Jumat, 12 Juni 2015

UMAK PERIHAL CINTA


Sumber : komik-made.blogspot.com
Soal cinta, aku bukan ahlinya. Sering aku mengalami nasib tak baik saat mencoba menjalin cinta. Dulu, saat kali pertama bertatapan dengan cinta, aku langsung sempoyongan. Perempuan yang aku sayangi, rupanya mencintai laki-laki lain. Suatu malam, aku melihatnya dengan mata kepala sendiri bagaimana dia diantar oleh seorang laki-laki, sedang aku menunggunya di teras tempat tinggalnya. Setelahnya, masih tentang perempuan yang sama, aku mengetahui bila dia sering pula bercakap-cakap dengan laki-laki lain yang tak lain adalah temanku sendiri di kampung halaman. Laki-laki itu kemudian dia panggil “sayang”. Lha, salahku dimana coba? Entahlah, aku pun tak paham. Padahal, aku sudah mencintainya begitu dalam. Padahal, aku sudah berusaha menjaganya dengan penuh hati-hati. Inilah maksudku tadi, mungkin memang aku bukan ahlinya cinta.

***
Soal cinta, sering aku merasa kurang senang dengan Abang. Setahuku, Abang yang tampangnya jauh lebih lumayan dari aku, hanya beberapa kali saja menjalin kisah cinta dengan perempuan. Setelahnya, Abang langsung menikah, berkeluarga, dan punya anak. Sedang aku? Alih-alih mau menikah, merencanakan mau menikah saja rasanya sudah seperti hendak menangkap balon dari buih sabun. Belum diraih sudah pecah lebih dulu. Sampai ingin putus asa saja rasanya. Sampai pada suatu malam aku sampaikan nasib tak baik ini kepada Umak.

“Sudahlah, jodoh itu tak usah terlalu kamu kejar, dia juga akan ikut berlari,” begitu kata Umak dengan ringan.

“Tapi, Mak, Umak tahu sendirilah berapa umurku sekarang?” sanggahku membela diri.

“Haha…Soal umur tak usah terlalu kamu risaukan,” kata Umak lagi, kali ini jauh lebih ringan karena ada suara tawa di mula, lalu melanjutkannya dengan menyebutkan nama-nama bujang lapuk di kampung kami yang tak kunjung ijab kabul hingga kini. Bukan membuatku jadi tenang, nama-nama yang disebut Umak dengan rinci itu, seketika itu pula membuatku memejamkan mata sejenak. Saat nama-nama bujang lapuk itu disebut Umak dari yang paling muda umurnya sampai yang paling tua, saat itu pula pikiranku dibayangi oleh sosok mereka yang sudah merana tubuhnya, bengkok tak lagi lurus, yang tegap tapi kulitnya sudah mengendur macam buah sawo terkena panas matahari, sampai pada bujang lapuk paling terkenal di kampung kami yang tak lagi punya gigi.

“Maksud Umak aku harus seperti itu?” kataku mulai tak tahan lagi. Untungnya, kalimat terakhir ini hanya aku ucapkan dalam hati. Selanjutnya aku lebih banyak mengangguk saat mendengar Umak memberi nasihat. Sebagai anak, aku yakin apa yang dikatakan Umak itu benar, sekalipun dalam hati aku tetap gelisah. Aku hanya tak mau menambah koleksi bujang lapuk di kampung halaman kami.

Cakung, Jakarta Timur, 13 Juni 2015