Selasa, 03 Februari 2015

PEDAGANG DALAM KERETA

http://imgarcade.com

Cerita ini cukup singkat sebetulnya, tapi semoga saja bisa menghibur bagi siapa pun yang membacanya. Oleh karena cerita ini singkat, maka saya pun akan segera memulainya. Singkat cerita…Oh ya, kira-kira perlu pakai frasa “singkat cerita” tidak? Bagaimana menurut kalian? Soalnya di muka sudah saya utarakan bahwa cerita ini adalah cerita singkat. Jadi, tidak perlulah saya kira. Menurut kalian bagaimana coba? Sebagai manusia yang hidup di alam demokrasi, saya sih ikut-ikut saja. Bila hasil jejak pendapat mengharuskan pakai “singkat cerita”, saya tuliskan. Bila tidak, ya dengan senang hati pula dua kata itu bakal saya musnahkan dari cerita ini. Selanjutnya saya serahkan kepada kalian yang budiman. Bagaimanba kira-kira? Cepatlah, inikan cerita singkat. Jadi, jangan berlama-lama. Sudahlah ya, saya gunakan saja, kalian terlalu lama. Sukanya sama Cak Lontong, jadinya banyak “mikir!”.

Singkat cerita…Aduh, saya jadi galau. Pakai tidak ya? Pakai sajalah. Inikan cerita singkat, jadi tak usah berlama-lama. Bismillahirrahmanirrahiimi…Singkat cerita, malam itu, saya, Dian, Eka, dan Ghoza berjanji akan berkumpul di salah satu angkringan di Jalan Mangkubumi, tak jauh dari Stasiun Tugu, Yogyakarta. Itu adalah malam terakhir saya di Yogyakarta, setelah menghadiri prosesi wisuda sahabat-sahabat saya di Magister Hukum UGM, termasuk pula Dian yang menjadi inisiator acara malam itu. Malam itu juga menjadi malam terakhir Eka di Yogyakarta. Besok paginya, saya dan Eka harus berangkat ke Jakarta menunailan tugas yang sangat mulia. Mengenai apa tugas mulia itu, tak elok lah saya utarakan di sini. Bagi kami para master bau toga, tugas itu begitu mulia. Bukan begitu, Eka?

Singkat cerita…Lho, masih dipakai lagi? Ah, taka pa-apa. Singkat cerita, kami berempat bercerita perihal perkembangan PT. Kereta Api Indonesia. Menurut cerita yang saya dengar, dulu katanya suasana di kereta api itu begitu sesak. Para penumpang berjejal. Bahkan ada yang sampai tidak mendapatkan tempat duduk. Seperti apa coba? Saya lantas membayangkan orang yang hendak ke Yogyakarta dari Jakarta dengan alokasi waktu perjalananan sekitar setengah hari lebih, berdiri pula? Alamak, saya yang dulu duduk saja rasanya pantat saya sudah kabur entah kemana. Lenyap sudah. Bagaimana kalau berdiri? Bisa kejang-kejang!

Masalah lain…Alhamdulillah, tak pakai “singkat cerita” lagi…adalah para penjual asongan yang wara-wiri dalam kereta. Nah, untuk masalah yang kedua ini, saya pun pernah mengalaminya. Sering malah. Bayangkan, naik kereta dari Yogyakarta ke Jakarta atau sebaliknya, kita tak bisa tidur barang sedetik pun! Yang terdengar adalah “Mijon Mijon Mijon, Aqua Aqua Aqua, Kopi Kopi Kopi, Pop Mie Pon Mie Pop Mie, TTS TTS TTS,” dan maaaaaasih banyak produk lain yang tak putus-putusnya disebut. Sebetulnya ini memang sangat mengganggu kenyamanan para penumpang. Tapi bila di pikir-pikir, mereka juga cari uang untuk makan. Jadi, saya pun sulit untuk berkomentar apa.

“Saya terkadang heran sekaligus kasihan, tiap malam mereka seperti itu. Mereka tidak tidur apa? Lalu mereka dalam kereta terus, bagaimana pulangnya coba?”, saya melanjutkan cerita tak jelas…Eh, cerita singkat ini.

“Ah, itu belum seberapa, Ce,” sela Dian tiba-tiba dengan logatnya yang super khas. “Saya lebih heran lagi dengan pedangan yang teriak ‘nasi panas…nasi panas’ dari Jakarta sampai kereta mau tiba di Yogyakarta. Coba pikir, dari Jakarta sampai mau tiba itu nasi masih panas? Kapan dia manasnya coba?”

Iya juga ya. Hahaha…Itu saja sih sebetulnya yang ingin saya ceritakan. Singkat bukan? Sudahlah, lupaka, tak lucu kok.

Jakarta, 3 Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar