Selasa, 07 Oktober 2014

DELAPAN BELAS, MAS


(Sumber: toonvectors.com)

Melakukan hal untuk yang pertama kali itu terkadang memang seperti bermain-main dengan tanda tanya. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Serupa itulah kira-kira. Apakah akan terjadi seperti ini atau seperti itu? Pokoknya, semua serba misteri. Jurus ampuhnya, ikutilah petuah sebuah pepatah; banyak-banyak bertanya.
Salah satu pengalaman pertama yang apabila diingat-ingat berhasil membuat saya senyum-senyum sendiri adalah saat saya hendak berangkat ke Semarang, pertengahan Juni 2012 silam. Saat itu, saya berangkat dari terminal Jombor yang terletak di Yogyakarta, tepatnya di Jalan Magelang, Sleman. Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Yogyakarta, sekaligus kelak akan menjadi yang pertama kali pula saya menginjakkan kaki di Semarang. Pagi hari, saya sudah minta antar sama Andri, seorang teman satu kampung halaman dengan saya di Bangka. Andri sudah lama tinggal di Yogyakarta. Seperti orang Bangka lain yang melanjutkan studi bila tinggal di Yogyakarta, begipula dengan Andri.

Menggunakan sepeda motor Suzuki Satria F warna hitam miliknya, saya diantar dari Sarimulyi di Jalan Kaliuran KM 4,5 menuju terminal Jombor. Sesampainya, saya langsung menuju bus yang kondukturnya berteriak “Semarang…Semarang!!!” tiada henti. Aroma khas bus angkutan umum langsung menusuk hidung saya begitu saya masuk, lalu duduk pada sebuah kursi kosong di belakang. Apa hendak dikata, hanya bagian ini yang masih kosong. Penumpang sudah sesak, aneka bau keluar masuk ke dalam indra penciuman saya. Bau keringat mungkin dan entah bau apalagi tidak terlalu masalah buat saya. Tapi bau rokok yang bercampur dengan bau solar bahan bakar bus adalah hal yang paling ingin saya hindari kalau bisa. Pengalaman saya, kombinasi kedua bau itulah yang sukses membuat perut saya seperti diaduk-aduk. Apabila sudah begitu, biasanya saya langsung tidur-tiduran, memiringkan kepala sebisa mungkin dikursi bus yang sempit. Alhamdulillah, cara ini cukup ampuh untuk menenangkan isi perut saya yang pagi itu hanya baru saya isi dengan sepotong ayam goring dan sejumput nasi putih plus segelas teh hangat di Jogja Chicken.

Selain aroma yang khas, sirkulasi udara yang tidak baik ditambah dengan bus yang memang sudah layak masuk museum, membuat saya beberapa kali harus menyeka keringat. Alamak, sempat saya berpikir tentang perjalanan jauh yang akan saya tempuh dengan bus semacam ini. Saya juga sangsi dengan kemampuan bus ini. Apakah bus ini akan berhasil mengantarkan kami sampai ke Semarang atau terseok ditengah jalan, saya serahkan kepada sopirnya yang sudah siap membawa bus ke luar dari terminal. Sebetulnya, selain bus yang kulitnya sudah banyak terkelupas ini, di luar saya melihat banyak bus-bus mulus yang masih gagah. Cuma karena teman saya tadi langsung menurunkan saya tak jauh dari bus yang saya tumpangi ini, ditampah dengan teriakan “Semarang…Semarang!!!”, jadilah saya naik bus ini dengan tanpa pertimbangan apa-apa. Namanya juga baru pertama kali.

Akhirnya bus berjalan pelan, keluar dari komplek terminal Jombor. Beberapa orang pengamen wara-wiri di dalam bus, menyayikan lagu yang saya dengar untuk yang pertama kali pula. Lumayan sedap di telinga. Saya jadi ingat, orang Jawa di kampung halaman saya terkenal sebagai orang yang kreatif. Apa-apa yang di kampung halaman kami dianggap tidak berharga, di tangan orang Jawa malah menjadi benda yang bernilai jual tinggi. Akhirnya saya mengambil kesimpulan perihal lagu yang saya dengar pagi itu; pasti diciptakan sendiri oleh pengamennya. Wah, hebat betul mereka. Saya jadi membayangkan salah satu dari mereka ikut audisi Indonesian Idol atau acara serupa di sejumlah televisi. Sumpah, di telinga saya yang barangkali tak punya selera perihal seni music, suara mereka lumayan bagus.

Setelah sebagian dari para musisi jalanan itu turun, roda bus langsung menggelinding cepat. Saya langsung mengarahkan pandangan di sisi kiri-kanan jalan, melihat pemandangan yang baru kali ini saya lihat. Saya langsung menikmati apa yang saya lihat sepanjang jalan dengan seksama, seraya membandikan kampung halaman saya, yakni Pulau Bangka. Sulit ternyata membandingkan suatu tempat satu dengan tempat yang lain. Semuanya sama, tak ada yang lebih dari satu, sebaliknya pun tak ada yang lebih jelek dari yang satunya lagi. Yang ada hanyalah berbeda. Masing-masing punya karakter tersendiri.

Sebelum berangkat, saya melihat seorang kondektur yang sedang meminta ongkos kepada para penumpang. Saya pun memperhatikan adegan itu. Seorang kondektur yang memanggil para penumpang dengan cara menyentuh bagian bahu penumpang, lalu seolah telah disihir para penumpang langsung memberikan sejumlah uang. Lama-lama, kondektur itu berjalan mendekati kami para penumpang yang duduk di bagian belakang. Saya mulai dag-dig-dug. Bukan takut dengan penumpang yang bakal meminta sejumlah uang kepada saya, tetapi bertanya-tanya berapa jumlah yang akan saya berikan. Saya memperhatikan para penumpang lain, namun gagal mengidentifikasi berapa jumlah uang yang mereka berikan. Sial betul rasanya. Sampai sang kondektur mendekati saya, saya pun belum berhasil menghitung nominalnya.

“Berapa, Mas?” akhirnya saya bertanya. Padahal, ini adalah hal yang paling ingin saya hindari, biar tak dikira orang baru. Maklum, menurut cerita yang sering saya dengar, di kota besar itu sering terjadi penipuan yang menjadikan orang baru sebagai sasaran. Bahaya bukan? Lagipula, mau langsung kasih uang 50.000, takut kurang. Kalau kurang kan berarti orang malah akan tahu kalau ini kali pertama saya naik bus ke Semarang. Itulah mengapa akhirnya saya memutuskan untuk bertanya saja.

“Delapan belas,”jawabnya pelan.

Delapan belas? Bukannya mengerti, saya malah tambah bingung dengan jawaban itu. Idealnya sih delapan belas itu adalah delapan belas ribu. Sempat saya mau menyodorkan uang 50.000 kepada sang kondektur, tapi urung. Saya malah berpikir dulu, menghitung-hitung jarak Yogyakarta-Semarang dengan bayangan peta Pulau Jawa yang ada di pikiran saya. Lalu membandingkannya dengan jarak kampung halaman saya di selatan Pulau Bangka dengan Pangkalpinang yang terletak di tengah-tengah pulau kami itu. Naik bus, ongkosnya Rp. 40.000/orang kala itu. Hasil analogi saya menyimpulkan bahwa jarak Yogyakarta-Semarang lebih jauh dari kampung halaman saya dengan Pangkapinang. Jadi, tak mungkin ongkosnya cuma Rp. 18.000. Akhirnya, saya langsung meraih dompet saya, menarik 3 lembar lagi uang 50.000 sehingga totalnya menjadi 200.000, lalu menyerahkannya kepada kondektur yang tadi sibuk meminta ongkos dengan penumpang lain.
 
“Wah, kebanyakan, Mas, Rp. 18.000 saja,” ujar sang kondektur.

Saya pun hanya bisa senyum dalam hati. Wah, ternyata senyum pun bisa dalam hati. Saya pun langsung menyerahkan uang 50.000 kepada sang kondektur, dengan jumlah kembalian Rp. 32.000.

“Baru ya, Mas, disini?” kata seorang laki-laki paruh baya disamping kanan saya.
“Iya, Mas,” saya membalas sambil bercengengesan ria.

Lalu, si Mas langsung menjelaskan ongkos sejumlah angkutan umum ke Semarang, serta dimana saya harus turun dan naik apa bila kelak sudah tiba di Semarang. Ah, ada untungnya juga tak berhasil mengidentifikasi berapa ongkos Yogyakarta-Semarang tadi. Kalau berhasilkan saya tak bakal mendapat penjelasan turun dan naik apa kelak bila sudah tiba di Semarang. Sialnya, kejadian lain menenimpa saya saat tiba di Semarang. Alhasil, sayadan tukang ojek yang saya tumpanbgi harus kejar-kejaran dengan bus yang tadi membawa saya dari Magelang ke Semarang karena bus yang tadi saya tumpangi dari Yogyakarta ternyata cuma sampai Magelang, sebelum akhirnya kami ditransfer ke bus lain tanpa biaya tambahan sedikitpun. Stop, sepatu saya ketinggalan dibawah kursi bus!

Desa Pasirputih, 06 Oktober 2014