(Sumber: toonvectors.com) |
Melakukan hal untuk
yang pertama kali itu terkadang memang seperti bermain-main dengan tanda tanya.
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Serupa itulah kira-kira. Apakah akan terjadi
seperti ini atau seperti itu? Pokoknya, semua serba misteri. Jurus ampuhnya,
ikutilah petuah sebuah pepatah; banyak-banyak bertanya.
Salah satu pengalaman
pertama yang apabila diingat-ingat berhasil membuat saya senyum-senyum sendiri
adalah saat saya hendak berangkat ke Semarang, pertengahan Juni 2012 silam.
Saat itu, saya berangkat dari terminal Jombor yang terletak di Yogyakarta,
tepatnya di Jalan Magelang, Sleman. Ini adalah kali pertama saya menginjakkan
kaki di Yogyakarta, sekaligus kelak akan menjadi yang pertama kali pula saya
menginjakkan kaki di Semarang. Pagi hari, saya sudah minta antar sama Andri,
seorang teman satu kampung halaman dengan saya di Bangka. Andri sudah lama
tinggal di Yogyakarta. Seperti orang Bangka lain yang melanjutkan studi bila
tinggal di Yogyakarta, begipula dengan Andri.
Menggunakan sepeda
motor Suzuki Satria F warna hitam miliknya, saya diantar dari Sarimulyi di
Jalan Kaliuran KM 4,5 menuju terminal Jombor. Sesampainya, saya langsung menuju
bus yang kondukturnya berteriak “Semarang…Semarang!!!” tiada henti. Aroma khas
bus angkutan umum langsung menusuk hidung saya begitu saya masuk, lalu duduk
pada sebuah kursi kosong di belakang. Apa hendak dikata, hanya bagian ini yang
masih kosong. Penumpang sudah sesak, aneka bau keluar masuk ke dalam indra
penciuman saya. Bau keringat mungkin dan entah bau apalagi tidak terlalu
masalah buat saya. Tapi bau rokok yang bercampur dengan bau solar bahan bakar
bus adalah hal yang paling ingin saya hindari kalau bisa. Pengalaman saya,
kombinasi kedua bau itulah yang sukses membuat perut saya seperti diaduk-aduk.
Apabila sudah begitu, biasanya saya langsung tidur-tiduran, memiringkan kepala
sebisa mungkin dikursi bus yang sempit. Alhamdulillah, cara ini cukup ampuh
untuk menenangkan isi perut saya yang pagi itu hanya baru saya isi dengan
sepotong ayam goring dan sejumput nasi putih plus segelas teh hangat di Jogja
Chicken.
Selain aroma yang khas,
sirkulasi udara yang tidak baik ditambah dengan bus yang memang sudah layak
masuk museum, membuat saya beberapa kali harus menyeka keringat. Alamak, sempat
saya berpikir tentang perjalanan jauh yang akan saya tempuh dengan bus semacam
ini. Saya juga sangsi dengan kemampuan bus ini. Apakah bus ini akan berhasil
mengantarkan kami sampai ke Semarang atau terseok ditengah jalan, saya serahkan
kepada sopirnya yang sudah siap membawa bus ke luar dari terminal. Sebetulnya,
selain bus yang kulitnya sudah banyak terkelupas ini, di luar saya melihat
banyak bus-bus mulus yang masih gagah. Cuma karena teman saya tadi langsung
menurunkan saya tak jauh dari bus yang saya tumpangi ini, ditampah dengan
teriakan “Semarang…Semarang!!!”, jadilah saya naik bus ini dengan tanpa
pertimbangan apa-apa. Namanya juga baru pertama kali.
Akhirnya bus berjalan
pelan, keluar dari komplek terminal Jombor. Beberapa orang pengamen wara-wiri
di dalam bus, menyayikan lagu yang saya dengar untuk yang pertama kali pula.
Lumayan sedap di telinga. Saya jadi ingat, orang Jawa di kampung halaman saya
terkenal sebagai orang yang kreatif. Apa-apa yang di kampung halaman kami
dianggap tidak berharga, di tangan orang Jawa malah menjadi benda yang bernilai
jual tinggi. Akhirnya saya mengambil kesimpulan perihal lagu yang saya dengar
pagi itu; pasti diciptakan sendiri oleh pengamennya. Wah, hebat betul mereka.
Saya jadi membayangkan salah satu dari mereka ikut audisi Indonesian Idol atau
acara serupa di sejumlah televisi. Sumpah, di telinga saya yang barangkali tak
punya selera perihal seni music, suara mereka lumayan bagus.
Setelah sebagian dari
para musisi jalanan itu turun, roda bus langsung menggelinding cepat. Saya
langsung mengarahkan pandangan di sisi kiri-kanan jalan, melihat pemandangan
yang baru kali ini saya lihat. Saya langsung menikmati apa yang saya lihat
sepanjang jalan dengan seksama, seraya membandikan kampung halaman saya, yakni
Pulau Bangka. Sulit ternyata membandingkan suatu tempat satu dengan tempat yang
lain. Semuanya sama, tak ada yang lebih dari satu, sebaliknya pun tak ada yang
lebih jelek dari yang satunya lagi. Yang ada hanyalah berbeda. Masing-masing
punya karakter tersendiri.
Sebelum berangkat, saya
melihat seorang kondektur yang sedang meminta ongkos kepada para penumpang.
Saya pun memperhatikan adegan itu. Seorang kondektur yang memanggil para
penumpang dengan cara menyentuh bagian bahu penumpang, lalu seolah telah
disihir para penumpang langsung memberikan sejumlah uang. Lama-lama, kondektur
itu berjalan mendekati kami para penumpang yang duduk di bagian belakang. Saya
mulai dag-dig-dug. Bukan takut dengan penumpang yang bakal meminta sejumlah
uang kepada saya, tetapi bertanya-tanya berapa jumlah yang akan saya berikan.
Saya memperhatikan para penumpang lain, namun gagal mengidentifikasi berapa
jumlah uang yang mereka berikan. Sial betul rasanya. Sampai sang kondektur
mendekati saya, saya pun belum berhasil menghitung nominalnya.
“Berapa, Mas?” akhirnya
saya bertanya. Padahal, ini adalah hal yang paling ingin saya hindari, biar tak
dikira orang baru. Maklum, menurut cerita yang sering saya dengar, di kota besar
itu sering terjadi penipuan yang menjadikan orang baru sebagai sasaran. Bahaya
bukan? Lagipula, mau langsung kasih uang 50.000, takut kurang. Kalau kurang kan
berarti orang malah akan tahu kalau ini kali pertama saya naik bus ke Semarang.
Itulah mengapa akhirnya saya memutuskan untuk bertanya saja.
“Delapan
belas,”jawabnya pelan.
Delapan belas? Bukannya
mengerti, saya malah tambah bingung dengan jawaban itu. Idealnya sih delapan
belas itu adalah delapan belas ribu. Sempat saya mau menyodorkan uang 50.000
kepada sang kondektur, tapi urung. Saya malah berpikir dulu, menghitung-hitung
jarak Yogyakarta-Semarang dengan bayangan peta Pulau Jawa yang ada di pikiran
saya. Lalu membandingkannya dengan jarak kampung halaman saya di selatan Pulau
Bangka dengan Pangkalpinang yang terletak di tengah-tengah pulau kami itu. Naik
bus, ongkosnya Rp. 40.000/orang kala itu. Hasil analogi saya menyimpulkan bahwa
jarak Yogyakarta-Semarang lebih jauh dari kampung halaman saya dengan Pangkapinang.
Jadi, tak mungkin ongkosnya cuma Rp. 18.000. Akhirnya, saya langsung
meraih dompet saya, menarik 3 lembar lagi uang 50.000 sehingga totalnya menjadi
200.000, lalu menyerahkannya kepada kondektur yang tadi sibuk meminta ongkos
dengan penumpang lain.
“Wah, kebanyakan, Mas,
Rp. 18.000 saja,” ujar sang kondektur.
Saya pun hanya bisa
senyum dalam hati. Wah, ternyata senyum pun bisa dalam hati. Saya pun langsung
menyerahkan uang 50.000 kepada sang kondektur, dengan jumlah kembalian Rp.
32.000.
“Baru ya, Mas, disini?”
kata seorang laki-laki paruh baya disamping kanan saya.
“Iya, Mas,” saya
membalas sambil bercengengesan ria.
Lalu, si Mas langsung
menjelaskan ongkos sejumlah angkutan umum ke Semarang, serta dimana saya harus
turun dan naik apa bila kelak sudah tiba di Semarang. Ah, ada untungnya juga
tak berhasil mengidentifikasi berapa ongkos Yogyakarta-Semarang tadi. Kalau
berhasilkan saya tak bakal mendapat penjelasan turun dan naik apa kelak bila
sudah tiba di Semarang. Sialnya, kejadian lain menenimpa saya saat tiba di
Semarang. Alhasil, sayadan tukang ojek yang saya tumpanbgi harus kejar-kejaran
dengan bus yang tadi membawa saya dari Magelang ke Semarang karena bus yang
tadi saya tumpangi dari Yogyakarta ternyata cuma sampai Magelang, sebelum
akhirnya kami ditransfer ke bus lain tanpa biaya tambahan sedikitpun. Stop,
sepatu saya ketinggalan dibawah kursi bus!
Desa Pasirputih, 06
Oktober 2014