Alhasil, setelah beberapa kali bekerja lalu berhenti, terdamparlah aku di sebuah perusahaan terkemuka. Aku menikmati pekerjaanku itu. Betahlah aku di sana.

                Satu tahun lebih mengabdi, aku pun mengajukan untuk undur diri. Alasannya, aku ingin melanjutkan kuliah di tanah Jawa. Apa boleh buat, soal itu atasanku tak bisa berbuat apa-apa. Seraya memasang muka muram, ia berkata bahwa pendidikan memang hak setiap orang. Maka, selesai sudah kewajibanku di perusahaan itu, berganti menjadi kewajiban lain, yakni kuliah sungguh-sungguh biar bisa lulus tepat waktu. Alhamdulillah, tercapailah niatku itu. Pulanglah aku ke kampung halaman kami beberapa minggu setelah aku diwisuda. Sebagaimana saran dosenku dulu, aku pun menawarkan diri untuk menjadi tenaga pengajar di almamaterku; Universitas Bangka Belitung yang tercinta.

                Satu semester aku berbagi ilmu dengan para calon ahli hukum, aku memutuskan untuk tidak mengajar pada semester berikutnya. Pada pengelola aku sampaikan, aku ingin mendalami Bahasa Inggris yang sulit aku kuasai itu di Jakarta. Padahal, pada semester berikutnya aku diberi amanah menyampaikan materi tentang hukum yang selama ini aku tekuni. Sebuah mata kuliah yang sangat menantang. Padahal, aku pun menikmati profesiku sebagai seorang pengajar. Senang aku bisa berbagi ilmu yang belum banyak aku miliki ini. Lebih senang lagi sebab dalam kurun waktu tak lebih dari enam bulan, puluhan orang langsung mengenaliku. Aih, serasa jadi artis. Aku artisnya, mahasiswa-mahasiwa itulah penggemarku. Sudahlah, ini hanya gurauan biar tak jenuh.

                Apabila boleh mengatakan hal yang sesungguhnya, sesungguhnya aku menikmati kegiatanku itu. Saban kali aku akan berangkat ke kampus, senanglah rasanya hati ini. Sudah terbayang dalam kepala hal apa yang sebentar lagi akan aku bagikan kepada mereka, mahasiswa-mahasiswa luar biasa itu. Hanya saja, ada hal lain yang terus menarikku untuk tetap datang ke Jakarta. Sesampai di sana, pergilah aku menuju sebuah tempat kursus Bahasa Inggris tak jauh dari Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Pada waktu itu pula, sebagaimana saran kawan-kawan, sekalian pula aku mengirim lamaran pekerjaan pada beberapa perusahaan melalui situs pencari kerja. Sebulan berikutnya, diterimalah aku bekerja di sebuah perusahaan di ibukota negara ini.

                Setiap pagi, aku berangkat di tempat kerja. Di tempatku kerja, kulakukan apa yang seharusnya aku lakukan sebagai seorang karyawan. Satu bulan bekerja, aku mulai jenuh. Aku tak menikmati apa yang sudah satu bulan itu aku lakoni. Senang yang dulu aku alami manakala masih bertatap muka dengan para mahasiswa, pun tak kunjung aku alami. Lantas, dalam hati aku mengatakan bahwa aku tak menikmati pekerjaan ini, sebaliknya barangkali pekerjaan itulah yang menikmatiku. Dua bulan kemudian, aku pun memutuskan mengundurkan diri. Lalu, dengan hati mantap, aku kembali ke kampung halaman kami di Pulau Bangka. Di sana, kelak aku kembali berbagi ilmu dengan mahasiswa-mahasiswa generasi pembaharu bangsa.

Pada sebuah siang, seorang kawan kuliah di Yogyakarta dulu tiba-tiba menyapaku melalui sebuah aplikasi percakapan sebuah jejaring sosial. Mulanya, aku mengira dia hanya ingin bercakap-cakap biasa, ringan seraya diselingi humor yang selalu aku lontarkan bila berinteraksi dengan dia. Semakin lama, semakinlah aku merasa ada hal yang tampaknya sedang dia tanggung. Mulanya, dia bertanya perihal kegiatanku sekarang. Kujelaskan apa adanya. Lantas, dia bertanya apakah aku menikmati apa yang aku jalani itu? Ya, kataku, tentu aku menikmatinya. Oleh karenanya, aku ingin tetap meneruskan kegiatanku itu, tak akan aku berpindah jalan, kecuali sebagai kegiatan pendukung.

“Dulu, aku juga ingin seperti itu,” katanya kemudian.

Soal itu, aku tahu. Dulu, kawan yang pada saat aku mengenalinya ini sudah menyandang gelar sebagai salah seorang penegak hukum ini, sudah menceritakan ini semua. Siang itu, kuanggap itu sebagai cerita ulang yang ingin ia tegaskan, bahwa dulu dia punya cita-cita yang harus dikorbankan karena harus memilih antara yang satu dengan yang satunya lagi. Pahamlah aku. Bila jadi dia, barangkali aku pun ikut pening kepala. Bagaimana tidak, semuanya pilihan terbaik. Soal sisi baik dan sisi buruk, keduanya sama-sama punya. Nah, yang kepalaku berdenyut tiba-tiba adalah niatnya untuk meninggalkan apa yang sedang ia jalani sekarang, dan ingin kembali pada pilihan yang dulu tidak dia ambil. Bagaimana tak berdenyut, aku tahu apa yang sedang dia jalani sekarang begitu sulit diraih. Duh!

Dugaku, barangkali dia tidak menikmati pekerjaannya yang sekarang. Sebagaimana hasil pengamatanku dulu, dia memang tak cocok menyandang gelar itu. Cocoknya, ya jadi pemikir! Sayang, niatnya untuk menjadi seorang pemikir ulung, langsung gagal. Meminjam istilahnya, dia ditolak mentah-mentah. Sekarang, katanya, pintu baginya untuk kembali ke cita-citanya semula kembali terbuka. Senanglah aku mendengarnya, sekalipun masih saja tak habis pikir mengapa dia bisa seberani itu mempertaruhkan pekerjaannya sekarang yang bila dihitung-hitung dari mula dia bekerja, sudah pasti upahnya sudah melimpah. Ya, pekerjaan memang bukan sekadar uang  barangkali. Mencari uang memang tiada penghujungnya. Pahamlah aku maksud kawanku itu. Kudo’akanlah dia biar mulus jalannya tanpa palang.

Selang beberapa hari berikutnya, secara tak sengaja aku mendapati berita perihal persyaratan penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) oleh Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, pada sebuah situs berita ternama. Langsunglah aku bagi berita itu pada ruang percakapan pada sebuah aplikasi sosial media yang hanya terdiri dari tiga orang kawan. Mengapa aku membagikan berita itu, bukanlah karena persyaratan yang diubah oleh sang menteri, melainkan berita pada paragraf ekor  yang berisi perihal bidang-bidang apa saja yang tahun ini, sebagaimana isi berita itu, sepertinya tetap akan dilakukan penerimaan oleh negara.

Pada ruang percakapan itu, seorang kawan tiba-tiba bercerita. Katanya, dia sudah melalui seluruh dari semua proses seleksi sebuah lembaga negara. Hanya saja, kemudian dia bingung apabila kemudian dia dinyatakan diterima. Dia bingung harus pilih yang mana, antara menerima pekerjaan yang baru (andaikata diterima), atau tetap dengan apa yang sekarang sudah dia lakoni. Dia pun minta pencerahan. Mulanya, kujawablah dengan nada separuh bergurau. Orang aku saja belum cerah, bagaimana bisa aku memberikan pencerahan terhadapnya? Begitu kataku. Dia, sebagaimana biasa, pun hanya tertawa. Lalu, kukatakan padanya dengan mantap, “pilihlah pekerjaan yang sekiranya bisa kamu nikmati, kawan, bukan pekerjaan yang menikmati kamu”.

Bangka, 24 Agustus 2015