Soal cinta, aku bukan
ahlinya. Sering aku mengalami nasib tak baik saat mencoba menjalin cinta. Dulu,
saat kali pertama bertatapan dengan cinta, aku langsung sempoyongan. Perempuan
yang aku sayangi, rupanya mencintai laki-laki lain. Suatu malam, aku melihatnya
dengan mata kepala sendiri bagaimana dia diantar oleh seorang laki-laki, sedang
aku menunggunya di teras tempat tinggalnya. Setelahnya, masih tentang perempuan
yang sama, aku mengetahui bila dia sering pula bercakap-cakap dengan laki-laki
lain yang tak lain adalah temanku sendiri di kampung halaman. Laki-laki itu
kemudian dia panggil “sayang”. Lha, salahku dimana coba? Entahlah, aku pun tak
paham. Padahal, aku sudah mencintainya begitu dalam. Padahal, aku sudah
berusaha menjaganya dengan penuh hati-hati. Inilah maksudku tadi, mungkin
memang aku bukan ahlinya cinta.
***
Soal cinta, sering aku
merasa kurang senang dengan Abang. Setahuku, Abang yang tampangnya jauh lebih
lumayan dari aku, hanya beberapa kali saja menjalin kisah cinta dengan
perempuan. Setelahnya, Abang langsung menikah, berkeluarga, dan punya anak.
Sedang aku? Alih-alih mau menikah, merencanakan mau menikah saja rasanya sudah
seperti hendak menangkap balon dari buih sabun. Belum diraih sudah pecah lebih
dulu. Sampai ingin putus asa saja rasanya. Sampai pada suatu malam aku
sampaikan nasib tak baik ini kepada Umak.
“Sudahlah, jodoh itu
tak usah terlalu kamu kejar, dia juga akan ikut berlari,” begitu kata Umak
dengan ringan.
“Tapi, Mak, Umak tahu
sendirilah berapa umurku sekarang?” sanggahku membela diri.
“Haha…Soal umur tak
usah terlalu kamu risaukan,” kata Umak lagi, kali ini jauh lebih ringan karena
ada suara tawa di mula, lalu melanjutkannya dengan menyebutkan nama-nama bujang
lapuk di kampung kami yang tak kunjung ijab kabul hingga kini. Bukan membuatku
jadi tenang, nama-nama yang disebut Umak dengan rinci itu, seketika itu pula
membuatku memejamkan mata sejenak. Saat nama-nama bujang lapuk itu disebut Umak
dari yang paling muda umurnya sampai yang paling tua, saat itu pula pikiranku
dibayangi oleh sosok mereka yang sudah merana tubuhnya, bengkok tak lagi lurus,
yang tegap tapi kulitnya sudah mengendur macam buah sawo terkena panas
matahari, sampai pada bujang lapuk paling terkenal di kampung kami yang tak
lagi punya gigi.
“Maksud Umak aku harus
seperti itu?” kataku mulai tak tahan lagi. Untungnya, kalimat terakhir ini
hanya aku ucapkan dalam hati. Selanjutnya aku lebih banyak mengangguk saat
mendengar Umak memberi nasihat. Sebagai anak, aku yakin apa yang dikatakan Umak
itu benar, sekalipun dalam hati aku tetap gelisah. Aku hanya tak mau menambah
koleksi bujang lapuk di kampung halaman kami.
Cakung, Jakarta Timur, 13 Juni 2015