(Sumber: Dok. Pribadi) |
Supaya
saya tak terjerat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, maka
sebelumnya saya ingin mengatakan bahwa perihal cerita yang akan saya ceritakan
ini adalah cerita yang saya dengar dari seorang kawan, sekalipun sesungguhnya
cerita yang diutarakan seseorang secara lisan dalam situasi sebagaimana yang
kelak akan saya ceritakan ini tidak termasuk objek yang dilindungi. Ah, gaya
sekali rasanya berkelakar perihal hukum segala di tulisan yang ringan ini.
Sudahlah, tak mengapa, setidaknya seperti itulah yang saya pahami dari mata
kuliah Hak Atas Kekayaan Intelektual yang nilainya masih tanda tanya itu.
Nama
kawan saya itu Putu Dian Pratiwi. Ah, mengenai sosok kawan saya yang satu ini,
saya pikir tak usahlah engkau banyak bertanya serupa apa orangnya. Bagi saya
sendiri terutama, kawan saya orang Bali ini hanya bisa saya gambarkan dengan
satu kata, sama halnya dengan saya menggambarkan perihal kampung halamannya,
yakni unik. Seunik apa, kelak pun engkau akan tahu dengan sendirinya apabila
sudah bertemu dengan orangnya. Saya berani bertaruh bila pasti tidak ada orang
yang mengutarakan kata lain selain kata unik bila sudah mengenal Dian, begitu dia
kami sapa.
Ceritanya
sederhana sekali sebetulnya. Sangat sederhana sekali malah. Ibarat seorang
perempuan, terlampau sederhananya mungkin dia hanya mengenakan baju biasa, rok
terusan tanpa tambahan pakaian lain, lalu tanpa pula dia dipoles dengan berupa-rupa
tepung segala istilah. Pokoknya sederhana. Namun tahukah engkau, dan saya yakin
pula, bila engkau saat itu berada saat Dian bercerita, maka saya pun yakin
engkau pun akan ikut tertawa terbahak-bahak pula sebagaimana kami kala itu.
Lucunya dimana, saya rasa dua-duanya lucu, baik ceritanya, maupun si tukang
pengutara cerita. Cerita yang memang sudah lucu itu semakin lucu oleh sebab
yang menceritakannya juga terlihat lucu.
Ah,
Dian…
Sore
itu, hujan baru saja reda diatas langit kampus Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada. Sesekali air hujan masih menetes, sisa air hujan yang belum
sepenuhnya jatuh diatas tanah, melainkan bercumbu dengan dedaunan terlebih
dahulu. Seperti hari-hari biasa, hari itu pun saya, Anisa Rahardini, dan Dian
sendiri duduk-duduk di lantai satu perpustakaan dengan tema utama,”mencari
judul tesis”. Apakah judulnya berhasill ditemukan? Jawabannya tentu saja tidak.
Mengapa judul itu bisa tidak ditemukan? Ah, pertanyaan yang tak sulit
sebetulnya, tapi cukup payah untuk mengungkapkan jawabannya. Biasalah. Meminjam
istilah Mbah Dhuma Melinda Harahap yang melegenda itu, bahwa setiap orang
itu mempunyai naluri untuk membicarakan
orang lain. Seperti itulah pokoknya.
Menjelang
pukul 4 sore, suara petugas perpustakaan menggema dipenjuru perpustakaan tiga
lantai itu, menyuruh para pengunjung yang terdiri dari mahasiswa sok rajin
bukan main itu segera berkemas. Maklum,
musim liburan. Namun entah kenapa, sejumlah mahasiswa yang masuk kategori
mahasiswa sok rajin tadi, termasuk pula kami bertiga, tetap saja menghampiri
kampus yang tampak sepi. Sekali lagi, ini membuktikan kalau apa yang dikatakan
legenda hidup Mbak Dhuma Melinda Harahap itu benar, bahwa setiap orang mempunyai
kecenderungan untuk menceritakan orang lain. Siapa saja yang diceritakan?
Semuanyalah, termasuk menceritakan diri kami sendiri terutama. Menertawai apa
yang sudah kami lakukan sebelumnya.
Menyadari
layanan perpustakaan tutup pukul 4 sore saat liburan macam ini, maka kami pun sadar diri segera beranjak
menuju entah kemana sebelum akhirnya kami memilih untuk pergi ke toko buku
Togamas di Gejayan. Bukan beli buku, tapi naik satu tingkat diatas toko buku
itu. Diatasnya ada sebuah kedai kopi
ternyata. Saya pun tahu perihal itu semua dari Dian yang sudah macam satelit
saja. Apapun yang berhubungan dengan Yogyakarta, semuanya dia tahu. Letak dimana tempat ini atau tempat itu, dia
pasti tahu. Coba tanya dimana tempat beli kacamata yang bagus depan kampus UNY,
dia akan menjawabnya dengan ringan. Lantas, coba engkau tanya lagi dimana tempat
vermak jeans yang bagus, tahu pula dia.
Mungkin, hanya ada satu pertanyaan yang bisa membuat dia menggeleng
pelan,”apakah semalam sebelum jam 12 kamu sudah terlelap?”
Ah,
Dian…
Mengapa
kamu unik sekali? Mengapa pula cerita yang engkau utarakan sore dibawah rintik
sisa hujan itu ikut unik pula? Sekali lagi, cerita itu sangatlah sederhana
sebetulnya, hanya berawal dari interaksi sekilas dia dengan seorang kawan lama
yang entah siapa yang memanggil siapa kala itu, yang jelas semua itu membuka
memori Dian akan kawan lama dia yang berasal dari Papua itu. Saat itu kami
melintas depan perpustakaan Fakultas Hukum yang menghadap sekretariat salah
satu organisasi mahasiswa dikampus itu. Saya pun mendengar Dian dan kawannya
itu yang saling berinteraksi satu sama lain. Selang beberapa menit kemudian,
Dian mendekati kami yang melaju pelan
keluar area kampus hukum. Maka berceritalah Dian pada kami.
“Eh,
kalian tahu tidak, teman saya yang orang Papua tadi, kuliah disini, tinggallah
dia di asrama mahasiswa Papua.” Saya dan Anisa mendengar Dian bercerita dengan
seksama, lalu dia melanjutkan,” Suatu ketika, tiba-tiba dia bosan tinggal di
asrama itu, dia ingin ngekost. Lalu dia menelpon orangtuanya di Papua,’Bapak,
saya mau ngekost.’ Sang Bapak diseberang telepon langsung menjawab,’bagaimana
kamu ini, disuruh kuliah kok malah mau
ngekost! Kalau mau kuliah ya kuliah,
ngekost ya ngekost, jangan kuliah sambil ngekost!’
Maka,
meledaklah tawa kami mendengar cerita Dian sore itu. Apalagi setelah itu Dian
kembali bercerita perihal orang yang sama. Suatu ketika, kata Dian, kawannya
tadi pulang ke Papua, dan ingin sekali makan mie ayam. Namun, untuk sampai ke
tenmpat orang jual mie ayam itu, dia harus menempuh perjalanan yang cukup lama.
Sebuah kebiasaan pun dia lakukan setiap kali dia pergi makan mie ayam ke warung
mie ayam itu, yakni membungkus mie ayam untuk dibawa pulang. Sebuah pertanyaan
pun dia lontarkan kepada Dian,”tahukah kamu, Dian, mengapa saya masih beli mie
ayam dan membawanya pulang?” Lalu dia menjawab sendiri pertanyaan itu, “sebab
saat saya tiba dirumah, perut saya sudah kembali lapar, Dian!”
Oh,
terlampau jauhnya rumahnya dengan warung mie ayam itu.
Yogyakarta, 8 Februari 2014