Jumat, 07 Februari 2014

CERITA DARI PAPUA



(Sumber: Dok. Pribadi)


Supaya saya tak terjerat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, maka sebelumnya saya ingin mengatakan bahwa perihal cerita yang akan saya ceritakan ini adalah cerita yang saya dengar dari seorang kawan, sekalipun sesungguhnya cerita yang diutarakan seseorang secara lisan dalam situasi sebagaimana yang kelak akan saya ceritakan ini tidak termasuk objek yang dilindungi. Ah, gaya sekali rasanya berkelakar perihal hukum segala di tulisan yang ringan ini. Sudahlah, tak mengapa, setidaknya seperti itulah yang saya pahami dari mata kuliah Hak Atas Kekayaan Intelektual yang nilainya masih tanda tanya itu.
Nama kawan saya itu Putu Dian Pratiwi. Ah, mengenai sosok kawan saya yang satu ini, saya pikir tak usahlah engkau banyak bertanya serupa apa orangnya. Bagi saya sendiri terutama, kawan saya orang Bali ini hanya bisa saya gambarkan dengan satu kata, sama halnya dengan saya menggambarkan perihal kampung halamannya, yakni unik. Seunik apa, kelak pun engkau akan tahu dengan sendirinya apabila sudah bertemu dengan orangnya. Saya berani bertaruh bila pasti tidak ada orang yang mengutarakan kata lain selain kata unik bila sudah mengenal Dian, begitu dia kami sapa.
Ceritanya sederhana sekali sebetulnya. Sangat sederhana sekali malah. Ibarat seorang perempuan, terlampau sederhananya mungkin dia hanya mengenakan baju biasa, rok terusan tanpa tambahan pakaian lain, lalu tanpa pula dia dipoles dengan berupa-rupa tepung segala istilah. Pokoknya sederhana. Namun tahukah engkau, dan saya yakin pula, bila engkau saat itu berada saat Dian bercerita, maka saya pun yakin engkau pun akan ikut tertawa terbahak-bahak pula sebagaimana kami kala itu. Lucunya dimana, saya rasa dua-duanya lucu, baik ceritanya, maupun si tukang pengutara cerita. Cerita yang memang sudah lucu itu semakin lucu oleh sebab yang menceritakannya juga terlihat lucu.
Ah, Dian…
Sore itu, hujan baru saja reda diatas langit kampus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Sesekali air hujan masih menetes, sisa air hujan yang belum sepenuhnya jatuh diatas tanah, melainkan bercumbu dengan dedaunan terlebih dahulu. Seperti hari-hari biasa, hari itu pun saya, Anisa Rahardini, dan Dian sendiri duduk-duduk di lantai satu perpustakaan dengan tema utama,”mencari judul tesis”. Apakah judulnya berhasill ditemukan? Jawabannya tentu saja tidak. Mengapa judul itu bisa tidak ditemukan? Ah, pertanyaan yang tak sulit sebetulnya, tapi cukup payah untuk mengungkapkan jawabannya. Biasalah. Meminjam istilah Mbah Dhuma Melinda Harahap yang melegenda itu, bahwa setiap orang itu  mempunyai naluri untuk membicarakan orang lain. Seperti itulah pokoknya.
Menjelang pukul 4 sore, suara petugas perpustakaan menggema dipenjuru perpustakaan tiga lantai itu, menyuruh para pengunjung yang terdiri dari mahasiswa sok rajin bukan  main itu segera berkemas. Maklum, musim liburan. Namun entah kenapa, sejumlah mahasiswa yang masuk kategori mahasiswa sok rajin tadi, termasuk pula kami bertiga, tetap saja menghampiri kampus yang tampak sepi. Sekali lagi, ini membuktikan kalau apa yang dikatakan legenda hidup Mbak Dhuma Melinda Harahap itu benar, bahwa setiap orang mempunyai kecenderungan untuk menceritakan orang lain. Siapa saja yang diceritakan? Semuanyalah, termasuk menceritakan diri kami sendiri terutama. Menertawai apa yang sudah kami lakukan sebelumnya.
Menyadari layanan perpustakaan tutup pukul 4 sore saat liburan macam ini,  maka kami pun sadar diri segera beranjak menuju entah kemana sebelum akhirnya kami memilih untuk pergi ke toko buku Togamas di Gejayan. Bukan beli buku, tapi naik satu tingkat diatas toko buku itu. Diatasnya ada sebuah  kedai kopi ternyata. Saya pun tahu perihal itu semua dari Dian yang sudah macam satelit saja. Apapun yang berhubungan dengan Yogyakarta, semuanya dia tahu.  Letak dimana tempat ini atau tempat itu, dia pasti tahu. Coba tanya dimana tempat beli kacamata yang bagus depan kampus UNY, dia akan menjawabnya dengan ringan. Lantas, coba engkau tanya lagi dimana tempat vermak jeans yang  bagus, tahu pula dia. Mungkin, hanya ada satu pertanyaan yang bisa membuat dia menggeleng pelan,”apakah semalam sebelum jam 12 kamu sudah terlelap?”
Ah, Dian…
Mengapa kamu unik sekali? Mengapa pula cerita yang engkau utarakan sore dibawah rintik sisa hujan itu ikut unik pula? Sekali lagi, cerita itu sangatlah sederhana sebetulnya, hanya berawal dari interaksi sekilas dia dengan seorang kawan lama yang entah siapa yang memanggil siapa kala itu, yang jelas semua itu membuka memori Dian akan kawan lama dia yang berasal dari Papua itu. Saat itu kami melintas depan perpustakaan Fakultas Hukum yang menghadap sekretariat salah satu organisasi mahasiswa dikampus itu. Saya pun mendengar Dian dan kawannya itu yang saling berinteraksi satu sama lain. Selang beberapa menit kemudian, Dian  mendekati kami yang melaju pelan keluar area kampus hukum. Maka berceritalah Dian pada kami.
“Eh, kalian tahu tidak, teman saya yang orang Papua tadi, kuliah disini, tinggallah dia di asrama mahasiswa Papua.” Saya dan Anisa mendengar Dian bercerita dengan seksama, lalu dia melanjutkan,” Suatu ketika, tiba-tiba dia bosan tinggal di asrama itu, dia ingin ngekost. Lalu dia menelpon orangtuanya di Papua,’Bapak, saya mau ngekost.’ Sang Bapak diseberang telepon langsung menjawab,’bagaimana kamu ini, disuruh kuliah kok  malah mau ngekost! Kalau  mau kuliah ya kuliah, ngekost ya ngekost, jangan kuliah sambil ngekost!’
Maka, meledaklah tawa kami mendengar cerita Dian sore itu. Apalagi setelah itu Dian kembali bercerita perihal orang yang sama. Suatu ketika, kata Dian, kawannya tadi pulang ke Papua, dan ingin sekali makan mie ayam. Namun, untuk sampai ke tenmpat orang jual mie ayam itu, dia harus menempuh perjalanan yang cukup lama. Sebuah kebiasaan pun dia lakukan setiap kali dia pergi makan mie ayam ke warung mie ayam itu, yakni membungkus mie ayam untuk dibawa pulang. Sebuah pertanyaan pun dia lontarkan kepada Dian,”tahukah kamu, Dian, mengapa saya masih beli mie ayam dan membawanya pulang?” Lalu dia menjawab sendiri pertanyaan itu, “sebab saat saya tiba dirumah, perut saya sudah kembali lapar, Dian!”
Oh, terlampau jauhnya rumahnya dengan warung mie ayam itu.

Yogyakarta, 8 Februari 2014