Senin, 02 Januari 2017

BERMIMPI DI NEGERI JIRAN (MALAYSIA), TERBANGUN DI NEGERI GAJAH PUTIH (THAILAND)


Siapa pun, saya yakin punya keinginan untuk bisa menginjakkan kaki di negara orang, tak terkecuali diri saya sendiri. Hanya saja, terkadang keinginan itu terkendala oleh biaya. Apalagi sebagian besar orang beranggapan  bahwa jalan-jalan ke luar negeri itu membutuhkan biaya yang lumayan tinggi. Semula saya pun beranggapan sama, sekalipun kemudian hari saya tahu  bahwa tidak semua jalan-jalan ke luar negeri itu mahal. Bahkan, ada beberapa negara yang apabila didatangi biayanya jauh lebih murah dibandingkan berlibur di sebuah destinasi di Indonesia.

Sekalipun tahu bahwa liburan di negara orang itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, saya tetap berkeinginan untuk bisa sesekali menginjakkan kaki di tanah orang.  Di kawasan Asia Tengga, salah satu negara yang paling ingin saya datangi adalah Thailand. Dengar-dengar, negara itu punya begitu banyak tempat wisata yang menawarkan pemandangan menarik dan unik. Salah satu tempat di Thailand yang membuat saya jatuh cinta pada negeri yang tidak pernah dijajah itu adalah Phuket. Dari sejumlah gambar yang sering saya dapati saat berselancar di dunia maya, saya mengetahui bahwa pulau itu betul-betul rupawan.

Sebelum menginjakkan kaki di negara orang, dalam hati hati saya pernah berjanji bahwa apabila kelak saya diberi kesempatan untuk menjelajahi negeri orang, maka negara pertama yang harus saya jelajahi adalah satu satu negara yang terletak di Asia Tenggara. Alhamdulillah, janji itu berhasil saya tunaikan manakala pada awal tahun 2014, saya dinobatkan menjadi salah satu pemenang di ajang D'Traveler of The Year 2013 yang diselenggarakan oleh detikTravel, kanal berita khusus pariwisata yang dimiliki oleh DetikCom. Beberapa minggu setelahnya, berangkatlah saya dan beberpa orang pemenang lain menuju Malaysia. Malaysia merupakan negara yang menjadi hadiah bagi para pemenang kala itu.

Jalan-jalan gratis di Malaysia rupanya membuat saya terus berkeinginan untuk bisa jalan-jalan di negara orang. Dari lantai 19 sebuah hotel di pusat Kuala Lumpur, seraya memandangi Petronas Twin Tower yang perkasa pada sebuah pagi, saya berjanji untuk bisa datang lagi ke negeri lain setelah ini. Siapa mengira, tak kurang dari 2 tahun setelah itu, apa yang saya ikrarkan kala itu kembali diwujudkan oleh Tuhan. Setelah dua tahun berturut menyandang gelar D'Traveler of The Year untuk kategori The Most Published Article, pada tahun 1015 saya diniobatkan menjadi pemenang utama D'Traveler of The Year 2015. Hadiahnya adalah jalan-jalan gratis selama 4 hari 3 malam di Thailand bersama seorang teman, uang tunai senilai Rp. 5.000.000, serta merchandise menarik dari detikTravel.



Pada tanggal 7 Mei 2016, pukul 10.15 WIB, saya dan Anggun Saputra yang tak lain adalah adik kandung saya, terbang menuju Bangkok, dari Soekarno Hatta International Airpiort di Cengkareng. Sekitar kurang lebih 4 jam lamanya, pesawat Thai Lion Air dengan nomor penerbangan SL 119 mencium landasan pacu Don Mueang International Airport di sudut Bangkok. Di ruang kedatangan, seorang bapak-bapak dengan selembar kertas bertuliskan "Mr. Darwance & Mr. Anggun Saputra Indonesia" sudah menunggu kami.

"Perkenalkan, nama saya Pacha, panggil saja Oom Pacha," begitu bapak-bapak yang kemudian menjadi tour guide kami dengan bahasa Indonesia berlogat Thai yang ia kuasai. Dimulailah petualangan saya di Thailand, negara yang dulu sangat saya damba-dambkan untuk segera didatangi.

Sepanjang perjalanan dari bandara menuju Baiyoke Boutique Hotel di pusat Bangkok, Oom Pacha mengawali ceritanya perihal Bangkok, sang ibukota negara yang katanya tak jauh beda dengan Jakarta. Seraya menyimak dengan seksama cerita Oom Pacha yang rupanya seorang Muslim, tak lupa saya membidik setiap sudut Bangkok yang kami lewati dengan sebuah kamera sederhana. Sekilas, Bangkok memang mirip dengan wajah Jakarta. Bedanya, cuaca di Bangkok jauh lebih panas kala itu, tetapi jauh lebih teratur dibandingkan dengan Jakarta. Hampir tak terdengar suara klakson di depanjang Jalan.

"Apabila ada bunyi klakson, pengemudinya pasti baru saja tinggal di Bangkok. Buktinya dia tidak sabar," lanjut Oom Pacha.

Setengah perjalanan, kami melewati sebuah gedung tinggi yang hampir seluruh salah satu sisinya ditutupi oleh gambar seorang laki-laki gagah berkacamata. Belum sempat bertanya kepada Oom Pacha perihal laki-laki itu, Oom Pacha langsung menoleh kepada kami dengan sebuah mikropon khas pemandu wisata di tangannya.

"Nah, itu raja kami. Namanya Raja Bhumibol Adulyadej, dia adalah orang yang paling dihormati di Thailand," tutur Oom Pacha dilanjutkan dengan penjelasannya perihal sistem pemerintahan di Thailand. Soal sistem pemerintahan inilah yang membuat saya bangga dengan Indonesia. Proses transisi pemerintahan di Indonesia jauh lebih stabil dibandingkan dengan Thailand. Sampai saat itu, tidak ada orang yang mengisi jabatan perdana menteri secara resmi. Semuanya diambil alih oleh militer setelah kudeta yang menumbangkan Yingluck Sinawatra.

"Di sini yang paling tinggi adalah raja, kalau di Indonesia presiden ya? Presiden Jokowi ya? Jokowi adalah orang Indonesia paling terkenal saat ini di Thailand, sama Ahok juga," lanjut Oom Pacha mengundang tawa kami seketika.

Semakin lama, semakin tinggi rasanya gedung-gedung yang kami lewati. Itu artinya, kami sudah memasuki kawasan pusat kota. Selang tak berapa lama, sampailah kami di depan Baiyoke Boutique Hotel. Hotel ini merupakan salah satu hotel di komplek Baiyoke Sky Building, yang tak lain adalah gedung tertinggi di Thailand. Oom Pacha ikut mengantarkan kami sampai ke lobi. Setelahnya, Oom Pacha dan seorang driver yang menemaninya mohon diri.
"Besok pukul delapan pagi, kami akan kembali ke sini. Sekarang, silakan istirahat terlebih dahulu,"tutup Oom Pacha sore menjelang petang itu.

Setelah menyimpan barang bawaan di dalam kamar hotel tempat kami menginap, saya dan adik mencari makan di Indra Square, tak jauh dari hotel kami menginap. Harga makanan di Thailand tak jauh berbeda dengan di Indonesia, bahkan tergolong murah. Sore itu misalnya, untuk 2 piring nasi ayam, kami hanya membayar 90 Baht atau setara dengan Rp. 35.000.

Pukul delapan pagi, hari kedua kami di Thailand, saya dan adik sudah menunggu Oom Pacha di lobi, sesuai dengan janji kami kemarin petang. Lima belas menit kemudian, Oom Pacha tiba. Oleh Oom Pacha, kami langsung diajak jalan-jalan menggunakan sebuah minibus berkapasitas sampai 12 orang. Hanya saja, kala itu kami hanya 7 orang, ditambah satu keluarga berjumlah 3 orang yang sama-sama berasal dari Indonesia, serta Oom Pacha dan drivernya sendiri. Sebagaimana itnerary yang kami terima, hari itu kami akan menyeberangi Sungai Chao Phraya menuju Wat Arun, ke Reclining Buddha Temple, lalu melanjutkan perjalanan menuju Pattaya. Di Pattaya, masih di hari yang sama, kami akan mengunjungi Honey Bee Farm, Pattaya Floating Market, dan 3D Art In Paradise Museum.

Setengah jam perjalanan, setelah melewati beberapa ruas jalan utama di Bangkok, kawasan China Town yang apik, tibalah kami di tepi Sungai Chao Phraya. Setelah membeli tiket, Oom Pacha langsung mengajak kami masuk ke dalam sebuah dermaga yang terbuat dari papan, lalu melompat ke atas sebuah kapal berukuran lumayan raksasa. Kapal inilah yang kelak akan membawa kami melintasi Sungai Chao Phraya, lalu berlabuh di tepi Wat Arun. Sepanjang perjalanan menuju Wat Arun, tergambar betapa megahnya Bangkok dengan gedung-gedungnya yang menjulang tinggi, serta pemukiman tepi sungai yang tertata dengan rapi. Sebuah perpaduan wajah kota yang sungguh menarik.

Lima menit lamanya, tibalah kami di daratan dimana Wat Arun berdiri dengan gagahnya. at Arun merupakan salah satu candi Buddha, agama yang paling banyak dipeluk oleh penduduk Thailand. Candi dengan bangunan utama yang menjulang ini terletak di distrik Bangkok Yai di Bangkok, Thailand, tepatnya di barat hulu sungai Chao Phraya. Kala itu, Wat Arun sedang direnovasi, ditandai dengan sejumlah peralatan konstruksi yang menopang bagian utama candi. Sekalipun demikian, kami tetap bisa menikmati sisi lain Thailand di sini.


Selain menikmati kecantikan dan keunikan Wat Arun, kami pun berkesempatn untuk berbelanja oleh-oleh di pasar yang ada di komplek Wat Arun. Harga oleh-oleh disini sangatlah murah dibandingkan di tempat lain yang ada di Thailand, apalagi mayoritas pedangangnya pandai berbahasa Indonesia. Tambahan lagi, mereka menerima uang Rupiah!

Selesai menelusuri Wat Arun, kami kembali menyeberangi Sungai Chaophraya dengan kapal yang sama. Destinasi kami selanjutnya adalah Wat Pho, yakni sebuah kuil yang di dalamnya terbaring dengan elegan sebuah patung Buddha berukuran raksasa. Patung ini dibangun oleh Raja Rama III pada tahun 1832 silam. Menurut penuturan pemandu kami, Reclining Buddha ini merupakan salah satu patung Buddha paling terkenal di dunia dengan panjang 46 meter dan tinggi 15 meter. Satu hal lagi yang menarik, patung ini dilapisi emas 18 karat dengan rincian 336 lapisan di seluruh permukaannya

Siang mulai datang. Perlahan, matahari sudah berada di atas kepala. Bangkok semakin panas oleh terik matahari yang sudah jarang berselang dengan hujan. Orang-orang yang keluar kuil selalu meangibas-ngibas wajahnya dengan apa pun yang sedang mereka pegang, seraya memasang muka mengernyit menahan sengatan sang raja siang.

"Sudah foto-fotonya?" ujar Oom Pacha yang tiba-tiba sudah datang menghampiri kami. "Mari ikut Oom, kita makan siang dulu,"lanjut Oom Pacha menggiring kami memasuki mobil yang tak lama setelahnya meluncur di jalan-jalan Bangkok yang cerah. Puncak-puncak pagoda khas Thailand menghiasi setiap sudut kota.

Selepas makan siang di sebuah restaurant yang berada di Nouvo City Hotel, kami langsung berangkat menuju Pattaya. Oom Pacha bilang, perjalanan menuju Pattaya akan memakan waktu kurang lebih 2 jam perjalanan. Itu sebabnya, kami diminta Oom Pacha untuk buang air kecil terlebih dahulu, karena sepanjang perjalanan hampir tidak ada pesinggahan yang akan kami lewati. Setibanya di Bangkok sehari sebelumnya, saya memang langsung memperhatikan lanskap Thailand lantas membandingkan dengan Indonesia. Soal jalan raya, Thailand sepertinya jauh melampaui Indonesia. Sepanjang Bangkok menuju Thailand saja misalnya, jalannya lebar lagi rata. Hampir tidak ada laubang sama sekali sebagaimana jalan tol di Indonesia.

Setengah jam sebelum tiba di pusat Pattaya, kami singgah terlebih dahulu di Honey Bee Farm. Di sana, kami diajak melihat beraneka jenis lebah penghasil madu, sampai ke proses pengolahan madu hingga menjadi obat yang bisa mengobati berbagai macam jenis penyakit. Satu hal yang menarik di sini, yakni pegawai perusahaan yang sekaligus bertindak sebagai pemandunya adalah orang Indonesia asli. Laki-laki mirip Van Diesel itu sudah beberapa tahun bekerja di salah satu perusahaan madu terbaik di dunia ini.

Perjalanan kami lanjutkan menuju Pattaya. Sesampainya di sana, kami langsung diajak Oom Pacha menuju Pattaya Floating Market, pasar apung yang salah satunya adalah tempat para pedagang menjajakan aneka rupa jananan khas Thailand, mulai dari makanan tradisional, seafood, hingga aneka rupa makanan ekstrem, salah satunya adalah kalajengking.Selain sebagian pedagang yang memang menjajakan dagangannya seraya mengapung di atas perahu kecil, di pasar ini juga disajikan aneka kesenian khas Thailand, salah satunya adalah musik tradisonal yang apabila sedang beruntung, dapat kita saksikan mereka memainkannya diatas perahu menelusuri area pasar dari kios yang satu ke kios yang satunya lagi.



Destinasi kami selanjutnya adalah 3D Art In Paradise Museum. Sebagaimana namanya, 3D Art In Pradise Museum merupkan sebuah galeri yang menyajikan beragam lukisan dalam format 3 dimensi. Sekilas, tak ada yang istimewa di tempat ini, selain lukisan yang terpajang di dinding. Hanya saja, keistimewaan itu baru terasa manakala lukisan-lukisan itu dibidik dan dilihat dari kamera. Dari kamera, orang yang berada di depan lukisan itu seolah-olah sedang berada di dalamnya secara nyata. Contohnya adalah lukisan sampul majalah Times, yang apabila seseorang berada di depannya, lalu dibidik dengan kamera, makan hasilnya orang yang dipotret tersebut seolah-olah sedang berada di sampul majalah Times versi nyata. 3D Art In Paradise Museum merupakan destinasi terakhir kami di hari kedua jalan-jalan di Thailand.

Pattaya mulai petang. Malam mulai menampakkan wujudnya yang legam. Seraya menjelaskan perihal kehidupan di Pattaya, terutama kehidupan malam yang identik dengan para ladyboy, Oom Pacha mengajak kami makan di sebuah restoran halal tak jauh dari bibir pantai. Namanya Harbour Restaurant, terletak disebuah hotel tak jauh dari bibir pantai di Pattaya. Sebagaimana namanya, restaurant ini menyajikan menu seafood, lengkap dengan pramusaji bergaya kru kapal.

"Ini restoran khusus wisatawan Muslim," terang Oom Pacha, sebelum akhirnya mengantar menuju All Season Hotel, tempat menginap kami di Pattaya.

Hati ketiga di Thailand, destinasi pertama kami adalah Noong Nooch Village. Di sini, kami menyaksikan pertunjukan keseninan tradisonal khas Thailand yang spektakuler, ratusan orang memperagakan beragam jenis tari diiringi musik dan pencahayaan yang mengagumkan dalam sebuah ruangan yang lebih mirip bioskop ukuran raksasa. Setelahnya, kami kembali disuguhkan pertunjukan yang tidak kalah menarik,yakni elephant show. Pada pertunjukan kali ini, kami menyaksikan puluhan gajah memperagakan beragam jenis pertunjukan, mulai dari menari hingga memperagakan beragam jenis olahraga. Foto-foto bersama gajah-gajah itu merupakan sebuah kenangan tak terlupakan di sini.



Sebelum meninggalkan arena Noong Nooch Village yang asri dengan pemandangannya yang hijau, kami makan siang terlebih dahulu di Noong Nooch Restaurant yang masih berada di arena yang sama. Selesai mengisi energi untuk mengeksplolasi Thailand hari ketiga itu, saya dan sang adik langsung mengelilingi komplek Noong Nooch Village barang sejenak, memanfaatkan waktu yang tersisa dengan menelusuri taman-taman bunganya yang ditumbuhi bunga aneka rupa dan warna, serta patung-patung beragam jenis hewan yang letaknya saling berkelompok. Sungguh suasana yang sangat menyenangkan. Setelahnya, kami langsung menghampiri Oom Pacha yang sudah siap membawa kami ke tempat berikutnya.

"Sudah kenyang?" tanya Oom Pacah seraya tertawa. "Bila sudah, selanjutnya kita akan menuju Laser Buddha," tambahnya seraya menjelaskan sekilas tentang Laser Buddha. Laser Buddha merupakan sebuah bukit berbatu yang salah satu sisinya bersemayam patung Buddha. Patung ini sengaja dibuat oleh pemerintah Thailand menggunakan laser, berbahan emas murni. Itu sebabnya kemudian tempat ini dikenal dengan nama Laser Buddha.

Matahari di Pattaya sangat terik siang itu. Pohon-pohon yang tumbuh di sekitar Laser Buddha seolah tak mampu membendung sengatannya yang seolah masuk hingga dasar tulang. Oom Pacha pun lebih memilih berteduh di bawah sebuah pohon, sebelum akhirnya membawa kami kembali ke Bangkok, sang ibukota negara Thailand. Sebelum tiba di Bangkok, kami singgah di sebuah dried food market yang terletak di antara Bangkok dan Pattaya. Setelah saya perhatikan dengan seksama, toko oleh-oleh yang juga menjual baju dan souvenir khas Thailand ini hari itu dipenuhi oleh wiisatawan yang sebagian besar berasal dari Indonesia.

Setibanya di Bangkok, kami diajak Oom Pacha mengunjungi MBK Mall, salah satu pusat perbelanjaan paling besar dan paling terkenal di pusat kota Bangkok, lalu mendatangi Asiatique Night Market di tepi Sungai Chao Phraya untuk menyaksikan cantiknya matahari tenggelam, sebelum akhirnya kembali ke hotel tempat kami bermalam. Asiatique merupakan sejenis pusat perbelanjaan dengan konsep terbuka yang ada di Bangkok, menghadap langsung ke arah Sungai Chao Phraya. Asiatique menjadi tempat menikmati matahari tenggelam paling romantis di sana.



Hari keempat kami di Thailand, sekaligus merupakan hari terakhir kami di negeri Raja Bhumibol Adulyadej. Sebagaimana jadwal penerbangan di tiket yang kami terima, kami akan terbang kembali ke Jakarta pukul 5 sore. Seraya menunggu Oom Pacha menjemput kami ke bandara, saya mengajak adik mengelili Platunam Market, siapa tahu ada sesuatu yang ingin kami beli untuk di bawa ke Indonesia. Sekita pukul 4 sore kami berangkat menuju Don Mueang International Airport. Pukul 7 malam, pesawat Thai Lion Air dengan  nomor penerbangan SL 118 meninggalkan Bangkok, dan mencium tanah Jakarta seitar 4 jam kemudian. Sebuah perjalanan yang sangat menyenangkan, apalagi bisa mengajak sang adik tersayang. Terimakasih detikTravel. Terimakasih atas segala keunikanmu, Thailand!

Selasa, 06 September 2016

#PESONAPANGKALPINANG DAN SEJARAH BANGSA INDONESIA DI MUSEUM TIMAH TERBESAR DI INDONESIA

Museum Timah Indonesia di Pangkalpinang tampak depan
Sedari dulu, Pulau Bangka dikenal sebagai daerah tambang, utamanya timah yang memang sudah menjadi sumber daya alam identitas daerah ini. Sekalipun berlatar belakang Pulau Belitung, saudara Pulau Bangka, Laskar Pelangi adalah gambaran kondisi sejarah pertambangan timah di daerah ini. Untuk mengetahui sejarah pertambangan timah di Pulau Bangka, didirikanlah dua museum yang khusus menyimpan benda dan manuskrip yang berkisah tentang sejarah timah, salah satunya adalah Museum Timah Indonesia yang terletak di Pangkalpinang, ibukota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Selain soal sejarah timah, museum ini juga berkisah tentang perjuangan para pendiri bangsa mempertahankan kemerdekaan Indonesia semasa diasingkan di Pulau Bangka.

Akhmad Elvian, dalam buku yang berjudul "Toponim Kota Pangkalpinang" mengemukakan bahwa sejarah berdirinya Museum Timah Indonesia bermula dari penguasaan Belanda atas Yogyakarta. Pada saat itu, Yogyakarta adalah ibukota Republik Indonesia, yang kemudian dikuasai oleh Belanda melalui agresi militer pada tanggal 19 Desember 1948. Istana presiden di Yogyakarta dikepung oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kolonel Van Langen. Mengingat kecilnya jumlah pasukan presiden kala itu, Presiden Soekarno pun memutuskan untuk menyerah, sehingga pemimpin republik berserta 150 orang menjadi tahanan rumah selama tiga hari dalam istana kepresidenan di Yogyakarta.

Atas perintah Kolonel Van Langen, para pemimpin republik yang telah ditahan untuk berangkat menuju pelabuhan udara di Yogyakarta, pada tanggal 22 Desember 1948. Selanjutnya mereka diterbangkan tanpa tujuan yang pasti, bahkan pilot yang ditugaskan pun baru mengetahui tujuan mereka setelah membuka surat perntah dalam pesawat terbang. Sementara itu, para pemimpin baru mengetahui keberadaan mereka setelah pesawat mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul di Pulau Bangka (sekarang Bandar Udara Depati Amir yang dikelola PT. Angkasa Pura II). Hanya saja, Presiden Soekarno, Sultan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan menuju Medan, Sumatera Utara, untuk diasingkan di Brastagi dan Parapat. Sedangkan Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta, Kepala Staf Angkatan Udara RS. Soerjadarma, ketua KNIP MR. Assaat, dan Sekretaris Negara MR. AG. Pringgodidgo diturunkan di Kampung Dul, Pulau Bangka, untuk selanjutnya dibawa ke Gunung Menumbing di Muntok, Bangka Barat, dengan pengawalan truk bermuatan tentara Belanda.
Salah satu sudut Museum Timah Indonesia
Pada tanggal 5 Februari 1949, Presiden Pertama RI dan Menteri Luar Negeri kala itu Haji Agus Salim tiba di pelabuhan Pangkalbalam, Pangkalpinang, dari pengasingan di Parapat dengan pesawat Catalina untuk bergabung dengan pemimpin-pemimpin republik lainnya yang telah diasingkan terlebih dahulu di Gunung Menumbing. Fakta historis menunjukkan bahwa pusat pemerintahan Republik Indonesia saat itu berada di Pulau Bangka, karena hampir separuh dari pemimpin-pemimpin republik berada di Pulau Bangka.

Perundingan dilakukan yang dilakukan oleh Belanda dan pemimpin republic yang semula dilakukan di Gunung Menumbing, dpindahkan ke Pangkalpnang, karena pesertanya bertambah dengan kehadiran pejabat dari Komisi Tiga Negara (KTN). Lokasi perundingan ini adalah sebuah rumah yang sekarang menjadi Museum Timah Indonesia. Sebagi konsekuensi dari Konferensi Roem-Royen atau Roem-Royen Statement pada tanggal 7 Mei 1949, pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan rombongan kembali ke Yogyakarta, seraya mengatakan,"dari Pangkalpinang pangkal kemenangan bagi perjuangan" yang sekerang dijadikan motto Pemerintah Kota Pangkalpinang, pangkal kemenangan.
Replika salah satu alat penambangan timah yang dipajang di halaman depan Museum Timah Indonesia di Pangkalpinang
Setelah masa kemerdekaan, pemerintah daerah bekerja sama dengan perusahaan tambang timah, pesangrahan timah tersebut diperbaiki untuk dijadikan museum dengan nama "Museum Wisma Budaya", satu-satunya museum yang ada di Pulau Bangka saat itu. Pada tanggal 2 Agustus 1997, PT. Timah (Persero) Tbk, menjadikan bangunan ini sebagai Museum Timah Indonesia. Sebetulnya, museum teknologi pertimahan yang saat ini dikelola oleh PT. Tambang Timah (Persero) Tbk ini sudah berdiri sejak tahun 1958, bertujuan mencatat sejarah pertimahan di Kepulauan Bangka Belitung sekaligus memperkenalkannya kepada masyarakat perihal pertambangan timah. Museum ini menempati sebuah gedung bersejarah yang awalnya adalah rumah dinas Hoofdt Administrateur Banka Tin Winning (BTW). Dalam museum ini, ada banyak hal yang bisa kita pelajari, utamanya perihal sejarah pertambangan timah di Indonesia, terlebih pertambang timah di Pulau Bangka dan Pulau Belitung.

Sekalipun tugu prasasti yang asli sekarang tersimpan di Museum Pusat di Jakarta, namun dalam museum ini kita juga bisa mempelajari lebih jauh tentang prasasti Kota Kapur yang didirikan pada masa Kerajaan Sriwijaya di Kota Kapur, Pulau Bangka, merupakan prasasti persumpahan, berisi ancaman bagi mereka yang menentang raja Sriwijaya.
Replika Prasasti Kota Kapur di Museum Timah Indonesia
Selanjutnya, kita bisa mempelajari sejarah eksplorasi bijih timah dengan pemboran yang mulanya dilakukan dengan alat bor tusuk, diperkenalkan oleh pendatang China di awal abad 18. Orang China menamakannya dengan sebutan Ciam yang berarti ujung runcing, sedangkan orang Belanda menamakannya dengan sebutan Chinese Stick. Ciam adalah sebuah tongkat yang terbuat dari tembaga, diujungnya terdapat takuk untuk mengambil contoh lapisan tana. Contoh bagaimana alat bernama Ciam ini bisa kita lihat di Museum Timah Indonesia.

Pengukuran sebagai bagian tidak terpisahkan dalam kegiatan ekplorasi dan penambangan timah pun bisa kita pelajari di museum ini. Pengukuran dengan menggunakan sistem optik telah dikenal sejak 1942, sedangkan pengukuran dengan sinyal radio mulai diterapkan pada tahun 1966 dalam eksplorasi di laut. Pengukuran mutakhir dengan menggunakan GPS (Global Positioning System) mulai digunakan sejak 1990.

Sementara itu, penambangan dan eksplorasi timah dilaut diawali pada tahun 1952, yakni sejak diciptakannya ponton bor Kontiki dan Tahiti. Pada tahun 1966, di buat kapal bor Pelatuk yang dilengkapi dengan alat bor yang sanggup mengebor hingga kedalaman 78 meter dan dilengkapi dengan alat geofisik laut Sparker. Beberapa jenis ponton bor yang dikenal kemudian diantaranta adalah elevated drilling rig KB Bintang, drilling barge Belibis dan drilling barge yang dilengkapi dengan seismic Geomin.
Salah satu miniatur kapal keruk, alat penambangan timah dasar laut yang tersaji dengan apik di Museum Timah Indonesia di Pangkalpinang
Penambangan timah pada awalnya sangat bergantung pada tenaga manusia dengan peralatan sederhana. Penambangan modern diawali sejak digunakannya mesin uap pada pertengahan abad ke-19. Penggalian timah dengan cara sederhana diperkirakan telah dimulai oleh penduduk pribumi Bangka sekitar abad ke-5, dengan menggunakan linggis sebagai alat untuk menggali sumuran, yang dikenal dengan sebutan Sumur Palembang. Sementara itu pencucian pasir timah dilakukan dengan batok kelapa dan dulang kayu.

Memasuki era modern, yakni di awal tahun 1850-an, penambang mencoba menggunakan alat mesin gali untuk mengganti tenaga kuli sebagai penggali tanah. Mulanya dicoba menggunakan eskavator seperti pada penambangan batubara di Sumatera, namun gagal. Di sungai pada awalnya dicobakan Edax. Pada pertengahan abad 19, penambangan mulai menggunakan mesin tenaga uap. Sedangkan kuda dan kereta dorong pun mulai digantikan oleh kereta api pada tahun 1885 dan mobil pada tahun 1910. Peralatan cuci (ore dressing) yang semula menggunakan batok kelapa, yang kemudian digantikan oleh dulang, pun diganti dengan mesin pencuci. Mesin pencuci pertama adalah JIG yang diperkenalkan di awal abad 20. Untuk pencucian yang lebih bersih lagi, dicitakan meja goyang, diikuti metode-metode lain pada kurun waktu berikutnya.

Pada penambangan modern, tambang primer (yakni tambang pada deposit timah primer), dilakukan dengan dua pilihan tergantung pada kondisi batuannya, yaitu sistem Underground (Tambang Dalam) dan Open Pit (Tambang Terbuka). Selain kedua sistem tersebut, ada monitor atau juga dinamai Meriam Air atau Water Gun, adalah alat penting dalam memisahkan butir-butir timah dari unsur pengikatnya, seperti tanah liat, kaolin dan unsur lain yang menyertainya.

Penambangan timah di lepas pantai Indonesia dengan menggunakan kapal keruk di mulai pada tahun 1910 di Pantai Dabo Singkep, dengan menggunakan kapal keruk Dabo sebagai kapal pertama. Sepanjang abad ke-20, sebanyak 42 kapal keruk penggali timah dengan berbagai ukuran telah beroperasi di daerah ini.

Selanjutnya, masih di museum yang sama, kita pun bisa mempelajari tata cara proses peleburan timah (smelter). Teknologi peleburan timah sudah dikenal manusia sejak zaman Mesir Kuno dan Yunani Kuno. Peleburan timah di Eropa sudah dikembangkan pada abad ke-14 Masehi oleh Georgius Agricola yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Pertambangan dan Metalurgi Dunia. Sementara itu, peleburan timah Era Industri di Indonesia di pelopori oleh Dr. C.R. Vlandereen dengan memodernisasi peleburan sistem China.

Mulanya, peralatan penambangan timah terbuat dari kayu, semasa belum ditemukannya besi di Pulau Bangka pada sekitar awal abad ke-18, ditemukan di tambang kuno di daerah penagan, dekat Kota Kapur, Pulau Bangka.Eksplorasi pencarian cadangan timah berlangsung di daratan dan perairan Pulau Bangka, Belitung, Singkep, dan Karimun-Kundur. Mineral timah (SnO2), diketemukan bersama mineral ikutan (associated minerals) antara lain Monazite, Ilmeniter, Zircon dan Kwarsa.

Selama 100 tahun pertama berlangsungnya penambangan timah di Pulau Bangka dan Belitung, para ahli percaya bahwa timah alluvial di Pulau Bangka berasal dari sumber primernya di Semenanjung Malaya. Pada tahun 1872, seorang ahli geologi BTW menemukan bukti di Bukit Sambunggiri bahwa timah alluvial di Pulau Bangka berasal dari granit di pulau itu sendiri. Mengenai granit, ada berbagai jenis batu granit, tetapi batu granit pembawa timah adalah jenis Biotit Granit.

Apakah cuma sebatas itu isi museum ini? Masih ada lagi ternyata, yakni perihal manuskrip awal penulisan sejarah Bangka. Sejarah Bangka ditulis pertama kali oleh Haji Idris, seorang guru di Muntok, Bangka Barat, pada tahun 1861 silam. Catatan sejarah ini dimutakhirkan oleh Abang Arifin Tumenggung Kertanegara I pada tahun 1879 dan Abang Muhammad Ali Tumenggung Kertanegara II pada tahun 1879, dilanjutkan oleh Raden Achmad dan Abang Abdul Jajal pada tahun 1925.

Nah, sungguh banyak bukan hal yang dapat kita pelajari di Museum Timah Indonesia di Pulau Bangka ini? Seraya mempelajarinya, tentu saja secara langsung kita bisa melihat-lihat benda yang dijelaskan tersebut diatas. Semuanya dikoleksi di Museum Timah Indonesia yang terletak di Jalan Ahmad Yani, Nomor 179, Pangkalpinang, Bangka. Semua itu bisa kita pejari gratis, sebab pengelola museum tidak memungut biaya sepersen pun dari pengunjung yang datang. Museum ini buka Senin-Minggu, pukul 08.00 sampai dengan 16.00 WIB, sedangkan khusus hari Jumat museum ini ditutup untuk umum. Salam #pesonapangkalpinang !!!

Jumat, 18 Desember 2015

IYOPO (PERSEMBAHAN UNTUK ADAM)

"Apabila boleh mengatakan hal yang sesungguhnya, kukatakan bahwa tulisan sederhana ini adalah salah satu tulisan yang paling sulit kuselesaikan. Suadah lebih dari sebulan yang lalu kusiapkan. Setengah selesai, kuhapus karena merasa ada yang tidak pas. Sempat beberapa kali berubah tata urutannya, lalu malam ini sekuat tenaga tulisan ini harus aku selesaikan sebelum tahun berganti menjadi 2016. Mungkin, terlampau banyaknya cerita yang kami alami, sehingga sulit mengabadikannya hanya pada satu halaman blog yang sederhana ini."

Terakhir kali bertemu Adam adalah saat dia diwisuda menjadi M.H.

Seorang ibu, yang aku yakin dengan penuh rasa bangga, menulis di akun jejaring sosial dengan ciri khas warna biru yang ia miliki. Pada tulisan itu, ia sertai pula beberapa buah foto. Adapun isi tulisannya kurang lebih begini,”Mengantar anak mbarep untuk memenuhi penempatan pertama sebagai PNS (auditor) pada kantor BPK Ambon. Selamat jalan, Nak. Do’a Mama selalu menemanimu.Jadilah auditor yang amanah dan professional, jaga kesehatan, jaga shalat, jaga persahabatan dengan kawan-kawan.” Pada kolom komentar, tak lupa aku menulis,”See you ASAP (maksudnya as soon as possible) Adam Wijaya Medantara, sukses selalu  anak Bu Endang.” Beberapa menit berlalu,komentar yang aku kirim itu kemudian disukai oleh sang ibu yang tulisannya aku komentari. Aku cukup mengenal ibu itu, pun (mungkin) beliau terhadapku. Bagaimana aku tak mengenalnya, orang dulu anaknya tak berhenti menyebut-nyebut nama ibunya itu saban kami bercerita apa dan entah dimana.

Satu hari kemudian, komentarku itu rupanya ditanggapi oleh sang ibu,”Terimakasih, Mas Darwance. Tetap bersahabat baik dengan Adam Wijaya Medantara ya. Main-mainlah ke Purwokerto, kami tunggu.” Entah kenapa, aku terharu membaca komentar itu. Setelahnya, terurailah dalam kepalaku saat kali pertama menginjakkan kaki di Yogyakarta, berjuang mengikuti serangkaian seleksi untuk bisa kuliah di salah satu universitas ternama di sana, lalu bertemu dengan seorang kawan yang bagaimanapun telah memberi warna yang berbeda selama aku di tanah Sri Sultan Hamengku Buwono itu.

***
                Hari itu, aku begitu gembira. Betapa tidak, setelah sempat tertunda selama satu tahun, jadilah akhirnya aku menginjakkan kaki di Yogyakarta. Ya, aku kuliah lagi. Pagi-pagi, sebagaimana undangan yang aku terima, aku sudah meninggalkan kos salah seorang kawan tak jauh dari Ring Road Utara. Semangat sekali aku pagi itu. Sungguh tak sabar rasanya berjumpa dengan dosen-dosen hebat yang konon banyak mengajar di sini. Sesampainya, tak lepas mataku memandang setiap orang yang aku jumpai. Harapannya, siapa tahu satu atau dua orang dari mereka adalah orang yang mukanya sering aku lihat di layar televisi. Maklum, sebagai kampus kelas kakap, aku yakin begitu banyak orang terkenal di sini. Dugaanku benar rupanya. Pada sebuah sisi, kulihat salah seorang laki-laki rapi dengan setelan jas hitamnya yang gagah, sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang dihadapannya, yang pun tak kalah terkenal. Mereka adalah ahli-ahli hukum hebat negara ini.

                Hari itu agendanya adalah kuliah perdana. Usai acara, digiringlah kami menuju sebuah ruangan sesuai dengan program studi yang kami pilih saat mendaftar dulu. Ceritanya, setelah disatukan pada satu ruangan pada kuliah perdana yang materinya disampaikan oleh salah seorang akademisi hebat dar Jakarta, rector pula, dibagilah kami menjadi lima, sesuai jumlah jurusan yang ada di kampus itu. Cepat-cepat, terlampau semangatnya,masuklah aku pada sebuah ruangan sebagaimana instruksi. Sembari menunggu yang lain masuk, aku duduk pada sebuah kursi empuk lengkap dengan meja yang memanjang. Melihat itu, pikiranku langsung terbang ke Senayan. Ya, tempat duduknya mirip dengan yang dimiliki oleh wakil rakyat yang terhormat di gedung kura-kura sana. Bedanya, di sini kami diawasi oleh potret orang hebat yang sudah menyandang gelar guru besar, terpatri dengan rapi di sisi kanan dan kiri ruangan.

                “Hai,” salah seorang gadis mungil tiba-tiba melambaikan tangannya saat berjalan di hadapanku, menuju sebuah kursi bersama seorang temannya yang sempat menarik perhatianku saat kuliah perdana berlangsung. Siapa pula gadis ini? Sok kenal betul tampaknya. Lama aku mengingatnya, sebab tiba-tiba aku merasa pernah bertemu dengan gadis ini. Selang beberapa menit, belum pula aku membalas senyuman gadis itu. “Hai,” kataku akhirnya seraya tak lupa tersenyum.” Aku baru ingat, dialah gadis berhijab yang aku kenal saat hendak mengikutu tes wawancara tempo hari.

                Setelah berpaling dari gadis itu, kudapati ruangan mulai terisi oleh orang-orang yang datang. Kutatap mereka satu demi satu. Beberapa orang dari mereka sudah kukenal mukanya. Salah satunya adalah laki-laki mirip Limbad yang dulu sempat membuat darahku mendidih saat seleksi wawancara. Diterima pula rupanya dia. Hari itu, laki-laki  mirip Limbad bukanlah orang pertama yang membuatku terhenyak. Di hari yang sama, aku mendapati beberapa orang aneh (dalam tanda kutip), yang kelak ternyata menjadi kawan-kawanku selama hampir 2 tahun aku di sini. Pertama, aku terhenyak oleh seorang perempuan berpenampilan tak ada beda dengan laki-laki. Setelahnya,kembali  aku terpukau oleh perempuan pengibas rambut manakala kuliah perdana sedang berlangsung dengan khidmatnya. Heran betul aku dengan perempuan itu. Dengan penuh rasa percaya diri, ia kibas-kibaskan rambutnya yang terburai itu tanpa henti.

Acara kuliah perdana usai, kembali aku dibuat terhenyak oleh seorang bapak-bapak, yang pun mahasiswa baru. Saat itu, kami sudah dibagi berdasarkan program studi. Bapak-bapak itu datang manakala acara sudah dimulai. Penampilannya sangatlah rapi, khas bapak-bapak kantoran dengan sepatu yang menyilaukan mata. Hanya saja, bukan itu yang membuatku geleng-geleng kepala. Apalagi bila bukan berlusin-lusin handphone yang ia miliki. Saat beliau duduk, disusunlah aneka rupa jenis handphone itu di atas meja. Sesekali salah satu diantanya bordering. Siapa pula manusia ini?

Hal menjengkelkan kembali menimpaku hari itu. Penyebabnya adalah tingkah seorang mahasiswa baru yang sering betul berteriak-teriak tak jelas tak tentu arah. Dia duduk di barisan kursi paling belakang. Soal manusia terakhir ini, rupanya memang tak begitu jelas orangnya. Sering lenyap tanpa berita. Seiring berputar waktu, dia justru menjadi ketua organisasi di program studi kami! Setelahnya, tersiar kabar bahwa dia diterima oleh korps Adhiyaksa untuk mewakili negara pada setiap pelanggaran pidana yang terjadi. Setelahnyanya lagi, terkirim undangan bahwa dia akan menikah. Duh, mengapa manusia tak jelas macam ini bisa mujur sekali nasibnya? Begitulah. Bila memang sudah jalan dari-Nya, mau dikatakan apalagi?

Dalam rasa jengkel itu, kudapati sepotong wajah dengan ekpresi tak menentu. Apalagi saat sesekali namanya disebut-sebut sebagai kandidat ketua kelas oleh orang yang suka teriak-teriak dengan logat Sunda yang kental itu. Melihatnya, sebuah pertanyaan klasik tiba-tiba muncul,”Mengapa setiap jenjang pendidikan yang aku tempuh, aku selalu bertemu dengan kawan bertubuh makmur?” Seingatku, hanya semasa SD aku tak berkawan dengan orang dengan ukuran badan laksana setumpuk jerami. Boleh dibilang, teman SD-ku malah kurus-kurus. Nah, saat masuk MTs, mulailah aku bersahat baik dengan orang berbadan tambun. Di MTs, aku berteman baik dengan Ramayanti, manusia pengikut Albert Einstein yang diberikan soal Matermatika dalam bentuk apa pun, pasti dilahapnya dengan tandas. Sekarang, kawanku itu memang mengabdi sebagai guru Matematika. PNS pula.

                Saat SMA, lagi-lagi aku bertemu dengan kawan baik bertubuh tambun. Laki-laki kali ini. Namanya Sepriyandi. Cukup lama aku berkawan dengan dia, sampai akhirnya kami berpisah saat tamat SMA. Dia, setahuku, melanjutkan sekolahnya di sebuah univesitas di kota kembang Bandung, sedang aku harus ikhlas kuliah di kampung halaman kami di Pulau Bangka. Setelahnya, aku dengar dia berhasil lolos sebagai seorang PNS di lingkungan Pemerintah Kota Pangkalpinang. Sekarang, kawanku yang satu ini sedang menempuh pendidikan S2-nya, lagi-lagi di Parijs van Java.

                Manakala aku memutuskan untuk kuliah di Fakultas Hukum, kembali aku dipertemukan dengan seorang kawan berbadan syarat lemak. Alamak, kali ini betul-betul tambun dalam segala hal, termasuk suaranya yang cetar membahana (meminjam istilah Princess Syahrini). Namanya Renilda. Lulus kuliah, bersama Leo Erika, sahabatku yang lain, dia memilih untuk menjadi notaris dengan melanjutkan kuliah di Magister Kenotariatan FH Unpad di Bandung. Sementara aku memilih untuk ikut seleksi di sebuah kampus negeri di Semarang. Merasa kurang nyaman di ibukota Jawa Tengah itu, akhirnya aku nekad ikut seleksi di kampus negeri ternama di Yogyakarta. Sebab terlampau pesimis tak akan lulus, aku pun mendaftarkan diri untuk ikut seleksi di salah satu kampus swasta di kota itu yang setahuku kualitas Fakultas Hukum-nya tak kalah baik dengan kampus negeri itu. Alhamdulillah, tanpa diduga, aku dinyatakan lulus dikampus negeri. Alhasil, aku meninggalkan kampus di Semarang yang beberapa hari sebelumnya pun menyatakan menerimaku sebagai mahasiswa mereka, sekaligus urung melanjutkan proses seleksi di kampus swasta sekalipun berulang-ulang kali aku dihubungi.

                Maka, hari itu, kembalilah aku dipertemukan dengan orang bertubuh sejahtera. Bila tak salah mengingat, hari itu dia mengenakan pakaian formal dengan sebuah rompi yang membalut badannya yang sesak berisi. Laki-laki yang satu ini pasti sedang sulit bernafas, pikirku kala itu manakala melihat perutnya yang seolah meronta hendak merobek bajunya yang dikancing nyaris tanpa celah. Dari kacamata yang dia kenakan, kusimpulkan dia pasti memiliki otak yang brilian. Dugaanku rupanya tak meleset sekalipun hanya satu senti. Dia lulusan Internatiaonal Undergraduate Progaram (IUP) di sebuah fakultas hukum terkenal di Yogyakarta. Dia pun menguasai beberapa bahasa asing, diantaranya Bahasa Arab dan Bahasa Perancis. Soal Bahasa Inggris, tak usah lagi ditanya. Demi meraih gelar akademisnya yang kedua, dia pun menggunakan Bahasa Inggris di tesisnya. Dialah Adam Wijaya Medantara, yang fotonya terpajang gagah di akun sosial milik sang bunda. Itulah kali pertama aku melihat Adam. Hanya saja,saat itu aku belum langsung akrab dengan dia. Ya, aku masih malu. Aku belum percaya diri untuk bergaul dengan mereka.

***
                “Iyopooo?” begitu reaksi Adam bila mendengar hal-hal yang sulit ia percayai. Suatu hari, pernah kuutarakan suatu hal padanya. Dengan santai, kukatakan kepadanya, “Beb, ternyata Mbak Dhuma itu sudah janda!” Dengan ekpresi muka macam baru saja melihat seekor hantu, keluarlah satu kata itu,”Iyopooo?” Padahal, aku sedang berbohong.

                Soal kapan aku akbrab berkawan dengan Adam, aku tak begitu mengingatnya. Seusai acara minggu keakraban di salah satu desa di lereng Gunung Merapi, mulailah aku sering bersama-sama dengannya. Hari itu, selesai kuliah, kami dan beberapa kawan lain tak langsung pulang. Melalui komputer kelas yang terkoneksi langsung dengan sebuah proyektor,  ditampillah oleh Adam foto-foto pada acara minggu keakraban itu. Dengan seksama, kami lihat foto itu satu demi satu. Apabila ada foto yang aneh, berderailah tawa kami seantero kelas. Mulai saat itu, baru aku tahu bila sudah tertawa, Adam bisa terpingkal-pingkal laksana traktor sedang membajak sawah. Pernah suatu kali, seringkali tepatnya, Adam tertawa hingga harus menutup mulutnya dengan apa pun sebab tak kuasa dia menahan tawanya untuk berhenti. Seiring berjalannya waktu, aku dan Adam semacam sudah ada kemistri, begitu orang zaman sekarang menyebutnya. Bila aku sudah memanggilnya untuk mendekatiku, belum sempat aku mengatakan hal apa pun, Adam pasti sudah tertawa terlebih dahulu. Begitu pula sebaliknya. Itulah sebabnya mengapa kemudian, setiap kali masuk kelas hendak mengikuti kuliah, aku selalu menghindari duduk dekat dengan Adam, apalagi bila sudah harus duduk berdampingan. Duduk saling berjauhan saja bila ia sudah menoleh ke arahku, langsung terdengarlah suara cekikikan dia tertawa. Padahal, kami hanya saling tatap. Duh, benar-benar gila!

                Manakala liburan kuliah tiba, kadang aku tak pulang ke Pulau Bangka. Maka, beramai-ramailah kami berpetualang, termasuk Adam. Banyak tempat yang terlah kami kunjungi, dari ujung Pulau Jawa yang satu ke ujung Pulau Jawa yang satunya lagi. Suatu hari, sempatlah Adam mengajak kami mengunjungi Dieng, salah satu surga di Pulau Jawa yang terletak di antara Wonosobo dan Banjarnegara, dua-duanya disebut Adam sebagai kampung halamannya. Dua kali Adam mengajak kami ke sana. Sesungguhnya aku bingung mana kampung halaman kawanku yang satu ini. Saat orang memuja-muji Wonosobo, dia mengaku sebagai orang Wonosobo. Saat sedang hangat-hangatnya orang membicarakan Chris John atau Ebiet G. Ade, dengan bangga dia bilang kalau dia orang Banjarnegara. Sekarepmu, Dam, begitu kata orang Jawa.

                Bingung hendak mau kemana, biasanya kami hanya mengitari Yogyakarta, seraya tertawa terbahak-bahak tak tentu rimba. Siapa yang kami tertawakan, pun tak tahu pula kami. Yang jelas, kami menertawakan diri kami sendiri. Begitulah cara kami menikmati hidup di tanah orang. Saat mengitari kota itulah, suatu ketika Adam bertanya, “Siapa sih, Beb, yang sering bilang iyopo-iyopo itu? Sering betul kamu meniruinya?” Duh, rupanya Adam tak sadar bila dialah orang yang sering mengucapkan kata itu. Maka, kujawablah dengan ringan dengan bahasa Jawa yang aku kuasai, “Yo kowe…”

                “Iyopooo?” begitu reaksi Adam, seraya menutup mulutnya menahan tawa.

                “Haha…Apa aku bilang?”

***

                Sore itu, Adam menjemputku di kantor pos di Jalan Mataram Yogyakarta. Sengaja aku menghubungi dia, sebab dia adalah salah seorang kawan yang menemaniku hari-hari terakhirku di sana. Lagipula, kos Adam yang ia bangga-banggakan karena katanya sempat pula ditempati Prof.Mahfud MD itu, letaknya tak jauh dari kantor pos itu. Setelah urusanku mengirim kembali sepeda motor yang menemaniku dari SMA itu ke Pulau Bangka, aku duduk seorang diri. Lama aku menunggu Adam yang katanya masih ada sedikit pekerjaan, entah itu apa. Sempat menghabiskan beberapa potong es krim yang aku beli dari seorang bapak-bapak yang dengan semangatnya meraih rezeki di antara Yogayakarta yang kian sesak, Adam pun tiba dengan jaket hitamnya yang khas.

                “Setelah ini, apa rencanamu, Beb?” tanya Adam setelah Hondra Supra Fit yang membawa kami terseok-seok melewati jalan sempit, tembus ke Stasiun Lempuyangan. “Tetap ingin menjadi seorang dosen?”

                “Iya, sepertinya begitu, Beb. Ingin sekali aku menjadi seorang pengajar macam Pak Parip,” kataku seraya memegang punggung Adam takut kalau-kalau sepeda motor ini akan terpental akibat terlalu  beratnya beban yang ia bawa. “Kamu sendiri bagaimana?”

                “Soal itu, belum tahulah aku, Beb. Kamu tahu sendirilah bagaimana tesisku sekarang. Setelah berbulan-bulan lamanya, tak kunjung ada kabar dari pembimbingku. Sibuk betul dia akhir-akhir ini,” jawab Adam panjang lebar. Ia begitu murung tampaknya.

                “Bagaimana bila kamu datangi terus dia di ruangannya?” kataku sok-sok memberi solusi. “Pokoknya, kamu harus wisuda di bulan Januari. InsyaAllah, bila ada rezeki, aku akan datang!”

                “Harus datanglah, Beb. Bukankah dulu kamu pernah berjanji kepada kami, bahwa kamu akan kembali ke sini bila kami sudah mengenakan toga bersayap? Haha…”

                Lepaslah tawa kami berdua yang sudah macam angka 10 sedang diarak keliling kota itu. Canda Adam soal toga bersayap membuatku terkenang  akan hari-hari pertamaku tinggal di Yogyakarta. Saat itu, belum satu bulan rasanya kami kuliah. Persahabatan antara kami pun sedang terjalin dengan hangatnya. Ibarat manusia, persahabatan kami adalah seorang balita yang selalu mengundang gelak tawa bila sudah berkumpul sama-sama. Pandai betul kawanku yang satu itu membuat kami tertawa terpingkal-pingkal sepanjang jalan macam orang gila. Alhasil, tak sadar kami sudah tiba di depan sebuah toko buku. Pada Adam, aku memang meminta cukup diantar pada salah satu toko buku langgananku selama menimba ilmu di tanah istimewa itu.

                “Sampai jumpa lagi, Beb. Hati-hati besok lagi, kuusahakan besok untuk datang ke bandara,” begitu kata Adam sebelum memacu sepeda motor dengan sebuah logo paling ia banggakan yang tertempel di bagian belakang. Aku iyakan saja niat baiknya itu, sekalipun dalam hati aku tak yakin besok pagi dia bakal datang ke bandara. Bagaimana mau datang ke bandara hanya untuk menganatar seorang kawan yang akan pulang, dia sendiri saja pernah gagal terbang sebab mimpinya yang terlampau panjang. Durasi tidurnya lama! Apalagi ketika aku beritahu kepadanya soal jam keberangkatanku besok pagi, matanya langsung terbelalak seraya mengatakan,”Hah? Pagi betul?!!!” Ah, Sudahlah. Besok pagi, lagi-lagi dugaanku terbukti. Batang hidung Adam yang memang tak punya batang itu tak tampak kehadirannya di Bandar Udara Internasional Adi Sutjipto.

                “Beeeeeb, kamu sudah di bandara? Ma’aaaaf, aku ketiduraaaaan…”

                “Hehe…Gapapa-gapapa,” jawabku meniru gaya bicara seorang kawan. Soal kawanku yang satu ini, kelak akan kuceritakan di lain waktu.

***
                Itulah percakapan singkat aku dengan kawanku Adam, di hari-hari terakhirku di Yogyakarta. Beberapa minggu setelah diwisuda, aku memutuskan untuk kembali ke kampung halamanku di Pulau Bangka. Setelahnya, lama aku tak berjumpa dengan Adam. Sampai akhirnya aku mendengar kabar baik tentang Adam, tak pula aku bertemu dengan dia. Saat itu, Adam dikabarkan diterima menjadi PNS di salah satu lembaga yang bertugas memeriksa penggunaan keuangan negara. Sebagai seorang kawan, aku ikut senang. Setahuku, Adam orang yang optimistis, sekalipun dia terkadang kurang siap akan kemungkinan gagal. Suatu hari, terlampau optimisnya, pernah dia dikabarkan sampai menangis tersedu-sedu setelah diketahui olehnya, dia gagal ke tahapan seleksi berikutnya pada seleksi sebuah lembaga negara yang lain. Padahal, dia yakin betul. Soal itu, tak mengapa, apabila sudah masanya, akan selalu ada jalan. Adam adalah salah satu bukti akan hal itu semua. Setelah berjuang tak kenal lelah, jadilah dia pegawai di salah satu lembaga paling prestisius di negara ini.

                Setelah mendengar kabar itu, kupikir aku tak akan bisa lagi bertemu dengan Adam. Apalagi, dengar-dengar dia akan bertugas di Ambon. Untuk kali ini, dugaanku salah. Saat Adam dan beberapa orang kawan lain diwisuda, aku datang. Itulah terakhir kali aku bertemu dengan Adam, sekaligus untuk pertama dan terakhir kalinya bertemu dengan orangtua Adam dan seorang adiknya yang berwajah lucu itu. Setelahnya, aku sempat kembali ke Yogyakarta, namun hingga aku harus kembali meninggalkan kota budaya itu, tak kunjung kami saling bertemu. Berbulan-bulan lamanya aku tak bertemu dengan Adam, hingga kudapati berita kalau Adam akan terbang ke Maluku. Di sana, Adam akan memulai karirnya sebagai abdi negara.

                Pada Adam, kudo’akan semoga kamu bisa menjadi pemeriksa yang amanah, sebagaimana harapan ibumu yang ia tulis itu. Suatu hari, bila ada rezeki, inginlah aku menemuimu di Maluku. Dengar-dengar, itu provinsi elok. Alamnya cantik tak terperi. Semoga suatu saat kita bisa bertemu lagi. Pada Adam, aku ingin kita terus berkawan baik, sebagaimana kita semasa masih sama-sama di Yoagayakarta. Apapun yang terjadi setelahnya, tak mau tahulah aku. Yang aku tahu, aku pernah dan mudah-mudahan akan selalu berkawan baik dengan seorang kawan berkarakter sangatlah unik bernama Adam. Pada Adam ingin kusampaikan, kumohon agar kamu mau berdo’a untukku, agar aku bisa menggapai cita-citaku. Datanglah ketika aku sudah dipertemukan Tuhan dengan tulang rusukku kelak. Datanglah ketiga aku kembali mengenakan toga seraya mempertahankan desertasiku di hadapan begitu banyak penguji. Datanglah ketika aku dilantik menjadi seorang dekan. Datanglah ketika aku menyampaikan pidato ilmiahku menjadi seorang guru besar. Datanglah ketika aku dilantik menjadi seorang pejabat negara di Jakarta. Apabila kamu tak bisa datang pada acara yang kini masih berupa angan-angan itu, bila aku lebih dulu pulang daripada kamu, kumohon engkau untuk datang ketika tubuhku dimasukkan pelan-pelan ke dalam sebuah liang.

Diselesaikan di Pangkalpinang, 18 Desember 2015